Oleh :
Deby Anggreani Manalu
190200416
Oleh karena itu haruslah kita memberikan pemahaman hukum kepada masyarakat
sehingga terwujud budaya hukum atau kesadaran hukum. Berangkat dari hal tersebut
maka penyusun ingin menggali dan menganalisis lebih dalam tentang budaya hukum itu
sendiri utamanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2. Sastrapratedja
1) Alat-alat yakni segala sesuatu yang diciptakan manusia untuk mencapai tujuan yang
dikehendaki, termasuk segala bentuk teknologi dari yang sederhana sampai yang canggih
dan ilmu pengetahuan. Dalamlapis pertama ini, kebudyaan bersifat kumulatif dan dapat
dialihkan dari suatu masyarakat kemasyarakat lain dengan cara yang relatif mudah.
3) Inti atau hati kebudayaan yakni pemahaman diri masyarakat meliputi cara
masyarakat memahami, sejarah dan tujuan-tujuannya.
Budaya hukum adalah tanggapan umum yang sama dari masyarakat tertentu terhadap
gejala-gejala hukum. Tanggapan itu merupakan kesatuan pandangan terhadap nilai-nilai dan
perilaku hukum. Jadi suatu budaya hukum menunjukkan tentang pola perilaku individu
sebagai anggota masyarakat yang menggambarkan tanggapan (orientasi) yang sama
terhadap kehidupan hukum yang dihayati masyarakat bersangkutan (Hadikusuma, 1986).
Apa yang dimaksud “budaya hukum” adalah keseluruhan faktor yang menentukan
bagaimana system hukum memperoleh tempatnya yang logis dalam kerangka budaya milik
masyarakat umum.
Budaya hukum bukan bukanlah apa yang secara kasar disebut opini public para
antropolog, budaya itu tidak sekedar berarti himpunan fragmen-fragmen tingkah laku
(pemikiran) yang saling terlepas, istilah budaya diartikan sebagai keseluruhan nilai sosial
yang berhubungan dengan hukum (Soerjono Soekanto, hukum dan masyarakat universitas
Airlangga 1977 : 2)
Pengertian masyarakat yaitu sekumpulan orang yang, terdiri dari berbagai kalangan,
baik golongan mampu ataupun golongan tak mampu, yang tinggal di dalam satu wilayah
dan telah memiliki hukum adat, norma-norma serta berbagai peraturan yang siap untuk
ditaati.
Tipe-tipe Budaya hukum
Masyarakat majemuk seperti masyarakat kita, yang terdiri dari berbagai suku, budaya
dan agama, tentu akan memiliki budaya hukum yang beraneka ragam. Semuanya itu akan
memperkaya khasanah budaya dalam menyikapi hukum yang berlaku, baik di lingkungan
kelompok masyarakatnya maupun berpengaruh secara nasional.
secara umum budaya hukum dapat dikelompokkan dalam tiga wujud perilaku manusia
dalam kehidupan masyarakat yaitu:
(1) Budaya parokial (parochial culture)
Pada masyarakat parokial (picik), cara berpikir para anggota masyarakatnya masih
terbatas, tanggapannya terhadap hukum hanya terbatas dalam lingkungannya sendiri.
Masyarakat demikian masih bertahan pada tradisi hukumnya sendiri, kaidah-kaidah hokum
yang telah digariskan leluhur merupakan azimat yang pantang diubah. Jika ada yang
berperilaku menyimpang, akan mendapat kutukan. Masyarakat tipe ini memiliki
ketergantungan yang tinggi pada pemimpin. Apabila pemimpin bersifat egosentris, maka ia
lebih mementingkan dirinya sendiri. Sebaliknya jika sifat pemimpinnya altruis maka warga
masyarakatnya mendapatkan perhatian, karena ia menempatkan dirinya sebagai primus
intervares, yang utama di antara yang sama. Pada umumnya, masyarakat yang sederhana,
sifat budaya hukumnya etnosentris, lebih mengutamakan dan membanggakan budaya
hukum sendiri dan menganggap hukum sendiri lebih baik dari hukum orang lain
(Kantaprawira, 1983).
(2) Budaya subjek (subject culture)
Dalam masyarakat budaya subjek (takluk), cara berpikir anggota masyarakat sudah
ada perhatian, sudah timbul kesadaran hukum yang umum terhadap keluaran dari penguasa
yang lebih tinggi. Masukan dari masyarakat masih sangat kecil atau belum ada sama sekali.
