Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada hakikatnya masyarakat dapat dipandang dari dua sudut, yaitu sudut struktural dan
sudut dinamikanya. Segi struktural masyarakat yaitu keseluruhan jalinan antara unsur-unsur
sosial politik yakni kaidah-kaidah sosial, Iembaga-Iembaga sosial, kelompok-kelompok
serta lapisan-lapisan sosial. Sedangkan dinamika masyarakat adalah proses sosial dan
perubahan-perubahan sosial. Dengan proses sosial diartikan sebagai pengaruh timbal balik
antara berbagai segi kehidupan bersama atau interaksi sosial. lnteraksi sosial adalah
hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia maupun antara
orang perorangan dengan kelompok manusia.
Dalam kehidupan bermasyakat pasti terdapat dinamika-dinamika perubahan. Saat ini
perubaha-perubahan tersebut berjalan begitu cepatnya, sehingga kadang-kadang agak
membingungkan. Perubahan tersebut terikat oleh tempat dan waktu, akan tetapi karena
sifatnya yang berantai, maka keadaan tersebut berlangsung terns menerus walaupun kadang-
kadang diselingi oleh keadaan dimana masyarakat yang bersangkutan mengadakan
reorganisasi unsur-unsur struktural dari masyarakat yang terkena proses perubahan tadi.
Pada dasamya kehidupan didunia ini tidak terlepas dari perubahan terhadap suatu
lingkungan, baik lingkungan fisik, lingkungan biologis, maupun lingkungan sosial manusia.
Selo Soemardjan seperti yang dikutip oleh Soerjono Soekanto bahwa perubahan-perubahan
sosial adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga-lembaga kemasyarakatan didalam
suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai,
sikap-sikap dan pola perikelakukan diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Roscoe Pound yang merupakan pionir dari aliran sociological jurisprudences berpendapat
bahwa hukum harus dilihat sebagai suatu hubungan kemasyarakatan yang berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial. Selanjutnya Roscoe Pound berpendapat bahwa
hukum itu merupakan a tool of social engineering yang terjemahannya hukum sebagai
pranata sosial atau hukum sebagai alat untuk membangun masyarakat.
Lebih lanjut menurut Roscoe Pound, pada saat terjadinya imbangan antara kepentingan
dalam masyarakat maka yang akan muncul adalah keinginan hukum. Roscoe Pound

1
menjadikan tiga penggolongan utama terhadap kepentingan-kepentingan yang dilindungi
oleh hukum. Pertama, public interests, yang meliputi kepentingan negara sebagai badan
hukum dalam tugasnya untuk memelihara hakikat negara dan kepentingan negara sebagai
penjaga dari kepentingan sosial. Kedua, kepenting orang-perorangan yang dibedakan oleh
Roscoe Pound menjadi tiga kepentingan lagi.
Kita sekarang berada di tengah-tengah masyarakat dan kehidupan sosial yang kompleks,
yang tidak sederhana lagi. Oleh karena itu, lebih efisien apabila kita menempatkan
pembicaraan kita di dalam konteks masyarakat dan lingkungan yang demikian itu. Untuk
lebih tegasnya, pembicaraan kita mengenai masalah penegakan hukum akan ditempatkan
dalam konteks masyarakat yang sudah menjadi semakin kompleks tersebut. Dimana
nantinya akan dijelaskan mengenai hukum sebagai suatu Pranata Sosial dalam kehidupan
masyarakat Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Hukum sebagai Pranata Sosial, meliputi:

1. Pengertian hukum sebagai suatu institusi;

2. Pengertian hukum sebagai sistem sosial dan pengendalian sosial;

3. Pengertian struktur hukum, substansi hukum dan kultur hukum;

4. Hukum dan kekuasaan;

5. Hukum dan keadilan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

Pranata sosial terbentuk melalui norma-norma atau kaidah-kaidah yang biasanya


terhimpun atau berkisar (bersentripetal atau pengaruh ke titik pusat) di sekitar fungsi-fugsi atau
tugas-tugas masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok karena tujuannya adalah
mengatur cara berpikir dan cara bertindak untuk memenuhi kebutuhan pokok. Ada himpunan
kaidah yang berfungsi pemenuhan pokok yang lain. Dengan kata lain bahwa pranata sosial
merupakan himpunan kaidah-kaidah atau norma-norma. Supaya hubungan yang ada di dalam
masyarakat mempunyai kekuatan mengikat berbeda-beda, diperlukan sebuah pranata sosial
budaya, yang dimana mempuyai fungsi-fungsi dan aturan untuk memenuhi kebutuhan dalam
hidup bermasyarakat.

