Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH HUBUNGAN TIMBAL BALIK PEMERINTAH DAN

RAKYAT

(DIBUAT UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH FIQH SIYASAH II)

DOSEN PENGAMPU:

AGUSTINA NURHAYATI, S.Ag., M.Ag.

DISUSUN OLEH: KELOMPOK 3 (KELAS E)

1. ATALA RANIA INSYRIA (1821020107)

2. NUR ROHMAH (1821020291)

3. RAMA ANDIKA PRATAMA (1821020371)

4. PIRDANI (1621020291)

FAKULTAS SYARIAH PRODI HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH

SYAR’IYYAH)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

TAHUN 2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala atas segala karunia dan

nikmatNya, sehingga makalah yang berjudul “HUBUNGAN TIMBAL BALIK

PEMERINTAH DAN RAKYAT” ini dapat terselesaikan dengan maksimal, tanpa

ada halangan yang berarti. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata

kuliah Fiqh Siyasah II yang diampu oleh Ibu Agustina Nurhayati,S.Ag, M.Ag.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kesalahan dalam penyusunan makalah

ini, baik dari segi EYD, kosa kata, tata bahasa, etika, maupun isi. Oleh karenanya

penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari

pembaca sekalian untuk kami jadikan sebagai bahan evaluasi.

Demikian apa yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat diterima

dan bermanfaat bagi para pembaca.

Bandar Lampung, 6 September 2019

Penulis

Kelompok 3

ii
DAFTAR ISI

COVER..................................................................................................................i

KATA PENGANTAR...........................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH..........................................................1

B. RUMUSAN MASALAH..........................................................................4

C. TUJUAN PENULISAN............................................................................4

BAB II PEMBAHASAN

A. HUBUNGAN TIMBAL BALIK PEMERINTAH DAN RAKYAT.........5

B. OPOSISI DAN PERLAWANAN BERSENJATA TERHADAP

PENGUASA..............................................................................................12

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN.........................................................................................15

B. SARAN......................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................19

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Dalam Islam, rakyat selaku anggota masyarakat dan pemerintah

selaku penguasa yang mengurusi berbagai problem rakyatnya adalah kesatuan

yang tak bisa dipisahkan. Berbagai program yang dicanangkan oleh

pemerintah tak akan berjalan dengan baik tanpa dukungan dan sambutan

ketaatan dari rakyat. Berbagai problem yang dihadapi oleh rakyat juga tak

akan usai tanpa kepedulian dari pemerintah. Gayung bersambut antara

pemerintah dan rakyatnya menjadi satu ketetapan yang harus dipertahankan.

Maka dari itu, hubungan yang baik antara rakyat dan pemerintahnya, dengan

saling bekerja sama di atas Islam dan saling menunaikan hak serta kewajiban

masing-masing, akan menciptakan kehidupan yang tentram, aman, dan

sentosa. Betapa indahnya bimbingan Islam dalam masalah ini. Sebuah aturan

hidup dan jalan yang terang bagi manusia. Gesekan antara rakyat dan

pemerintah merupakan fenomena yang sering terjadi. Penyebabnya terkadang

dari pihak rakyat dan terkadang dari pihak pemerintah. Demikianlah manusia,

tak ada yang sempurna. Kelalaian sering kali menghinggapinya walaupun

telah berilmu tinggi dan berkedudukan mulia. Menurut Islam, hubungan yang

baik antara rakyat dan pemerintah merupakan satu kemuliaan. Karena itu,

gesekan yang terjadi di antara mereka pun termasuk sesuatu yang tercela dan

harus segera diselesaikan.

