Anda di halaman 1dari 27

BAB 1

KEWARISAN ISLAM

TUJUAN PEMBELAJARAN

1. Mahasiswa dapat memahami makna pengertian waris


2. Mahasiswa dapat mengetahui ruang lingkup kajian
kewarisan Islam
3. Mahasiswa dapat memahami sejarah perkembangan hukum
kewarisan
4. Mahasiswa dapat memahami urgensi, serta hukum
mempelajari kewarisan Islam
5. Mahasiswa dapat memahami teori-teori yang membangun
kewarisan Islam

A. Pengertian Kewarisan Islam

Jika kita merujuk kepada Al-qur’an, segera akan kita ketahui


bahwa al-qur’an dalam menunjukan adanya kewarisan ini,
menggunakan tiga istilah yakni ; Miirats, Faraidh, dan Al-Tirkah1.
Dan untuk memahami makna waris tersebut, dapat kita pahami
dengan menguraikan tiga istilah tersebut.

1. Makna Mirats

Kata ‫ ميراث‬merupakan masdar dari kata ‫ميراث‬-‫يرث‬-‫ورث‬


jamak dari ‫ ميراث‬adalah ‫موارث‬ kata ‫ ورث‬adalah kata pertama

1
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris Islam, Ali bahasa: Drs. Sarmin
Syukur,Surabaya: Al-Ikhlas , Cet: I,1995, , hlm. 48

1
kewarisan yang digunakan oleh al-qur’an2. Adapun kata ‫ورث‬
dan derivatnya dalam al-qur’an mengandung makna sebagai
berikut

a. Mengandung makna “mengganti kedudukan” seperti dalam


ayat
ُ ‫سلَ ْي َم‬
…َ‫ان دَ ُاود‬ َ ‫َو َو ِر‬
ُ ‫ث‬
Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, (QS. An Naml, 27:16).

b. Mengandung makna “memberi atau menganugerahkan”


…‫شا ُء‬ ُ ‫ض َنت َ َب َّوأ ُ ِمنَ ْال َجنَّ ِة َحي‬
َ َ‫ْث ن‬ َ ‫… َوأ َ ْو َرثَنَا ْاْل َ ْر‬
…dan telah (memberi) kepada kami tempat ini sedang kami
(diperkenankan) menempati tempat dalam surga di mana
saja yang kami kehendaki (QS. az-Zumar,39:74).

c. Mengandung makna “mewarisi atau menerima warisan”


ُ ‫يَ ِرثُنِي َويَ ِر‬
َ ُ‫ث ِم ْن َءا ِل َي ْعق‬
‫وب‬
…yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian
keluarga Ya`qub; (QS. al-Maryam, 19: 6).

Dengan merujuk kepada makna-makna tersebut maka Mirats


(kewarisan) secara bahasa adalah berpindahnya sesuatu dari
seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum
yang lain. Sesuatu ini bersifat umum, bisa berupa harta, ilmu,
keluhuran atau kemuliaan3

Adapun pengertian kewarisan dalam terminologi hukum


adalah Berpindahnya hak milik dari mayit kepada ahli warisnya

2
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
Cet. Ke-4,2000, hlm. 355
3
Muhammad Ali Ash-Shabuni, op.Cit

2
yang hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta, atau hak-hak
syar’i ahli waris4

Menurut al-Raghib sebagamana yang dikutif oleh Ali


Parman dikatakan bahwa kewarisan adalah pengalihan harta milik
seseorang yang telah wafat kepada seseorang yang masih hidup
tanpa terjadi akad lebih dahulu.5

Adapun menurut Kompilasi hukum Islam kewarisan


didefinisikan sebagai Hukum yang mengatur tentang pemindahan
hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan
siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya
(Pasal 171 huruf a KHI).

Dengan demikian secara garis besar definisi kewarisan yaitu


perpindahan berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan
seseorang yang meninggal dunia kepada orang lain yang masih
hidup dengan memenuhi syarat dan rukun dalam mewarisi.
Selanjutnya karena kewarisan ini sudah menjadi suatu
disiplin ilmu yang disebut dengan ilmu mawarits atau fiqih
mawarits, maka definisi yang dikemukakan oleh jumhur ulama
tentang ilmu waris adalah

‫علم يعرف به من يرث ومن ال يرث ومقداركل وارث وكيفية‬


‫التوزيع‬
“Artinya: Ilmu yang mempelajari tentang ketentuan-ketentuan orang
yang mewaris, kadar yang diterima oleh ahli waris serta cara
pembagiannya.”6

4
Ibid
5
Ali Parman, Kewarisan dalam al-Qur’an Suatu Kajian Hukum dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, h. 27
6
Muslich Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris (Asas Mawaris), Semarang, t.th.
hlm. 1

3
2. Makna Faraidh

Al-Faraaidh ( ‫ ) الفرائض‬adalah bentuk jamak dari kata Al-


Fariidhoh yang diambil dari kata Fardh yang artinya adalah
ketentuan yang pasti, 7 sebagaimana yang dikemukakan dalam Al-
Qur’an :
َ َّ ‫ّللاِ ِإ َّن‬
َ َ‫ّللا َكان‬
‫ع ِليما َح ِكيما‬ َ ‫…فَ ِري‬
َّ َ‫ضة ِمن‬
Artinya : “Ini adalah ketetapan dari Allah, Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana.” 7(QS. Al-Nisa‘ ( 4 ) :11)

