Anda di halaman 1dari 18

MENINJAU HUKUM DARI ASPEK BUDAYA

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Sosiologi Hukum


(Mengkaji Hukum dengan Aspek-aspek Non Hukum)

OLEH:

HASDIWANTI

B012212024

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada hakikatnya hukum mengandung ide atau konsep-konsep yang

abstrak, akan tetapi meskipun bersifat abstrak, hukum dibuat untuk

diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu perlu adanya

suatu kegiatan untuk mewujudkan ide-ide tersebut ke dalam masyarakat yang

senantiasa berubah, baik perubahan yang berkembang secara alami, perubahan

masyarakat yang cepat (revolusioner) maupun perubahan masyarakat yang

direncanakan dan diarahkan secara bertahap dan wajar.

Dalam konteks yang demikian, maka titik tolak pemahaman terhadap

hukum tidak sekedar sebagai suatu blue print yang ditetapkan melalui berbagai

bentuk peraturan perundang-undangan, melainkan hukum hendaknya dilihat

sebagai suatu gejala yang dapat diamati di dalam masyarakat melalui tingkah laku

warga masyarakat. Realitas tersebut berarti titik perhatian harus ditujukan kepada

hubungan antara hukum dengan faktor-faktor non hukum lainnya, terutama faktor

nilai dan sikap serta pandangan masyarakat yang disebut dengan kultur hukum.1

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka sangat jelas dimana kita bisa

melihat bahwa hukum layaknya manusia sebagai makhluk sosial. Dimana hukum

memerlukan interaksi dengan faktor-faktor non hukum di sekitarnya. Dan salah

satu faktor yang paling berpengaruh terhadap hukum yakni budaya, dikarenakan

budaya sangat kental terhadap nilai dan sikap serta pandangan masyarakat.
1
Marzuki Lubis, “Peranan Budaya Hukum Dalam Perspektif Pembangunan Hukum
Nasional”, Jurnal Penegakan Hukum, Volume 1, Nomor 1, Juni 2014, h. 17.
Terlebih di Indonesia ini terdapat banyak sekali budaya atau kultur dengan ciri

khasnya masing-masing yang tentu saja akan sangat berguna terhadap

pengembangan hukum, terutama dalam pembuatan peraturan daerah.

Kebudayaan adalah suatu komponen penting dalam kehidupan masyarakat,

khususnya struktur sosial. Secara sederhana kebudayaan dapat diartikan sebagai

suatu cara hidup atau dalam bahasa Inggrisnya disebut ways of life. Keduanya

menuntun hidup bermasyarakat dalam menciptakan ketertiban menuju kedamaian

hidup yang dicita-citakan. Tanpa hukum yang dibudayakan niscaya sangat sulit

mewujudkan kehidupan bersama yang bermanfaat karena dapat saja terjadi

ketidakteraturan bahkan dikhawatirkan muncul situasi homo homini lupus.

Dalam kajian sosiologi hukum, kita memang sudah mempelajari bahwa

hukum memiliki interaksi yang tak terelakkan dengan aspek kehidupan yang lain.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, budayalah salah satu aspek yang sangat erat

kaitannya dengan pembentukan hukum itu sendiri.

Landasan filosofis dari hukum adat adalah sebenarnya nilai-nilai dan sifat

hukum adat itu sangat menyerupai dan bahkan sudah terkandung didalam butir-

butir Pancasila. Sebagai contoh, religio magis, gotong royong, musyawarah

mufakat dan keadilan. Semua unsur-unsur tersebut secara konkrit menyebutkan

arwah hukum adat dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang hendak diatur

dalam sistem hukum di Indonesia, dengan kata lain Pancasila merupakan

kristalisasi dari hukum adat.2

2
Ida Bagus Alit Yoga Maheswara, Made Gede Arthadana, Komang Indra Apsaridewi,
“Aspek Legalitas Hukum Pidana Dengan Hukum Adat”, Jurnal Hukum dan Kebudayaan, Volume
1, Nomor, 2 November 2020, h. 45
Realitas yang terjadi saat ini, sering kali hukum dibenturkan dengan

budaya yang kemudian mengarah pada konotasi yang negatif. Hal ini kemudian

menjadi hal yang menimbulkan beberapa pertentangan. Padahal sangat jelas,

bagaimana keduanya saling melengkapi dan membangun dengan cara yang sangat

positif atas interaksi keduanya. Hal ini tentu saja dikarenakan kurangnya

pemahaman terkait dengan hubungan antara budaya dan hukum yang sebenarnya.

