Anda di halaman 1dari 22

Makalah Tentang Budaya Hukum

Oleh :
Deby Anggreani Manalu
190200416

Untuk Memenuhi Tugas Sosiologi Hukum


Dosen : M. Husni., SH.M.Hum

Universitas Sumatera Utara


2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Melihat kenyataan yang terjadi dimasyarakat tersebut tentu ini sangat bertentangan
dengan tujuan hukum itu sendiri, dimana tujuan hukum pada hakikatnya adalah
untuk  keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Bahkan para ahli hukum dan filosof
seperti Aristoteles mengatakan bahwa yang menjadi tujuan dari hukum adalah dalam
rangka memenuhi rasa keadilan masyarakat (manusia) dan Prof. Van Apeldoorn  menyatakan
bahwa yang menjadi tujuan hukum adalah menagatur pergaulan manusia supaya
damai. Melihat tujuan hukum tersebut bahwa pada hakikatnya tujuan hukum adalah
sesuatu hal yang sangat mulia, apabila hal tersebut kita implemntasikan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tentu suatu hal yang sangat baik
karena hal tersebut sejalan dengan tujuan dan cita-cita bangsa indonesia dalam
konstitusi.

Oleh karena itu haruslah kita memberikan pemahaman hukum kepada masyarakat
sehingga terwujud budaya hukum atau kesadaran hukum. Berangkat dari hal tersebut
maka penyusun ingin menggali dan menganalisis lebih dalam tentang budaya hukum itu
sendiri utamanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Untuk memperhatikan pengetahuan sosiologi, maka peran tokoh-tokoh ilmu


pengetahuan yang meletakkan dasar bagi perkembangan pengetahuan sosiologi seperti
ibnu khaldum, August Comte, karl max, Henry Maine, Emile Durkheim, max weber dan
vilfred paret, memberi tempat penting bagi aturan-aturan hukum dalam teori sosiologi
masing-masing. Mereka tidak bisa membayangkan masyarakat tanpa hukum sehingga
dengan sendirinya, teori sosiologi mereka kembangkan untuk dapat menanggapi,
mempelajari, menganalisa dan menjelaskan kenyataan-kenyataan yang diwujudkan oleh
kehidupan sosial para anggota suatu masyarakat untuk mentaati hukum yang berlaku.
Tentu saja amat penting bagi seseorang yang hendak mempelajari hubungan antara
hukum dan kenyataan yang diwujudkan oleh kehidupan sosial anggota – anggota
masyarakat tertentu, untuk mengetahui dimana letak tempat aturan-aturan hukum
didalam kerangka teori sosial tertentu, memperlihatkan bagaimana pencipta atau
pengembang teori yang bersangkutan menanggapi hubungan antara aturan hukum,
yang dalam hal ini juga dianggap merupakan kenyataan sosial, dengan kenyataan sosial
lainnya, seperti agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, politik peranata-pranata, kesatuan
sosial atau kelemahan teori ini dalam usaha tersebut.
Teori sosiologi yang dimaksud disini adalah teori yang menyeluruh sifatnya sebagai
suatu kerangka pemikitan yang dapat menanggapi dan menjelaskan setiap tindakan
yang sangat khusus seperti menulis surat kepada seseorang relasi sampai perwujudan
tindakan yang dilakukan oleh orang banyak secara serentak, seperti revolusi dan perang,
tentu pada tarif perkembangan pengetahuan sosiologi sekarang ini tidak ada teori
sosiologi yang dapat menanggapi dan menjelaskan setiap tindakan sosial yang terjadi
setiap kenyataan sosial
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan budaya hukum dan masyarakat ?
2. Sejauhmanakah pentingnya budaya hukum dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. ?
3. Bagaimanakah cara menanamkan budaya hukum dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Budaya Hukum dan masyarakat


1.      Clyde Kluckhohn

Dia mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan hidup suatu masyarakat sebagai


warisan sosial yang diperoleh para individu dari kelompoknya. Dalam penegrtian yang lebih
funsional, kebudayaan merupakan desain untuk hidup dalam arti suatu perencanaan dan,
sesuai dengan perencanaan itu, masyarakat kemudian mengadaptasikan dirinya pada
lingukungan fisik, sosial dan ide.

2.      Sastrapratedja

Mengatakan bahwa kebudayaan bukan hanya merupakan cerminan infrastruktur


melainkan juga merupakan totalitas objek (kebudayaan material) dan totalitas makna
(kebudayaan intelektual) yang didukung oleh subjek (individu, kelompok, sektor-sektor
masyarakat atau bangsa) yang keseluruhannya, minimal dapat dibedakan dalam 3 lapis
yaitu:

1)   Alat-alat yakni segala sesuatu yang diciptakan manusia untuk mencapai tujuan yang
dikehendaki, termasuk segala bentuk teknologi dari yang sederhana sampai yang canggih
dan ilmu pengetahuan. Dalamlapis pertama ini, kebudyaan bersifat kumulatif dan dapat
dialihkan dari suatu masyarakat kemasyarakat lain dengan cara yang relatif mudah.

2)   Etos masyarakat yakni kompleks kebiasaan dan sikap-sikap manusiaterhadap waktu,


alam dan kerja. 

3)   Inti atau hati kebudayaan yakni pemahaman diri masyarakat meliputi cara
masyarakat memahami, sejarah dan tujuan-tujuannya.

Budaya hukum adalah tanggapan umum yang sama dari masyarakat tertentu terhadap
gejala-gejala hukum. Tanggapan itu merupakan kesatuan pandangan terhadap nilai-nilai dan
perilaku hukum. Jadi suatu budaya hukum menunjukkan tentang pola perilaku individu
sebagai anggota masyarakat yang menggambarkan tanggapan (orientasi) yang sama
terhadap kehidupan hukum yang dihayati masyarakat bersangkutan (Hadikusuma, 1986).
Apa yang dimaksud “budaya hukum” adalah keseluruhan faktor yang menentukan
bagaimana system hukum memperoleh tempatnya yang logis dalam kerangka budaya milik
masyarakat umum.
Budaya hukum bukan bukanlah apa yang secara kasar disebut opini public para
antropolog, budaya itu tidak sekedar berarti himpunan fragmen-fragmen tingkah laku
(pemikiran) yang saling terlepas, istilah budaya diartikan sebagai keseluruhan nilai sosial
yang berhubungan dengan hukum (Soerjono Soekanto, hukum dan masyarakat universitas
Airlangga 1977 : 2)
Pengertian masyarakat yaitu sekumpulan orang yang, terdiri dari berbagai kalangan,
baik golongan mampu ataupun golongan tak mampu, yang tinggal di dalam satu wilayah
dan telah memiliki hukum adat, norma-norma serta berbagai peraturan yang siap untuk
ditaati.
Tipe-tipe Budaya hukum
Masyarakat majemuk seperti masyarakat kita, yang terdiri dari berbagai suku, budaya
dan agama, tentu akan memiliki budaya hukum yang beraneka ragam. Semuanya itu akan
memperkaya khasanah budaya dalam menyikapi hukum yang berlaku, baik di lingkungan
kelompok masyarakatnya maupun berpengaruh secara nasional.

