Anda di halaman 1dari 22

KAIDAH-KAIDAH HUKUM ISLAM

DI

OLEH:

NAMA : RASIDAH (18120133)


NURHAYATI (18120135)

JURUSAN : HK

PERGURUAN TINGGI ISLAM


AL-HILAL SIGLI
TAHUN 2020-2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT, yang telah memberikan kesehatan kepada

penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul

“KAIDAH-KAIDAH HUKUM ISLAM” dengan sebaik-baiknya. Adapun tujuan

penulisan ini untuk menuntaskan tugas mata pelajaran.

Penulis menyadari, dalam makalah  ini masih banyak kesalahan dan

kekurangan. Hal ini disebabkan terbatasnya kemampuan, pengetahuan dan

pengalaman yang penulis  miliki. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik

dan saran. Demi perbaikan dan kesempurnaan. Semoga makalah ini dapat

bermanfaat bagi kita semua

Sigli, Januari 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

B. Rumusan masalah

BAB II KAIDAH-KAIDAH HUKUM ISLAM

A. Pengertian kaidah

B. Kaidah induk

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Untuk menetapkan hukum atas sebuah persoalan yang dihadapi oleh

ummat Islam maka jalan yang ditempuh oleh para ulama untuk menetapkannya

adalah dengan melihatnya dalam al-Qur’an, kalau hal tersebut telah diatur dalam

al-Qur’an, maka ditetapkanlah hukumnya sesuai dengan ketetapan al-Qur’an. Dan

apabila dalam al-Qur’an tidak ditemukan hukumnya, maka para ulama

mencarinya dalam-Al-Hadis. Apabila dalam al-Hadis telah diatur, maka para

ulama menetapkan hukumnya sesuai dengan ketentuan al-Hadis. Persoalan baru

muncul adalah manakala hukum atas persoalan tersebut tidak ditemukan dalam al-

Qur’an dan juga dalam al-Hadis, sebab al-Qur’an dan al-Hadis adalah merupakan

sumber hukum pokok (primer) dalam ketentuan hukum Islam.

Dalam menghadapi kondisi yang seperti ini maka para ulama mencari

sumber hukum lain yang dapat dijadikan patokan dan pegangan dalam

memberikan hukum atas persoalan yang timbul, sebab sebagaimana diketahui

bahwa agama Islam itu telah sempurna dan tidak akan ada lagi penambahan

hukum yang bersifat Syar’iyyah, hanya saja untuk menjawab persoalan-persoalan

hukum yang timbul di kemudian hari telah diberikan rambu-rambu dan ketentuan-

ketentuan lainnya dalam rangka memberikan hukum atas persoalan baru yang

timbul.

Sumber hukum baru sebagaimana dimaksudkan di atas, para ulama

berbeda pendapat dalam menetapkannya. Ada yang berpendapat bahwa apabila


suatu persoalan baru timbul dan itu tidak diatur dalam al-Qur’an dan al-Hadis,

maka dikembalikan kepada Ijma’. Dalam hal kembali kepada Ijma’ ini, para

ulama nampaknya sepakat, hanya saja yang disepakati secara utuh dalam rangka

Ijma’ adalah Ijma’ yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadis, sedangkan Ijma’

yang bersumber di luar al-Qur’an dan al-Hadis, terjadi perbedaan pendapat di

antara para ulama. Ada yang setuju dan ada juga yang tidak setuju. Yang setuju

dengan Ijma’ berpendapat bahwa sesuai dengan hadis Nabi yang menyebutkan

bahwa, UmmatKu tidak akan bersepakat dalam hal kesesatan. Yang tidak setuju

dengan Ijma’ berpendapat bahwa Ijma’ itu adalah hasil pemikiran dan pendapat

dari para Ulama, yang namanya hasil pemikiran dan pendapat bisa salah dan juga

bisa benar, oleh karena itu tidak bisa dijadikan sebagai hukum yang pasti.[1]

Apabila dalam ketiga hal tersebut di atas tidak juga ditemukan maka para

ulama mengembalikannya kepada sumber-sumber hukum yang lain seperti Qiyas,

Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah dan Syar’u man Qablana. Untuk

menetapkan sumber-sumber hukum Islam ini, selain para ulama berbeda

pendapat, mereka (para ulama) juga berbeda pendapat dalam menetapkan kaidah-

kaidahnya. Perbedaan dalam kaidah-kaidah ini secara otomatis akan menimbulkan

perbedaan-perbedaan dalam bidang produk hukum, sebab kaidah sangat

menentukan produk hukum. Namun satu hal yang pasti adalah kaidah-kaidah

sangat menentukan dan sangat membantu seseorang dalam mengistimbathkan

hukum.[2]

B. Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian kaidah-kaidah dasar hokum islam ?