Terlebih dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, dimana salah satu

aspek yang dipertimbangkan yakni aspek kebudayaan. Misalnya dengan budaya

masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan.

Maka berdasarkan semua hal tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk

menulis makalah dengan judul “Meninjau Hukum dari Aspek Kebudayaan”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah yang

akan diangkat dalam makalah ini, yakni:

1. Bagaimana fungsi hukum terhadap kebudayaan?

2. Bagaimana fungsi kebudayaan terhadap hukum?

3. Bagaimana hubungan antara hukum dan kebudayaan?

4. Bagaimana peranan budaya terhadap pengembangan hukum nasional?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan dari penulisan

makalah ini yakni untuk:

1. Mengetahui fungsi hukum terhadap kebudayaan.

2. Mengetahui fungsi kebudayaan terhadap hukum.


3. Mengetahui hubungan hukum dengan kebudayaa.

4. Mengetahui peranan budaya terhadap pengembangan hukum nasional.

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang akan diperoleh dari penulisan ini yakni:

1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

siapapun, baik itu kalangan hukum maupun non hukum. Dimana referensi

yang ada dalam makalah ini dapat digunakan sebagai bahan rujukan dan

pertimbangan bagi siapapun yang sedang menulis atau memerlukan informasi

terkait dengan budaya dan hukum maupun budaya hukum.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu menjadi sumber

informasi dan menjadi bahan pertimbangan untuk para pengampu

kepentingan atau pemerintahan pada khususnya dalam pembuatan peraturan-

peraturan.
BAB II

ISI DAN PEMBAHASAN

A. Fungsi Hukum Terhadap Kebudayaan

1. Fungsi Pengawasan dan Pengendalian

Pengendalian sosial atau sosial kontrol seringkali diartikan sebagai

pengawasan oleh masyarakat terhadap jalannya pemerintahan, khususnya

pemerintah beserta aparaturnya. Pendapat yang demikian memang ada

benarnya bahwa pengendalian sosial berarti suatu pengawasan dari

masyarakat terhadap jalannya pemerintahan. Kalau direnungkan lebih

mendalam arti pengendalian sosial tidaklah berhenti pada pengertian itu saja.

Arti sesungguhnya dari pengedalian sosial sebenarnya jauh lebih luas, oleh

karena pengertian tersebut mencakup segala proses, baik yang direncanakan,

bersifat mendidik, mengajak, bahkan memaksa warga-warga masyarakat agar

patuh pada nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang berlaku pada pribadi-pribadi

yang merupakan warga masyarakat.3

Pengendalian sosial dapat dilakukan oleh individu terhadap individu

lainnya, atau mungkin dilakukan oleh individu terhadap kelompok sosial dan

juga pengendalian sosial dapat juga dilakukan antara kelompok dengan

kelompok atau kelompok terhadap terhadap individu. Dari sudut sifatnya

pengendalian sosial dapat bersifat preventif atau represif, atau bahkan kedua-

duanya. Preventif merupakan suatu pencegahan. Usaha preventif, misalnya

3
Soerjono Soekanto, Soleman b. Taneko, 1981, Hukum Adat Indonesia, Jakarta:
Rajawali. 1981, h. 91.
dijalankan melalui proses sosialisasi, pendidikan, penyuluhan, dan

sebagainya. Sedangkan yang bersifat represif bertujuan untuk mengembalikan

keseimbangan yang terganggu. Usaha ini umumnya berwujud berupa

penjatuhan sanksi-sanksi negatif terhadap pelanggaran dari nilai-nilai dan

kaidah-kaidah yang berlaku di dalam masyarakat.