Fardh dalam istilah syara’ adalah bagian yang telah


ditentukan bagi ahli waris.8 Kata faraidh sering diartikan sebagai
saham saham yang telah dipastikan kadarnya, maka ia
mengandung arti pula sebagai suatu kewajiban yang tidak bisa
diubah karena datangnya dari Allah.
Adapun menurut terminologi syara faraidh adalah suatu cara
yang digunakan untuk mengetahui siapa-siapa yang memperoleh
bagian-bagian tertentu, maka ditetapkan terlebih dahulu ahli-ahli
waris dari orang yang meninggal. Selanjutnya baru dapat diketahui
siapa diantara ahli waris yang mendapatkan bagian dan yang tidak
mendapat bagian tertentu8
Para ulama ahli faraidh mendifinisikan Faraidh sebagai :
‫االفقه المتعلق باإلرث ومعرفة الحساب الموصل الى معرفة‬
‫ذلك ومعرفة قدر الواجب من التركة لكل ذى حق‬
“Artinya: Ilmu fiqih yang berpautan dengan pembagian harta
pusaka,pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat
menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan pengetahuan
tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk
setiap pemilik hak pusaka.”9

7
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Vol.14, Alih Bahasa: Drs.Mudzakir
As,Bandung: Al- Ma’arif, 1996, Cet.8, hlm. 235
8
Ali Hasan, Hukum Warisan Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, t.th, hlm. 9
9
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Bandung : PT Alma’arif, 1975, hlm.32

4
Dengan demikian, secara operasional dapat ditegaskan
bahwa dalam konteks kewarisan, kata faraidh tetap dimaksudkan
sebagai pengalihan harta pewaris kepada ahli warisnya dengan
saham yang pasti

3. Makna Al-Tirkah

Al-Tirkah dalam bahasa Arab adalah bentuk masdar dari


kata tunggal taraka, mengandung beberapa makna dasar, yakni
membiarkan menjadi,mengulurkan lidah, meninggalkan agama dan
harta peninggalan.10
Adapun makna tirkah dalam kewarisan islam dibatasi pada
makna harta peninggalan. Tirkah dijelaskan oleh firman Allah dalam
surat al-Nisa’ (4) ayat 7 :
‫َصيب‬
ِ ‫سا ِء ن‬َ ِ‫ان َو ْاْل َ ْق َربُونَ َو ِللن‬ِ َ‫َصيب ِم َّما تَ َر َك ْال َوا ِلد‬ ِ ‫ِل ِلر َجا ِل ن‬
‫صيبا‬ ِ َ‫ِم َّما ت َ َر َك ْال َوا ِلد‬
ِ ‫ان َو ْاْل َ ْق َربُونَ ِم َّما قَ َّل ِم ْنهُ أ َ ْو َكث ُ َر َن‬
‫َم ْف ُروضا‬
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan”.

Adapun tirkah dalam kontek kewarisan adalah semua harta


peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum diambil untuk
kepentingan pemeliharaan jenazah, pembayaran utang dan
pelaksanaan wasiat serta pembagian kepada ahli warisnya.

Setelah diuraikan ketiga makna yang digunakan dalam al-


qur’an mengenai kewarisan maka yang dimaksud dengan kewarisan
islam adalah ketentuan yang mengatur perpindahan harta dari orang
yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup berdasarkan
ketentuan Allah dan Rasulnya dengan cara-cara dan ketentuan
tertentu.
Selanjutnya untuk menyeragamkan penggunaan kata dalam
buku ini, maka penulis akan menggunakan istilah faraidh saja yang

10
Ali Parman, Op.Cit. 30

5
dengan demikian disini penulis mempersamakan pengertian ilmu
faraidh dengan fiqih mawarits.

B. Ruang Lingkup Kajian Ilmu Faraidh

Setelah diketahuinya pengertian tentang kewarisan islam,


dan kewarisan dalam islam ini sudah menjadi suatu disiplin ilmu,
maka timbul suatu pertanyaan apa saja yang menjadi kajian dalam
ilmu faraidh ini ?
Yang manjadi ruang lingkup kajian fiqih mawarits adalah
sebagai berikut :

1. Hak-hak yang berkaitan dengan harta peninggalan /pusaka


2. Syarat-syarat menerima pusaka
3. Sebab-sebab menerima pusaka
4. Penghalang-penghalang dari menerima pusaka
5. Tertib urutan hak-hak atas harta pusaka
6. Bagian masing-masing ahli waris dari harta pusaka
7. Orang-orang yang mendapat harta waris
8. Orang-orang yang tidak mendapat harta waris
9. Cara membagi harta waris serta
10. Hukum-hukum yang berpautan dalam masalah waris

C. Ugensi Dan Kedudukan Ilmu Faraidh


Manusia dalam keadaannya, menempati dua posisi yaitu
hidup dan mati, hal ini sudah menjadi taqdir Allah SWT yang harus
dijalani oleh manusia. Oleh karena itu Hukum waris sangat erat
kaitannya dengan salah satu dari dua keadaan manusia diatas yakni
kematian, sebab sesuatu hal yang tidak dapat dielakan oleh manusia
adalah masalah kematian, sebagaimana firman Allah dalam Al-
Qur'an :

.....ِ‫ُك ُّل نَ ْف ٍس ذَائِقَةُ ْال َم ْوت‬


Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.(Q.S Ali Imran : 185 )

6
Selanjutnya dengan kematian seseorang ini muncul suatu
masalah yakni bagaimana urusan dan kelanjutan hak-hak serta
kewajiban sebagai akibat dari meninggalnya seseorang? Oleh karena
itu dengan sifat Maha Tahu nya Allah dan dengan kasih sayangnya,
ia meciptakan ketentuan hukum yang berkaitan dengan hal
pembagian harta waris yang oleh ulama disusun dalam suatu disiplin
ilmu yakni Ilmu faraidh

Sehubungan dengan hal diatas, karena hukum waris ini


mengatur urusan salah satu dari dua keadaan seseorang diatas maka,
hukum waris ini menempati setengah urusan kehidupan manusia,
jika ilmu-ilmu syariah yang lain berkaiatan dengan hal kehidupan
manusia sebelum meninggal, maka hukum waris berkenaan dengan
aturan setelah manusia meninggal dunia.