2. Bagaimana yang disebut dengan macam-macam kaidah induk?

BAB II

KAIDAH KAIDAH DASAR HUKUM ISLAM

A. Pengertian Kaidah

Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam

bahasa Indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan.

Dalam bahasa arab, kaidah memilik banyak arti diantaranya: al-asas (dasar atau

fondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-

nasaq (metode atau cara). Al Qi’dah (cara duduk, yang baik atau yang buruk),

Qo’id ar rojul (Istrinya), Dzul Qo’dah (nama salah satu bulan qomariyah yang

mana orang orab tidak mengadakan perjalanan didalamnya) dan lain sebagainya.

[3] hal ini sesuai dengan Al- Qur’an surat An-Nahl ayat 26:

“ Sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mengadakan

makar, maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya, lalu

atap (rumah itu) jatuh menimpa mereka dari atas, dan datanglah azab itu kepada

mereka dari tempat yang tidak mereka sadari”[4]

Sedangkan bagi mayoritas ulama ushul fiqh sebagaimana disebutkan oleh

Drs. H. Muchlis Usman, MA. mendefinisikan kaidah sebagai Hukum yang biasa

berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagian-bagiannya. sedangkan


menurut Dr. Ahmad Syafi’i kaidah adalah Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah

umum) yang berlaku pada semua bagian-bagiannya.“[5]

Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa kaidah merupakan

aturan-aturan yang dipergunakan dalam menggali dan menemukan suatu hukum

syar’i.

B. Kaidah Induk

Dalam perumusan hukum islam, kita mengenal dua macam kaidah yaitu

kaidah fiqhiyah, dan kaidah ushuliyah. Kaidah fiqhiyah merupakan Dasar-dasar

yang bertalian dengan hukum syarai yang bersifat mencakup (sebahagian besar

bahagian-bahagiannya) dalam bentuk teks-teks perundang-undangan yang ringkas

(singkat padat) yang mengandung penetapan hukum-hukum yang umum pada

peristiwa-peristiwa yang dapat dimasukkan pada permasalahannya.

Kaidah Fiqhiyah sebagaimana tersebut berfungsi untuk memudahkan para

mujtahid atau para fuqoha yang ingin mengistinbathkan hukum yang bersesuaian

dengan tujuan syara’ dan kemaslahatan manusia.[6] Oleh karena itulah maka

sangat tepat apabila pembahasan tentang Kaidah Fiqhiyah ataupun Kaidah Hukum

termasuk dalam pembahasan Filsafat Hukum Islam, sebab Filsafat Hukum Islam

adalah sebuah metode berpikir untuk menetapkan hukum Islam dan sekaligus

mencari jawaban ada apa yang terkandung dibalik hukum Islam itu sendiri.

Sedangkan kaidah ushuliyah adalah Dalil syara’ yang bersifat menyeluruh,

universal, dan global (kulli dan mujmal). Jika objek bahasan ushul fiqih antara
lain adalah qaidah penggalian hukum dari sumbernya, dengan demikian yang

dimaksud dengan qaidah ushuliyyah adalah sejumlah peraturan untuk menggali

hukum. Qaidah ushuliyyah itu umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah lafaz

atau kebahasaan. Sumber hukum adalah wahyu yang berupa bahasa, sementara

qaidah ushuliyyah itu berkaitan dengan bahasa. Dengan demikian qaidah

ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum yang terdapat

dalam bahasa (wahyu) itu.

