Di Susun Oleh :
1. Edi Kurniawan
2. Fajar Juwita
3. Mustakim
i
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur yang kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan hidayah untuk berpikir sehingga dapat menyelesaikan makalah pada
mata kuliah Masail Fiqh al-Haditsah.
Dalam penulisan ini kami tulis dalam bentuk sederhana, sekali mengingat
keterbatasan yang ada pada diri penulis sehingga semua yang ditulis masih sangat
jauh dari sempurna.
Atas jasanya semoga Allah SWT memberikan imbalan dan tertulisnya
Makalah ini dapat bermanfaat dan kami minta ma’af sebelumnya kepada Dosen,
apabila ini masih belum mencapai sempurna kami sangat berharap atas kritik dan
saran-saran nya yang sifatnya membangun tentunya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
iii
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah nisbul imam dan demokrasi?
2. Bagaimanakah sebab pemimpin boleh diberhentikan?
3. Bagaimanakah respon Islam terhadap demokrasi?
4. Bagaimana anggota DPR yang melanggar baiat?
5. Bagaimana money politik dan hibah kepada pejabat?
1
BAB II
PEMBAHASAN
ِ ت َو ْاْل َ ْر
ض َّ ضنَا ْاْل َ َمانَةَ َعلَى ال
ِ س َم َاوا ْ ِإنَّا َع َر
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit dan
bumi. (QS Al-Ahzab: 72)
Dalam wacana faham Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) bahwa
membangun negara (imamah) adalah wajib syar'i. Hal tersebut didasarkan
pada dalil-dalil berikut ini:
2
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya. (QS An-Nisa`: 58)
ظ ُكم بِ ِه إِ َّن ه
َّللا اس أَن ت َ ْح ُك ُمواْ بِ ْالعَ ْد ِل إِ َّن ه
ُ ّللاَ نِ ِع َّما يَ ِع ِ ََّوإِذَا َح َك ْمتُم بَيْنَ الن
صيرا اِ َس ِميعا ا ب َ ََكان
Apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat. (QS An-Nisa`: 58)
Untuk merealisasikan nilai-nilai luhur tersebut diperlukan wujudnya
pemerintahan yang demokratik, bersih dan berwibawa.
Untuk melahirkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa diperlukan
adanya kesadaran dan keinginan yang kuat dari rakyat untuk bersama-sama
melahirkannya.
Negara yang demokatik yang merupakan perwujudan syura dalam
Islam menuntut para pemimpinnya bukan saja bersedia untuk dikontrol, tetapi
menyadari sepenuhnya bahwa kontrol sosial merupakan kebutuhan
3
kepemimpinan yang memberi kekuatan moral untuk meringankan beban
dalam mewujudkan pemerintahan yang adil, bersih dan berwibawa.1
1
Bahtsul masa'il diniyyah maudluiyyah pada Munas Alim Ulama di Pondok Pesantren
Qomarul Huda, Bagu, Pringgarata, Lombok tengah, Nusa Tenggara Barat, 16-20 Rajab 1418 H /
17 November 1997 M
4
main, di mana suara terbanyaklah yang akan menentukan layak atau tidak
sang pemimpin untuk diberhentikan.
Hal seperti ini terjadi baik pada kepemimpinan di tingkat pusat,
propinsi dan daerah. Satu sisi bisa membuat pemimpin hati-hati, tapi di sisi
lain pemimpin yang lalim merasa tenang karena mendapat dukungan kuat
sekalipun mengabaikan kebenaran.
Pertanyaan :
1. Apa sebab-sebab pemimpin boleh diberhentikan?
2. Jika seorang pemimpin telah melakukan hal-hal yang menyebabkan ia bisa
diberhentikan, bagaimana proses tahapan pemberhentiannya?