Selain dari hal itu pentingnya mempelajari ilmu faraidh ini


didasarkan pada hadit-hadits rasulullah sebagai berikut

‫مرم َم ْقبُو ْووض‬ ُ ْ‫فَ وا ِِنى ا‬. َ ‫ع ِل ُم ْواَاالنَّا‬ َ ‫ض َو‬ ْ ‫ ت َ َعلَّ ُمو ْووااْلفَ َرا ِئ‬
َ ‫ى ْي ْ ت َ ِل و‬ َّ ‫ض َوت ْ َْو ُور اْل ِف وت َ ُن َحت و‬ َ ‫َوا َِّن َا واَا اْل ِع ْلو َوم‬
ُ َ‫س ويُ ْقب‬
‫ص ُل بَ ْينَ ُْ َما‬ِ ‫ان َم ْن يَ ْف‬ ِ َ‫ض ِة فَالَيَ ِجد‬َ ‫َان فِى اْلفَ ِر ْي‬ ِ ‫اْ ِالثْن‬
11
"Belajarlah Ilmu faraidh dan ajarkanlah kepada orang lain,
sesungguhnya aku ini manusia biasa yang pasti mati, dan ilmu
pengetahuan ini (Faraidh) akan diangkat (hilang), setelah itu
akan timbul fitnah.hampir-hampir saja dua orang yang
berselisih dalam membagi harta waris tidak dapat menemukan
orang yang melerai keduanya. (H.R. Nasa’I ) "

 Abdullah bin Amr bin al-Ash ra. berkata bahwa Nabi saw.
bersabda, "Ilmu itu ada tiga, selain yang tiga hanya bersifat
tambahan (sekunder), yaitu ayat-ayat muhakkamah (yang

11
Imam Abi Abdurrahman Ahmad Bin Syu’aib An-Nasa’i, Kitab As-Sunan Al-
Kubra , juz-4, Libanon: Darul Kitab Al Ilmiah, t.th, hlm. 63

7
jelas ketentuannya), sunnah Nabi saw. yang dilaksanakan, dan
ilmu faraid." (HR Ibnu Majah)
 Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Nabi saw. bersabda,
"Pelajarilah ilmu faraid serta ajarkanlah kepada orang lain,
karena sesungguhnya, ilmu faraid setengahnya ilmu; ia akan
dilupakan, dan ia ilmu pertama yang akan diangkat dari
umatku." (HR Ibnu Majah dan ad-Darquthni)
 Dalam riwayat lain disebutkan, "Pelajarilah ilmu faraid,
karena ia termasuk bagian dari agamamu dan setengah dari
ilmu. Ilmu ini adalah yang pertama kali akan dicabut dari
umatku." (HR Ibnu Majah, al-Hakim, dan Baihaqi)
Dengan memperhatikan uraian diatas dapat kita pahami begitu
penting dan begitu tingginya kedudukan ilmu faraidh ini.

D. Tujuan Mempelajari Ilmu Faraidh

Dengan mempelajari Ilmu faraidh ini, diharapkan setiap


orang khususnya seorang muslim lebih bisa menjaga dan
memelihara hak-hak seseorang atas harta peninggalan, sementara
tataran praktisnya adalah mampu menghitung dan membagi harta
kewarisan sesuai dengan kaidah-kaidah yang digariskan dalam
hukum Islam.

E. Hukum Mempelajari Ilmu Faraidh

Hukum mempelajari ilmu faraidh pada dasarnya adalah


wajib, hal ini dapat dilihat dari redaksi hadits rasulullah yang secara
tegas memerintahkan untuk belajar dan mengajarkan ilmu Faraidh.

‫مرم َم ْقب ُْووض َوا َِّن‬ ُ ْ‫فَاِنِى ا‬. َ ‫ع ِل ُم ْواَاالنَّا‬ َ ‫ض َو‬ ْ ِ‫ت َ َعلَّ ُم ْوااْلفَ َرائ‬
‫َوان فِوى‬ َّ ‫ض َوت ْ َْ ُر اْل ِفت َ ُن َحت‬
ِ ‫ى ْي ْ ت َ ِل َ اْ ِالثْن‬ ُ َ‫سيُ ْقب‬َ ‫َااَا اْل ِع ْل َم‬
ِ ‫ان َم ْن َي ْف‬
‫ص ُل َب ْينَ ُْ َما‬ َ ‫اْلفَ ِر ْي‬
ِ َ‫ض ِة فَالَ َي ِجد‬
"Belajarlah Ilmu faraidh dan ajarkanlah kepada orang lain,
sesungguhnya aku ini manusia biasa yang pasti mati, dan ilmu

8
pengetahuan ini (Faraidh) akan diangkat (hilang), setelah itu
akan timbul fitnah.hampir-hampir saja dua orang yang
berselisih dalam membagi harta waris tidak dapat menemukan
orang yang melerai keduanya. (H.R. Al-Hakim ) "

Dalam redaksi hadits tersebut menggunakan fiil amr (kata


kerja yang bermakna perintah ), kata perintah disini menunjukan
hukumnya wajib hal ini didasarkan pada kaidah yang terdapat dalam
metode istinnath hukum (ushul fiqih) yakni :

ِ ‫ص ُل فِى اْْل َ ْم ِر ِل ْل ُو ُج‬


‫ب‬ ْ َ ‫اَْل‬
Dasar dari perintah itu adalah wajib.

Namun walau demikian wajibnya disini adalah wajib


kifayah, dalam arti kewajiban mempelajari ilmu faraidh ini gugur
ketika sebagian orang telah melaksanakannya dan menguasainya.