Hal lain yang perlu dikemukakan di sini dalam kaitan dengan

masalah pengendalian sosial adalah masalah stigmatisasi. Stigmatisasi terjadi

kalau perbuatan-perbuatan tertentu yang menyimpang, dengan sengaja

ditonjolkan keburukannya. Artinya kedudukan dan peranan seseorang yang

melakukan penyimpangan tersebut diperlakukan sedemikaan rupa sehingga

dia kehilangan identitas sosialnya.4

2. Fungsi Pengembangan

Istilah hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat pertama kali

dikemukakan oleh Rouscou Pound, di mana dalam pengertian ini hukum

diharapkan dapat berperan mengubah nilai-nilai sosial dalam masyarakat

(sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat), dengan teorinya yang terkenal

“law as tool of social engeneering”. Teori ini di Indonesia dikembangkan oleh

Mochtar kusumaatmadja. Oleh Mochtar kata “tool” diartikan sebagai sarana.5

Dalam kaitan ini hukum dipergunakan sebagai alat oleh agent of

change atau pelopor perubahan. Pelopor perubahan adalah seseorang atau

sekelompok orang yang dapat kepercayaan dari masyarakat sebagai


4
Anak Agung Gede Oka Parwata, dkk, Memahami Hukum dan Kebudayaan, Bali:
Pustaka Ekspresi, 2016, h. 34.
5
Amrullah, Andi., Peranan Ilmu Hukum Dalam Prembangunan. Buletin Yaperna, Berita-
Berita Ilmu-ilmu Sosial dan Kebudayaan. Jakarta : Yayasan Perpustakaan Nasional, 1976, h. 35.
pemimpin lembaga kemasyarakatan. Pelopor perubahan memimpin dan

mengubah sistem sosial dan dalam pelaksanaannya langsung tersangkut

dalam tekanan-tekanan untuk mengadakan perubahan, bahkan mungkin

menyebabkan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan

lainnya. Suatu perubahan sosial yang dikehendaki atau direncanakan, selalu

berada di bawah pengendalian serta pengawasan pelopor perubahan tersebut.6

Dalam pikiran bangsa Indonesia atau menurut hukum adat, hukum

dapat diperbaharui dan hukum dapat melakukan pembaharuan masyarakat.

Dalam tingkatan ini menurutnya bahwa konsepsi hukum sebagai sarana

pembaharuan, bukan terlepas dari budaya Indonesia, melainkan sesuatu yang

sudah dikenal, cuma saja belum dirumuskan secara konsepsional.

B. Fungsi Budaya Terhadap Hukum

Adapun fungsi kebudayaan terhadap hukum yakni:

1. Fungsi Identitas dan Integratif

Ideologi negara kita Pancasila, berikut landasan hukum serta landasan

operasionalnya mengandung nilai-nilai budaya serta konsep-konsep yang

telah diseleksi, sehingga dapat diterima oleh semua golongan dan semua suku

bangsa di negara kita. Dengan demikian, Pancasila sebagai suatu unsur

kebudayaan nasional Indonesia yang dibuat dengan sengaja, dapat berfungsi

6
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Rajawali Pres, 1988, h.
107.
sebagai wahana komunikasi dan sebagai alat untuk mempererat solidaritas

dan persatuan antara berbagai ragam manusia Indonesia.7

Keinsafan akan kepribadian bangsa pada seseorang yang menjadi

anggota bangsa itu hanya dapat tumbuh dan menebal, jika dengan penuh

kesadaran mengetahui kebudayaan bangsa sendiri, dalam amal sehari-hari

mengetahui dan menggunakan segala kemampuan material dari alam

Indonesia, segala daya kerokhanian dan sistem kepercayaan yang terkandung

dalam kebudayaan Indonesia. Kebudayaan nasional dalam fungsinya untuk

melakukan komunikasi antara berbagai ragam manusia Indonesia yang dapat

mempertinggi solidaritas.

Artinya, sebagai orang Indonesia masing-masing perorangan di

daerah-daerah bukan mesti kehilangan akar budaya asli sendiri. Masing-

masing pada hakekatnya hanya memperluas pandangan dan sikap budayanya,

bukan mengubah atau menggantikan budaya asli menjadi budaya nasional.

Kebudayaan nasional bangsa bukan kebudayaan yang dalam sifatnya harus

secara mutlak berbeda dengan kebudayaan masing-masing suku yang menjadi

warga negara Indonesia.