Menguasai qaidah ushuliyyah dapat mempermudah fakif untuk

mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya. Dalam

hal ini Qaidah fiqhiyah pun berfungsi sama dengan qaidah ushuliyyah, sehingga

terkadang ada suatu qaidah yang dapat disebut qaidah ushuliyyah dan qaidah

fiqhiyah.

Dalam kaidah fiqh terdapat lima kaidah induk ( kubra ) yang yaitu;[7]

1. Semua urusan bergantung kepada niat / setiap perkara tergantung kepada

tujuannya ( Al-umur bimaqasidih )

2. Keyakinan tidak dihilangkan dengan keraguan ( al yaqin layazul au

layuzal bi al syak)

3. Kesulitan itu membawa kemudahan ( Al masaqah tajlib at taisir)

4. Adat / kebiasaan bisa dijadikan sebagai hokum ( al adah muahkkamah )

5. Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain ( ad darar yuzal )

a. Semua Urusan Bergantung Kepada Niatnya.


niat adalah keinginan yang kuat didalam hati untuk melakukan ibadah

dalam rangka ibadah kepada Allah, mendekatkan diri kpd Allah

Semua perbuatan manusia dalam kaitannya dengan pelaksanaan hokum

taklifi, bergantung kepada motivasinya. Niat yang mendasar adanya di dalam hati

dan yang mengetahuinya hanyalah mukallaf dan Allah SWT. sumber pengambilan

hokum kaidah tersebut diproduk dengan mengacu kepada Al-Qur’an surat Al

Baqarah, ayat 225:

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud

(untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang

disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi

Maha Penyantun” [8]

disebutkan juga dalam surah ali Imran ayat 145;

“ Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai

ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala

dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa

menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu.

Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”.

serta Al hadits, yang berbunyi ”Setiap perbuatan itu tergantung niatnya. Bagi

setiap orag hanyalah memperoleh apa yang diniatkannya. Karena itu barang

siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul – Nya maka Hijrahnya kepada

Allah dan Rasul – Nya ”


Beberapa kaidah yang dapat ditarik daripadanya yaitu;

1. Tidak ada pahala kecuali dengan niat, misalnya Misalnya oleh ulama

syafi’iyah dan Malikiyah menganggap niat itu fardhu oleh karena itu jika

sesseorang tidak berniat maka ia tidak akan mendapatkan pahala

2. Dalam amal yang di syaratkan menyatakan niat, maka kekeliruan

pernyataannya membatalkan amalnya misalnya Kekeliruan menyatakan

niat shalat dhuhur dengan sembahyang ashar, menjadikan tidak sahnya

amal perbuatan yang dilakukan, hal ini disebabkan masing – masing

perbuatan itu dituntut adanya pernyataan niat untuk membedakan ibadah

yang satu dengan yang lainnya

3. Perbuatan yang secara keseluruhan diharuskan niat tetapi secara terperinci

tidak diharuskan menyatakan niatnya, maka bila dinyatakan niatnya

ternyata keliru, berbahaya misalnya Seorang bersembahyang jama’ah

dengan niat ma’mum kepada Umar. Ternyata orang yang menjadi

imamnya bukan Umar, tetapi Amin. Shalat Jama’ah orang tersebut tidak

sah. contoh lainnya Seseorang dalam bersembahayang jenazah

menyatakan niatnya menyembahyangkan jenazah Bakar. Tetapi ternyata

yang disembahyangkan adalah jenazah Ali, atau niatnya untuk

menyembahyangkan jenazah seorang wanita tetapi ternyata jenazahnya

seorang laki – laki maka shalatnya tidak sah.

4. Perbuatan yang secara keseluruhan maupun secara terperinci tidak di

syaratkan mengemukakan niat bila dinyatakan dan ternyata keliru, tidak

berbahaya misalnya Seseorang bersembahyang ’ashar dengan menyatakan


niatnya bersembahyang di mesjid Agung Panyabungan, padahal ia

bersembahyang di mesjid Baburrahman Kayu jati, maka sembahyang

orang itu tidak batal. Sebab niat sembahyangnya sudah dipenuhi dan benar

sedang yang keliru adalah pernyataan tentang tempatnya. Kekliruan

tentang tempat tidak ada hubungannya dengan niat shalat.

