DI
OLEH:
JURUSAN : HK
Puji syukur kepada Allah SWT, yang telah memberikan kesehatan kepada
pengalaman yang penulis miliki. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik
dan saran. Demi perbaikan dan kesempurnaan. Semoga makalah ini dapat
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
B. Rumusan masalah
A. Pengertian kaidah
B. Kaidah induk
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
ummat Islam maka jalan yang ditempuh oleh para ulama untuk menetapkannya
adalah dengan melihatnya dalam al-Qur’an, kalau hal tersebut telah diatur dalam
muncul adalah manakala hukum atas persoalan tersebut tidak ditemukan dalam al-
Qur’an dan juga dalam al-Hadis, sebab al-Qur’an dan al-Hadis adalah merupakan
Dalam menghadapi kondisi yang seperti ini maka para ulama mencari
sumber hukum lain yang dapat dijadikan patokan dan pegangan dalam
bahwa agama Islam itu telah sempurna dan tidak akan ada lagi penambahan
hukum yang timbul di kemudian hari telah diberikan rambu-rambu dan ketentuan-
ketentuan lainnya dalam rangka memberikan hukum atas persoalan baru yang
timbul.
maka dikembalikan kepada Ijma’. Dalam hal kembali kepada Ijma’ ini, para
ulama nampaknya sepakat, hanya saja yang disepakati secara utuh dalam rangka
Ijma’ adalah Ijma’ yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadis, sedangkan Ijma’
antara para ulama. Ada yang setuju dan ada juga yang tidak setuju. Yang setuju
dengan Ijma’ berpendapat bahwa sesuai dengan hadis Nabi yang menyebutkan
bahwa, UmmatKu tidak akan bersepakat dalam hal kesesatan. Yang tidak setuju
dengan Ijma’ berpendapat bahwa Ijma’ itu adalah hasil pemikiran dan pendapat
dari para Ulama, yang namanya hasil pemikiran dan pendapat bisa salah dan juga
bisa benar, oleh karena itu tidak bisa dijadikan sebagai hukum yang pasti.[1]
Apabila dalam ketiga hal tersebut di atas tidak juga ditemukan maka para
pendapat, mereka (para ulama) juga berbeda pendapat dalam menetapkan kaidah-
menentukan produk hukum. Namun satu hal yang pasti adalah kaidah-kaidah
hukum.[2]
B. Rumusan Masalah
BAB II
A. Pengertian Kaidah
bahasa Indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan.
Dalam bahasa arab, kaidah memilik banyak arti diantaranya: al-asas (dasar atau
fondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-
nasaq (metode atau cara). Al Qi’dah (cara duduk, yang baik atau yang buruk),
Qo’id ar rojul (Istrinya), Dzul Qo’dah (nama salah satu bulan qomariyah yang
mana orang orab tidak mengadakan perjalanan didalamnya) dan lain sebagainya.
[3] hal ini sesuai dengan Al- Qur’an surat An-Nahl ayat 26:
atap (rumah itu) jatuh menimpa mereka dari atas, dan datanglah azab itu kepada
Drs. H. Muchlis Usman, MA. mendefinisikan kaidah sebagai Hukum yang biasa
syar’i.
B. Kaidah Induk
Dalam perumusan hukum islam, kita mengenal dua macam kaidah yaitu
yang bertalian dengan hukum syarai yang bersifat mencakup (sebahagian besar
mujtahid atau para fuqoha yang ingin mengistinbathkan hukum yang bersesuaian
dengan tujuan syara’ dan kemaslahatan manusia.[6] Oleh karena itulah maka
sangat tepat apabila pembahasan tentang Kaidah Fiqhiyah ataupun Kaidah Hukum
termasuk dalam pembahasan Filsafat Hukum Islam, sebab Filsafat Hukum Islam
adalah sebuah metode berpikir untuk menetapkan hukum Islam dan sekaligus
mencari jawaban ada apa yang terkandung dibalik hukum Islam itu sendiri.
universal, dan global (kulli dan mujmal). Jika objek bahasan ushul fiqih antara
lain adalah qaidah penggalian hukum dari sumbernya, dengan demikian yang
hukum. Qaidah ushuliyyah itu umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah lafaz
atau kebahasaan. Sumber hukum adalah wahyu yang berupa bahasa, sementara
ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum yang terdapat
mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya. Dalam
hal ini Qaidah fiqhiyah pun berfungsi sama dengan qaidah ushuliyyah, sehingga
terkadang ada suatu qaidah yang dapat disebut qaidah ushuliyyah dan qaidah
fiqhiyah.