2. Wawasan Budaya dalam Pembentukan Hukum

Hukum dan budaya adalah dua variabel yang berhubungan secara

korelatif. Ini berarti hukum dan budaya dapat saling mempengaruhi. Dari

hubungan ini akan melahirkan dua perspektif kajian yaitu: pada perspektif

pertama dapat ditempatkan hukum mempengaruhi budaya. Dengan kajian ini

7
Alfian, Persepsi Politik Tentang Kebudayaan, dalam Alfian (Ed), Persepsi Masyarakat
Tentang Kebudayaan”. Jakarta: Gramedia Jakarta, 1984, h. 131.
budaya berposisi sebagai variabel terikat (devendent), sedangkan hukum

sebagai variabel bebas (indevendent), di mana hukum dapat memberi arah

dalam pengembangan budaya, sehingga budaya terikat pada pola yang

digariskan oleh hukum.

Terhadap hubungan ini dapat dikemukakan beberapa contoh:

a. Penggantian beberapa produk hukum warisan kolonial karena

dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa dan

perkembangan masyarakat (Misalnya UndangUndang No. 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana, mengganti HIR. Stb. 1941.

No.44);

b. Penyeragaman/penyerasian hukum untuk menghindari pengkotak-

kotakan hukum dan penduduk yang tidak sejalan dengan jiwa

Pancasila dan UUD 1945 (Misalnya Undang-Undang No.1 Tahun

1974 tentang perkawinan untuk menyeragamkan aturan perkawinan);

c. Pengambilan asas-asas atau unsur hukum adat ke dalam bentuk

hukum nasional (Misalnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960);

d. Penetapan dan pengakuan lembaga hukum adat yang dipandang sesuai

dan dianggap bernilai luhur (Misalnya: pengakuan masyarakat hukum

adat dalam UndangUndang No. 32 Tahun 2004, Penetapan Desa

Pakraman dalam Perda No. 03 Tahun 2001, yang kemudian direvisi

dengan Perda No. 03 Tahun 2003)

Dalam perspektif kedua, hukum ditempatkan pada posisi variabel

terikat (devenden), sedangkan budaya sebagai variabel bebas (indevendent).


Dalam kajian ini budaya menentukan arah kebijaksanaan hukum. Dalam hal

ini hukum terikat pada format yang telah digariskan oleh budaya. Dengan

demikian hukum yang lahir merupakan cerminan budayanya.

C. Hubungan Hukum dengan Kebudayaan

Menurut Koentjaraningrat, hubungan hukum dan kebudayaan

tergambarkan dalam sistem tata kelakuan manusia yang berupa norma-norma,

hukum, dan aturan-aturan khusus, semua berpedoman kepada sistem nilai budaya

masyarakat. Suatu sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup

dalam alam pikiran sebagian besar masyarakat mengenai hal-hal yang harus

mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Sistem nilai budaya berfungsi sebagai

pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia, termasuk pula sistem hukum.8

Gambaran ideal atau design hidup atau cetak biru (blue print of behavior)

yang merupakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, biasanya

dilestarikan melalui cara hidup warga masyarakat, dan salah satu cara agar

masyarakat melestarikan kebudayaannya adalah hukum.9

Sebagai contoh untuk menjelaskan hubungan antara hukum dan

kebudayaan, dapat dijelaskan mengenai hukum pidana adat terhadap orang-orang

yang melakukan perzinaan. Dimana tidak ada satu budaya pun yang

membenarkan tentang perzinaan, terlebih dengan orang yang sudah memiliki

ikatan pernikahan. Selain itu, dengan nilai-nilai kesopanan dan kesusilaan dalam

masyarakat adat.