secara umum budaya hukum dapat dikelompokkan dalam tiga wujud perilaku manusia
dalam kehidupan masyarakat yaitu:
(1) Budaya parokial (parochial culture)
 Pada masyarakat parokial (picik), cara berpikir para anggota masyarakatnya masih
terbatas, tanggapannya terhadap hukum hanya terbatas dalam lingkungannya sendiri.
Masyarakat demikian masih bertahan pada tradisi hukumnya sendiri, kaidah-kaidah hokum
yang telah digariskan leluhur merupakan azimat yang pantang diubah. Jika ada yang
berperilaku menyimpang, akan mendapat kutukan. Masyarakat tipe ini memiliki
ketergantungan yang tinggi pada pemimpin. Apabila pemimpin bersifat egosentris, maka ia
lebih mementingkan dirinya sendiri. Sebaliknya jika sifat pemimpinnya altruis maka warga
masyarakatnya mendapatkan perhatian, karena ia menempatkan dirinya sebagai primus
intervares, yang utama di antara yang sama. Pada umumnya, masyarakat yang sederhana,
sifat budaya hukumnya etnosentris, lebih mengutamakan dan membanggakan budaya
hukum sendiri dan menganggap hukum sendiri lebih baik dari hukum orang lain
(Kantaprawira, 1983).
(2) Budaya subjek (subject culture)
 Dalam masyarakat budaya subjek (takluk), cara berpikir anggota masyarakat sudah
ada perhatian, sudah timbul kesadaran hukum yang umum terhadap keluaran dari penguasa
yang lebih tinggi. Masukan dari masyarakat masih sangat kecil atau belum ada sama sekali.
Ini disebabkan pengetahuan, pengalaman dan pergaulan anggota masyarakat masih
terbatas dan ada rasa takut pada ancaman-ancaman tersembunyi dari penguasa. Orientasi
pandangan mereka terhaap aspek hukum yang baru sudah ada, sudah ada sikap menerima
atau menolak, walaupun
cara pengungkapannya bersifat pasif, tidak terang-terangan atau masih tersembunyi.
Tipe masyarakat yang bersifat menaklukkan diri ini, menganggap dirinya tidak berdaya
mempengaruhi, apalagi berusaha mengubah sistem hukum, norma hukum yang
dihadapinya, walaupun apa yang dirasakan bertentangan dengan kepentingan pribadi dan
masyarakatnya (Kartaprawira, 1983).

(3) Budaya partisipant (participant culture)


Pada masyarakat budaya partisipan (berperan serta), cara berpikir dan berperilaku
anggota masyarakatnya berbeda-beda. Ada yang masih berbudaya takluk, namun sudah
banyak yang merasa berhak dan berkewajiban berperan serta karena ia merasa sebagai
bagian dari kehidupan hukum yang umum. Disini masyarakat sudah merasa mempunyai
kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Ia tidak mau
dikucilkan dari kegiatan tanggapan terhadap masukan dan keluaran hukum, ikut menilai
setiap peristiwa hukum dan peradilan, merasa terlibat dalam kehidupan hukum baik yang
menyangkut kepentingan umum maupun kepentingan keluarga dan dirinya sendiri.
Biasanya dalam masyarakat demikian, pengetahuan dan pengalaman anggotanya sudah
luas, sudah ada perkumpulan organisasi, baik yang susunannya berdiri sendiri maupun yang
mempunyai hubungan dengan daerah lain dan dari atas ke bawah (Kantaprawira, 1983).
Pengaruh Budaya Hukum terhadap Penegakan hukum
Menurut Profesor Soerjono Soekanto faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan
hukum, yaitu: hukum itu sendiri, penegak hukum, sarana atau fasilitas, masyarakat, dan
kebudayaan. Masyarakat dan kebudayaan tak lain adalah dwitunggal dalam elemen budaya
hukum yang memiliki pengaruh amat penting dalam bekerjanya sebuah sistem besar,
bernama sistem hukum. Maka tak heran jika ahli-ahli hukum tersohor, seperti Krabbe dan
Kranenburg, mengatakan jika budaya dan kesadaran hukum adalah satu-satunya sumber
dan kekuatan mengikat dari hukum.
Hukum yang dibuat pada akhirnya sangat ditentukan oleh budaya hukum yang berupa
nilai, pandangan serta sikap dari masyarakat yang bersangkutan. Jika budaya hukum
diabaikan, maka dapat dipastikan akan terjadi kegagalan dari sistem hukum modern yang
ditandai dengan munculnya berbagai gejala seperti : Kekeliruan informasi mengenai isi
peraturan hukum yang ingin disampaikan kepada masyarakat, Muncul perbedaan antara
apa yang dikehendaki oleh undang-undang dengan praktek yang dijalankan oleh
masyarakat, Masyarakat lebih memilih untuk tetap bertingkah laku sesuai dengan apa yang
telah menjadi nilai-nilai dan pandangan dalam kehidupan mereka

Menurut Lawrence M. Friedman menjelaskan mengenai konsep budaya hukum adalah


sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta
harapannya. Dengan kata lain budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan
sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan, tanpa
adanya budaya/kultur hukum maka sistem hukum sendiri tak berdaya.[8] Unsur budaya
hukum ini mencakup opini-opini, kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan cara bertindak
baik dari aparat penegak hukum maupun dari masyarakat.tanpa budaya hukum maka
sistem hukum akan kehilangan kekuatannya seperti yang di katakan Lawrence M. Friedman
"without legal culture, the legal system is meet-as dead fish lying in a basket, not a living fish
swimming in its sea". Gambaran mengenai budaya hukum dalam unsur-unsur sistem
hukum adalah struktur hukum diibaratkan sebagai mesin yang menghasilkan sesuatu,
substansi hukum diibaratkan produk yang di hasilkan oleh mesin, dan budaya hukum
merupakan apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menjalankan mesin serta
membatasi penggunaan mesin.

Kualitas budaya hukum menentukan kualitas penegakan hukum. Sebaik apa pun aturan
hukum dibuat, sedetail apa pun kelembagaan dan manajemen organisasi disusun, yang akan
menjalankan adalah manusia yang hidup dalam budaya tertentu.Ketika budaya belum
berubah, aturan dan sistem tidak akan berjalan sesuai harapan. Dalam rangka penegakan
hukum harus dilakukan dengan "pengorganisasian" secara terpadu, mengedepankan
komitmen dan fakta integritas, moral yang tinggi antar lembaga polisi, jaksa,pengacara,
hakim serta menerapkan sistem hukum dengan melakukan rencana tindakan yang nyata.
Selain itu juga harus ada kemauan politik yang kuat dari para penguasa negara ini baik dari
pemerintah maupun dari unsur legislatif ( Presiden bersama-sama DPR) dengan suatu
keberanian moral dan konsistensi hukum dengan meresponnya. Para aparat penegak
hukum harus mampu melepaskan diri dari budaya aparat hukum yang ada selama ini dinilai
tidak adil dan buruk dan berubah ke arah peningkatan sumber daya manusia, manajemen
yang lebih baik menjadi aset untuk dapat menjalani tugas para aparat penegak hukum yang
ideal. Budaya hukum (budaya kerja) dari aparat penegak hukum yang baik akan
menghasilkan penegakan hukum yang efektif dan efisien.
Aspek perilaku (budaya hukum) aparat penegak hukum perlu dilakukan penataan ulang
dari perilaku budaya hukum yang selama ini dilakukan oleh aparat penegak hukum
sebelumnya karena seseorang menggunakan hukum atau tidak menggunakan hukum sangat
tergantung pada kultur (budaya) hukumnya. Telah terbukti bahwa akibat perilaku hukum
aparat penegak hukum yang tidak baik, tidak resisten terhadap suap, konspirasi, dan KKN,
menyebabkan banyak perkara yang tidak dapat dijerat oleh hukum
Upaya Menumbuhkan Budaya Kesadaran Hukum dalam Masyarakat

Menurut Wakil Ketua Komisi Yudisial (KY) Imam Anshori Saleh mengatakan bahwa
terdapat tujuh faktor yang menyebabkan lemahnya penegakan hukum (pidana) di Indonesia
antara lain:
1. undang-undang yang dihasilkan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat lebih
mencerminkan kepentingan pengusaha dan penguasa daripada kepentingan rakyat kebanyakan.
2. lemahnya kehendak konstitusional dari para pemimpin dan penyelenggara negara di Indonesia.
3. rendahnya integritas aparat penegak hukum seperti polisi, hakim, jaksa dan advokat.
4. paradigma penegakan hukum yang positivistik atau lebih menekankan pada aspek legal formal.
5. minimnya sarana dan prasarana penegakan hukum,
6. sistem hukum yang tidak sistematis.
7. tingkat kesadaran dan budaya hukum yang kurang di masyarakat.