1
Tak mengherankan apabila banyak ayat al-Qur’an dan hadits Nabi

Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menjelaskan seputar masalah ini. Para

ulama yang mulia pun tiada henti mengingatkannya. Petuah dan bimbingan

mereka terukir dalam kitab-kitab yang terkenal. Allah Subhanahu wata’ala

berfirman,

‫اس أَن‬ ِ ‫ت إِ َل ٰى أَهْ لِ َها َوإِ َذا َح َك ْم ُتم َبي َْن ال َّن‬ ِ ‫إِنَّ هَّللا َ َيأْ ُم ُر ُك ْم أَن ُت َؤ ُّدوا اأْل َ َما َنا‬
‫ان َسمِيعًا بَصِ يرً ا () َيا‬ ُ ‫َتحْ ُكمُوا ِب ْال َع ْد ِل ۚ إِنَّ هَّللا َ ِن ِعمَّا َيع‬
َ ‫ِظ ُكم ِب ِه ۗ إِنَّ هَّللا َ َك‬
َ ُ َ َ َ ‫أَ ُّي َها الَّذ‬
‫مْر مِن ُك ْم ۖ َفإِن‬ ِ ‫ِين آ َم ُنوا أطِ يعُوا هَّللا َ َوأطِ يعُوا الرَّ سُو َل َوأولِي اأْل‬
‫ون ِباهَّلل ِ َو ْال َي ْو ِم‬
َ ‫ُول إِن ُكن ُت ْم ُت ْؤ ِم ُن‬ِ ‫ازعْ ُت ْم فِي َشيْ ٍء َف ُر ُّدوهُ إِ َلى هَّللا ِ َوالرَّ س‬ َ ‫َت َن‬
ٰ
‫اآْل خ ِِر ۚ َذل َِك َخ ْي ٌر َوأَحْ َسنُ َتأْ ِوياًل‬

“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat

kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kalian) apabila

menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian menetapkannya dengan

adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada

kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Wahai

orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), serta ulil

amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berbeda pendapat tentang

sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya),

jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Hal itu

lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisa’: 58-59).

Ayat pertama diatas berkaitan dengan pemerintah agar menjalankan

amanat kepemimpinan yang diemban dengan sebaik-baiknya. Adapun ayat

yang kedua berkaitan dengan rakyat agar mereka taat kepada pemerintahnya.

2
Dengan dilaksanakannya hak dan kewajiban oleh setiap pihak, akan terajut

hubungan yang baik di antara mereka.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahumallah berkata, “Menurut

para ulama, ayat pertama (dari dua ayat di atas) turun berkaitan dengan

pemerintah (ulil amri), agar mereka menyampaikan amanat kepada yang

berhak menerimanya, dan apabila menetapkan hukum di antara manusia

supaya menetapkannya dengan adil”.

Adapun ayat yang kedua turun berkaitan dengan rakyat, baik dari

kalangan militer maupun sipil, supaya senantiasa menaati pemerintahnya

dalam hal pembagian (jatah), keputusan/ kebijakan, komando perang, dan

lainnya. Berbeda halnya jika mereka memerintahkan kemaksiatan, rakyat tidak

boleh menaati makhluk (pemerintah tersebut) dalam hal bermaksiat kepada Al-

Khaliq (Allah Subhanahu Wata’ala). Jika terjadi perbedaan pendapat antara

pemerintah dan rakyatnya dalam suatu perkara, hendaknya semua pihak

merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi

Wasallam. Namun, jika pemerintah tidak mau menempuh jalan tersebut, rakyat

masih berkewajiban menaatinya dalam hal yang tergolong ketaatan kepada

Allah Subhanahu Wata’ala dan Rasul-Nya. Sebab, ketaatan kepada pemerintah

dalam hal ketaatan adalah bagian dari ketaatan kepada Allah Subhanahu

Wata’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Demikian pula hak

mereka (pemerintah), tetap harus dipenuhi (oleh rakyatnya).

3
Makalah ini akan membahas lebih lanjut bagaimana hubungan timbal

balik pemerintah dan rakyat serta hak-hak rakyat yang wajib dilindungi dalam

sudut pandang Siyasah Dusturiyah.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana hubungan timbal balik pemerintah dan rakyat?

2. Bagaimana pandangan Islam terhadap oposisi dan perlawanan

bersenjata terhadap penguasa?