8
Budi Agus Riswandi& M Syamsudin, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum,
Jakarta: Rajawali Pres, 2005, h. 27
9
T.O. Ihromi, Pokok-Pokok Antropologi Budaya, Jakarta: Gramedia, 1986, h. 4
Sebagian dari norma sosial itu kalau dilanggar akan memperoleh

ganjaran atau sanksi yang konkrit, dikenakan oleh petugas hukum atau wakil-

wakil masyarakat yang diberi wewenang untuk itu. Jadi ada nilai-nilai budaya

yang telah tercermin dalam norma sosial juga dimasukkan ke dalam peraturan

hukum dan karena ada perlindungan melalui proses hukum maka upaya mencegah

pelanggarannya lebih maksimal dibandingkan dengan norma sosial yang

merupakan kebiasaan saja. Dengan demikian hukum menggunakan kekuasaannya

untuk memaksa orang-orang agar menghormati nilai-nilai dan normanorma sosial

untuk membantu kelestarian budaya. Dengan kata lain dapat dikemukakan hukum

mendorong agar warga masyarakat tidak menyimpang karena ada ancaman akan

digunakan paksaan.10

Adomson Hoebel (1958: 48) mengemukakan empat (4) fungsi hukum

yang utama dalam kelangsungan budaya:

1. Untuk mengindentifikasi garis-garis kelakuan yang dapat diterima bagi

pengisian budaya dan menghukum perikelakuan yang menyimpang dan

juga mempertahankan integrasi minimal di antara aktifitas individu dan

kelompok dalam masyarakat;

2. Menyediakan wewenang dan untuk menentukan siapa yang boleh

melaksanakan paksaan untuk melindungi norma-norma hukum;

3. Untuk menyelesaikan kasus-kasus persengketaan yang muncul;

10
Anak Agung Gede Oka Parwata, dkk, Memahami Hukum dan Kebudayaan, Bali:
Pustaka Ekspresi, 2016, h. 48.
4. Untuk merumuskan kembali hubungan-hubungan bila kondisi-kondisi

kehidupan berubah, dan juga untuk membantu menjaga penyesuaian

budaya.

D. Peranan Budaya Hukum dalam Perspektif Pembangunan Hukum

Nasional

Memperhatikan interdependensi antara sistem hukum dengan budaya

masyarakat, menunjukkan bahwa dalam pembinaan hukum nasional

pembangunan budaya hukum merupakan salah satu komponen yang sangat

prinsipil karena akan mempengaruhi pembangunan materi hukum maupun

aparatur hukum.

Dalam hubungan ini, pada dasarnya hukum yang hidup di masyarakat

sesungguhnya merupakan perwujudan dari nilai-nilai sosial budaya baik yang

formal maupun non formal yang eksistensinya diyakini oleh masyarakat tentang

apa yang seharusnya (das sollen). Sejarah peradaban manusia telah banyak

membuktikan bahwa dalam perjalanan hidup bangsa-bangsa di dunia, setiap

masyarakat mengalami transformasi dari waktu ke waktu. Hal ini diakibatkan oleh

adanya interaksi sosial yang terus menenrus.

Corak dan bentuk interaksi sosial, politik, ekonomi dalam perjalanan

dimensi waktu telah memperkaya dengan berbagai pengalaman sejarah yang

kemudian membentuk cara berfikir dan pandangan hidup, yang pada gilirannya

membentuk struktur dan kultur dari masyarakat itu sendiri. Hukum itu sendiri

merupakan bentuk formal dari struktur dan kultur masyarakat. Oleh karenanya

hukum positif Indonesia adalah wujud formal dari struktur dan kultur sistem
masyarakat kita yang masih diwarnai oleh berbagai corak yang menjadi struktur

dan kultur masyarakat kita sebelumnya. Dengan kata lain pada hukum positif kita

masih terlihat corak sistem hukum yang berdimensi masa lalu, masa kini, dan arah

di masa datang. Dalam hal inilah pembangunan hukum berupaya melakukan

orientasi terhadap fenomena ini menuju terwujudnya hukum nasional yang dicita-

citakan (ius constituendum).

Realitas ini berarti, betapapun kesadaran hukum itu berakar di dalam

masyarakat, ia merupakan abstraksi yang lebih rasional daripada perasaan hukum

yang hidup di dalam masyarakat. Oleh karena itu, hal ini tidak dapat dilihat secara

langsung di dalam kehidupan masyarakat, melainkan keberadaanya hanya dapat

disimpulkan dari pengalaman hidup sosial melalui suatu cara pemikiran dan cara

penafsiran tertentu.11

Berdasarkan pemahaman terhadap sistem hukum nasional yang

menyangkut adanya 4 (empat) komponen atau sub sistem:

1. budaya hukum,

2. materi hukum,

3. lembaga, organisasi, aparatur dan mekanisme hukum,

4. prasarana dan sarana hukum, maka salah satu yang sangat urgen dalam

membangun kultur dalam rangka menyikapi perubahan hukum adalah

pembangunan materi hukum.