Suatu sistem tata tingkah laku dalam hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas
dalam bentuk memenuhi berbagai kebutuhan khusus dalam masyarakat. Pranata sosial berasal
dari bahasa asing social institutions, itu sebabnya ada beberapa ahli sosiologi yang
mengartikannya sebagai lembaga kemasyarakatan, di antaranya adalah Soerjono Soekanto. 1
Lembaga kemasyarakatan diartikan sebagai himpunan norma dari berbagai tindakan yang
berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kebutuhan masyarakat. Dengan kata lain, pranata
sosial merupakan kumpulan norma (sistem norma) dalam hubungannya dengan pemenuhan
kebutuhan pokok masyarakat.

Tugas hukum tidak lain dari pada mencapai keserasian antara kepastian hukum dengan
kesebandingan hukum secara bersamaan. Apabila kaedah atau norma telah dipahami dan ditaati
oleh masyarakat maka dapat dikatakan bahwa kaedah-kaedah tersebut telah melembaga.
Himpunan kaedah yang oleh masyarakat dianggap mengatur kebutuhan-kebutuhan pokok
lazimnya disebut lembaga sosial atau pranata sosial. Hukum sebagai Pranata Sosial meliputi :

A. Hukum Sebagai Suatu Institusi


Suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat di
pandang penting atau secara formal, sekumpulan kebiasaan dan tata kelakuan yang
berkisar pada suatu kegiatan pokok manusia. Di dalam masyarakat dijumpai berbagai
1
Soerjono Soekanto. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Geafindo hal 34

3
institusi yang masing-masing diperlukan oleh masyarakat itu untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya dan memperlancar jalannya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
tersebut.
Oleh karena fungsinya yang demikian itu maka masyarakat sangat membutuhkan
kehadiran institusi tersebut. Institusi bergerak di sekitar kebutuhan tertentu manusia. Agar
kita berbicara mengenai adanya suatu institusi yang demikian itu, kebutuhan yang
dilayaninya terlebih dulu harus mendapatkan pengakuan oleh masyarakat. Pengakuan di
sini diartikan, bahwa masyarakat disitu memang telah mengakui pentingnya kebutuhan
tersebut bagi kehidupan manusia. Diantara berbagai kebutuhan tersebut adalah,
pengadaan pangn dan lain kebutuhan fisik, agama, pendidikan, keadilan dan kebutuhan
untuk mempertahankan diri. Pengakuan terhadap kebutuhan-kebutuhan tersebut
menyebabkan perlunya masyarakat mengusahakan agar ia dipelihara dan di
selenggarakan secara saksama. Untuk menyelenggarakannya secara saksama barang tentu
pemenuhan akan kebutuhankebutuhan tersebut tidak dapat diserahkan kepada
kemampuan dan kegiatan masingmasing orang secara sendiri. Justru kehadiran
masyarakat adalah untuk mengusahakan agar anggota masyarakat itu dapat dipenuhi
kebutuhannya secara bersama- sama.
B. Hukum Sebagai Kontrol Sosial
Dalam memandang hukum sebagai alat kontrol sosial manusia, maka hukum merupakan
salah satu alat pengendali sosial. Alat lain masih ada sebab masih saja diakui keberadaan
pranata sosial lainnya (misalnya keyakinan, kesusilaan). Kontrol sosial merupakan aspek
normatif kehidupan sosial. Hal itu bahkan dapat dinyatakan sebagai pemberi defenisi
tingkahg laku yang menyimpang dan akibat-akibat yang ditimbulkannya, seperti berbagai
larangan, tuntutan, dan pemberian ganti rugi.2
Hukum sebagai alat kontrol sosial memberikan arti bahwa ia merupakan sesuatu yang
dapat menetapkan tingkah laku manusia. Tingkah laku ini dapat didefenisikan sebagai
sesuatu yang menyimpang terhadap aturan hukum. Sebagai akibatnya, hukum dapat
memberikan sanksi atau tindakan terhadap si pelanggar. Karena itu, hukum pun
menetapkan sanksi yang harus diterima oleh pelakunya. Hal ini berarti bahwa hukum

2
Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Perubahan Sosial (Yogyakarta : Genta Publishing, 2009), h. 35.