C. TUJUAN PENULISAN

1. Mengetahui bagaimana hubungan timbal balik pemerintah dan rakyat.

2. Mengetahui bagaimana pandangan Islam terhadap oposisi dan

perlawanan bersenjata terhadap penguasa.

3. Sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Fiqh Siyasah II.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. HUBUNGAN TIMBAL BALIK PEMERINTAH DAN RAKYAT

Dalam sistem pemerintahan Islam, khalifah, kepala negara atau imam

hanyalah seseorang yang dipilih umat untuk mengurus dan mengatur

kepentingan mereka demi kemaslahatan bersama. Posisinya dalam

masyarakat Islam digambarkan secara simbolis dalam ajaran shalat

berjamaah. Imam yang dipilih untuk memimpin shalat berjamaah adalah

orang yang memiliki kelebihan, baik dari segi kealiman, fashahah, maupun

ketakwaannya dari yang lainnya. Dalam shalat tersebut, imam berdiri

memimpin shalat hanya berjarak beberapa langkah di depan makmum. Ini

dimaksudkan supaya makmum dapat mengetahui gerak-gerik imam.

Seandainya imam keliru dalam shalat, maka makmum dapat melakukan

“koreksi” terhadapnya tanpa mengganggu dan merusak shalat itu sendiri.

Ini mengisyaratkan bahwa kepala negara bukanlah pribadi yang luar

biasa, yang tidak pernah salah. Karenanya kepala negara tidak boleh berada

jauh dari rakyatnya. Ia harus dapat mendengar dan menyahuti aspirasi

rakyatnya dan menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi. Untuk itu,

kepala negara harus bisa menerima saran dan masukan dari rakyatnya. Kepala

negara atau imam, tidak seperti dalam pandangan Syaiah Isma’iliyah atau

Imamiyah, bukanlah manusia suci yang terbebas dari dosa. Ia tidak punya

wewenang tunggal dalam menafsirkan dan menjelaskan ketentuan-ketentuan

agama.

5
Contoh terbaik tentang kepala negara setelah Rasulullah Muhammad

wafat diperlihatkan oleh Khalifah Abu Bakar dan ‘Umar ibn al-Khathab.

Kedua khalifah ini mampu menjadikan diri mereka sebagai Khadim al-

Ummah (pelayan umat) yang mengatur dan mengurus kepentingan umat

Islam.

Dua contoh di atas menunjukkan bahwa kepala negara tidak kebal

hukum dan harus bersedia berdialog dengan rakyatnya. Islam memperlakukan

kepala negara tidak berbeda dengan manusia lainnya. Ia memperoleh

kehormatan dan kemuliaan yang lebih besar dalam masyarakatnya hanya

karena kedudukannya sebagai pemimpin yang memerintah atas nama umat.

Namun hal ini sesuai dengan besarnya tugas dan tanggung jawabnya. 1 Karena

kedudukannya yang sama dengan manusia lainnya, kepala negara juga harus

tunduk kepada hukum dan peraturan yang berlaku. Kepala negara juga dapat

dikenai hukum pidana atas kejahatan yang dilakukannya dan perbuatan-

perbuatannya yang melampaui batas kewenangannya.2

Kepala negara, dalam kapasitasnya sebagai kepala pemerintahan

negara Islam, mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang dengan

kedudukannya. Telah banyak pembahasan yang dilakukan oleh para ulama

fiqh siyasah, mengenai hak dan kewajiban kepala negara. Diantaranya yang

terkenal adalah al-Mawardi. Dalam karyanya al-Ahkam al-Sulthaniyah, al-

1
Muhammad Yusuf Musa, Nizham al-Hukm fi al-Islam, (Kairo: Dar al-Katib al-‘Arabi,
t.tp.), h.134
2
‘Abdul Qadir ‘Audah, Al-Islam wa ‘Audha’una al-Siyasah, (Kairo: Mukhtar al-Islam, 1978),
h. 215

6
Mawardi memaparkan sepuluh kewajiban yang dijalankan oleh kepala

negara, yaitu:

1. Memilhara agama sesuai dengan ajaran-ajaran dasar yang pasti dan

kesepakatan ulama salaf.