Jawaban :
1. Mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak ada penyebab yang menjadikan
pemimpin dapat diberhentikan kecuali jika nyata-nyata melanggar
konstitusi
2. Apabila telah terbukti dan ditetapkan secara hukum pemimpin maka boleh
dima’zulkan dengan cara:
a. Direkomendasikan untuk mengundurkan diri
b. Apabila tidak mau mengundurkan diri dan juga tidak mau bertaubat
maka bisa dima’zulkan dengan aturan yang konstitusional selama tidak
menimbulkan madharrat yang lebih besar.
c. Apabila pemimpin telah terbukti dan ditetapkan secara hukum
melakukan hal-hal yang menyebabkan dapat diberhentikan, maka
proses tahapan pemberhentiannya sesuai dengan tahapan konstitusi
yang ada.
Referensi :
1. Raudhah al Thalibin, Juz VIII, hlm. 369-370
2. Al-Mawaqif
3. Syarh al-Nawawiy ‘ala Shahih Muslim
4. Mausu’ah al Fiqh al-Islami, Juz 5, hlm. 3312
2
Slamet Efendi Yusuf, dkk, Hasil-Hasil Muktamar Ke-33 Nahdlatul Ulama, (Jakarta:
Lembaga Ta’lif wan Nasyr PBNU, 2016), Cet II, hlm. 132-135
5
C. Respon Islam terhadap Demokrasi
Di samping masalah ibadah NU juga memberikan respon terhadap
masalah-masalah yang aktual dalam melakukan bahtsul masail, ini terbukti
bahwa NU mengadakan pembahasan dalam muktamar ke-30 tentang Respon
Islam Terhadap Demokrasi.
Permasalahan yang timbul sekarang ini adalah bagaimanakah respon
Islam terhadap demokrasi? Kalau dalam al-qur’an surat an-Nisa ayat 59
dinyatakan bahwa setiap orang yang beriman harus mentaati Allah, Rasul dan
yang memegang tanggung jawab dari antara kalian (pemimpin). Dan
sekiranya berselisih dalam berbagai hal diantara sesama umat hendaknya
dicari ketentuan dalam kitab Allah atau sunnah dan RasulNya.
Permasalahan diatas jika dikaji dari sudut pandang Islam, respon Islam
terhadap demokrasi dikategorikan sebagai permasalahan fiqih sosial. Fiqih
memiliki prinsip-prinsip antara lain:
1. Formulasi dari kajian (penalaran) faqih (fuqaha), dan kebenarannya
bersifat nisbi (relative).
2. Fiqih sifatnya beragam (Difersity), sunni dengan empat madzhab
terkenalnya Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.
3. Fiqih berwatak liberal.
4. Fiqih mengalami perubahan seiring dengan tuntutan ruang dan waktu,
dengan kata lain fiqih itu dinamis.
5. Fiqih bercorak realistis.3
Sejalan dengan tuntutan jaman yang pasti berkembang terus, maka
aktulisasi fiqih Islam merupakan suatu keniscayaan. Ada tiga komponen yang
dapat berperan disini, yakni: Ulama, Negara/Pemerintah (Aulia/Amr) dan
masyarakat sebagai subyek hukum (fiqh).
Ulama atau Fuqaha sebagai pemegang otoritas dalam mereformulasikan
fiqih sosial, selain memiliki keberanian dan persyaratan yang memadai intuk
3
Ahmad Rofiq, Fiqih Kontekstual: Dari Normatif Kepemaknaan Sosial, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), hlm 6
6
menjawab persoalan, juga memiliki kepekaan yang tinggi dalam menangkap
persoalan dilingkungannya. Kemudian berusaha memberikan solusi, apakah
itu secara individual (Fardhi) atau kolektif kelembagaan (Jama’iy).
Nahdlatul Ulama (NU) memandang problematika yang terjadi di
kalangan masyarakat mengenai permasalahan tentang respon Islam terhadap
demokrasi. Dalam menyikapi permasalahan tersebut, maka dewan syuriyah
memutuskan untuk memberikan uraian terhadap permasalahan tersebut dalam
muktamar ke-30 yang diadakan di Kediri, Jawa Timur pada tahun 1999.