Budaya memiliki peran yang amat menonjol, dimana terhadap

penyusunan atau pengembangan hukum, tentu saja tidak akan terlepas dari

11
Marzuki Lubis, “Peranan Budaya Hukum Dalam Perspektif Pembangunan Hukum
Nasional”, Jurnal Penegakan Hukum, Volume 1, Nomor 1, Juni 2014, h. 29.
bagaimana realitas yang terjadi di masyarakat. Budaya bukanlah sesuatu yang

kuno dan terlalu kolot jika dilihat dari perspektif hukum nasional. Justru budaya

pun mengalami modernisasi yang senantiasa mewarnai corak hukum ke

depannya. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa kultur atau budaya

berpengaruh besar terhadap materi atau muatan yang akan dituangkan dalam

suatu aturan hukum.

Dalam perspektif pembangunan hukum nasional, teori hukum yang

dikembangkan adalah merupakan perpaduan dari berbagai teori hukum, baik yang

berasal dari Teori Hukum Sociological Jurisprudence dari Roscou Pound, teori

kebudayaan dari Northrop maupun teori policy oriented dari Laswell dan Mc

Dougal yang kemudian dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja menjadi

teori hukum pembangunan, yang akan diwujudkan ke dalam bentuk hukum

tertulis (perundang-undangan) maupun hukum tidak tertulis.

Akhirnya, diharapkan Pemerintah dan DPR memperhatikan peranan

pembangunan budaya masyarakat dalam pembangunan hukum nasional sebagai

conditio sine quanon, yang dilakukan melalui pembinaan struktur dan budaya

masyarakat yang diwujudkan melalui penanaman kesadaran hukum, serta

pembangunan materi hukum dalam rangka mewujudkan hukum sebagai alat

merekayasa masyarakat (law is a tool of social engineering) yang dikembangkan

oleh Mochtar Kusumaatmadjaja di Indonesia dengan Teori Hukum Pembangunan,

yang pada gilirannya melahirkan berbagai produk hukum dengan memperhatikan

nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat (living law, volk geist),
sehingga hukum yang dilahirkan akan dapat berjalan secara efektif sesuai dengan

yang dicita-citakan.

Penguatan terhadap budaya sebagai ciri bangsa tentu akan sangat

membantu dalam
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Hukum

B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Alfian, Persepsi Politik Tentang Kebudayaan, dalam Alfian (Ed). Persepsi


Masyarakat Tentang Kebudayaan”. Jakarta: Gramedia Jakarta. 1984.
Amrullah, Andi., Peranan Ilmu Hukum Dalam Prembangunan. Buletin Yaperna,
Berita-Berita Ilmu-ilmu Sosial dan Kebudayaan. Jakarta : Yayasan
Perpustakaan Nasional. 1976.
Anak Agung Gede Oka Parwata, dkk. Memahami Hukum dan Kebudayaan. Bali:
Pustaka Ekspresi. 2016.
Budi Agus Riswandi& M Syamsudin. Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya
Hukum, Jakarta: Rajawali Pres. 2005.
Soerjono Soekanto, Soleman b. Taneko, 1981. Hukum Adat Indonesia. Jakarta:
Rajawali. 1981.
Soerjono Soekanto. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Rajawali Pres. 1988.
T.O. Ihromi. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia. 1986.
Jurnal

Marzuki Lubis, “Peranan Budaya Hukum Dalam Perspektif Pembangunan


Hukum Nasional”, Jurnal Penegakan Hukum, Volume 1, Nomor 1, Juni
2014.
Ida Bagus Alit Yoga Maheswara, Made Gede Arthadana, Komang Indra
Apsaridewi, “Aspek Legalitas Hukum Pidana Dengan Hukum Adat”,
Jurnal Hukum dan Kebudayaan, Volume 1, Nomor, 2 November 2020.

Anda mungkin juga menyukai