Ini disebabkan pengetahuan, pengalaman dan pergaulan anggota masyarakat masih
terbatas dan ada rasa takut pada ancaman-ancaman tersembunyi dari penguasa. Orientasi
pandangan mereka terhaap aspek hukum yang baru sudah ada, sudah ada sikap menerima
atau menolak, walaupun
cara pengungkapannya bersifat pasif, tidak terang-terangan atau masih tersembunyi.
Tipe masyarakat yang bersifat menaklukkan diri ini, menganggap dirinya tidak berdaya
mempengaruhi, apalagi berusaha mengubah sistem hukum, norma hukum yang
dihadapinya, walaupun apa yang dirasakan bertentangan dengan kepentingan pribadi dan
masyarakatnya (Kartaprawira, 1983).
Kualitas budaya hukum menentukan kualitas penegakan hukum. Sebaik apa pun aturan
hukum dibuat, sedetail apa pun kelembagaan dan manajemen organisasi disusun, yang akan
menjalankan adalah manusia yang hidup dalam budaya tertentu.Ketika budaya belum
berubah, aturan dan sistem tidak akan berjalan sesuai harapan. Dalam rangka penegakan
hukum harus dilakukan dengan "pengorganisasian" secara terpadu, mengedepankan
komitmen dan fakta integritas, moral yang tinggi antar lembaga polisi, jaksa,pengacara,
hakim serta menerapkan sistem hukum dengan melakukan rencana tindakan yang nyata.
Selain itu juga harus ada kemauan politik yang kuat dari para penguasa negara ini baik dari
pemerintah maupun dari unsur legislatif ( Presiden bersama-sama DPR) dengan suatu
keberanian moral dan konsistensi hukum dengan meresponnya. Para aparat penegak
hukum harus mampu melepaskan diri dari budaya aparat hukum yang ada selama ini dinilai
tidak adil dan buruk dan berubah ke arah peningkatan sumber daya manusia, manajemen
yang lebih baik menjadi aset untuk dapat menjalani tugas para aparat penegak hukum yang
ideal. Budaya hukum (budaya kerja) dari aparat penegak hukum yang baik akan
menghasilkan penegakan hukum yang efektif dan efisien.
Aspek perilaku (budaya hukum) aparat penegak hukum perlu dilakukan penataan ulang
dari perilaku budaya hukum yang selama ini dilakukan oleh aparat penegak hukum
sebelumnya karena seseorang menggunakan hukum atau tidak menggunakan hukum sangat
tergantung pada kultur (budaya) hukumnya. Telah terbukti bahwa akibat perilaku hukum
aparat penegak hukum yang tidak baik, tidak resisten terhadap suap, konspirasi, dan KKN,
menyebabkan banyak perkara yang tidak dapat dijerat oleh hukum
Upaya Menumbuhkan Budaya Kesadaran Hukum dalam Masyarakat
Menurut Wakil Ketua Komisi Yudisial (KY) Imam Anshori Saleh mengatakan bahwa
terdapat tujuh faktor yang menyebabkan lemahnya penegakan hukum (pidana) di Indonesia
antara lain:
1. undang-undang yang dihasilkan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat lebih
mencerminkan kepentingan pengusaha dan penguasa daripada kepentingan rakyat kebanyakan.
2. lemahnya kehendak konstitusional dari para pemimpin dan penyelenggara negara di Indonesia.
3. rendahnya integritas aparat penegak hukum seperti polisi, hakim, jaksa dan advokat.
4. paradigma penegakan hukum yang positivistik atau lebih menekankan pada aspek legal formal.
5. minimnya sarana dan prasarana penegakan hukum,
6. sistem hukum yang tidak sistematis.
7. tingkat kesadaran dan budaya hukum yang kurang di masyarakat.
Upaya untuk mengubah budaya yang sudah ada pada masyarakat indonesia sebenarnya
sangat susah, karena culture yang ada di indonesia itu sangat bermacam-macam dan
beraneka ragam, sangat tidak mungkin untuk mengubahnya. Tetapi kaitannya dengan
budaya masyarakat Indonesia yang sangat kurang terhadap kesadaran hukum itu mungkin
disebabkan karena dari awal masyarakat itu tidak mengerti akan pentingnya hukum bagi
kehidupan, kalau saja tidak ada hukum mungkin akan terjadi kekacauan dimana-mana.
Untuk dapat meningkatkan kesadaran hukum di masyarakat mungkin pemerintah atau
aparat penegak hukum sebagai pembuat dan pelaksana dapat lebih mensosialisasikan
hukum itu sendiri kepada masyarakat. Agar masyarakat dapat lebih mengerti mengenai
akan pentingnya hukum itu bagi kehidupan bermasyarakat. Upaya untuk mengubah budaya
yang ada di masyarakat itu harus diawali dengan pensosialisasian yang lebih mendalam dan
terarah terhadap masyarakat mengenai pentingnya hukum bagi kehidupan.