2. Menjalankan hukum-hukum diantara orang yang berselisih dan

menghentikan permusuhan yang terjadi di kalangan masyarakatnya,

sehingga timbullah keadilan secara merata dan tidak ada penindasan satu

orang atau kelompok atas orang atau kelompok lainnya.

3. Menjaga keamanan dalam negeri, sehingga orang merasa aman pula untuk

bekerja dan berusaha sesuai dengan profesi dan keahlian masing-masing.

4. Menegakkan hudud (hukum pidana), sehingga hukum Allah bias berjalan

dan hak-hak instan terpelihara.

5. Memperkuat pertahanan keamanan negara dari kemungkinan serangan-

serangan pihak luar.

6. Berjihad melawan musuh-musuh Islam yang membangkang dari dakwah

Islam.

7. Mengelola keungan negara seperti ghanimah, al-fai’, pajak, dan sedekah

lainnya.

8. Menentukan belanja negara (APBN).

9. Mengangkat pejabat-pejabat negara berdasarkan kejujuran, keadilan, dan

keterpercayaan mereka memegang jabatan tersebut.

7
10. Secara langsung mengelola urusan kenegaraan secara umum. Dengan

demikian, umat hidup dalam kemakmuran dan agama dapat berjalan

dengan baik.3

Muhammad Rasyid Ridha menyimpulkan tugas-tugas kepala negara

hanya dalam empat bidang saja, yaitu:

1. Mengembangkan dakwah Islam dan menegakkan kebenaran.

2. Menegakkan keadilan.

3. Melindungi agama dari para pengacau dan menolak bid’ah.

4. Bermusyawarah dalam menetapkan hukum-hukum yang tidak diatur

secara tegas oleh nashsh.4

Sementara Muhammad Yusuf Musa merangkum tugas dan kewajiban

kepala negara secara garis besar hanya dua saja, yaitu (1) menjelaskan dan

memelihara agama, dan (2) meluruskan prang-orang yang menyimpang dari

agama.5 Hampir sejalan dengan pendapat ini, Al-Hasymi juga menyebutkan

dua kewajiban pokok kepala negara, yaitu menegakkan Islam dan

menyelenggarakan urusan-urusan kenegaraan secara umum dalam batas-

batas ajaran Islam. Tugas dan kewajiban ini meliputi keharusan

melaksanakan prinsip-prinsip musyawarah dalam melaksanakan

pemerintahan.6

3
Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah, h. 15-16.
4
Muhammad Rasyid Ridha, Al-Khilafah aw al-Imamah al-Uzhma (Kairo: Mathba’ah al-
Manar, 1341), h. 27-29.
5
Yusuf Musa, Nizham al-Hukm fi al-Islam, h. 140.
6
A. Hasymi, Di Mana Letaknnya Negara Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1984), h.204.

8
Orientalis Bernard Lewis menyebutkan tugas dan kewajiban kepala

negara meliputi hal-hal yang berkaitan dengan kemaslahatan rakyatnya,

yaitu membela kepentingan rakyat, me;indungi mereka dari serangan-

serangan musuh yang memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi

rakyatnya untuk memliki kehidupan yang baik di dunia dalam rangka

mencapai kebahagiaan di akhirat.7

Kewajiban kepala negara di atas dapat pula dikembangkan pada

pemeliharaan dan penghormatan hak-hak asasi rakyatnya. Dalam hal ini,

rakyat berhak memperoleh perlindungan untuk mengekspresikan sikap dan

pendapatnya secara bebas. Menurut ‘Audah, hak-hak asasi manusia yang

wajib dipelihara kepala negara yang ditetapkan oleh Islam jauh sebelum

Barat mendengungkannya adalah hak persamaan dan kemerdekaan. Dalam

hak kemerekaan, Al-Quran menegaskan bahwa Allah menciptakan manusia

dengan perbedaan ras, bangsa, warna kulit, dan bahasa adalah untuk saling

mengenal dan bekerja sama. Perbedaaan di sisi Tuhan hanya karena

takwanya. Di samping itu, Nabi juga menegaskan bahwa tidak ada

perbedaan antara bangsa Arab dan non-Arab, anatara kulit putih dan

berwarna. Mereka semua sama laksana sisir.