Akan tetapi jika tidak ada seorangpun yang mempelajari


ilmu faroidl dan melaksanakannya maka semua orang Islam di dunia
ini menanggung dosa seperti halnya kewajiban-kewajiban kafa’i
lainnya. Begitu pentingnya ilmu faroidl, sehingga dikatakan oleh
Nabi Muhammad SAW bahwa ilmu waris disebut sebagai separoh
ilmu

F. Sejarah Perkembangan Hukum Waris

Dalam point ini, akan diuraikan tentang perkembangan


hukum waris , yang disini penulis akan membaginya beberapa
periode diantaranya

I. Hukum Waris Pada Zaman Jahiliyah


Sebagamana diketahui ajaran Islam diturunkan di jazirah
Arabia, tepatnya di Kota Mekkah. Jazirah Arabia ditempati dari
bermacam suku atau kabilah yang masing-masing mempunyai adat
istiadat (tradisi) yang berbeda-beda, disamping beberapa kesamaan.

9
Dibidang mu’amalah dan pembagian harta pusaka mereka
berpegang kepada adat istiadat yang telah diwariskan turun-temurun
dari nenek moyang. Ada beberapa hal yang patut kita soroti dalam
masalah kewarisan yang berlaku pada masa itu, pertama; orang
yang berhak menerima pusaka, kedua; sebab-sebab kewarisan,
ketiga; adalah obyek yang diwariskan.

a) Orang yang berhak menerima pusaka

Pada masa jahiliyah, orang yang berhak menerima pusaka


adalah khusus dari golongan laki-laki, itu pun yang sudah dewasa,
perempuan dan anak kecil tidak mendapatkan hak waris. Hal ini
didasarkan pada suatu ungkapan yang berlaku pada masa itu yakni ”
Bagaimana kami akan memberi harta kepada orang yang tidak cakap
menunggang kuda dan tidak sanggup menghunus pedangserta
memerangi musuh!” 12

Tradisi tersebut dijadikan sebagai justifikasi untuk


meniadakan hak waris perempuan dan anak kecil. Bahkan dalam
tradisi mereka janda dari orang yang meninggal merupakan harta
peninggalan yang bisa diwarisi (dipusakai) oleh ahli waris si mati.
Dengan demikian perempuan pada masa jahiliyah bukan saja tidak
dapat bagian dari harta pusaka jusrtru dijadikan sebagai obyek yang
diwariskan. Yang dengan demikian kewarisan pada masa jahiliyah
sangat tidak melindungi hak-hak orang-orang yang lemah,

b) Sebab-sebab kewarisan pada masa jahiliyah

Adapun sebab-sebab terjadinya pusaka mempusakai pada


masa jahiliyah adalah :

1. Adanya pertalian kerabat ;


2. Adanya janji prasetnya (muhalafan) ;
3. Adanya pengangkatan anak (tabany atau adopsi).
Ketiga sebab tersebut harus dilengkapi syarat-syaratnya
yaitu dewasa dan laki-laki.

12
Ali Ash-shabuni. Op.Cit. hal.25

10
Para ahli waris di zaman jahiliah dari golongan kerabat
semuanya terdiri dari kaum laki-laki, yaitu anak laki-laki, saudara
laki-laki, paman dan anak laki-laki. Janji prasetya baru terjadi dan
mempunyai kekuatan hukum, apabila salah satu pihak telah
mengikrarkan janji prasetya kepada pihak lain dengan sumpah.

Tentang anak laki-laki dari orang lain yang diangkat


(diadopsi) bila sudah dewasa dan bapak angkatnya meninggal dunia,
maka dia dapat mempusakai harta peninggalan bapak angkatnya dan
diperlakukan sebagai anak kandung. Pusaka mempusakai ini
berlangsung sampai pada masa awal Islam

II. Hukum Waris Pada Masa Awal Islam

Adapun waris mewaris di awal-awal Islam disamping


adatnya hubungan kerabat atau pertalian darah juga dapat
disebabkan karena :

1. Pengangkatan anak (tabany atau adopsi) ;


2. Hijrah dari Mekkah ke Madinah ;
3. Persaudaraan antara kaum muhajirin dan Anshar 13
Masalah pengangkatan anak atau adopsi tidak bertahan lama
dimasa awal Islam dan setelah turunnya ayat 4, 5 dan 40 yang
tercantum pada surah Al Ahzab lembaga adopsi dan akibat
hukumnya dinyatakan tidak boleh diberlakukan lagi.

Hijrah atau persaudaraan sebagai sebab untuk mewaris atau


mempusakai itu dibenarkan oleh Allah SWT sebagaimana firman-
Nya yang tercantum pada surah Al Anfal ayat (72), yang artinya
sebagai berikut :

13
Persaudaraan antara kaum muhajirin dan anshar ashabuni menyebut
dengan istilah Mua’akhah yaitu persaudaraan yang dipertalikan oleh
Rasulullah,antara muhajirin dan anshar. Orang muhajirin membagi harta
pusakanya kepada kaum anshar dan kaum anshar membagi pusakanya
kepada kaum muhajirin tidak kepada kerabatnya. Lihat Ashabuni.op.Cit.
hal. 22

11
”Sesungguhnya orang-orang yang beriman, berhijrah dan
berjihat pada jalan Allah dengan harta dan jiwanya dan orang-orang
yang melindungi serta menolong, mereka itu sebagiannya menjadi
wali bagi yang lain. Sedangkan orang-orang yang beriman tetapi
enggan berhijrah tak ada kewajiban sedikitpun bagimu mewakilkan
mereka, sebelum mereka berhijah.”