5. Maksud lafaz itu tergantung pada niat orang yang menyatakannya

misalnya Seorang suami memanggil istrinya yang bernama Thaliq ( Orang

yang terthalaq ) atau seorang pemilik budak memanggil budaknya yang

bernama Hurrah ( orang yang bebas ), maka jika memanggilnya diniatkan

untuk menthalak istrinya atau memerdekakan budaknya tercapailah

maksudnya, sedangkan jika tidak meniatkannya maka tidak akan

membawa maksud yang demikian.

Tujuan daripada pensyariatan niat adalah yang pertama niyyatul Amal yaitu

membedakan masalah adat dengan ibadah contohnyathowaf, khusus tempatnya

tidak boleh ditempat lain. Bila ada orang yang memutari rumah seperti thowaf

tapi tujuannya nyari sesuatu yang hilang bukan ibadah apakah dikatakan bidah

atau syirik.Tidak karena niatnya.contoh lain : panggilan umi dek atau ibu untuk

istri termasuk yang dilarang rasulullah apakah termasuk talak?tidak.karena

niatnya.contoh lain: misal seorang suami nyuruh istrinya pulang kerumah orang

tuanya apakah termasuk cerai? tergantung niatnya, Membedakan satu ibadah

dengan ibadah lain. Seperti : Shalat sunnah dengan shalat wajib,rawatib,dll.mandi

wajib atau mandi bersih2 saja.


Kedua adalah niyyatul makmuliyah niat kepada siapa kita beribadah.ini niat

yang sering dibahas dalam kitab akidah kepada siapa kita beribadah.apakah

karena riya, atau hanya kepada Allah.

Seorang ulama berkata"orang yang diberi taufik oleh Allah adalah orang yang

menjadikan adat kebiasaan sebagai ibadah,dan orang yang merugi adalah orang

yang menjadikan ibadah sebagai adat."

Kenapa bisa demikian,  dalil nabi pernah berkata "seorang lelaki bersenggama

dengan istrinya itu berpahala," lalu para sahabat bertanya "apakah seorang

diantara kami mendatangkan syahwatnya lalu dia dapat pahala?"nabi

menjawab :"bukankah kalo dia meletakkan syahwatnya pada tempat yang haram

dia berdosa,begitu pun sebaliknya bila ditempatkan pada yang halal maka dia

mendapatkan pahala." contoh : bila makan di niatkan agar kuat dalam bekerja

dalam ibadah dan ibadah lain maka bernilai ibadah.

Ketiga adalah Khiyal : yaitu melakukan perbuatan haram tapi nampaknya

(kelihatannya) boleh.Berkelit atau berbelok-belok seakan yang dilakukannya itu

boleh tapi sebenarnya tuuannya haram. Perlu diketahui orang yang melakukan hal

haram dengan cara khiyal memiliki dua kerusakan yaitu;

1.      Dia tetap melakukan dosa karena perbuatan itu tetap hukumnya haram sekalipun

sehebat apapun dia berkelit.

2.      Dosa besar karena dia berusaha menipu Allah. Padahal Allah Mahatahu.
b. Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan

Ini adalah salah satu kaidah yang disepakati para ulama. Dalil dasar kaidah ini

adalah Firman Allah "tidak lah kebanyakan mereka mengikuti kecuali

prasangka."

Allah mencela orang-orang yang mengikuti prasangka bukan keyakinan.

Rasulullah pernah bersabda "tinggalkan apa-apa yang meragukanmu menuju

kepada apa yang tidak meragukanmu."

Karena islam menginginkan kita hidup dalam ketenangan bukan di atas

keraguan, kita harus yakin, dan sampai terkena penyakit was-was. Kita harus

melawan hati kita dan jiwa kita bila perlu dipaksa. hati iu sperti anak kecil,

keinginannya menyusu terus sama ibunya, tapi bila dipaksa lama-lama tidak

masalah.

pernah ada yang seorang yang datang kepada Syekh bin Baz: ya syeikh aku

ragu-ragu apakah istriku sudah aku ceraikan?” kata Syekh: “ dia tetap istrimu

karena pada asalnya orang yang sudah nikah berarti tidak cerai ( ini yang telah

pasti dan harus diyakini.