Dalam kaidah fiqh terdapat lima kaidah induk ( kubra ) yang yaitu;[7]
layuzal bi al syak)
5. Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain ( ad darar yuzal )
taklifi, bergantung kepada motivasinya. Niat yang mendasar adanya di dalam hati
dan yang mengetahuinya hanyalah mukallaf dan Allah SWT. sumber pengambilan
disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi
“ Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai
dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa
menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu.
serta Al hadits, yang berbunyi ”Setiap perbuatan itu tergantung niatnya. Bagi
setiap orag hanyalah memperoleh apa yang diniatkannya. Karena itu barang
siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul – Nya maka Hijrahnya kepada
1. Tidak ada pahala kecuali dengan niat, misalnya Misalnya oleh ulama
syafi’iyah dan Malikiyah menganggap niat itu fardhu oleh karena itu jika
imamnya bukan Umar, tetapi Amin. Shalat Jama’ah orang tersebut tidak
orang itu tidak batal. Sebab niat sembahyangnya sudah dipenuhi dan benar
Tujuan daripada pensyariatan niat adalah yang pertama niyyatul Amal yaitu
tidak boleh ditempat lain. Bila ada orang yang memutari rumah seperti thowaf
tapi tujuannya nyari sesuatu yang hilang bukan ibadah apakah dikatakan bidah
atau syirik.Tidak karena niatnya.contoh lain : panggilan umi dek atau ibu untuk
niatnya.contoh lain: misal seorang suami nyuruh istrinya pulang kerumah orang
yang sering dibahas dalam kitab akidah kepada siapa kita beribadah.apakah
Seorang ulama berkata"orang yang diberi taufik oleh Allah adalah orang yang
menjadikan adat kebiasaan sebagai ibadah,dan orang yang merugi adalah orang
Kenapa bisa demikian, dalil nabi pernah berkata "seorang lelaki bersenggama
dengan istrinya itu berpahala," lalu para sahabat bertanya "apakah seorang
menjawab :"bukankah kalo dia meletakkan syahwatnya pada tempat yang haram
dia berdosa,begitu pun sebaliknya bila ditempatkan pada yang halal maka dia
mendapatkan pahala." contoh : bila makan di niatkan agar kuat dalam bekerja
boleh tapi sebenarnya tuuannya haram. Perlu diketahui orang yang melakukan hal
1. Dia tetap melakukan dosa karena perbuatan itu tetap hukumnya haram sekalipun
2. Dosa besar karena dia berusaha menipu Allah. Padahal Allah Mahatahu.
b. Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan
Ini adalah salah satu kaidah yang disepakati para ulama. Dalil dasar kaidah ini
prasangka."
keraguan, kita harus yakin, dan sampai terkena penyakit was-was. Kita harus
melawan hati kita dan jiwa kita bila perlu dipaksa. hati iu sperti anak kecil,
keinginannya menyusu terus sama ibunya, tapi bila dipaksa lama-lama tidak
masalah.
pernah ada yang seorang yang datang kepada Syekh bin Baz: ya syeikh aku
ragu-ragu apakah istriku sudah aku ceraikan?” kata Syekh: “ dia tetap istrimu
karena pada asalnya orang yang sudah nikah berarti tidak cerai ( ini yang telah
”Apabila salah seorang dari kamu mendapatkan sesuatu di dalam perutnya, lalu
timbul kemusykilan apakah seuatu itu keluar dari perut atau tidak, maka
baunya”.
kemudian ia ragu – ragu apakah ia telah mengeluarkan angin atau belum maka ia
harus dianggap masih dalam keadaan suci, karena keadaan inilah yang sudah
meyakinkan tentang kesuciannya sejak semula, sedang keraguan itu baru timbul
kemudian. Suatu keyakinan yang sudah mntap meruapakan kekuatan yang tidak
fajar telah terbit. Puasa orang tersebut pada pagi harinya dihukumi
dimakan.
sumber pengambilan kaidah ini dapat kita lihat pada surat al-baqarah ayat 185:
bersyukur ” [9]
Juga disebutkan dalam sabda Rasul; “Aku diutus oleh Tuhan dengan
ini juga merupakan keberatan maka ia dizinkan shalat dengan mengerdipkan mata
saja. Bila seseorang sulit menghindari najis darah nyamuk atau kepinding yang
melekat pada pakiannya atau percikan air di jalalnan akibat hujan yang memercik
”Apa yang dipandang oleh kaum muslimin, maka di sisi Allah pun baik”
misalnya:
misalnya, maka hendaklah diartikan bahwa pengertian dirham itu ialah mata uang
yang berlaku dinegeri orang yng mengdakan jual beli. Bagaimanapun bentukanya
menurut kebiasaan yang berlaku makanan yang disuguhkan kepada tamu boleh
dimakan tanpa di bayar. Tetapi jika ada ketentuan lain hendaknya ada keterangan
pengumuman.