Drs. Fathur Rahman dalam tulisannya bahwa sebagian dari


mufassirin (ahli tafsir al Qur’an) seperti ibnu Abbas, r.a al Hasan,
Mujahid dan Qatadah menafsirkan perwakilan dalam ayat tersebut
ialah hak mempusakai yang ditimbulkan oleh kekerabatan, yaitu
kekerabatan yang terjalin oleh adanya ikatan persaudaraan antara
orang-orang Muhajirin dengan Orang-orang Anshar.
Sistem kewarisan seperti ini terus berlangsung sampai
agama menetapkan kaidah-kaidah penetapan hukum waris pada
masa pembebasan kota mekah. Dan Allah mengganti sistem
kewarisan muakhahah dan hijrah dengan qarabah dan Nasab

III. Hukum Waris Pada Masa Islam Telah Sempurna

Hukum kewarisan Islam pada dasarnya merupakan respon


sosial atas pola ketidak adilan yang berlaku pada masa itu,
khususnya pada Jaman jahiliyah, ketika hak-hak kaum lemah tidak
diusung, hal ini dapat kita lihat dari sisi anak-anak kecil dan
perempuan yang tidak dapat hak atas harta pusaka. Lebih-lebih
perempuan yang justru menjadi obyek waris
Dalam sisitem kewarisan Islam hak-hak mereka dipelihara,
hukum waris islam memberikan mereka porsi atas harta peninggalan
kerabatnya baik laki-laki atau perempuan apakah dia dewasa
ataupun masih kecil, mereka sama-sama memiliki hak untuk
mendapatkan harta pusaka selama ada hubungan nasab atau
kekerabatan.
Perempuan pun yang pada masa jahiliyah menjadi obyek
waris kini menjadi subyek waris walau dalam sebagian orang ada
yang mempersoalkan khususunya misionaris gender atas porsi yang
diberikan kepada perempuan dengan laki-laki berbeda yakni laki-
laki medapat dua bagian dari perempuan.

G. Azas-Azas Kewarisan Islam

12
Yang dimaksud dengan azas kewarisan disini adalah dasar-
dasar yang membangun teori kewarisan dalam Islam adapun azas-
azas tersebut adalah sebagai berikut :
1. Asas Ijbari
Ijbari secara bahasa artinya memaksa, hal ini mengandung
arti bahwa peralihan harta dari seseorang yang meninggal kepada
ahli warisnya berlaku dengan sendirinya atau secara otomatis
berdasarkan ketetapan Allah SWT. bukan bergantung kepada
kehendak si pewaris atau ahli warisnya, unsur memaksa dalam
hukum waris ini dikarenakan kaum muslim terikat untuk taat kepada
Allah sebagai konsekuensi logis atas pengakuan kemahaesaan Allah
dan kerasulan Muhammad SAW yang dinyatakan dalam dua
kalimah syahadat14.

Dengan demikian tidak perlu kiranya pewaris menjanjikan


sesuatu yang akan diberikan kepada ahli warisnya sebelum ia
meninggal dunia atau tidak perlu ahli waris meminta-minta haknya
kepada calon pewarisnya, karena hal ini telah ditetapkan oleh Allah
SWT.15 Dengan demikian asas ijbari ini mengandung beberapa
konsepsi yang memiliki suatu konsekuensi terhadap harta waris
sebagai berikut :

a. Bahwa pemilik mutlak atas harta/materi adalah Allah,


manusia hanya sebatas hak guna pakai atau
memanfaatkannya saja berdasarkan ketentuan Allah SWT.
Sebagiamana firman Allah SWT:
‫هلل ما فى السماوت وما فى االرض‬
Kepunyaan Allah lah segala apa yang ada dilangit dan
dibumi

14
Juhaya S.Praja. Filsafat Hukum Islam. 1995. Bandung : LPPM UNISBA
hal 107
15
Ibid hal 108

13
b. Harta hanya berhak dimanfaatkan dan digunakan oleh
manusia yang masih hidup, karena harta pada dasarnya
adalah alat dalam menjalani kehidupan
َ‫يَ ْو َم َال َي ْنفَ ُع َمال َو َال َبنُون‬
Pada hari (setelah kematian) dimana harta dan anak-anak tak
bermanfaat lagi, (Qs.Asyu'ara : 88)

c. Seseorang yang meninggal dunia putus hubungannya


dengan harta, dengan demikian harta tersebut
kepemilikannya kembali pada Allah SWT yang dengan
sendirinya diatur sesuai dengan ketetuan-Nya
d. Hanya Allahlah yang berhak menentukan kepada siapa dan
berapa banyak harta itu didistribusikan kembali, hal ini
terlihat pada firman Allah setelah menjelaskan tentang
hukum-hukum waris
‫ت‬ٍ ‫سولَهُ يُد ِْخ ْلهُ َجنَّا‬ َّ ِ‫ّللا َو َم ْن ي ُِطع‬
ُ ‫ّللاَ َو َر‬ ِ َّ ُ‫تِ ْل َك ُحدُود‬...
‫ار خَا ِلدِينَ فِي َْا َوذَ ِل َك ْالفَ ْو ُز‬ ُ َْ ‫ت َ ْج ِري ِم ْن تَ ْح ِت َْا ْاْل َ ْن‬
ُ‫سولَهُ َو َيتَ َعدَّ ُحد ُودَهُ يُد ِْخ ْله‬ َّ ‫ص‬
ُ ‫ّللاَ َو َر‬ ِ ‫) َو َم ْن َي ْع‬13(‫ْال َع ِ ي ُم‬
)14( ‫عاَاب ُم ِْين‬ َ ُ‫نَارا خَا ِلدا ِفي َْا َولَه‬
…(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan
dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya,
niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang
mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di
dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar. Dan
Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan
melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah
memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di
dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.(Qs.An-
Nisa 13 & 14 )