4
mengarahkan agar masyarakat berbuat secara benar menurut aturan sehingga ketentraman
terwujud.
Sanksi hukum terhadap perilaku yang menyimpang, ternyata terdapat perbedaan di
kalangan suatu masyarakat. Tampaknya hal ini sangat berkait dengan banyak hal, seperti
keyakinan agama, aliran falsafat yang dianut. Dengan kata lain, sanksi ini berkaitan
dengan kontrol sosial.
Fungsi hukum sebagai alat kontrol sosial dapat berjalan dengan baik bila terdapat hal-hal
yang mendukungnya. Pelaksanaan fungsi ini sangat berkaitan dengan materi hukum yang
baik dan jelas. Selain itu, pihak pelaksana sangat menentukan. Orang yang akan
melaksanakan hukum ini tidak kalah peranannya. Suatu aturan atau hukum yang sudah
memenuhi harapan suatu masyarakat serta mendapat dukungan, belum tentu dapat
berjalan dengan baik bila tidak didukung oleh aparat pelaksana yang kimit terhadap
pelaksanaan hukum. Hal yang terakhir inilah yang sering dikeluhkan oleh masyarakat
Indonesia. Aparat sepertinya dapat dipengaruhi oleh unsur-unsur lain yang sepatutnya
tidak menjadi faktor penentu, seperti kekuasaan, materi dan pamrih serta kolusi. Citra
penegak hukum masih rawan.
C. Struktur Hukum, Substansi Hukum Dan Kultur Hukum
Menurut Lawrence M. Friedman, dalam setiap sistem hukum terdiri dari 3 (tiga) sub
sistem, yaitu sub sistem substansi hukum (legal substance), sub sistem struktur hukum
(legal structure), dan subsistem budaya hukum (legal culture).3 Substansi hukum meliputi
materi hukum yang diantaranya dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Struktur hukum menyangkut kelembagaan (institusi) pelaksana hukum, kewenangan
lembaga dan personil (aparat penegak hukum). Sedangkan kultur hukum menyangkut
perilaku (hukum) masyarakat. Ketiga unsur itulah yang mempengaruhi keberhasilan
penegakan hukum di suatu masyarakat (negara), yang antara satu dengan lainnya saling
bersinergi untuk mencapai tujuan penegakan hukum itu sendiri yakni keadilan. Secara
sederhana, teori Friedmann itu memang sulit dibantah kebenarannya. Namun, kurang
disadari bahwa teori Friedman tersebut sebenarnya didasarkan atas perspektifnya yang
bersifat sosiologis (sociological jurisprudence).4 Yang hendak diuraikannya dengan teori
3
Lawrence M. Friedman, Hukum Amerika: Sebuah Pengantar, Terjemahan dari American Law An Introduction,
2nd Edition, Alih Bahasa: Wisnu Basuki, Jakarta: Tatanusa, 2001, hlm. 6-8
4
Aliran Sociological Jurisprudence semula berkembang di Amerika yang dipelopori oleh Roscoe Pound, kemudian
berkembang di Benua Eropa dipelopori oleh Eungen Ehrlich (tahun 1826 sampai tahun 1922). Ia memberikan