Upaya untuk mengubah budaya yang sudah ada pada masyarakat indonesia sebenarnya
sangat susah, karena culture yang ada di indonesia itu sangat bermacam-macam dan
beraneka ragam, sangat tidak mungkin untuk mengubahnya. Tetapi kaitannya dengan
budaya masyarakat Indonesia yang sangat kurang terhadap kesadaran hukum itu mungkin
disebabkan karena dari awal masyarakat itu tidak mengerti akan pentingnya hukum bagi
kehidupan, kalau saja tidak ada hukum mungkin akan terjadi kekacauan dimana-mana.
Untuk dapat meningkatkan kesadaran hukum di masyarakat mungkin pemerintah atau
aparat penegak hukum sebagai pembuat dan pelaksana dapat lebih mensosialisasikan
hukum itu sendiri kepada masyarakat. Agar masyarakat dapat lebih mengerti mengenai
akan pentingnya hukum itu bagi kehidupan bermasyarakat. Upaya untuk mengubah budaya
yang ada di masyarakat itu harus diawali dengan pensosialisasian yang lebih mendalam dan
terarah terhadap masyarakat mengenai pentingnya hukum bagi kehidupan.
Soerjono Soekamto menganalisa efektifitas bekerjama hukum dari sudut yang agak
berbeda yaitu :
1. Perlunya pemberian teladan kepatuhan hukum oleh para pengek hukum;
2. sikap yang tegas (zakelijk) dari aparat
3. Penyesuaian perturan yang belaku dengan perkembangan tekhnologi mutkhir saat
ini
4. penerangan, penyuluhan mengenai peraturan yang sedang dan akan berlaku
kepada masyarakat
5. memberi waktu yang cukup kepada masyarakat untuk memahami peraturan itu