Adapun isi materi keputusan tersebut adalah : “Demokrasi merupakan salah
satu sistem ketatanegaraan ideal yang didambakan oleh seluruh negara di
dunia, terutama setelah runtuhnya Imperialisme-Kolonialisme usai Perang
Dunia II. Demokrasi secara harfiah berarti pemerintahan rakyat (as-siyadah lil
ummah). Dalam istilah ilmu poitik, demokrasi adalah sistem pemerintahan
dimana penguasa harus mempertanggung jawabkan kebijakannya kepada
rakyat yang dilaksanakan secara tidak langsung oleh wakil-wakil yang dipilih
melalui pemilihan umum yang kompetitif, bebas dan jujur. Demokrasi
merupakan hasil pengalaman dan pemikiran orang barat sejak abad ke-15
dalam merespon kekuasaan monarci absolut, dan teokrasi yang otoriter, tiran,
totaliter, dan aristokratis. Dalam prakteknya demokrasi kini diterapkan dalam
bentuk kelembagaan trias politica yang memisahkan kekuasaan menjadi
badan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pemerintahan didasarkan pada
undang-undang yang disusun oleh rajkyat dan dilaksanakan oleh kelompok
yang diangkat oleh rakyaat serta pelaksanyaanya dikontrol oleh rakyat melalui
wakil-wakilnya. Partisipasi politik rakyat diwujudkan dalam kebebasan
berpendapat dan menyalurkan aspirasi termasuk kebebasan berkumpul
(berserikat) dan mendirikan partai politik untuk kemudian berkompetisi secara
jujur dan bebas dalam pemilihan umum.
Demokrasi merupakan tatanan yang mengatur hubungan antara negara
dan rakyat yang didasarkan atas nilai-nilai universal yaitu persamaan,
kebebasan dan pluralisme. Dilihat dari prisip bahwa hubungan antara negara
dan rakyat didasarkan atas kontrak sosial dengan rakyat yang berhak
7
membentuk pemerintahan, maka demokrasi sebenarnya sejalan dengan ajaran
Islam yang memandang pemerintah sebagai amanah dan penegak keadilan.4
Sebagaimana firman Allah dalam surat an Nisa:58, dan hadis Nabi :
4
Sahal Mahfudh, Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam,
Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes, Nahdlatul Ulama (1926-1999), Cet. I (Surabaya :
Diantama, 2004), hlm. 640
8
obyektif tanpa didasari pandangan dan kepentingan subyektif dan tidak
bertentangan dengan al-Mabadi’al Khamsh (al-Nisa; 135, al-Maidah:8)
d. Al-Hurriyah (kebebasan/Freedom): adanya jaminan bagi setiap orang
untuk menyampaikan pendaptnya dengan cara yang baik, bertanggung
jawab dan al-akhlaq al-karimah (al-Taubah: 105).
Prinsip-prinsip tersebut merupakan dasar dari praktek-praktek yang
dilakukan Rasulullah Saw. Dalam memimpin masyarakat seperti tertuang
dalam “Piagam Madinah”, serta tercermin dalam pengangkatan para al-
Khulafa al-Rasyidiun dan praktek kepemimpinan mereka.
Dalam urusan negara, karena tidak mungkin seluruh anggota
masyarakat terlibat langsung dalam musyawarah, maka dibuat lembaga
perwakilan sebagaimana ahlul halli wal-‘aqdi. Lembaga perwakilan terdiri
dari orang-orang yang terpilih, mempunyai watak dan sikap jujur, terpercaya,
cerdas, cakap, dan komunikatif, sehingga benar-benar mampu menjalankan
fungsi menyerap dan menyalurkan aspirasi rakyat dalam menyuisun undang-
undang maupun mengontrol pemerintah. Untuk terpilihnya wakil-wakil yang
mereka percayai melalui pemilihan umum yang jujur, adil, bebas dan rahasia.
Ruang lingkup kekuasaan politik dan legislasi dari kekuasaan rakyat,
lembaga perwakilan maupun pemerintah tetap harus didasarkan pada pokok-
pokok ajaran agama dan mengikuti sistem penetapan hukum keagamaan yang
baku; yakni:
1. Menyangkut ajaran, hukum dan aturan yang sudah ditetapkan secara pasti
(qath’i) dalam nash al-qur’an dan sunnah Rasul, kewenangan legislasi
lembaga-lembaga tersebut dibatasi dengan nash yang ada.