14
e. Dalam kewarisan islam Harta warisan didistribusikan
kembali (dibagikan) kepada orang-orang yang memiliki
hubungan batin terdekat dengan yang meninggal seperti
istri, anak-anak, orang tua, saudara-saudara, dan kerabat-
kerabat yang ada hubungan darah dengannya, atau orang
yang memerdekakan dirinya. Oleh karena itu, hubungan
antara yang hidup dengan yang telah meninggal secara batin
terus ada. Kalau selagi hidup hubungan itu terikat dengan
keberadaannya dan kalau sudah meninggal hubungan terikat
dengan harta yang ditinggalkannya.
f. Laki-laki dan perempuan sama-sama medapatkan bagian
dari harta yang diwariskan. Kepemilikan harta yang
diperoleh oleh masing-masing dari harta warisan adalah sah
sebagai milik pribadinya baik laki-laki ataupun perempuan
sesuai dengan bagian yang telah ditetapkan baginya.
g. Harta yang diwariskan bukan saja berupa harta berwujud
tetapi juga termasuk hak-hak yang masih menjadi milik
orang yang meninggal.
‫شيْأ َو َرثَهُ ِب ُحقُ ْو ِق ِه‬ َ ‫ُك ُّل َم ْن َو َر‬
َ ‫ث‬
Setiap orang yang mewarisi sesuatu, maka dia mewarisi pula
hak-haknya(yang bersifat harta)16
Contohnya, hak khiyar terhadap barang, karena hak khiyar
tetap ada dalam jual beli. Demikian pula hak terhadap
hutang atau gadai atau hak cipta yang diwariskan.
Kedudukan ahli waris dalam hal ini menduduki kedudukan
orang yang meninggal.
h. Harta yang diwariskan dibagikan kepada ahli warisnya
setelah dikurangi hal-hal sebagai berikut :
1. Biaya pemeliharaan mayat,
2. Pembayaran utang orang yang meninggal.

16
Muhammad Al-Ruki. Qawaid al-Fiqh Al-Islami.tt.Beirut : Dar Al-Qolam
hal 271

15
3. Pemenuhan wasiyat sampai batas yang diperbolehkan
syara’, yaitu tidak lebih dari sepertiga harta yang
ditinggalkannya (setelah point a, dan b.)17
i. Harta harus diserahkan kepada baitul mal jika orang yang
meninggal dunia tidak meninggalkan ahli waris satu pun

‫كل من مات من المسلمين ال وارث له فماله لبيت المال‬


Setiap muslim yang meninggal tanpa memiliki ahli waris
maka hartanya diserahkan kepada Bait al-Mal18

2. Asas Warasta

Warasta dalam al-Qur'an mengandung pengertian makna


peralihan harta setelah kematian, asas ini menyatakan bahwa
kewarisan itu hanya ada kalau ada yang meninggal dunia, ini berarti
bahwa kewarisan dalam hukum Islam itu semata-mata sebagai akibat
dari kematian seseorang. Tidak dapat disebut sebagai harta waris
jika sipemilik harta masih dalam keadaan hidup.

Berkaiatan dengan hal diatas, kematian dalam hukum waris


merupakan kematian yang didasarkan pada sesuatu yang wajar atau
kematian yang ditetapkan secara hukum (kematian hukmi/kematian
yang ditetapkan oleh hakim), sebab jika tidak wajar atau disengaja
misalnya dibunuh oleh anaknya, maka hal tersebut akan
menghalangi ahli warisnya mendapatkan hak waris. Sebagaimana
sabda Nabi :

َ ‫لَي‬
َ ‫ْس ِلقَاتِ ٍل ِم‬
‫يراث‬
19

17
Tim Dosen PAI UPI. Pendidikan Agama Islam. 2005: Bandung : Value
Press.
18
Ali Ahmad al-Nadwi, Al-Qawaid al-Fiqhiyyah. 1998. Cet V. Beirut: Dar
Al-Qalam. Hal 95

16
Pembunuh itu tidak mendapatkan harta warisan (Hr. Ibn Majah)

Senada dengan hadits inilah para ulama fiqih merumuskan suatu


kaidah

‫ب ِب ِح ْر َمانِ ِه‬ ُ ‫شيْأ قَ ْب َل ا َ َوانِ ِه‬


َ ِ‫ع ْوق‬ َ ‫َم ِن ا ْست َ ْع َج َل‬
Baranga siapa yang tergesa-gesa terhadap sesuatu yang belum tiba
waktunya maka harus menanggung akibat tidak mendapatkan
sesuatu itu20
Kaidah ini pada dasarnya merupakan siyasah dalam syariat
Islam dalam mencegah suatu kejahatan atau sebagai jalan menutup
bagi perbuatan yang memungkinkan terjadinya kejahatan. yakni
dengan memberikan ancaman tidak mendapatkan apa-apa akibat
perbuatan yang dilakukan.
Dalam hal warisan, seandainya sianak tergesa-gesa
menginginkan warisan dengan cara membunuh pewarisnya maka
akbatnya justru ia tidak akan memperoleh harta warisan itu sebab, ia
tidak masuk dalam lindungan ayahnya, kalau termasuk mengapa ia
membunuh pelindungnya.21

3. Asas Tsulutsailmal
Asas ini menyatakan bahwa wasiat tidak boleh melebihi
sepertiga dari jumlah harta peninggalan, jumlah sepertiga ini
didasarkan pada hadits Rasulullah

19
Sunan Ibn Majah Bab Al-Qatilu la Yurastu, Juz 8 Hal 204 Hadits No
2748
20
Jalaludin Abdurrahman As-Suyuti. Al-Asyba’ Wan Nadhoir. Tt
Indonesia.Syirkah Nur Asia. Hal 103
21
Muchlis Usman. Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah. Pedoman
Dasar Dalam Isntinbath Hukum Islam.2002. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada. Hal 170

17
‫ اِنَّ َك ا َ ْن تَاَ َر َو َرثَت َ َك أ َ ْغ ِنيَا َء َخيْر ِم ْن ا َ ْن‬.‫ث َكثِيْر‬ ُ ُ‫ث َوالثُّل‬ ُ ُ‫الثُّل‬
َ ‫عالَة َيت َ َكفَّفُ ْونَ النَّا‬ َ ‫تَاَ َر ُا ْم‬
(Kamu berwasiat sepertiga) dan sepertiga itu banyak, sesungguhnya
lebih baik kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan
berkecukupan daripada meninggalkan mereka dalam keadaan
miskin, mengemis kepada orang lain (Hr. Muslim)