Implikasi peranan hukum dalam pergaulan hidup manusia, maka hukum


harus peka terhadap perkembangan masyarakat yang serba berubah, dan harus
mampu menyesuaikan diri dengan berbagai keadaan yang juga berubah-ubah. Oleh
sebab itu, tidak perlu ada kontradiksi antara pembaharuan hukum (tertulis) dengan
nilai-nilai dan aspirasi yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian, pemikiran
terhadap peranan hukum sebagai alat perubahan dan pembangunan masyarakat,
sebagaimana dikemukakan oleh Pound, perlu ditempatkan pada persepsi yang
disepakati bersama untuk memahami sifat, hakikat dan konsekuensi diterimanya
suatu konsepsi. Dengan demikian selalu terdapat gejala bahwa antara hukum dan
perilaku sosial terdapat suatu jarak perbedaan yang sangat mencolok. Apabila hal ini
terjadi, maka akan timbul ketegangan yang semestinya harus segera disesuaikan
supaya tidak menimbulkan ketegangan yang berkelanjutan, tetapi usaha ke arah ini
selalu terlambat dilakukan (Manan, 2006). Teori Pound mengenai
kepentingankepentingan sosial merupakan sebuah usaha yang lebih eksplisit untuk
mengembangkan suatu model hukum responsif yang mana dalam perspektif ini,
hukum yang baik seharusnya memberikan sesuatu yang lebih daripada sekadar
prosedur hukum. Hukum tersebut harus kompeten dan juga adil, hukum seharusnya
mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen terhadap tercapainya
keadilan substantif (Nonet & Selznick, 2013, pp. 59–60). Setiap warga negara
seharusnya dapat berpikir kritis untuk mengidentifikasi kepentingan-kepentingan
sosial ini dan melibatkan diri di dalam pencapaian kepentingan-kepentingan
tersebut. Untuk dapatnya hukum berfungsi sebagai pengayom masyarakat, maka
diperlukan faktor pendukung yaitu fasilitas yang diharapkan akan mendukung
pelaksanaan norma hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Selain dari
itu, berfungsinya hukum sangat tergantung pada hubungan yang serasi antara
hukum itu sendiri (perangkat aturan hukum, aparat penegak hukum dan kesadaran
masyarakat. Kekurangan salah satu dari unsur ini akan mengakibatkan seluruh
sistem hukum akan berjalan pincang. Berdasarkan pemahaman terhadap sistem
hukum nasional yang menyangkut adanya empat komponen atau sub sistem, yakni:
1. budaya hukum, 2. materi hukum, 3. lembaga, organisasi, aparatur dan
mekanisme hukum, serta 4. prasarana dan sarana hukum. Maka salah satu yang
sangat urgen dalam membangun kultur dalam rangka menyikapi perubahan hukum
adalah pembangunan materi hukum. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka
diperlukan dua pandangan atau pemikiran yang berperan dalam sistem hukum yang
akan dibina secara terpadu, yakni aliran yang meninjau hukum secara yuridis
dogmatis, yang cenderung mempertahankan nilai-nilai moral dan kultural Indonesia
dalam pembinaan hukum itu dan aliran yang meninjau hukum dari segi dimensi
sosial yang cenderung mengutamakan pembinaan sistem hukum yang mampu
menjawab tuntutan pembangunan dan modernisasi (Lubis, 2002). Apa yang
dimaksud budaya hukum adalah keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana
sistem hukum memperoleh tempatnya yang logis dalam kerangka budaya milik
masyarakat umum. Budaya hukum bukanlah apa yang secara kasar disebut opini
publik para antropolog, budaya itu tidak sekadar berarti himpunan fragmen-
fragmen tingkah laku (pemikiran) yang saling terlepas, istilah budaya diartikan
sebagai keseluruhan nilai sosial yang berhubungan dengan hukum (Soekanto, 1977,
p. 2) . Budaya hukum jika diartikan secara gramatikal maka akan menghasilkan
banyak pandangan, walaupun sebenarnya pandangan tersebut bebas. Namun
kiranya dalam pendidikan hukum ke depan, budaya hukum haruslah memiliki
batasanbatasan dalam pengertiannya agar tidak menimbulkan interpretasi di dalam
masyarakat. Sebagaimana diungkapkan Asshiddiqie (2005, p. 26) bahwa
pembudayaan, pemasyarakatan dan pendidikan hukum (law socialization and law
education) dalam arti luas sering tidak dianggap penting, padahal tanpa didukung
oleh kesadaran, pengetahuan dan pemahaman oleh para subjek hukum dalam
masyarakat, akan sangat sulit suatu norma hukum dapat diterapkan tegak dan
ditaati. Karena itu, agenda pembudayaan, pemasyarakatan dan pendidikan hukum
ini perlu dikembangkan tersendiri dalam rangka mewujudkan ide negara hukum di
masa depan. Hukum yang dibuat pada akhirnya sangat ditentukan oleh budaya
hukum yang berupa nilai, pandangan serta sikap dari masyarakat yang
bersangkutan. Jika budaya hukum diabaikan, maka dapat dipastikan akan terjadi
kegagalan dari sistem hukum modern yang ditandai dengan munculnya berbagai
gejala seperti: kekeliruan informasi mengenai isi peraturan hukum yang ingin
disampaikan kepada masyarakat, muncul perbedaan antara apa yang dikehendaki
oleh undang-undang dengan praktik yang dijalankan oleh masyarakat. Masyarakat
lebih memilih untuk tetap bertingkah laku sesuai dengan apa yang telah menjadi
nilai-nilai dan pandangan dalam kehidupan mereka. Gambaran mengenai budaya
hukum dalam unsur-unsur sistem hukum adalah struktur hukum diibaratkan sebagai
mesin yang menghasilkan sesuatu, substansi hukum diibaratkan produk yang di
hasilkan oleh mesin, dan budaya hukum merupakan apa saja atau siapa saja yang
memutuskan untuk menjalankan mesin serta membatasi penggunaan mesin
(Makmur, 2015). Sehingga urgensi penguatan budaya hukum ini sudah menjadi
kebutuhan yang tidak terelakkan lagi. Oleh karena itu pengembangan budaya
hukum harus dilakukan melalui strategi pengembangan yang terarah dan terukur
melalui perumusan kebijakan, strategi pembudayaan hukum dan upaya
pengembangan budaya hukum (Jawardi, 2016). Penguatan budaya hukum ini salah
satu bagian dari peran di dalam melahirkan kewarganegaraan transformatif di
Indonesia. Menurut tujuan kebijakan strategis, yang penting adalah sejauh mana
lembaga perumus kebijakan dan penyusun peraturan hukum secara konsisten tetap
mengacu kepada sistem nilai yang filosofis itu agar setiap garis kebijakan dan aturan
hukum yang tercipta dinilai akomodatif dan responsif terhadap aspirasi masyarakat,
secara adil dengan perhatian yang merata. Kearifan politis dengan pendekatan
kultural seperti ini menjadi tuntutan konstitusional seluruh rakyat Indonesia yang
struktur sosialnya penuh keanekaragaman, pluralis dan heterogen, beragam-ragam
sub etnis, agama, adat istiadat dan unsur-unsur kulturalnya (Lubis, 2000). Jika hal ini
terlaksana maka sebenarnya sedang tercipta harmonisasi antara legal substance
dengan legal structure. Namun satu hal yang terpenting adalah bagaimana aturan-
aturan tersebut dapat hidup, bernilai dan dijadikan pedoman dalam kehidupan
bermasyarakat. Sehingga dipandang penting untuk meningkatkan budaya hukum
masyarakat. Kendatipun aturan-aturan tersebut bersifat akomodatif dan responsif
namun masyarakat tidak mengetahui dan menyadarinya maka sesungguhnya
aturan-aturan tersebut hanya sebatas aturan-aturan formal yang tidak berdaya
guna dan berdaya laku. Jika demikian kebijakan yang dilakukan maka akan ada
harmonisasi antara legal structure, legal substance dan legal culture. Salah satu
upaya yang dilakukan dalam meningkatkan budaya hukum dan kesadaran hukum
adalah melalui pendidikan dan sosialisasi berbagai peraturan perundangundangan
dalam rangka mematuhi dan mentaati hukum serta penegakan supremasi hukum
(Jawardi, 2016). Salah satu upaya yang dilakukan dalam meningkatkan budaya
hukum dan kesadaran hukum adalah melalui pendidikan dan sosialisasi berbagai
peraturan perundang-undangan dalam rangka mematuhi dan mentaati hukum serta
penegakan supremasi hukum. Salah satu cara yang efektif adalah dengan
melakukan penyuluhan hukum. Penyuluhan Hukum adalah salah satu kegiatan
penyebarluasan informasi dan pemahaman terhadap norma hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku guna mewujudkan dan mengembangkan
kesadaran hukum masyarakat sehingga tercipta budaya hukum dalam bentuk tertib
dan taat atau patuh terhadap norma hukum dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku demi tegaknya supremasi hukum. Sampai saat ini penyuluhan hukum
telah dilaksanakan dengan berbagai cara dan metode. Secara garis besar metode
penyuluhan hukum dibagi menjadi dua, yaitu penyuluhan hukum langsung dan
penyuluhan hukum tidak langsung. Metode Penyuluhan Hukum adalah cara
penyampaian informasi hukum dari penyuluh hukum kepada sasaran penyuluhan
hukum. Penyuluhan hukum langsung dilakukan dengan cara bertatap muka secara
langsung antara penyuluh dan yang disuluh. Penyuluhan hukum tidak langsung
merupakan penyuluhan hukum yang dilakukan melalui media cetak dan media
elektronik. Penyuluhan Hukum melalui media elektronik salah satunya adalah
melalui televisi, baik TVRI maupun Televisi swasta (Jawardi, 2016). Hadirnya
Fungsional penyuluh hukum di jajaran Kementerian Hukum dan HAM
(Kemenkumham) diibaratkan seperti datangnya hujan di musim kemarau artinya ke
depan penyuluh hukum di Kemenkumham ini sangat dibutuhkan untuk memberikan
informasi hukum kepada masyarakat yang buta dengan hukum. Walaupun
dirasakan agak terlambat kehadiran penyuluh hukum ini, tetapi patut disyukuri
bahwa pada awal tahun sudah hadir lebih kurang 210 penyuluh hukum dari
berbagai tingkatan (penyuluh ahli pertama, ahli muda, ahli madya dan ahli utama),
yang telah dilantik oleh menteri hukum dan HAM Yasonna H. Laoly tanggal 21
Desember 2016. Semoga fungsional penyuluh hukum dapat mendarmabaktikan
pengabdiannya kepada masyarakat untuk melakukan penyuluhan hukum dan
mendapat tempat yang baik di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM RI. Kalau
dibandingkan dengan jumlah penduduk dan luasnya geografis Indonesia tentu
jumlah fungsional penyuluh hukum yang ada saat ini belum mencukupi. Jumlah
yang ideal untuk penyuluh hukum diperkirakan sebanyak 85.000 penyuluh hukum,
dengan asumsi sama dengan jumlah desa di Indonesia. Jadi untuk 1 (satu) desa
dibutuhkan 1 (satu) penyuluh hukum (Jawardi, 2016). Kendatipun pemerintah sudah
memberi perhatian terhadap penguatan budaya hukum masyarakat ini dengan
menghadirkan tenaga fungsional Penyuluh Hukum di Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia, namun dari segi jumlah tentunya tidak akan
memberikan pengaruh yang sangat signifikan. Berbeda halnya dengan keberadaan
Penyuluh Pertanian yang dari segi jumlah sangat signifikan perbedaannya dengan
Penyuluh Hukum yakni sejumlah 12.007 Penyuluh Pertanian Pegawai Negeri Sipil,
mengingat Indonesia adalah juga negara agraris (Julianto, 2016). Sebagai negara
hukum sudah seharusnya pemerintah dapat memberi perhatian dalam hal
menambah jumlah penyuluh hukum ini demi meningkatnya kesadaran dan budaya
hukum masyarakat yang baik