5
tiga sub-sistem struktur, substansi, dan kultur hukum itu tidak lain adalah bahwa basis
semua aspek dalam sistem hukum itu adalah budaya hukum.5
a. Struktur hukum (Legal Strukture) adalah:
“The structure of a system is its skeleton or framework;it is the permanent shape, the
institutional body of the system, the though rigid nones that keep the process flowing
within bounds… The structure of a legal system consists of elements of this kind: the
number and size of courts; their jurisdiction (that is, what kind of cases they hear,
and
how and why); and modes of appeal from one court to another. Structure also means
how the legislature is organized, how many members.., what a president can (legally)
do or not do, what procedures the police department follows, and so on. Structure, in
a way, is a kind of cross section of the legal system? A kind of still photograph,
which freezes the action.”6
Berdasarkan pengertian tersebut secara singkat dapat dikatakan bahwa struktur
hukum berkaitan dengan kelembagaan atau penegak hukum termasuk kinerjanya
(pelaksanaan hukum). Pola yang memperlihatkan tentang bagaimana hukum itu
dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya. Struktur ini memperlihatkan
bagaimana pengadilan. Pembuatan hukum dan dan lain-lain badan serta proses
hukum itu berjalan dan dijalankan. Selanjutnya Friedman menegaskan bahwa hukum
memiliki elemen pertama dari sistem hukum. Yang merupakan lembaga-lembaga
hukum seperti kepolisian, kejaksaan, kehakiman,kepengacaraan dan lain-lain.
Konsep ini pada hakikatnya ketidakpercayaan terhadap birokrasi yang banyak
menggunakan jalan pintas dalam menggunakan hukum hanya untuk kepentingan
dirinya semata. Oleh sebab itu Romli Atmasasmita menganjurkan perubahan atau
rekayasa tidak hanya terjadi pada ruang-ruang sosial tetapi juga harus terjadi

pendapat bahwa titik pusat dari perkembangan hukum itu tidak terletak pada pembuat undang-undang atau ilmu
hukum, tidak pula berpangkal dari putusan hakim, tetapi berpangkal dari masyarakat itu sendiri. Hukum yang baik
adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Kata sesuai berarti bahwa hukum itu
mencerminkan nilai-nilai atau norma-norma yang hidup di dalam masyarakat.
http://www.informasiahli.com/2016/04/filsafat-hukum-aliransociological-jurisprudence.html diakses 19 Januari
2022 2022 pukul 19.00.
5
http://tugasmakalah96.blogspot.co.id/2017/04/sistem-hukum-menurut-law -rence- m.html diakses 19 Januari 2022
pukul 22.00.
6
Lawrence W. Friedman, American Law: An Introduction. New York: W.W. Norton and Co, 1984, hlm. 5

6
perubahan terhadap lembaga birokrasi. Rekayasa birokrasi dan rekayasa masyarakat
yang dilandaskan pada sistem norma, sistem perilaku dan sistem nilai yang
bersumber pada Pancasila sebagai ideologi bangsa.7
b. Substansi Hukum (Legal Substansi) adalah:
“The substance is composed of substantive rules and rules about how institutions
should behave. By this is meant the actual rules, norm, and behavioral patterns of
people inside the system …the stress here is on living law, not just rules in law
books.”8
Substansi berarti aturan, norma, dan pola perilaku orang-orang di dalam sistem yang
sebenarnya ... penekanannya adalah hukum hidup (living law), bukan hanya
peraturan dalam perundang-undangan (law in book)." Substansi atau isi hukum
sebagai acuan dalam penegakan hukum mempunyai peran penting sebagai pedoman
atau pegangan bagi penegak hukum dalam melakukan wewenangnya. Hal ini berarti
kelemahan isi hukum akan mengakibatkan penegakan hukum tidak efektif sehingga
tujuan yang hendak dicapai tidak terpenuhi.
Seringkali substansi hukum yang termuat didalam suatu produk perundang-undangan
dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan kelompok tertentu. Sehingga hukum yang
dihasilkan tidak resposif terhadap perkembangan masyarakat. akibat yang lebih luas
adalah hukum dijadikan sebagai alat kekuasaan dan sebagai pengontrol kekuasaan
atau membatasi kesewenangan yang berkuasa.
c. Kultur Hukum adalah:
“The legal culture, system their beliefs, values, ideas and expectation. Legal culture
refers, then, to those ports of general culture customs, opinions ways of doing and
thinking that bend social forces toward from the law and in particular ways. …in
other word, is the climinate of social thought and social force wicch determines how
law is used, avoided, or abused.”9
Kultur hukum menyangkut budaya hukum yang merupakan sikap manusia (termasuk
budaya hukum aparat penegak hukumnya) terhadap hukum dan sistem hukum.
Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang

7
Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif, Yogyakarta; Genta Publishing, 2012, hlm. 97.
8
Lawrence W. Friedman, loc.cit.
9
Lawrence W. Friedman, loc.cit.