Sementara dalam hak kebebasan dan kemerdekaan, Islam

mengajarkan kebebasan berpikir, berpendapat, menuntu ilmu, beragama,

dan kebebasan memiliki harta.8 Dalam kebebasan berpikir, Al-Quran

7
Bernard Lewis, The Political Language of Islam, (Chicago: University of Chicago Press,
1988), h. 70.
8
Audah, Al-Islam wa Audha’una al-Siyasah, h. 230.

9
mengecam orang yang tidak mau menggunakan akal dan pikiran mereka

secara kreatif dan hanya mengikuti pendapat orang lain saja (QS. Al-

Baqarah, 2:170, Luqman, 3:21). Islam memerintahkan manusia untuk

menuntut ilmu dan mengamati fenomena alam, sehingga dapat mengasah

akal dan pikiran mereka. Dengan demikian, manusia pun berhak

menyatakan pendirian dan pendapatnya sendiri tanpa harus takut pada orang

lain.

Hak lain yang harus diperhatikan kepala negara adalah kebebasan

memeluk dan menjalankan agama wargamya. Islam melarang umatnya

memaksakan agama kepada orang lain (QS. Al-Baqarah, 2:256),

sebagaimana dijelaskan di atas. Sejarah Islam pun membuktikan bahwa

ketika umat Islam berkuasa, umat non-Islam mendapat perlindungan dan

perlakuan baik. Mereka tidak pernah diganggu dan diusik kepercayaannya.

Begitu juga hak memperoleh dan memiliki harta. Islam mengajarkan

bahwa manusia berhak memiliki harta dan memanfaatkannya. Islam

menolak pandangan materialisme-kapitalisme yang memberikan

kesempatan seluas-luasya kepada manusia untuk mencari harta dengan

segala cara. Dalam Islam, di samping milik pribadi, harta juga mempunyai

fungsi sosial. Karena itu, Islam memerintahkan manusia mencari harta

dengan cara yang halal dan baik serta mewajibkan pula mengerluakan zakat,

sedekah, dan infak untuk kepentingan sosial.

10
Sebaliknya, bila kepala negara telah melaksanakan kewahibannya

dengan baik, maka kepala negara juga memperoleh hak-hak yang harus

dipenuhi oleh rakyatnya. Menurut al-Mawardi, hak kepala negara atas

rakyatnya ada dua jenis, yaitu: hak untuk ditaati dan hak untuk memperoleh

dukungan secara moral selama kepala negara menjalankan pemerintahan

dengan baik9. Dalam hal yang pertama, kepatuhan dan ketaatan bukanlah

haln yang mutlak. Kepala negara hanya dipatuhi dan ditaati selama ia dapat

menjalankan pemerintahan dengan baik dan benar sesuai dengan ajaran

Islam dan tidak memerintahkan hal-hal yang bertentangan dengan Islam.

Kalau syarat demikian tidak terpenuhi, maka rakyat tidak wajib

mematuhinya. Itulah sebabnya dalam hal yang kedua, rakyat berkewajiban

membantu dan mendukung kepala negara dalam arti bahwa rakyat wajib

memberi nasihat dan peringatan kepada kepala negara agar ia menjalankan

tugasnya dengan baik.

Al-Mawardi memberikan indikasi tidak bolehnya rakyat taat kepada

kepala negara, yaitu jika ia tidak berlaku adil dalam pemerintahannya dan

hilangnya kemampuan fisiknya. Sikap tidak adil kepala negara dapat dilihat

melalui kecenderungan memperturutkan nafsu seperti melakukan perbuatan

yang dilarang oleh agama dan mungkar serta melakukan hal-hal syubhat.