Budaya Hukum Dalam Masyarakat Indonesia

Mengapa perlu membudayakan hukum dalam masyarakat ? bukankah


hukum merupakan bagian dari kebudayaan pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak
perlu timbul oleh karena kebudayaan mencakup ruang lingkup yang sangat luas dan
demikian pula halnya dengan hukum.
Masalah pembudayaan hukum dalam masyarakat bukan saja menjadi
persoalan bagi kalangan yang membedakan atau mempertentangkan hukum dan
masyarakat, akan tetapi juga kalangan yang membedakan kaidah dengan fakta.
Problematikanya sebenarnya berkisar pada bagaimana membudayakan suatu
sistem hukum yang diimport dari masyarakat lain atau bagaimana cara
melembagakan system hukum yang di Introdukser oleh golongan yang berkuasa
problem tersebut harus diatasi apabila yang menjadi tujuan adalah mengefektifkan
hukum.
Apa yang dimaksud “budaya hukum” adalah keseluruhan faktor yang
menentukan bagaimana system hukum memperoleh tempatnya yang logis dalam
kerangka budaya milik masyarakat umum. Budaya hukum bukan bukanlah apa yang
secara kasar disebut opini public para antropolog, budaya itu tidak sekedar berarti
himpunan fragmen-fragmen tingkah laku (pemikiran) yang saling terlepas, istilah
budaya diartikan sebagai keseluruhan nilai sosial yang berhubungan dengan hukum
(Soerjono Soekanto, hukum dan masyarakat universitas Airlangga 1977 : 2)
Sehubungan dengan catatan tersebut diatas maka untuk pembahasan
pembudayaan hukum hanya akan dibatasi pada bagaimana membudayakan hukum
yang dibuat dan diterapkan oleh Pemerintah, inipun sifatnya teoritis.
Untuk memperoleh dasar pembicaraan maka perlu ditegaskan terlebih dahulu apa
yang dinamakan hukum diperbagai bidang kehidupan masyarakat yang telah
melembaga. Mengutip pendapat Van Kant, Apeldoorn pernah menyatakan bahwa
hingga kini para yuris masih mencari definisi hukum tanpa hasil yang memuaskan,
akan tetapi supaya pembicaraan tidak simpang siur, perlu adanya pegangan
sementara oleh karena itu, maka dibawah ini akan diberikan beberapa arti hukum
sebagaimana diberikan oleh masyarakat .
Apabila ditelaah arti-arti yang berikan oleh masyarakat pada hukum maka dapat
diidentifisir anggapan-anggapan sebagai berikut :
a. Hukum sebagai suatu disiplin yaitu system ajaran – ajaran tentang hukum sebagai
suatu kenyataan.
b. Hukum sebagai ilmu yang mencakup ilmu kaedah dan ilmu pengetahuan
c. Hukum sebagai kaidah yaitu suatu pedoman mengenai priketuhanan yang
sepantasnya atau yang diterapkan.
d. Hukum sebagai perilaku yaitu tingkah laku yang diwujudkan secara teratur.
e. Hukum sebagai pejabat atau penguasa
f. Hukum sebagai keputusan-keputusan pejabat atau penguasa.
g. Hukum sebagai jalinan nilai-nilai atau konsep-kosep mengenai apa yang baik dan
apa yang buruk.
h. Hukum sebagai tata hukum yaitu struktur hukum beserta unsur-unsurnya.

Sebagai suatu ilustrasi dapat dikemukakan apa yang digambarkan didalam


repelita II Bab 27 sebagai fungsi hukum yaitu :
” Pembinaan bidang hukum harus mampu mengarahkan dan menampung
kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum rakyat yang
berkembang kearah kadernisasi menuju tempat kemajuan pembagunan disegala
bidang sehngga tercapai ketertiban dan kepastian hukum untuk mewujudkan
pembinaan kesatuan bangsa dibidang tata hukum.
Konsep pemberdayaan oleh M. Hers Kovets di artikan sebagai proses belajar baik
melalui imitasi, sugesti, identifikasi, maupun simpati melalui ide-ide menyeber dari
sumbernya sampai ide-ide tersebut diadapsi oleh warga-warga masyarakat kepada
siapa ide-ide tadi ditujukan.
Apabila ditinjau dari sudut fungsinya maka hukum dapat berfungsi sebagai sarana
pengendalian sosial, sarana untuk mengadakan pembaharuan dan juga sebagai
sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial. Mana yang diutamakan
senantiasa tergantung pada bidang kehidupan yang dipermasalahkan sehingga
sering kali ke 3 fungsi tersebut berkaitan dengan eratnya.
Apabila perhatian dicurahkan pada fungsi hukum untuk memperlancar proses
interaksi sosial maka hal itu berkaitan erat dengan masalah apakah orientasi
pembentukan hukum tertuju pada pribadi atau tertuju pada perbuatannya.
Perbedaan tersebut menerangkan bersifat akademis, akan tetapi dapat
mempermudah mengadakan analisa terhadap masa pemberdayaan hukum dalam
masyarakat. Pada hukum yang tekanannya diletakkan pada orientasi pribadi,
timbullah masalah-masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana sikap dan perikelakuan seseorang
b. Apakah kemampuan-kemampuannya dan dimanakah batas-batas kemampuan
tersebut
c. Bagaimanakah pandangan hidupnya dan pandangannya tentang pola-pola
interaksi sosial.

Pada pembentukan hukum yang orientasinya tertuju pada perbuatan, maka


fokus utamannya adalah apakah yang terjadi didalam kenyataan, menurut Arnold
M. Rose, pola-pola interaksi sosial didalam masyarakat dapat digolongkan ke dalam:
1. Pola tradisional yang terjadi apabila warga masyarakat diperikelakuan
terhadap warga-warga lainnya atas dasar norma dan kaidah dan nilai sama
sebagaimana diajarkan oleh warga masyarakat.
2. Pola Audience yaitu interaksi yang didasarkan pada pengertian yang sama
yang diajarkan oleh suatu sumber secara individual.
3. Pola publik yang merupakan interaksi yang didasarkan pada pengertian-
pengertian sama yang diperoleh melalui komunikasi langsung.
4. Pola Crowd yakni interaksi yang didasarkan pada perasaan yang sama dan
keadaan-keadaan fisiologis yang sama.

Hukum akan memperlancar proses interaksi pada masyarakatnya dengan


pola traditional integrated group, apabila hukum yang berlaku buka merupakan hal
yang baru, akan tetapi sudah merupakan unsur yang melembaga dalam masyarakat.
Kalau dinterduser suatu sistem hukum baru, maka biasanya masyarakat mempunyai
pola interaksi Audience atau publik, oleh karena itu sangatlah penting kedudukan
dari para pelopor pembudayaan hukum dalam menggunakan cara-cara dan alat-alat
komunikasi keadaan ini akan lebih sulit apabila hukum baru yang di introduser
dimaksudkan untuk merubah nilai-nilai yang berlaku.
Warga-warga masyarakat pada umumnya cenderung untuk bertingkah laku
menurut suatu kerangka atau pola perilakuan yang sudah membudaya dan apabila
timbul perbuatan yang melanggar hukum biasanya warga masyarakat berperilaku
menurut sistem normatif yang dipelajarinya didalam kerangka sosial dan budaya.
Pemberdayaan hukum dalam masyarakat dapat mengalami hambatan-hambatan
yang antara lain disebabkan karena kenyataan-kenyataan sebagai berikut :
a. Tata cara atau prosedur hukum sangat lamban
b. Seringkali hukum dipergunakan untuk memecahkan kasus-kasus yang bersifat
seketika.
c. Adanya asumsi yang kuat dikalangan hukum, bahwa hukum yang sesuai dengan
sendirinya berlaku
d. Kewibawaan hukum sering kalah oleh kewibawaan bidang-bidang kehidupan
lainnya.
e. Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap pembudayaan hukum.
f. Adanya kalangan-kalangan tertentu yang merasa dirinya tidak terikat pada hukum
yang telah dibentuknya.