Soerjono Soekamto menganalisa efektifitas bekerjama hukum dari sudut yang agak
berbeda yaitu :
1. Perlunya pemberian teladan kepatuhan hukum oleh para pengek hukum;
2. sikap yang tegas (zakelijk) dari aparat
3. Penyesuaian perturan yang belaku dengan perkembangan tekhnologi mutkhir saat
ini
4. penerangan, penyuluhan mengenai peraturan yang sedang dan akan berlaku
kepada masyarakat
5. memberi waktu yang cukup kepada masyarakat untuk memahami peraturan itu
Di indonesia sendiri sudah mulai terasa budaya hukum masyarakat kita sudah mulai
terikis oleh kejamnya zaman, ini bisa kita lihat dimasyarakat banyak terjadi konflik
horizontal, pelanggaran HAM, narkotika, pelecehan seksual, kekrasan terhadap anak,
KKN(Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) bukan hanya melibatkan masyarakat biasa tetapi
bahkan pejabat nagara, khususnya mengenai korupsi. Belum lagi ditambah dengan proses
penegakan hukum yang tumpul kebawah serta kisru institusi penegak hukum yang
seharusnya menegakkan keadilan justru saling menjatuhkan, sehingga menimbulkan
ketidakpercayaan masyarakat terhadap para aparat penegak hukum kita. Bahkan banyak
orang yang berpendapat bahwa pembangunan supremasi hukum akan sulit dilakukan
karena budaya hukum masyarakat indonesia adalah budaya hukum patrimonial yang korup,
pesimisme ini muncul karena budaya biasanya diwarisi dan dihayati oleh masyarakat dari
nenek moyang sejak waktu yang sangat lama dan karenanya sulit untuk diubah.
Namun dalam kenyataan historis tampak juga bahwa tidaklah benar kalau dikatakan
bahwa masyarakat indonesia terjangkit budaya korupsi yang tak bisa diubah. Sebab, dalam
kenyataannya, budaya hukum di negeri ini pernah tumbuh dan berkembang baik pada era
tahun1950-an. Sebastian Pompe, penulis buku indonesia supreme court, bahkan
mengatakan bahwa nonsense kalau dikatakan bahwa budaya hukum indonesia sadalah
korupsi sebab, dalam hasil penelitiannya, judicial corruption di Indonesia baru dimulai
sekitar tahu 1974.
Sesuai teori yang dikemukakan oleh friedmann ada 3 aspek yang harus disentuh secara
simultan ketika hukum hendak ingin dibangun, yakni[11]:
3. Culture ( budaya). Yaitu Kultur hukum berupa ide, sikap, harapan, dan pendapat tentang
hukum yang secara keseluruhan mempengaruhi seseorang untuk patuh atau tidak patuh
terhadap hukum.
Hukum sebenarnya memiliki hubungan yang timbal balik dengan masyarakatnya,
dimana hukum itu merupakan sarana/alat untuk mengatur masyarakat dan bekerja di dalam
masyarakat itu sendiri sedangkan masyarakat dapat menjadi penghambat maupun menjadi
sarana/alat sosial yang memungkinkan hukum dapat diterapkan dengan sebaik-baiknya[12].
Oleh karena itu tanpa budaya hukum suatu sitem hukum tidak akan berdaya. Dapat juga
dikemukakan bahwa budaya hukum itu merupakan bagian dari suatu sistem hukum yang
juga memiliki dua bagian yang lain, yakni struktur, substansi dan budaya hukum. Ketiga hal
tersebut merupakan subsistem dari sistem hukum yang saling berkaitan sehingga jika
budaya hukum tidak ada maka sistem itu akan lumpuh.Dari uraian diatas maka jelas bahwa
budaya hukum dalam kehidupan bermsyarakat, berbangsa dan bernegara sangatlah penting
apalagi negara kita adalah negara hukum, diamana seluruh aspek kehidupan berbangsa dan
bernegara harus berdasarkan akan hukum.
Di Indonesia, istilah negara hukum secara konstitusional telah disebutkan pada UUD
1945. Penggunaan istilah negara hukum mempunyai perbedaan antara sesudah dilakukan
amandemen dan sebelum dilakukan amandemen. Sebelum amandemen UUD 1945, yang
berbunyi bahwa “Indonesia adalah negara yang berdasar atas negara hukum”.