Adapun hilangnya kemampuan fisik kepala negara antara lain

disebabkan oleh hilangnya fungsi pancaindra, cacatnya anggota badan dan

hilangnya kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum (tidak cakap

9
Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah, h. 17.

11
hukum).10 ‘Abdul Qadir ‘Audah membagi hak kepala negara kepada dua

hal, yaitu yang berkaitan dengan manusia dan yang berkaitan dengan harta

manusia. Dalam hal hak yang berkaitan dengan manusia, ‘Audah

sependapat dengan para ulama fiqh siyasah lainnya bahwa ketaatan kepada

kepala negara hanya sebatas hal-hal yang tidak bertentangan dengan ajaran

Allah. Sementara dalam hal hak yang kedua, kepala negara berhak

mendapat gaji atau tunjangan yang layak untul kehidupan peribadi dan

keluarganya. Ini adalah konsekuensi atas perhatian dan waktu yang

dicurhakannya untuk kepentingan rakyat.11

Dalam hal harta rakyatnya ini, kepala negara harus bertindak seperti

seorang wali yang mengurus harta anak yatim. Ia hanya boleh mendapatkan

harta (gaji) dari negara sekadar untuk kebutuhan hidupnya dan kebutuhan

lain yang menunjang tugas-tugas kenegaraan. Oleh karenanya, kepala

negara boleh medapatkan fasilitas-fasilitas dinas secara wajar dalam rangka

melancarkan tuugs-tugas kenegaraan yang dipikulnya.

B. OPOSISI DAN PERLAWANAN BERSENJATA TERHADAP

PENGUASA

Salah satu permasalahan kenegaraan yang sering muncul adalah

pertentangan suatu pribadi atau kelompok terhadap kekuasaan. Hal ini sangat

mungkin terjadi karena pemegang kekuasaan tidak mampu menyahuti dan

memuaskan aspirasi semua warga negranya atau tidak mampu menjalankan

10
Ibid
11
Lihat Audah, Al-Islam wa Audha’una al-Siyasah, h. 219-227.

12
pemerintahan dengan baik dan adil. Para ulama berbeda pendapat tentang

boleh tidaknya warga negara melakukan penentangan atau oposisi dengan

kekuatan senjata terhadap kepala negara. Sebagian ulama membolehkan

umat Islam mengangkat senjata maelawan penguasa yang telah menyimpang

dari kebenaran dan keadilan serta layak untuk dipecat. Namun sebagian lain

melarang melakukan perlaawanan bersenjata.

Menurut Mu’tazilah, Khawarij, dan Zaidiyah, umat Islam wajib

mengangkat senjata untuk menyingkirkan penguasa yang durhaka. Abu Bakar

al-‘Asham al-Mu’tazili, salah seorang pemuka Mu’tazilah, berpendapat

bahwa menyingkirkan kepala negara yang durhaka dengan kekuatan senjata

adalah wajib, apabila telah ditemukan kepala negara lainnya yang lebih adil

sebagai penggantinya. Al-Nabhani juga menegaskan wajibnya umat Islam

melakukan koreksi dan mengangkat senjata kepada penguasa yang tidak adil.

Sifat perintah ini tegas, apabila kepala negara telah merampas hak-hak rakyat,

mengabaikan kewajiban-kewajibannya, melalaikan urusan rakyat,

menyimpang dari hukum Islam atau memerintah selain dengan hukum Islam

yang diturunkan oleh Allah.12

Namun kelompok Sunni berpendapat bahwa mengangkat senjata

terhadap kepala negara yang durhaka tidak dibenarkan. Ibn Taimiyah malah

mengharamkan memberontak terhadap kepala negara dan berpendapat

bahwa enam puluh tahun berada di bawah kepemimpinan kepala negara yang

zalim lebih baik daripada sehari hidup tanpa pemimpin. Ibn Taimiyah juga

berargumentasi pada Hadis Nabi SAW yang menyatakan bahwa orang yang
12
Al-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam, h. 343.