7
ditetapkan dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa didukung
budaya hukum oleh orang-orang yang terlibat dalam sistem dan masyarakat maka
penegakan hukum tidak akan berjalan secara efektif.
Budaya hukum, lebih mengarah pada sikap masyarakat, kepercayaan masyarakat,
nilai-nilai yang dianut masyarakat dan ide-ide atau pengharapan mereka terhadap
hukum dan sistem hukum. Dalam hal ini kultur hukum merupakan gambaran dari
sikap dan perilaku terhadap hukum, serta keseluruhan faktor-faktor yang menentukan
bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang sesuai dan dapat diterima oleh
warga masyarakat dalam kerangka budaya masyarakat. Semakin tinggi kesadaran
hukum masyarakat, maka akan tercipta budaya hukum yang baik dan dapat merubah
pola pikir masyarakat selama ini. Secara sederhana tingkat kepatuhan masyarakat
terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum. Dari paparan
Lawrence W. Friedman tersebut, kultur hukum merupakan suatu hal yang vital di
dalam sistem hukum, yaitu suatu “tuntutan”, “permintaan” atau “kebutuhan” yang
datangnya dari masyarakat atau pemakai jasa hukum yang berkaitan dengan ide,
sikap, keyakinan, harapan dan opini mengenai hukum. Oleh karena itu budaya
hukum masyarakat dapat juga diartikan sebagai nilai-nilai dan sikap serta perilaku
anggota masyarakat dalam kehidupan hukum. Budaya hukum masyarakat tercermin
oleh perilaku pejabat (eksekutif, legislatif maupun yudikatif), tetapi juga perilaku
masyarakat. Budaya hukum masyarakat juga dapat diberikan batasan yang sama
dengan kesadaran hukum. Namun kesadaran hukum berbeda dengan perasaan hukum
karena perasaan hukum merupakan produk penilaian masyarakat secara spontan yang
tentu saja bersifat subjektif, sedangkan kesadaran hukum lebih merupakan hasil
pemikiran, penalaran, dan argumentasi yang dibuat oleh para ahli, khususnya ahli
hukum. Kesadaran hukum adalah abstraksi (para ahli) mengenai perasaan hukum
dari para subjek hukum. Dalam konteks pembicaraan tentang sistem hukum, yang
dimaksud dengan budaya hukum masyarakat ini adalah kesadaran hukum dari
subjek-subjek hukum suatu komunitas secara keseluruhan.
Dari sisi individu, kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang
terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang
diharapkan ada. Sebenarnya yang ditekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum

8
dan bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadian-kejadian yang konkrit dalam
masyarakat yang bersangkutan.10 Suatu keadaan yang dicita-citakan adalah adanya
kesesuaian antara hukum dengan sistem nilai-nilai tersebut, konsekuensinya adalah
bahwa perubahan pada sistem nilai-nilai harus diikuti dengan perubahan hukum atau
di lain pihak hukum harus dapat dipergunakan sebagai sarana untuk mengadakan
perubahan pada sistem nilai-nilai tersebut. Dengan demikian bahwa masalah
kesadaran hukum sebetulnya merupakan masalah nilai-nilai sehingga kesadaran
hukum adalah konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia, tentang keserasian
antara ketertiban dengan ketentraman yang dikehendaki atau yang sepantasnya.11
D. Hukum Dan Kekuasaan
Founding fathers republik ini telah mencita-citakan Indonesia sebagai negara yang
berdasarkan hukum (Rechtstaat) bukan kekuasaan (Machtstaat), senada dengan hal
tersebut dalam Undang-Undang Dasar 1945 juga telah ditegaskan bahwa Negara
Indonesia adalah Negara Hukum.12 Sebagai konsekuensi dari negara hukum tersebut,
maka negara Indonesia harus menjunjung tinggi supremasi hukum dengan berasaskan
pada prinsip dasar dari negara hukum yaitu equality before the law yang artinya adalah
setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum. Sebagai suatu negara
hukum, maka sudah selayaknya juga segala sesuatu yang dijalankan dalam kehidupan
bernegara dan bermasyarakat juga harus berada dalam koridor hukum, artinya dalam
masyarakat mutlak diperlukan hukum untuk mengatur hubungan antara warga
masyarakat dan hubungan antara masyarakat dengan negara.
Bahwa Hukum membutuhkan kekuasaan, tanpa kekuasaan akan tinggal sebagai
keinginan atau ide-ide belaka tetapi ia juga tidak bisa membiarkan kekuasaan itu untuk
menunggangi hukum. Bahwa hukum tanpa kekuasaan akan tinggal sebagai
keinginankeinginan atau ide-ide belaka. Situasi konflik antara keduanya terjadi oleh
karena kekuasaan seringkali tidak bisa menerima pembatasan-pembatasan. Sebaliknya,
hukum itu bekerja dengan cara memberikan pembatasan-pembatasan. Dengan