Dari beberapa hambatan-hambatan tersebut diatas, akan dapat mengurangi


efektifitas pembudayaan hukum dalam masyarakat, apabila masyarakat majemuk
yang mempunyai keanekaragaman secara politik ekonomis, sosial maupun kulturil
oleh karena itu perlu adanya kesadaran masalah-masalah tersebut oleh karena itu
tanpa adanya kesadaran dalam penerapan hukum didalam masyarakat, mungkin
pada suatu saat hukum menjadi sarana yang sama sekali kehilangan kewibawaan
maupun fungsinya.
2.2 Pentingnya Budaya Hukum Dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan
Bernegara.
Pada era reformasi dan globalisasi ini, pembangunan budaya hukum menjadi sangat
penting karena dizaman moderenisasi saat ini seakan semuanya serba mudah karena
didukung oleh teknologi yang canggih bahkan kejahatanpun bisa dilakukan dengan mudah,
perkembangan tersebut tentu akan berakibat juga terhadap berbagai sendi kehidupan baik
itu hukum, politik, ekonomi maupun sosial dan budaya oleh setiap negara termasuk
indonesia.

Di indonesia sendiri sudah mulai terasa budaya hukum masyarakat kita sudah mulai
terikis oleh kejamnya zaman, ini bisa kita lihat dimasyarakat banyak terjadi konflik
horizontal, pelanggaran HAM, narkotika, pelecehan seksual, kekrasan terhadap anak,
KKN(Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) bukan hanya melibatkan masyarakat biasa tetapi
bahkan pejabat nagara, khususnya mengenai korupsi. Belum lagi ditambah dengan proses
penegakan hukum yang tumpul kebawah serta kisru institusi penegak hukum yang
seharusnya menegakkan keadilan justru saling menjatuhkan, sehingga menimbulkan
ketidakpercayaan masyarakat terhadap para aparat penegak hukum kita. Bahkan banyak
orang yang berpendapat bahwa pembangunan supremasi hukum akan sulit dilakukan
karena budaya hukum masyarakat indonesia adalah budaya hukum patrimonial yang korup,
pesimisme ini muncul karena budaya biasanya diwarisi dan dihayati oleh masyarakat dari
nenek moyang sejak waktu yang sangat lama dan karenanya sulit untuk diubah.

Namun dalam kenyataan historis tampak juga bahwa tidaklah benar kalau dikatakan
bahwa masyarakat indonesia terjangkit budaya korupsi yang tak bisa diubah. Sebab, dalam
kenyataannya, budaya hukum di negeri ini pernah tumbuh dan berkembang baik pada era
tahun1950-an. Sebastian Pompe, penulis buku indonesia supreme court, bahkan
mengatakan bahwa nonsense kalau dikatakan bahwa budaya hukum indonesia sadalah
korupsi sebab, dalam hasil penelitiannya, judicial corruption di Indonesia baru dimulai
sekitar tahu 1974.

Sesuai teori yang dikemukakan oleh friedmann  ada 3 aspek yang harus disentuh secara
simultan ketika hukum hendak ingin dibangun, yakni[11]:

1.        Substance (isi), berupa norma-norma hukum yang digunakan oleh para penegak hukum


maupun mereka yang diatur;

2.        Structure (Aparat), yaitu berupa kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum untuk


mendukung bekerjanya sistem hukum itu sendiri seperti : pengadilan negeri, pengadilan
administrasi, dan sebagainya;

3.        Culture ( budaya). Yaitu Kultur hukum berupa ide, sikap, harapan, dan pendapat tentang
hukum yang secara keseluruhan mempengaruhi seseorang untuk patuh atau tidak patuh
terhadap hukum.
Hukum sebenarnya memiliki hubungan yang timbal balik dengan masyarakatnya,
dimana hukum itu merupakan sarana/alat untuk mengatur masyarakat dan bekerja di dalam
masyarakat itu sendiri sedangkan masyarakat dapat menjadi penghambat maupun menjadi
sarana/alat sosial yang memungkinkan hukum dapat diterapkan dengan sebaik-baiknya[12].
Oleh karena itu tanpa budaya hukum suatu sitem hukum tidak akan berdaya. Dapat juga
dikemukakan bahwa budaya hukum itu merupakan bagian dari suatu sistem hukum yang
juga memiliki dua bagian yang lain, yakni struktur, substansi dan budaya hukum. Ketiga hal
tersebut merupakan subsistem dari sistem hukum yang saling berkaitan sehingga jika
budaya hukum tidak ada maka sistem itu akan lumpuh.Dari uraian diatas maka jelas bahwa
budaya hukum dalam kehidupan bermsyarakat, berbangsa dan bernegara sangatlah penting
apalagi negara kita adalah negara hukum, diamana seluruh aspek kehidupan berbangsa dan
bernegara harus berdasarkan akan hukum.

PENTINGNYA MEMBANGUN BUDAYA HUKUM BAGI KALANGAN PELAJAR

Di Indonesia, istilah negara hukum secara konstitusional telah disebutkan pada UUD
1945. Penggunaan istilah negara hukum mempunyai perbedaan antara sesudah dilakukan
amandemen dan sebelum dilakukan amandemen. Sebelum amandemen UUD 1945, yang
berbunyi bahwa “Indonesia adalah negara yang berdasar atas negara hukum”.

Sedangkan setelah dilakukannya amandemen UUD 1945 yaitu “Negara Indonesia


adalah negara hukum.” istilah negara tersebut dimuat dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3).

Meskipun ada perbedaan UUD 1945 sebelum dan sesudah amandemen pada
hakikatnya keduanya mempunyai tujuan yang sama yaitu menjadikan Negara Indonesia
sebagai negara hukum. Indonesia sebagai negara hukum memliki karakteristik mandiri yang
berarti kemandirian tersebut terlihat dari penerapan konsep atau pola negara hukum yang
dianutnya.

Kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari tingkat kesadaran hukum warganya.
Semakin tinggi kesadaran hukum penduduk suatu negara, akan semakin tertib kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Sebaliknya jika kesadaran hukum penduduk suatu negara
rendah yang berlaku di sana adalah hukum rimba.

Membangun budaya hukum masyarakat merupakan bagian dari upaya nation


character-building. Beberapa negara berhasil mengubah pola pikir, karakter, dan
budaya hukum masyarakatnya menjadi demokratis dan menjunjung tinggi HAM. Budaya
hukum adalah nilai-nilai sikap serta perilaku anggota masyarakat dalam kehidupan
hukum.