‫ث أ َ ْم َوا ِل ُك ْم ِزيَادَة فِى ا َ ْم َوا ِل ُك ْم‬


ِ ُ‫علَ ْي ُك ْم ِع ْندَ َوفَاتِ ُك ْم ِبث ُل‬ َ َ ‫ا َِّن هللاَ ت‬
َ َ‫صدَّق‬
Sesungguhnya Allah SWT , telah menganjurkan kalian
bersedekah dengan sepertiga harta kalian dikala kalian meninggal
dunia (dengan jalan wasiat), sebagai tambahan bagi kalian dari amal
baik kalian (Hr.Ibn Majah melalui abu hurairah dan Thabrani dalam
al-kabir melalui muadz dan Abu Dzar)

Adanya batasan dalam jumlah pemberian washiyat ini, para


ulama menetapkan suatu kaidah yang senada dengan hadits diatas
yakni

‫صيَّةُ ِب ُك ِل ْال َما ِل‬


ِ ‫ص ُّح ْال َو‬
ِ َ‫الَي‬
Tidak sah washiyat dengan keseluruhan harta 22

Walaupun demikian menurut Juhaya S. Praja , Setiap orang


bebas dalam melaksanakan wasiat tanpa menunggu persetujuan dari
dari siapa pun. oleh karena itu jika wasiat lebih dari sepertiga harta
peninggalan hal itu harus mendapat persetujuan dari ahli waris.
Inilah yang menjadi kandungan dari suatu kaidah

ُ‫ث اِالَّ ا َ ْن ي ُِجيْزَ اْ َلو َرث َة‬


ٍ ‫صيَّةَ ِل َو ِار‬
ِ ‫الَ َو‬

22
As-Suyuhti. Al-Asybah Wan Nazhair fi Qawaid wa Furu’ Fiqh al-Syafi’i
1979. Beirut : Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah. Cet 1 hal 502

18
( tidak ada hak menerima washiat kecuali para ahli waris
membolehkannya ) 23

Selanjutnya mengenai siapa yang berhak menerima washiyat


telah dijelaskan oleh para ulama, bahwa ahli waris tidak boleh
menerima wahiyat kecuali istri berdasarkan hadits berikut

‫عن أبى امامة الباالى قال سمعت رسول هللا صلى هللا عليه‬...
‫وسلم يقول في خطبته فى حجة الوداع ان هللا عزوجل قد‬
...‫اعطى كل ذى حق حقه الوصية لوارث‬
Dari abi Umamah beliau berkata; Rasulullah bersabda dalam
khutbah pada haji wada " Sungguh Allah telah memberikan hak
(waris) kepada setiap yang berhak. Oleh karena itu, tidak ada wasiat
(tambahan harta) bagi orang yang (telah) mendapatkan warisan’) 24

‫ فال يجوز‬. ‫إن هللا قسم لكل وارث نصيبه من الميراث‬


.....‫لوارث وصية‬
Sesungguhnya Allah telah membagikan bagian harta waris untuk
setiap ahli waris, oleh karena itu tidak boleh ahli waris menerima
washiat….(Hr. Baihaqi). 25
Adapun mengenai ayat berikut:
ِ ‫ض َر أ َ َحدَ ُك ُم ْال َم ْوتُ ِإ ْن تَ َر َك َخ ْيرا ْال َو‬
ُ‫صيَّة‬ َ ‫علَ ْي ُك ْم ِإذَا َح‬ َ ‫ب‬ َ ‫ُك ِت‬
َ‫علَى ْال ُمتَّقِين‬
َ ‫وف َحقا‬ِ ‫ِل ْل َوا ِلدَي ِْن َو ْاْل َ ْق َر ِبينَ بِ ْال َم ْع ُر‬

23
Juhaya S.Praja. op.cit. hal 109
24
Sunan Baihaqi, Juz 6 Hal 244. Soft ware Maktabah Syamilah
25
Sunan Ibn Majah, Bab La washiyata lil warisi Juz 2 hal 905 CD
Maktabah Syamilah

19
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf (ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (Qs.Al-Baqarah
: 180)

Menurut para ulama ayat ini turun sebelum ayat waris dan
ayat ini telah dinasakh oleh ayat waris, oleh karena itu seseorang
tidak boleh lagi berwasiat untuk membagikan sejumlah harta tertentu
untuk para ahli warisnya karena ahli waris telah mendapatkan bagian
yang telah ditetapkan oleh Allah. Adapun wasiat untuk selain ahli
waris maka hukumnya diperbolehkan.

Selanjutnya berkaiatan dengan washiyat ini, jika kita lihat


redaksi ayat :

‫ُوصي ِب َْا أ َ ْو دَي ٍْن‬ ِ ‫ِم ْن َب ْع ِد َو‬


ِ ‫صيَّ ٍة ي‬
....Sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya..(Qs Al-Nisa: 11)

Maka washiyat harus didahulukan daripada membayar hutang. tetapi


walau demikian jumhur ulama ahli faraid sepakat bahwa hutang
harus didahulukan dari pada washiyat. Hal ini berdasarkan ketetapan
Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ali Bin Abi Thalib
‫صى ِب َْا أ َ ْو‬ ِ ‫ ِإنَّ ُك ْم ت َ ْق َرمُ ونَ ِم ْن بَ ْع ِد َو‬: ‫ قَا َل‬، ٍ ‫ع ِلي‬
َ ‫صيَّ ٍة يُو‬ َ ‫ع ْن‬ َ ...
َ ‫سلَّ َم َق‬
‫ضى ِبالدَّي ِْن َق ْب َل‬ َ ‫ع َل ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ِ‫سو َل هللا‬ ُ ‫ َو ِإ َّن َر‬، ‫دَي ٍْن‬
ِ ‫ْال َو‬
...‫صيَّ ِة‬
Dari Ali K.W. berkata jika kalian membaca "mimba'di washiyatin
yusha bia au dain" maka sesungguhnya Rasulullah telah menetapkan