13
keluar dari jamaah dan melakukan pemberontakan, maka kalau ia mati,

matinya dalam keadaan jahilliiyah.13 Pandangan Sunni ini dilandasi oleh

pemikiran bahwa pemberontakan bersenjata terhadap kepala negara akan

membawa keadaan yang lebih kacau lagi. Jadi kalau mudharat yang

ditimbulkan lebih besar daripada membiarkan kepala negara dengan

kezalimannya.

Pendapat-pendapat di atas mengisyaratkan bahwa masalah oposisi dan

perlawanan bersejata terhadap kepala negara memang masih kontroversial.

Dalam sejarah Islam juga sering kita temukan perebutan kekuasaan di antara

umat Islam. Namun sejauh untuk mengontrol kekuasaan negara agar tidak

menyimpang, maka Islam membenarakan adanya kelompok-kelompok

oposisi dalam sebuah negara. dalam konteks modern, oposisi yang

dimaksudkan dan dapat dibenarkan dalam Islam adalah oposisi pihak-pihak

yang berada di luar kekuasaan, yang tugas mereka adalah melakukan koreksi

atas kebijakan-kebijakan politik penguasa yang tidak mencerminkan nilai-

nilai ajaran Islam dan semangat kerakyatan. Dengan kata lain, oposisi

teesebut adalah oposisi yang loyal.

13
Ibn Tamiyah, al-Siyasah al-Syar’iyah, h. 162.

14
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dalam Islam, rakyat selaku anggota masyarakat dan pemerintah

selaku penguasa yang mengurusi berbagai problem rakyatnya adalah kesatuan

yang tak bisa dipisahkan. Berbagai program yang dicanangkan oleh

pemerintah tak akan berjalan dengan baik tanpa dukungan dan sambutan

ketaatan dari rakyat. Berbagai problem yang dihadapi oleh rakyat juga tak

akan usai tanpa kepedulian dari pemerintah. Hal ini menimbulkan suatu

hubungan timbal balik antara pemerintah dan rakyatnya yang menjadi satu

ketetapan yang harus dipertahankan. Maka dari itu, hubungan yang baik

antara rakyat dan pemerintahnya, dengan saling bekerja sama di atas Islam

dan saling menunaikan hak serta kewajiban masing-masing, akan

menciptakan kehidupan yang tentram, aman, dan sentosa.

Kewajiban kepala negara terhadap rakyatnya secara garis besar yaitu:

1. Menegakkan keadilan.

2. Menjaga keamanan dalam negeri.

3. Memperkuat pertahanan negara.

4. Menentukan belanja negara (APBN).

5. Memelihara dan melindungi agama dari para pengacau.

6. Mengelola keuangan negara.

7. Menjalankan dan menegakkan hukum.

15
8. Mengangkat pejabat-pejabat negara berdasakan kejujuran, keadilan,

serta keterpercayaan mereka memegaang jabatan tersebut.

9. Membela kepentingan rakyat, melindungi mereka dari serangan-

serangan musuh dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi

rakyat untuk memiliki kehidupan yang baik di dunia dalam rangka

mencapai kebahagiaan rakyat di akhirat.

10. Pemeliharaan dan penghormatan hak-hak asasi rakyatnya.

11. Menyelenggarakan urusan-urusan kenegaraan secara umum dalam batas-

batas ajaran Islam.

Setelah kepala negara telah melaksanakan kewajibannya dengan baik,

maka kepala negara juga memperoleh hak-hak yang harus dipenuhi oleh

rakyatnya, yaitu:

1. Hak untuk ditaati oleh rakyatnya dan mendapatkan dukungan secara

moral selama kepala negara menjalankan pemerintahan dengan baik.

2. Kepala negara berhak mendapatkan tunjangan atau gaji yang layak

untuk kehidupan pribadi dan keluarganya.

3. Mendapatkan fasilitas-fasilitas dinas secara wajar dalam rangka

melancarkan dan menunjang tugas-tugas kenegaraan yang dipikulnya.