Sumber qaidah dapat kita lihat pada hadist dibawah ini :

”Apabila salah seorang dari kamu mendapatkan sesuatu di dalam perutnya, lalu

timbul kemusykilan apakah seuatu itu keluar dari perut atau tidak, maka

janganlah keluar mesjid, sehingga ia mendengar suara atau mendapatkan

baunya”.

Kandungan hadis ini menjelaskan bahwa seseorang yang semula suci,

kemudian ia ragu – ragu apakah ia telah mengeluarkan angin atau belum maka ia
harus dianggap masih dalam keadaan suci, karena keadaan inilah yang sudah

meyakinkan tentang kesuciannya sejak semula, sedang keraguan itu baru timbul

kemudian. Suatu keyakinan yang sudah mntap meruapakan kekuatan yang tidak

mudah digoyahkan oleh keragu – raguan.

beberapa kaidah yang dapat ditarik daripadanya yaitu:

1. Menurut asalnya memberlakukan keadaan semula atas keadaan

yang ada sekarang, misalnya Seseorang makan sahur di akhir

malam dengan dicekam rasa ragu – ragu, jangan – jangan waktu

fajar telah terbit. Puasa orang tersebut pada pagi harinya dihukumi

sah, sebab menurut dasar asalnya diberlakukan keadaan waktunya

masih malam, bukan waktu fajar.

2. Menurut dasar yang asli tiada tanggung jawab misalnya Terdakwa

menolak angkat sumpah tidak dapat diterapkan hukuman, karena

menurut asalnya ia bebas dari tanggungan dan yang harus angkat

sumpah ialah si pendakwa

3. Pada dasarnya sesuatu itu tidak ada misalnya Jika seseorang

menjalankan modal orang lain ( mudharabah ) melaporkan kepada

pemilik modal bahwa ia tidak memperoleh laba atau memperoleh

laba sedikit sekali, maka laporan orang yang menjalankan modal

ini yang dibenarkan. Karena memang sejak semula diadakan

perikatan mudharabaah ini belum ada keuntungan.

4. Barang siapa ragu – ragu apakah ia telah mengerjakan sesuatu atau

tidak maka menurut asalnya ia dianggap tidak mengerjakannya.


misalnya Seseorang ragu – ragu sewaktu mengerjakan i’tidal atau

tidak maka ia harus mengulangi mengerjakannya, sebab ia di

anggap tidak mengerjakannya.

5. Asal sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang menunjukkan

keharamannya. misalnya Segala macam binatang yang sukar untuk

ditentukan keharamannya lantaran tidak didapat sifat dan ciri – ciri

yang dapat diklasifikasikan kepada binatang haram adalah halal

dimakan.

c. Kesulitan itu membawa kemudahan ( Al masaqah tajlib at taisir)

sumber pengambilan kaidah ini dapat kita lihat pada surat al-baqarah ayat 185:

…….. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran

bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu

mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu

bersyukur ” [9]

      Juga disebutkan dalam sabda Rasul; “Aku diutus oleh Tuhan dengan

membawa agama yang penuh kecenderungan dan toleransi


misalnya Kesulitan seseorang menjalankan shalat dengan berdiri memberikan

keringanan padanya mengerjakannya dengan duduk. Bila keringannan itu masih

juga dirasakan berat ia diperbolehkan mengerjakannya dengan berbaring. Dan bila

ini juga merupakan keberatan maka ia dizinkan shalat dengan mengerdipkan mata

saja. Bila seseorang sulit menghindari najis darah nyamuk atau kepinding yang

melekat pada pakiannya atau percikan air di jalalnan akibat hujan yang memercik

pada celana, maka ia dimaafkan bersembahyang dengan pakaian tersebut.

d.                  Adat / kebiasaan bisa dijadikan sebagai hukum ( al adah muahkkamah )

Sumber hukumnya dari Sabda Baginda Rasulullah SAW :