Penentuan kedewasaan seseorang menurut syaria’t diserahkan kepada adat
ancarnya saja
di dalam ayat ini Allah menegasakan waktu untuk meminta izin dalam tiga waktu:
2.setelah zuhur
3.malam
ketiga waktu ini merupakan kebiasaan ( adat ) orang lain membuka aurat. Sabda
yuzal )
Hal ini berarti merupakan suatu kaidah yang memerintahkan kepada kita
untuk senantiasa menjaga diri dari hal yang membahayakan. dalam al-qur’an
1. Kemudharatan membolehkan larangan – larangan. dalam hal ini dapat kita ambil
contoh Orang yang dilanda bahaya kelaparan diperkenankan makan binatang yang
diharamkan atau tanpa disembelih. hal ini dapat kita lihat dari al baqarah berikut
ini;
babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah[108].
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa
mengobati penyakitnya
3. Kemudharatan itu tidak dapat dihilangkan dengan kemudharatan yang lain.
makanan tidak boleh makan makanan milik orang lain yang dihajatnya sendiri
mulut sampai kepangkal tenggorokan dan menghirup air lewat hidung dalam
melaksanakan wudhu adalah sunat, tetapi jika ini dilakukan dalam berpuasa maka
dikhawatirkan air tersebut akan masuk ke perut yang dapat membatalkan puasa.
Kaidah Fiqhiyah memiliki kegunaan yang sangat besar bagi ahli fiqh sebab
kaidah fiqh adalah sebagai pengikat (ringkasan) terhadap beberapa persoalan fiqh.
kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana cara mensikapi kedua hal
tersebut. Sedangkan Al-Qarafi dalam al-Furu’ nya menulis bahwa seorang fiqh
tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang kepada kaidah fiqhiyah ( kelima
kaidah induk tersebut), karena jika tidak berpegang pada kaidah itu maka hasil
3. Mendidik orang yang berbakat fiqih dalam melakukan analogi (ilhaq) dan
sekian bab fiqh. Oleh karena itu, mempelajari kaidah dapat memudahkan orang
fiqh.
Hal yang berhubungan dengan Fiqh sangat luas, mencakup berbagai hukum
furu’. Karena luasnya, maka itu perlu ada kristalisasi berupa kaidah-kaidah umum
masalah yang serupa. Hal ini akan memudahkan para mujtahid dalam
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kaidah Fiqhiyah (hukum) adalah dasar-dasar yang bertalian dengan hukum syara’
Adapun 5 kaidah besar ( induk ) yang dikatakan oleh para ulama sebagai kaidah
1.Semua amal tergantung kpd niat / setiap perkara tergantung kpd tujuannya
B. Saran
Agama islam merupakan agama yang besar, dan dalam al quran dinyatakan
sebagai agama terakhir yang di ridhai oleh Allah SWT. Sebagai generasi yang
akan meneruskan perjuangan ulam dan mujtahid kita, maka mari kita perkaya
ilmu kita tentang kaidah hokum islam. Disinilah letak kemenangan kita dalam
Muchlis Usman. Kaidah Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah Pedoman Dasar Dalam
Prof. DR Rachmat Syafe’I, MA. Ilmu Ushul Fiqih, Bandung Pustaka Setia 1998
Paper Dwi Iswahyuni, Kaidah-kaidah Fiqhiyah, Program Studi Timur Tengah dan
Abdurrahman, Asjmuni, Prof. Drs. H., Qawaid Fiqhiyah : Arti, Sejarah dan Beberapa
Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh, Sejarah dan Kaidah Asasi, (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2002).
Mujib, Abdul, Drs. H., Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih : Al-Qawaâidul Fiqhiyyah, (Jakarta
Usman, Muchlis, Drs. MA. H., Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah : Pedoman
Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002).