2. Menyangkut hal-hal yang termuat dalam nash al-Qur’an dan sunah Rasul
secara zhanny (interpretable) atau hal-hal baru yang berada dalam lingkup
keagamaan, maka lembaga-lembaga tersebut mempunyai kewengan
legislasi sepanjang mengikuti sistem ijtihad dan metode istinbath alahkam
yang absah dan valid.
3. Sementara menyangkut hal-hal kenegaraan dan kemasyarakatan yang tidak
terkait dengan masalah keagamaan; seperti sistem dan model
9
pemerintahan, maka penetapan an penerapannya tergantung pada pilihan
dan kesepakatan rakyat atau wakil rakyat, namun substansinya tetap
mengacu pada prinsip-prinsip agama dan nilai-nilai dasar kemanusiaan.
4. Pemerintahan dalam suatu negara (al-imamah) merupakan sunatullah yang
mesti terwujud secara syar’i maupun ‘aqli untuk menjaga kedaulatan,
mengatur tata kehidupan, melindungi hak-hak setiap warga negaranya dan
mewujudkan kemashlahatan bersama. Kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah sebagai pengembaan mandat amanah dari rakyat harus selalu
berorientasi pada kemashlahatan umum (Tasharruf al-imam ‘alaal-ra’iyah
manuth bi al-maslahah). Kekuasaan dan kewenangan pemerintah selain
mengandung amanah raklyat juga mengandung amanah ketuhannan yang
kelak akan dimintai pertanggung jawaban di sisi allah SWT, sehingga
apapun bentuknya dan bagaimanapun keadaanya harus didasari oleh rasa
tanggung jawaab ketuhanan dan dilaksanakan sesuai dengan tuntunan
moral keagamaan.
Uraian mengenai keputusan respon Islam terhadap demokrasi tersebut
dengan mempertimbangkan bahwa perkembangan yang terjadi dalam berbagai
aspek kehidupan masyarakat seringkali mendorong perubahan dan pergeseran
yang menyangjkut tata nilai dan pandangan yang dianut Nahdlatul Ulama
dalam fungsinya sebagai pembimbing umat, dituntut untuk senantiasa
memberikan respon untuk senantiasa positif dan produktif.
Muktamar Nahdlatul Ulama juga harus mencermati sepenuhnya untuk
memperhatikan segala perkembangan yang terjadi dimasyarakat baik
mengenai masalah-masalah agama, sosial, ekonomi, budaya dan lainnya.
Selain dengan pelbagai pertimbangan diatas keputusan muktamar juga
memperhatikan amanat Presiden RI dan khutbah iftitah Rais Aam PBNU pada
pembukaan muktamar XXX Nahdlatul Ulama tanggal 13 sya’ban 1420 H / 21
Nopember 1999 serta laporan hasil-hasil sidang pleno komisi bahstul masail
Ad-Diniyah al- Maudhu’iyyah muktamr XXX NU pada tanggal 17 sya’ban
1420 H / 25 Nopember 1999.
10
Pengambilan dalil dari uraian mengenai respon Islam terhadap
demokrasi menggunakan ayat al-qur’an dan hadis seperti yang telah
diterangkan diatas. Dari pengambilan ayat al-qur’an serta hadis tersebut yang
dijadikan sebagai landasan keputusan mengenai respon Islam terhadap
demokrasi dapat diketahui bahwa demokrasi merupakan tatanan yang
mengatur hubungan antara negara dan rakyat yang didasarkan atas nilai-nilai
universal yaitu persamaan, kebebasan dan pluralisme. Demokrasi yang
didalamnya juga memuat dasar-dasar seperti musyawarah, keadilan,
kesetaraan serta adanya kebebasan seperti yang terdapat dalam nilai-nilai
ajaran Islam maka dilihat dari prinsip bahwa hubungan antara negara dan
rakyat didasarkan atas kontrak sosial dengan rakyat yang berhak membentuk
pemerintahan, maka demokrasi sebenarnya sejalan dengan ajaran Islam yang
memandang pemerintah sebagai amanah dan penegak keadilan.