”Apa yang dipandang oleh kaum muslimin, maka di sisi Allah pun baik”

misalnya:

seorang penjual yang menawarkan barang dagangannya seharga 10 dirham

misalnya, maka hendaklah diartikan bahwa pengertian dirham itu ialah mata uang

yang berlaku dinegeri orang yng mengdakan jual beli. Bagaimanapun bentukanya

menurut kebiasaan yang berlaku makanan yang disuguhkan kepada tamu boleh

dimakan tanpa di bayar. Tetapi jika ada ketentuan lain hendaknya ada keterangan

lebih dahulu, baik dengan menyuguhkan daftar harga maupun dengan

pengumuman.
Penentuan kedewasaan seseorang menurut syaria’t diserahkan kepada adat

kebiasaan yang berlaku disuatu negeri, syari’at hanya memberikan ancar –

ancarnya saja

Dalil Al qur’an ayat 58 mennyatakan:[10]

di dalam ayat ini Allah menegasakan waktu untuk meminta izin dalam tiga waktu:

1.Sebelum sembayang subuh

2.setelah zuhur

3.malam

ketiga waktu ini merupakan kebiasaan ( adat ) orang lain membuka aurat. Sabda

nabi “ kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian”

hukum lain menyatakan kita diperbolehkan melakukan kegiatan dan hukumnya

boleh selama tidak ada hukum yang melarangnya.

e. Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain ( ad darar

yuzal )

Hal ini berarti merupakan suatu kaidah yang memerintahkan kepada kita

untuk senantiasa menjaga diri dari hal yang membahayakan. dalam al-qur’an

dikatakan “ janganlah janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah

Maha Penyayang kepadamu.”

Kaidah-kaidah yang dapat ditarik adalah sebagai berikut:

1.               Kemudharatan membolehkan larangan – larangan. dalam hal ini dapat kita ambil

contoh Orang yang dilanda bahaya kelaparan diperkenankan makan binatang yang
diharamkan atau tanpa disembelih. hal ini dapat kita lihat dari al baqarah berikut

ini;

“ Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging

babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah[108].

Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak

menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa

baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [11]

2.               Sesuatu yang diperbolehkan karena darurat ditetapkan karena sekedar

kedaruratannya. misalnya Seseorang yang diperkenankan berobat dengan sesuatu

yang diharamkan tidak diperkenankan menjual kelebihan dari yang dipakai

mengobati penyakitnya

3.               Kemudharatan itu tidak dapat dihilangkan dengan kemudharatan yang lain.

misalnya seseorang yang dalam keadaan terpaksa menghajatkan seklai kepada

makanan tidak boleh makan makanan milik orang lain yang dihajatnya sendiri

4.               Menolak kerusakan harus didahulukan daripada menarik

kemaslahatan.misalnya . Berkumur dengan mengocok air yang berada dalam

mulut sampai kepangkal tenggorokan dan menghirup air lewat hidung dalam

melaksanakan wudhu adalah sunat, tetapi jika ini dilakukan dalam berpuasa maka

dikhawatirkan air tersebut akan masuk ke perut yang dapat membatalkan puasa.

Kaidah Fiqhiyah memiliki kegunaan yang sangat besar bagi ahli fiqh sebab

kaidah fiqh adalah sebagai pengikat (ringkasan) terhadap beberapa persoalan fiqh.

Menguasai suatu kaidah berarti menguasai sekian bab fiqh.


Imam Abu Muhammad Izzuddin Ibn Abbas Salam menyatakan bahwa Kaidah

Fiqhiyah mempunyai kegunaan sebagai suatu jalan untuk mendapat suatu

kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana cara mensikapi kedua hal

tersebut. Sedangkan Al-Qarafi dalam al-Furu’ nya menulis bahwa seorang fiqh

tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang kepada kaidah fiqhiyah ( kelima

kaidah induk tersebut), karena jika tidak berpegang pada kaidah itu maka hasil

ijtihadnya banyak bertentangan dan berbeda antara furu-furu itu. Dengan

berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu-furu nya.

Lebih lanjut berbicara tentang kegunaan Kaidah Fiqhiyah ini adalah

sebagaimana disebutkan oleh Ali Ahmad al-Nadwi sebagai berikut :

1. Mempermudah dalam menguasai materi hukum karena kaidah telah dijadikan

patokan yang mencakup banyak persoalan.

2. Kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak

diperdebatkan, karena kaidah dapat mengelompokkan persoalan-persoalan

berdasarkan illat yang dikandungnya.

3. Mendidik orang yang berbakat fiqih dalam melakukan analogi (ilhaq) dan

takhrij untuk mengetahui hukum permasalahan-permasalahan baru.

4. Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-

bagian hukum dengan mengeluarkannya dari thema yang berbeda-beda serta

meringkasnya dalam satu topik tertentu.

5. Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hukum

dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau menegakkan

maslahat yang lebih besar.


6. Pengetahuan tentang kaidah merupakan kemestian karena kaidah

mempermudah cara memahami furu yang bermacam-macam.

Demikian kegunaan kaidah yang disampaikan oleh Ali Ahmad al-Nadwi.

Secara sederhana, kegunaan kaidah fiqh adalah sebagai pengikat (ringkasan)

terhadap beberapa persoalan fiqh. Menguasai suatu kaidah berarti menguasai

sekian bab fiqh. Oleh karena itu, mempelajari kaidah dapat memudahkan orang

yang berbakat fiqh dalam menguasai persoalan-persoalan yang menjadi cakupan

fiqh.

Hal yang berhubungan dengan Fiqh sangat luas, mencakup berbagai hukum

furu’. Karena luasnya, maka itu perlu ada kristalisasi berupa kaidah-kaidah umum

(kulli) yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi beberapa

kelompok. Dan tiap-tiap kelompok itu merupakan kumpulan dari masalah-

masalah yang serupa. Hal ini akan memudahkan para mujtahid dalam

mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan

masalah yang serupa dibawah lingkup satu kaidah.


BAB III

PENUTUP

A.     Kesimpulan

Kaidah Fiqhiyah (hukum) adalah dasar-dasar yang bertalian dengan hukum syara’

yang bersifat mencakup (sebahagian besar bahagian-bahagiannya) dalam bentuk

teks-teks perundang-undangan yang ringkas (singkat padat) yang mengandung

penetapan hukum-hukum yang umum pada peristiwa-peristiwa yang dapat

dimasukkan pada permasalahannya.

Adapun 5 kaidah besar ( induk ) yang dikatakan oleh para ulama sebagai kaidah

fiqih kubra, adalah:

1.Semua amal tergantung kpd niat / setiap perkara tergantung kpd tujuannya

2.Keyakinan tidak dihilangkan dengan keraguan.Al yaqinu la ya zunu bi syak.

3.Kesulitan itu membawa kemudahan

4.Adat bisa dijadikan sebagai hokum

5.Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain.

B.     Saran

Agama islam merupakan agama yang besar, dan dalam al quran dinyatakan

sebagai agama terakhir yang di ridhai oleh Allah SWT. Sebagai generasi yang

akan meneruskan perjuangan ulam dan mujtahid kita, maka mari kita perkaya

ilmu kita tentang kaidah hokum islam. Disinilah letak kemenangan kita dalam

berargumentasi dengan mereka yang ingin kita goyah.


DAFTAR PUSTAKA

Muchlis Usman. Kaidah Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah Pedoman Dasar Dalam

Istinbath Hukum Islam, Jakarta. Raja Grafindo Persada. 1993.

Prof. DR Rachmat Syafe’I, MA. Ilmu Ushul Fiqih, Bandung Pustaka Setia 1998

Paper Dwi Iswahyuni, Kaidah-kaidah Fiqhiyah, Program Studi Timur Tengah dan

Islam, Program Pascasarjana, UI, 2007

Abdurrahman, Asjmuni, Prof. Drs. H., Qawaid Fiqhiyah : Arti, Sejarah dan Beberapa

Qaidah Kulliyah, (Yogyakarta : Suara Muahammadiyah, 2003).

Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh, Sejarah dan Kaidah Asasi, (Jakarta : PT Raja Grafindo

Persada, 2002).

Mujib, Abdul, Drs. H., Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih : Al-Qawaâidul Fiqhiyyah, (Jakarta

: Kalam Mulia, 2004).

Usman, Muchlis, Drs. MA. H., Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah : Pedoman

Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002).

Anda mungkin juga menyukai