Selain kepala negara, rakyat pun mempunnyai hak dan kewajiban

yang harus dipenuhi. Hak rakyat terhadap kepala negara antara lain:

1. Rakyat berhak memperoleh perlindungan untuk mengekspresikan sikap

dan pendapatnya secara bebas.

16
2. Hak persamaan dimana rakyat bisa saling mengenal dan bekerja sama

tanpa terhalang oleh ras, bangsa, warna kulit, maupun agama.

3. Hak kemerdekaan dan kebebasan, yang mencakup kebebasan berpikir,

berpendapat, menuntut ilmu, beragama, dan kebebasan memiliki harta.

Sedangkan kewajiban yang harus dipenuhi oleh rakyat terhadap

pemimpinnya, yaitu:

1. Rakyat memiliki kewajiban untuk mencurahkan ketaatan kepada sang

kepala negara, baik dzahir maupun batin, dalam setiap yang

diperintahkan atau yang dilarang oleh kepala negara, kecuali dalam hal

maskiat.

2. Rakyat wajib memberi nasihat dan memberi peringatan kepada kepala

negara agar ia menjalankan tugasnya dengan baik.

3. Senantiasa mendoakan kebaikan pada kepala negara, meskipun kepala

negaranya zalim dan sewenang-wenang.

4. Menghormati serta memuliakan kepala negara.

Selain membahas tentang hak dan kewajiban antara pemerintah dan

rakyat, dalam hubungan timbal balik ini pun juga membahas tentang oposisi

dan perlawanan bersenjata terhadap penguasa. Karena salah satu

permasalahan kenegaraan yang sering muncul adalah pertentangan suatu

pribadi atau kelompok terhadap kekuasaan yang nantinya akan

menimbulkan oposisi dan perlawanan bersenjata. Pendapat-pendapat para

ulama dan kelompok-kelompok kaum Muslim sangat beragam dalam

17
menanggapi persoalan oposisi dan perlawanan bersenjata terhadap

penguasa. Menurut Mu’tazilah, Khawarij, dan Zaidiyah mengangkat senjata

untuk menyingkirkan penguasa yang durhaka hukumya adalah wajiib.

Sedangkan menurut kelompok Sunni, mengangkat senjata terhadap kepala

negara yang durhaka itu tidak dibenarkan dan malah hukumnya haram.

Pandangan Sunni ini dilandasi oleh pemikiran bahwa pemberontakan

bersenjata terhadap kepala negara akan membawa keadaan yang lebih buruk

lagi daripada membiarkan kepala negara dengan kezalimannya.

Tetapi dalam konteks modern, oposisi pun dibenarkan dalam Islam

selama oposisi tersebut adalah oposisi pihak-pihak yang loyal.

B. SARAN

Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya

penulis akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di

atas dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat

dipertanggung jawabkan.

18
DAFTAR PUSTAKA

Iqbal, Muhammad. 2014. Fiqh Siyasah: Konteksualisasi Doktrin Poliik Islam.

Jakarta: Kencana.

‘Audah,‘Abdul Qadir. 1978. Al-Islam wa ‘Audha’una al-Siyasah. Kairo: Mukhtar

al-Islam.

Musa, Muhammad Yusuf. Nizham al-Hukm fi al-Islam, Kairo: Dar al-Katib

al-‘Arabi, t.tp.

Ibn Tamiyah, al-Siyasah al-Syar’iyah

Al-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam,

Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah

Lewis, Bernard. 1988. The Political Language of Islam. Chicago: University of

Chicago Press.

Muhammad Rasyid Ridha. 1341. Al-Khilafah aw al-Imamah al-Uzhma. Kairo:

Mathba’ah al-Manar..

Yusuf Musa, Nizham al-Hukm fi al-Islam

A.Hasymi.1984. Di Mana Letaknnya Negara Islam. Surabaya: Bina Ilmu.

19

Anda mungkin juga menyukai