10
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Jakarta: CV Rajawali, 1982: 152
11
Ibid, hlm 159.
12
Vide Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, dimana sebelum dilakukan amandemen terhadap UUD 1945, Konstitusi kita
memiliki penjelasan yang menyebutkan “Negara indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan
kekuasaan belaka (machtstaat), namun setelah amandemen dilakukan Penjelasan tersebut ditiadakan dan bukan lagi
menjadi bagian dari konstitusi.

9
mengutarakan seperti itu kita melihat dengan jelas persoalan yang kita hadapi sekarang,
yaitu hubungan antara hukum dan kekuasaan. Suatu konflik yang utama antara keduanya
terjadi oleh karena kekuasaan dalam bentuknya yang paling murni tidak bisa menerima
pembatasan-pembatasan. Menurut ahli sosiologi, kekuasaan bisanya diartikan sebagai
suatu kemampuan untuk memaksa kehendaknya kepada orang lain.
Dengan demikian, dalam konsep tentang kekuasaan itu, dominasi dari seorang terhadap
atau atas orang lain, termasuk ciri yang utama. Hubungan antara hukum dan kekuasaan
tidak hanya terwujud dalam bentuk seperti dikemukakan diatas yaitu sebagai sarana
untuk mengontrol kekuasaan yang ada pada orang-orang. Hukum tidak hanya membatasi
kekuasaan, ia juga menyalurkan dan memberikan kekuasaan kepada orang-orang.
Dengan demikian, maka hukum itu merupakan sumber kekuasaan, karena melalui dialah
kekuasaan itu dibagi-bagikan dalam masyarakat. Kekuasaan seperti ini tidak hanya
diberikan kepada orang atau individu, melainkan juga kepada badan atau kumpulan
orang-orang, misalnya kekuasaan di bidang kenegaraan. Yang penting bagi kita adalah
untuk melihat perbedaan antara kekuasaan sebagai konsep yang murni dan kekuasaan
yang di atur oleh hukum. Kekuasaan yang diatur oleh hukum, merupakan suatu yang
terkendali, baik isi ruang lingkup prosuder memperolehnya, kesemuanya ditentukan oleh
hukum. Karena hukum itu memberikan pembatasanpembatasan yang demikian itu maka
institusi hukum itu hanya bisa berjalan dan berkembang dengan seksama di dalam suatu
lingkungan sosial dan politik yang bisa dikendalikan secara efektif oleh hukum.
E. Hukum Dan Keadilan
Berkaitan dengan hal tersebut, Satjipto Raharjo13 mengemukakan bahwa dalam setiap
masyarakat harus ada hukum yang mengatur perilaku-perilaku dan tata kehidupan
anggota masyarakat. Untuk adanya tata hukum dalam masyarakat diperlukan komponen
kegiatan yaitu pembuatan norma-norma hukum, pelaksana norma-norma hukum tersebut
dan penyelesaian sengketa yang timbul dalam suasana tertib hukum tersebut. Apabila
melihat bahwa di kehidupan masyarakat di Indonesia saat ini, maka dapat dilihat bahwa
telah banyak peraturan-peraturan yang dikeluarkan untuk menjaga kelangsungan hidup
bernegara dan bermasyarakat. Dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut
menggambarkan adanya norma-norma hukum yang diciptakan untuk mengatur hak dan