11
2. Jikalau yang dilanggar itu persoalan yang mengakibatkan dosa besar,
maka dosanya termasuk dosa besar.5
5
Abdul Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan: Hasil Muktamar dan Munas Ulama
Nahdlatul Ulama Kesatu/1926 s/d ketigapuluh/2000, (Jakarta: Qultum Media, 2004), Cet I, hlm.
211
6
PBNU, Ahkamul Fuqaha`, cet. ke-1, (Jakarta: Kalista-LTN PBNU, 2011), hlm. 829
7
PBNU, Ahkamul Fuqaha`., hlm. 829
8
Ibnu Abidin, Radd al-Mukhtar, juz V, (Bairut: Dar al-Fikr, 1421 H/2000 M), hlm. 362.
12
atau hadiah sebagai upaya untuk menutup-nutupi bahwa sebenarnya kekayaan
tersebut didapat dengan cara melanggar hukum, pertanyaan yang diajukan
dalam hal ini adalah bagaimana pandangan syariat Islam terhadap status hibah
tersebut?
Dalam pandangan NU, hibah yang diterima oleh pejabat negara, status
hukumnya adalah haram, karena terkait dengan pelanggaran sumpah jabatan
yang diucapkannya, juga mengandung makna suap (risywah), dan bisa
bermakna korupsi (ghulul). Namun, jika memang pemberian tersebut biasa
diberikan oleh orang yang sebelumnya sudah biasa memberi dan jumlahnya
pun tidak lebih dari biasanya, maka dalam konteks ini diperbolehkan.9
Pandangan NU ini didasarkan kepada fatwa Imam Subki yang
merupakan salah satu ulama dari kalangan mazhab Syafi’i. Dalam fatwa
tersebut, beliau memberikan perincian mengenai hadiah. Menurutnya, hadiah
adalah pemberian yang diberikan kepada seseorang dalam kerangka untuk
menumbuhkan kasih sayang dan simpati.10
Jika hadiah diberikan oleh orang yang tidak biasa memberi pada
seseorang sebelum memangku suatu jabatan, maka dalam konteks ini
hukumnya adalah haram. Bahkan, keharaman juga berlaku untuk orang yang
sudah terbiasa memberi hadiah kepadanya sebelum menjabat, namun
pemberiannya melebihi seperti biasanya. Lebih lanjut, Imam Subki
menjelaskan jika orang yang terbiasa memberikan hadiah dan memberikan
seperti biasanya, namun ia memiliki lawan sengketa, maka hukumnya juga
tidak diperbolehkan.
“Adapun hadiah adalah pemberian yang dimaksudkan untuk
menumbuhkan rasa cinta dan simpati. Jika hadiah diberikan oleh orang yang
tidak biasa memberi kepada seseorang sebelum ia memangku suatu jabatan,
maka hukumnya haram. Namun, jika hadiah diterima dari orang yang sudah
terbiasa memberi hadiah kepadanya sebelum ia mendapatkan jabatan, maka
jika ia memberi lebih (dari biasanya), maka statusnya sama dengan jika si
9
PBNU, Ahkamul Fuqaha`., hlm. 831
10
PBNU, Ahkamul Fuqaha`., hlm. 832
13
pemberi tidak terbiasa memberi hadiah kepadanya. Yakni, haram. Namun, jika
tidak lebih dari ukuran yang biasa diberikan, maka jika ia memiliki lawan
sengketa, hukumnya juga tidak boleh. Jika ia tidak memiliki lawan sengketa
(pada suatu kasus), maka ia boleh mengambil hadiah sebatas ukuran yang
biasa diterimanya sebelum menjabat. Lebih utama, tidak mengambil hadiah
tersebut. Hukum larangan kepada seorang hakim untuk mengambil hadiah
lebih kuat dari pada pejabat lain. Karena hakim adalah wakil dari syara’, maka
sudah seharusnya bila ia berjalan sesuai dengan hukum syara’.”11
Penjelasan ini harus dibaca dalam konteks suap. Pertanyaannya,
bagaimana dengan penjelasan bahwa pemberian atau hadiah yang diterima
pejabat mengandung makna korupsi? Pertama-tama, NU menegaskan bahwa
kita harus kembali kepada pengertian korupsi yang telah dijelaskan di awal,
yaitu pengkhianatan berat terhadap amanat rakyat (ghulul).