Hukum adalah suatu tata aturan kehidupan yang diciptakan untuk mencapai nilai-nilai yang
diinginkan masyarakat. Salah satu nilai yang menjadi tujuan hukum adalah ketertiban.
Ketertiban artinya ada kepatuhan dan ketaatan perilaku dalam menjalankan apa yang
dilarang dan diperintahkan hukum.
Konkretnya, dapat kita ambil contoh sederhana dalam tata aturan berlalu lintas.
Hukum atau perangkat aturan yang dibuat dalam bidang lalu lintas mempunyai tujuan agar
terjadi tertib dalam kegiatan berlalu-lintas. Hal ini juga dalam upaya melindungi kepentingan
dan hak-hak orang lain.

Untuk menumbuhkan kebiasaan sadar hukum inilah yang menjadi tantangan dan
tanggung jawab semua pihak. Budaya sadar dan taat hukum sejatinya haruslah ditanamkan
sejak dini. Maka elemen pendidikanlah menjadi ujung tombak dalam menanamkan sikap
dan kebiasaan untuk mematuhi aturan-aturan yang ada.

Institusi pendidikan merupakan media sosialisasi primer yang sangat mempengaruhi


pembentukan karakter manusia dikemudian hari. Jika sikap dan perilaku taat hukum telah
ditanamkan sejak dini, maka kedepan sikap untuk menghargai dan mematuhi aturan akan
mendarah daging dan membudaya di masyarakat.

Tentunya hal ini dilakukan dengan memberikan pengetahuan yang benar tentang
apa saja yang tidak boleh dilakukan dan boleh dilakukan.

Tingginya kesadaran hukum di suatu wilayah akan memunculkan masyarakat yang


beradab. Membangun kesadaran hukum sejak dini, tidak harus menunggu setelah terjadi
pelanggaran dan penindakan oleh penegak hukum.

Upaya pencegahan dinilai sangat penting dan bisa dimulai dari dalam keluarga
sebagai unit terkecil masyarakat. Kesadaran inilah yang mesti kita bangun dimulai dari
keluarga.

Hukum mengatur kehidupan manusia sejak berada dalam kandungan sampai


meninggal dunia. Hukum mengatur semua aspek kehidupan masyarakat baik ekonomi,
politik, sosial, budaya dan sebagainya.

Tidak ada satupun aspek kehidupan manusia dalam masyarakat yang luput dari
sentuhan hukum. Dengan demikian hukum itu berada dalam masyarakat, karena
masyarakatlah yang membentuk hukum.

Keadaan dan perkembangan hukum senantiasa dipengaruhi oleh masyarakat,


sehingga hukum merupakan manifestasi dari nilai-nilai kehidupan masyarakat dimana
hukum itu berlaku.

Dalam kehidupan modern, hukum memiliki posisi yang cukup sentral. Kita dapat
mencatat bahwa hampir sebagian besar sisi dari kehidupan kita telah diatur oleh hukum,
baik yang berbentuk hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis.
2.3 Cara Menanamkan Budaya Hukum Dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa Dan
Bernegara

Mengingat akan arti pentingnya budaya hukum maka perlu menjadi perhatian
pemerintah dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat agar benar-benar tercipta
suatu budaya hukum atau kesadaran hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Namun tak bisa dipungkiri budaya hukum di indonesia mengalami sebuah
kemunduran bahkan sangat terpuruk. Oleh karena untuk memulihkan kembali dan
meningkatkan budaya hukum masyarakat secara terus-menerus perlu dilakukan langkah-
langkah konkrit yang dapat diwujudkan dengan cara-cara sebagai berikut:
1.        Melalui Pendidikan.

Apabila kita melihat tujuan negara republik indonesia sebagaimana yang dituangkan
dalam konstitusi pada kalimat yaitu “untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketrtiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi, dan
keadilan soisal” disini jelas memiliki hubungan erat dengan pendidikan. Dimana kita dapat
menanamkan budaya hukum melalui pendidikan formal sejak dini, mulai dari TK, SD, SMP,
SMA bahkan ditingkat perguruan tinggi. Agar budaya hukum sudah tertanam sejak dini
sehingga dengan melaui cara budaya hukum benar-benar terwujud.
2.        Sosialisasi dan Penyuluhan Hukum.
Masih banyaknya masyarakat yang kurang paham akan hukum utamanya wilaya-
wilaya pedalaman di Indonesia, sehingga sangat perlu diadakan Sosialisasi dan penyuluhan
hukum. Tentu dengan harapan masyarakat akan lebih tahun akan hukum sehingga hal dapat
membuat masyarakat akan arti pentingnya hukum dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. 
3.        Keteladanan

Keteladanan adalah hal yang sangat penting karena apa arti sebuah pemehaman
hukum tanpa dibarengi dengan nilai-nilai ketekadanan, nilai-nilai keteladanan inilah yang
akan menjadi cerminan kepada orang lain khususnya generasi mudah, agar nantinya benar-
benar tercipta keasadaran hukum sesuai dengan cita-cita hukum itu sendiri.

4.      Memperbaiki Penegakan Hukum


Tercoreng institsusi-institusi atau para aparat penegak hukum di indonesia saat ini
membuat masyarakat menimbulkan ketidak percayaan kepada para penegak hukum,
sehingga perlu ditingkatkannya integritasnya didalam menegakkan hukum, hal tersebut
diharapakan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap para aparat penegak
hukum.