13
Sajipto Rahardjo, 1979, Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung. hlm. 102

10
kewajiban dari negara dan masyarakat. Pelaksanaan dari peraturan-peraturan yang
mengandung norma-norma hukum tersebut pada dasarnya merupakan bagian dari
penegakan hukum karena penegakan hukum adalah suatu upaya untuk menjaga agar
hukum harus ditaati. Pelanggaran atau penyimpangan dari hukum yang berlaku akan
dikenakan sanksi sesuai ketentuan yang diatur dalam hukum. Dalam hal inilah hukum
pidana digunakan. Dengan demikian, penegakan hukum dengan menggunakan perangkat
hukum pidana maupun hukum perdata juga merupakan upaya untuk mencari keadilan.
Merupakan hal yang esensial bagi kehidupan manusia, namun kadang keadilan hanya
menjadi bahan perdebatan tiada akhir, apa itu keadilan, dimana itu keadilan, bagaimana
wujud keadilan, dimana itu keadilan dan kapan seseorang memperoleh keadilan, sehingga
keadilan muncul hanya sebagai wacana perdebatan. Keadilan harus diwujudkan, agar
mampu memaknai supremasi hukum, menghilangkan imparsialitas hukum dan tetap pada
entitas keadilan.
Hubungan hukum dan keadilan walaupun sifat dasarnya abstrak, seolah-olah hanya
menjadi ruang lingkup telaah filsafat. Tetapi kelestarian sebagai relafensi antara hukum
dan keadilan selalu terjaga. Lintasan sejarah dari seluruh aliran pemikiran dalam ilmu
hukum senantiasa memperjuangkan keadilan, entah dari sudut manapun caranya
memandang hukum, baik hukum dipandang sebagai objek, maupun hukum dipandang
sebagai bagian dari subjek yang melekat dalam diri personal. Harus diakui segala
analisis, pembongkaran, dekonstruksi, hingga kritik terhadap hukum dalam tataran
implementatif semuanya terikat dengan kehendak untuk mewujudkan hukum dalam
tujuannya untuk mencapai keadilan. Itu sebabnya pembagian keadilan yang pernah
dikemukakan oleh aristoteles hingga sekarang tetap relevan untuk menyentuh terhadap
segala tindakan untuk mempertahankan hukum dalam sisinya.

BAB III
PENUTUP

11
A. Kesimpulan
1. Bahwa sebuah pranata sosial memberikan makna kepada kita bentuknya yang abstrak
yang tidak dapat dilihat, akan tetapi mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi
tingkah laku kita khususnya tindakan-tindakan yang harus dilakukan berdasarkan
pada aktivitas yang mengikatnya. Di dalam pranata sosial kita dapat menganalisa
adanya hukum sebagai suatu institusi, hukum sebagai sosial cotrol, struktur hukum,
substansi hukum, kultur hukum, hukum dan kekuasaan, hukum dan keadilan ini
terletak pada masing-masing pranata sosial yang berlaku di masyarakat.
2. Pekerjaan rumah yang masih harus dikerjakan oleh Indonesia sebagai suatu negara
hukum adalah bagaimana agar hukum itu membumi, artinya sungguh-sungguh dapat
menyejahterakan masyarakat dan yang pada akhirnya menyadari bahwa kita
bernegara hukum untuk membuat rakyat merasa bahagian hidup dalam negara
hukum Indonesia.
3. Di Indonesia, posisi hukum dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat belum berada pada tempat dan posisi yang semestinya. Hukum masih
berada dalam bayang-bayang politik dan kekuasaan. Sebuah kebijakan publik dari
semua lapisan kehidupan ini sangat dipengaruhi oleh kelompok-kelompok
kepentingan tertentu.
B. Saran
Melalui makalah ini penulis mengharapkan agar pembaca dapat mengerti tentang hukum
sebagai suatu pranata sosial meliputi hukum sebagai suatu institusi, sebagai sistem sosial,
struktur hukum, kultur hukum, hukum dan kekuasaan, hukum dan keadilan, agar
pembaca dapat mengerti dan dapat mengimplementasikan makalah tersebut.

12
DAFTAR PUSTAKA

Soekanto, Soerjono. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Geafindo.


Rahardjo, Satjipto. 2009. Hukum Dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Genta Publishing.
Friedman, Lawrence M.. Hukum Amerika: Sebuah Pengantar, Terjemahan dari American Law An Introduction, 2nd
Edition, Alih Bahasa: Wisnu Basuki, Jakarta: Tatanusa.
Atmasasmita, Romli. 2012. Teori Hukum Integratif. Yogyakarta: Genta Publishing.
Soekanto, Soerjono. 1982. Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum. Jakarta: CV Rajawali.

Website :
http://www.informasiahli.com/2016/04/filsafat-hukum-aliransociological-jurisprudence.html
http://tugasmakalah96.blogspot.co.id/2017/04/sistem-hukum-menurut-law-rence-m.html

13

Anda mungkin juga menyukai