Sebagaimana yang telah diketahui bersama, para pejabat negara itu
sudah mendapatkan gaji plus fasilitas yang diberikan negara kepadanya. Oleh
karena itu, ia tidak diperbolehkan menerima apapun di luar gaji dan fasilitas
yang terkait dengan pekerjaannya. Sebab, apa yang ia terima di luar hal
tersebut pada dasarnya karena jabatan atau pekerjaannya. Seandainya ia tidak
bekerja atau tidak menjabat, maka ia juga belum tentu mendapatkan hadiah
tersebut. Oleh karenanya, jika ia menerima pemberian yang terkait jabatan
atau pekerjaannya, maka sebenarnya ia telah menerima sesuatu yang melebihi
dari apa yang semestinya. Hal ini tentu saja sama dengan melakukan
pengkhianatan terhadap amanat yang diberikan kepadanya. Hadiah yang
diterima oleh pegawai atau pejabat negara, dalam pandangan NU, termasuk
tindak pidana korupsi (ghulul). Hukumnya haram, terkait dengan aib yang
akan dibuka di akhirat kelak.12
“Termasuk ghulul (khianat/korupsi) adalah hadiah yang diterima oleh
para pegawai. Adapun hukumnya terkait aib yang akan dibuka kelak di
akhirat, sama dengan status hukum orang yang melakukan ghulul. Abu Dawud
11
Ali Abdul Kafi as-Subki, Fatawa as-Subki, juz I, (Bairut: Dar al-Ma’rifah), hlm. 205.
12
PBNU, Ahkamul Fuqaha`, hlm. 833
14
dalam kitab Sunannya dan Muslim dalam kitab Shahihnya meriwayatkan
hadits dari Abu Humaid as-Sa’idy bahwa Nabi SAW mempekerjakan seorang
lelaki dari suku al-Azdi yang disebut dengan Ibn Lutbiyyah, untuk mengurus
zakat. Kemudian, ia datang dengan berkata: “Ini untuk kalian. Sedangkan ini
dihadiahkan orang kepada saya.”
Rasulullah SAW berdiri menuju mimbar seraya mengucapkan puja dan
puji ke hadirat Allah, selanjutnya bersabda: “Bagaimana ‘amil yang kami
tugaskan, dia datang seraya berkata: “Ini untuk kalian dan ini dihadiahkan
orang untuk saya.” Coba ia duduk saja di rumah ibunya atau ayahnya, lalu
melihat, apakah ada yang akan memberi hadiah kepadanya ataukah tidak?
Tidak seorang pun di antara kalian yang datang dengan mengambil sebagian
harta tersebut, kecuali ia akan datang pada hari kiamat kelak dengan
membawanya. Jika yang ia bawa berupa onta, maka ia punya rugha’ (suara
onta), atau yang dibawa sapi, maka ia punya khuwar (suara sapi), atau
kambing, maka ia punya tai’ar (suara kambing). Kemudian, beliau
mengangkat kedua tangan sehingga kami melihat kedua dasar ketiaknya,
sambil berdoa: “Ya Allah, bukankah telah aku sampaikan. Ya Allah,
bukankah telah aku sampaikan (hukum yang benar)?”13
Lantas, bagaimana dengan status uang atau benda hibah/hadiahnya?
Jawaban yang diberikan NU dalam bahtsul masa’il Munas-Konbes tersebut
adalah uang, benda hibah/hadiah harus diambil negara untuk kemaslahatan
rakyat.14
Jawaban ini mengandaikan bahwa negara memiliki kewenangan untuk
merampas hadiah atau pemberian yang diterima oleh pejabat terkait dengan
jabatan atau tugasnya dan mentasharrufkan untuk kepentingan umum.
13
Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur`an, juz III, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah),
hlm. 168.
14
PBNU, Ahkamul Fuqaha`, hlm. 833
15
BAB III
KESIMPULAN
16
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan: Hasil Muktamar dan Munas Ulama
Nahdlatul Ulama Kesatu/1926 s/d ketigapuluh/2000, (Jakarta: Qultum
Media, 2004), Cet I
17