Dengan dilaksanakannya cara-cara di atas maka diharapakan pembangunan dan


pengembangan budaya hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sehingga dapat tercipta ketentraman, serta ketertiban dan tegaknya hukum yang berintikan
kejujuran, kebenaran dan keadilan untuk mewujudkan kepastian hukum demi terwujudnya
cita-cita hukum yang sesungguhnya.
Beberapa hal yang perlu dilakukan dalam rangka mendukung upaya pembudayaan
dan kecerdasan hukum masyarakat, adalah sebagai berikut:
1. Upaya pembudayaan hukum harus dilakukan dengan metode yang tepat dan
efektif, dengan memanfaatkan berbagai media dan infrastruktur serta lembagalembaga
yang hidup dan tumbuh di masyarakat.
2. Sosialisasi berbagai materi hukum, perlu terus diupayakan agar setiap
perkembangan terbaru mengenai perundang-undangan diketahui dan dipahami oleh
masyarakat. Dengan demikian, ketersediaan dan kemudahan akses terhadap informasi
materi hukum secara mudah, menjadi bagian penting dari upaya pembudayaan hukum
masyarakat.
3. Budaya hukum masyarakat harus dibangun paralel dengan peningkatan
profesionalisme aparat penegak hukum dan birokrasi. Karena profesionalisme ini akan
sangat berpengaruh terhadap kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu sendiri.
4. Perlu dilakukan pola dan program pembudayaan hukum secara terpadu,
terencana dan didasarkan kepada faktafakta permasalahan hukum yang terjadi. Dengan
demikian, keberadaan tenaga fungsional penyuluh hukum, perlu segera direalisasikan.
5. Pembudayaan hukum harus dilakukan sejak usia dini dan dimulai dari rumah
tangga sebagai miniatur terkecil negara hukum, untuk mencapai masyarakat berbudaya
hukum saat ini dan masa depan (Jawardi, 2016).
Prinsip-prinsip yang mendukung pembudayaan hukum dan kecerdasan hukum
masyarakat tersebut diatas akan menghasilkan masyarakat yang berbudaya hukum atau
cerdas hukum (Susilawati, 2008). Ciri-ciri masyarakat cerdas hukum adalah masyarakat yang
memahami hukum secara komprehensif yang terkait dengan hak dan kewajibannya,
mengetahui kebolehan-kebolehan dan larangan-larangan serta memahami keuntungan dan
risiko apa saja yang akan dialami terkait perbuatan hukum yang dilakukannya, teliti dan
cermat dalam mengambil langkah-langkah dan tindakantindakan hukum serta mampu
menjauhi segala perbuatan yang dapat menimbulkan pelanggaran hukum, mampu
menghindari perbuatan yang menjurus kepada pelanggaran hukum. Unsur lain kecerdasan
hukum masyarakat adalah kemampuan untuk berperan serta dalam upaya mewujudkan
negara hukum yang demokratis, melalui kontribusi pemikiran dalam rangka pembangunan
hukum nasional, sehingga hukum yang dibuat benar-benar dapat mencerminkan nilai-nilai
filosofis, sosiologis dan yuridis.
Hingga saat ini masih ada kesenjangan antara hukum yang seharusnya (das sollen)
dengan hukum yang senyatanya (das sein). Kesenjangan ini tentunya terjadi karena adanya
ketidakharmonisan antara law in the books dengan law in action. Sejalan dengan itu, maka
diperlukan upaya pembangunan hukum, yang sering diartikan sebagai penyelenggaraan
perubahan tertentu terhadap masyarakat (law is a tool of social engineering), dan tentunya
pembangunan yang diharapkan oleh hukum adalah perubahan masyarakat yang secara
teratur, terkendali, efektif dan efisien. Hal ini merupakan bagian dari upaya mewujudkan
kewarganegaraan transformatif.
Pembangunan hukum nasional dapat diartikan sebagai upaya untuk melakukan
perubahan di bidang hukum atau tatanan hukum yang terencana untuk menghasilkan
hukum yang berdaya laku tinggi karena sesuai dengan budaya hukum masyarakat dimana
akan tercipta sistem hukum yang sesuai dengan nilainilai budaya bangsa yakni Pancasila dan
UUD 1945 sebagai dasar negara dan ideology bangsa. Nilai-nilai budaya yang dimaksudkan
adalah nilai-nilai yang termaktub di dalam Pancasila. Sehinga tidak berlebihan jika yang
dimaksudkan adalah budaya hukum Pancasila. Warga negara transformatif memiliki budaya
hukum Pancasila.
Pembangunan hukum itu secara sistemis menyangkut (a) materi hukum dan
prosedur-prosedurnya, (b) institusi, termasuk aparat yang terlibat di dalamnya, mekanisme
kerja institusi hukum, serta sarana dan prasarana penunjang yang diperlukan untuk itu,
serta menyangkut (c) kesadaran hukum dan budaya hukum masyarakat yang menjadi subjek
hukum yang bersangkutan. Di dalam agenda pembangunan hukum tidak terlepas dari
pentingnya membangun kesadaran dan budaya hukum masyarakat.
Di dalam RPJP pembangunan hukum diarahkan pada perwujudan masyarakat yang
mempunyai kesadaran dan budaya hukum yang tinggi dalam rangka mewujudkan negara
hukum serta penciptaan kehidupan masyarakat yang adil dan demokratis. Masalah
kesadaran hukum adalah salah satu bagian dari permasalahan pembangunan hukum di
Indonesia.
Hadirnya Fungsional penyuluh hukum di jajaran Kementerian Hukum dan HAM
diibaratkan seperti datangnya hujan di musim kemarau artinya ke depan penyuluh hukum di
Kementerian Hukum dan HAM ini sangat dibutuhkan untuk memberikan informasi hukum
kepada masyarakat yang buta dengan hukum. Sebagai negara hukum sudah seharusnya
pemerintah dapat memberi perhatian dalam hal menambah jumlah penyuluh hukum ini
demi meningkatnya kesadaran dan budaya hukum masyarakat yang baik.
Ciri-ciri masyarakat cerdas hukum adalah masyarakat yang memahami hukum
secara komprehensif yang terkait dengan hak dan kewajibannya, mengetahui kebolehan-
kebolehan dan laranganlarangan serta memahami keuntungan dan risiko apa saja yang akan
dialami terkait perbuatan hukum yang dilakukannya, teliti dan cermat dalam mengambil
langkah-langkah dan tindakan-tindakan hukum serta mampu menjauhi segala perbuatan
yang dapat menimbulkan pelanggaran hukum, mampu menghindari perbuatan yang
menjurus kepada pelanggaran hukum
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN


3.1 KESIMPULAN
Dari apa yang telah dijelaskan secara garis besar tentang proses pemberdayaan
hukum dalam masyarakat secara teoritis maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Berhasil tidaknya pembudayaan hukum dalam masyarakat, senantiasa tergantung
pada struktur masyarakat secara keseluruhan, terkait nilai-nilai hukum yang dianutnya,
bidang-bidang kehidupan sasaran budaya hukum, alat-alat dan cara komunikasi huku,
kwalitas pemimpin.
2.Terdapat suatu asumsi bahwa setiap warga masyarakat dianggap mengetahui
hukum yang berlaku masalahnya apa benar demikian.
3. Masyarakat mematuhi hukum biasanya karena takut pada sanksi negatifnya untuk
memelihara hubungan baik dengan pemerintah dan warga masyarakat lainnya.
4. Saran-Saran
1.Pemberdayaan hukum seyogyanya diarahkan pada kesesuaian antara hukum
dengan nilai-nilai yang dianut warga masyarakat, sebab ada nilai-nilai yang dengan tegas
menunjang budaya hukum.
2.Selama para warga masyarakat masih berpaling pada pemimpin-peminpinnya
maka berhasil tidaknya pembudayaan hukum senantiasa dikaitkan dengan pembenaran
teladan oleh pemimpin-pemimpinnya.
3.2 SARAN
Berdasarkan atas pertimbangan-pertibangan diatas maka penyusun
merekomendasikan/saran agar pemerintah bekerja sama dengan seluruh komponen
masyarakat dalam mewujudkan indonesia yang berbudaya hukum dengan cara melalui
pendidikan, penyuluhan, sosialisasi, keteladanan dan penegakan hukum yang berintegritas.
Dengan melakasanakan cara-cara tersebut secara berkesinambungan dan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
M. Sastrapratedja, 1992.Pancasila sebagai ideologi dalam kehidupan budaya” Dalam
Oetejo Oesman dan Alfian, pancasila sebagai ideologi dalam berbagai bidang kehidupan
berbangsa dan bernegara. (Jakarta:BP7 Pusat, ), hlm.145-146.
Makmur, S. (2015). Budaya hukum dalam masyarakat multikultural. SALAM: Jurnal
Sosial Dan Budaya Syari, 2(2), 1–34.
Soekanto, S. (1977). Hukum dan masyarakat. Surabaya: Universitas Airlangga.
Susilawati, S. (2008). Kebijakan implementasi penyuluhan dalam rangka tahun peningkatan
budaya hukum nasional. Jakarta: BPHN.
_______Junaidi Maulana, Budaya hukum dan
pnegakan hukum, http://junaidimaulana .blogspot.com /2013/02/budaya-hukum-dan-
penegakan-hukum_ 23. html,  diakses  19 april 2015
Aziz Hakim ,Abdullah, 2012.Negara Hukum dan Demokrasi Indonesi,
(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, ), hlm.8.

Mahfud Md,Moh. 2011. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen


Konstitusi. (Jakarta:PT. RajaGarfindo, cetakan Perasada. Cetakan ke-2, ). hlm.217

Anda mungkin juga menyukai