Meskipun ada perbedaan UUD 1945 sebelum dan sesudah amandemen pada
hakikatnya keduanya mempunyai tujuan yang sama yaitu menjadikan Negara Indonesia
sebagai negara hukum. Indonesia sebagai negara hukum memliki karakteristik mandiri yang
berarti kemandirian tersebut terlihat dari penerapan konsep atau pola negara hukum yang
dianutnya.
Kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari tingkat kesadaran hukum warganya.
Semakin tinggi kesadaran hukum penduduk suatu negara, akan semakin tertib kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Sebaliknya jika kesadaran hukum penduduk suatu negara
rendah yang berlaku di sana adalah hukum rimba.
Hukum adalah suatu tata aturan kehidupan yang diciptakan untuk mencapai nilai-nilai yang
diinginkan masyarakat. Salah satu nilai yang menjadi tujuan hukum adalah ketertiban.
Ketertiban artinya ada kepatuhan dan ketaatan perilaku dalam menjalankan apa yang
dilarang dan diperintahkan hukum.
Konkretnya, dapat kita ambil contoh sederhana dalam tata aturan berlalu lintas.
Hukum atau perangkat aturan yang dibuat dalam bidang lalu lintas mempunyai tujuan agar
terjadi tertib dalam kegiatan berlalu-lintas. Hal ini juga dalam upaya melindungi kepentingan
dan hak-hak orang lain.
Untuk menumbuhkan kebiasaan sadar hukum inilah yang menjadi tantangan dan
tanggung jawab semua pihak. Budaya sadar dan taat hukum sejatinya haruslah ditanamkan
sejak dini. Maka elemen pendidikanlah menjadi ujung tombak dalam menanamkan sikap
dan kebiasaan untuk mematuhi aturan-aturan yang ada.
Tentunya hal ini dilakukan dengan memberikan pengetahuan yang benar tentang
apa saja yang tidak boleh dilakukan dan boleh dilakukan.
Upaya pencegahan dinilai sangat penting dan bisa dimulai dari dalam keluarga
sebagai unit terkecil masyarakat. Kesadaran inilah yang mesti kita bangun dimulai dari
keluarga.
Tidak ada satupun aspek kehidupan manusia dalam masyarakat yang luput dari
sentuhan hukum. Dengan demikian hukum itu berada dalam masyarakat, karena
masyarakatlah yang membentuk hukum.
Dalam kehidupan modern, hukum memiliki posisi yang cukup sentral. Kita dapat
mencatat bahwa hampir sebagian besar sisi dari kehidupan kita telah diatur oleh hukum,
baik yang berbentuk hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis.
2.3 Cara Menanamkan Budaya Hukum Dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa Dan
Bernegara
Mengingat akan arti pentingnya budaya hukum maka perlu menjadi perhatian
pemerintah dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat agar benar-benar tercipta
suatu budaya hukum atau kesadaran hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Namun tak bisa dipungkiri budaya hukum di indonesia mengalami sebuah
kemunduran bahkan sangat terpuruk. Oleh karena untuk memulihkan kembali dan
meningkatkan budaya hukum masyarakat secara terus-menerus perlu dilakukan langkah-
langkah konkrit yang dapat diwujudkan dengan cara-cara sebagai berikut:
1. Melalui Pendidikan.
Apabila kita melihat tujuan negara republik indonesia sebagaimana yang dituangkan
dalam konstitusi pada kalimat yaitu “untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketrtiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi, dan
keadilan soisal” disini jelas memiliki hubungan erat dengan pendidikan. Dimana kita dapat
menanamkan budaya hukum melalui pendidikan formal sejak dini, mulai dari TK, SD, SMP,
SMA bahkan ditingkat perguruan tinggi. Agar budaya hukum sudah tertanam sejak dini
sehingga dengan melaui cara budaya hukum benar-benar terwujud.
2. Sosialisasi dan Penyuluhan Hukum.
Masih banyaknya masyarakat yang kurang paham akan hukum utamanya wilaya-
wilaya pedalaman di Indonesia, sehingga sangat perlu diadakan Sosialisasi dan penyuluhan
hukum. Tentu dengan harapan masyarakat akan lebih tahun akan hukum sehingga hal dapat
membuat masyarakat akan arti pentingnya hukum dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
3. Keteladanan
Keteladanan adalah hal yang sangat penting karena apa arti sebuah pemehaman
hukum tanpa dibarengi dengan nilai-nilai ketekadanan, nilai-nilai keteladanan inilah yang
akan menjadi cerminan kepada orang lain khususnya generasi mudah, agar nantinya benar-
benar tercipta keasadaran hukum sesuai dengan cita-cita hukum itu sendiri.