20
pembayaran hutang lebih didahulukan sebelum washiyat" (Hr.
Ahmad ) 26
Berdasarkan hadits tersebut jelaslah bahwa hutang harus
didahulukan daripada washiyat dengan alasan-dalam pandangan
hemat penulis, membayar hutang merupakan satu kewajiban mayit
yang mutlak harus ditunaikan sementara menunaikan washiyat
adalah bentuk ihsan mayit yang berarti hal itu sunah hanya
pelaksanaan oleh ahli waris atas washiyat pewaris adalah wajib
karena merupakan amanah, oleh karena itu mendahulukan hal yang
wajib atas hal yang sunnah merupakan sesuatu hal dikehendaki oleh
ajaran Islam sebagaimana kaidah :
ُ ‫الواجب الَيُتْ َركُ ِل‬
‫سنَّ ٍة‬
Sesuatu yang wajib tidak boleh ditinggalkan dengan melakukan
yang sunnah.
Adapun redaksi ayat yang mendahulukan washiyat dari pada
hutang mengandung hikmah tersendiri yaitu penyebutan yang
didahulukan menunjukan pentingnya yang disebut. Yakni agar
mendorong para ahli waris untuk menunaikan washiyat, tanpa
melalalikannya. Karena washiyat itu dipandang sebagai tabarru
mahdha (perbuatan baik semata-mata) yang tidak memerlukan
iwadh (pengganti), yang kadang-kadang para ahli waris enggal
melaksanakan washiyat itu. Lain halnya dengan hutang yang
dituntut iwadlnya (pengganti) oleh pemberinya karena sampai
matipun hutang tetap tanggungan sipeminjam.27
Dengan demikian pendahuluan kata wahshiyat daripada
hutang mengandung hikmah agar orang tidak melalaikan washiyat
dan menjadi kikir untuk memenuhi washiyat oleh para ahli
warisnya. Karena wahsiyat adalah salah satu bentuk ihsan pewaris
kepada yang lain agar ditunaikan oleh ahli warisnya

26
Musnad Imam Ahmad , Bab Musnad Ali Bin Abi Thalib. Juz I hal 144
27
Muhammad Ali Ash-Shabuni . Al-Mawarits Fi Al-Syari'ati Al-Islamiyati
'Ala Dhaui al-Kitabi Wa Al-Sunnati Alih bahasa M.Samhuji Yahya hal
44

21
4. Asas Bilateral
Hukum waris Islam menganut Asas bilateral, hal ini berarti
bahwa seseorang menerima hak waris atau bagian waris dari kedua
belah pihak yaitu dari kerabat keturunan laki-laki dan dari kerabat
perempuan.

Asas ini dapat dijumpai dasar hukumnya dalam al-qur'an


surat An-Nisa ayat 7,11,12 dan 176 yang secara rinci dapat
dijelaskan sebagai berikut.

 Ayat 7 An-Nisa
Ayat ini menegaskan bahwa seorang laki-laki
berhak mendapat warisan dari ayahnya dan juga dari
ibunya, demikian juga perempuan ia berhak
mendapat warisan dari kedua orang tuanya.

 Ayat 11 An-Nisa
Ayat ini menegaskan hal-hal berikut :

a. Anak perempuan berhak menerima warisan dari


orang tuanya sebagaimana halnya dengan anak
laki-laki dengan perbandingan satu orang anak
laki-laki berbanding dua orang anak perempuan
b. Ibu berhak mendapat warisan dari anaknya,
baik laki-laki maupun perempuan, sebesar
seperenam.demikian juga ayah berhak
menerima warisan dari anaknya baik laki-laki
maupun perempuan, sebesar seperenam bila
pewaris meninggalkan anak.
 Ayat 12 An-Nisa
Ayat ini menjelaskan bahwa :

22
1. Seorang laki-laki yang mati punah, maka
saudaranya yang laki-lakilah yang berhak atas
atas harta peninggalannya, juga saudaranya
yang perempuan berhak mendapat warisannya
itu.
2. Bila pewaris yang mati punah itu seorang
perempuan, maka saudaranya, baik laki-laki
maupun perempuan, berhak menerima harta
warisnya.
 Ayat 176 An-Nisa
Ayat ini menyatakan bahwa :

1. Seorang laki-laki yang tidak mempunyai


keturunan, sedangkan ia mempunyai saudar
perempuan, maka saudaranya perempuan itulah
yang berhak menerima warisannya.
2. Seorang perempuan yang tidak mempunyai
keturunan, sedangkan ia mempunyai saudara
laki-laki, maka saudara laki-laki itulah yang
berhak mendapat harta warisannya.

Selain dari itu azas ini juga menggambarkan adanya


skala prioritas dalam mendapatkan harta dari pewaris yakni
siapa yang paling dekat dengan orang yang meninggal. Hal
ini tertuang dalam suatu kaidah fiqih
ْ َ ‫ب اْْل‬
ُ‫ض َع َ ِم ْنه‬ ُ ‫ا َ َّن اْْل َ ْق َوى قَ َربة يَ ْح ُج‬
Kekerabatan yang lebih kuat menghalangi kekerabatan yang
lebih lemah.28
Hal ini berarti saudara laki-laki seibu sebapak
menghalangi saudara laki-laki seayah dalam mendapatkan
warisan. Artinya apabila ahli waris terdiri dari saudara laki-

28
Abu Zahrah, Ahkam al-tirkah wa al-Mawarits. 1963. Dar-Al-Fikr Al-
Farabi. hal 214

23
laki seibu-sebapa dan saudara laki-laki sebapak. Maka yang
mendapat warisan hanya saudara laki-laki seibu sebapak,
karena kekerabatnnya lebih kuat dari yaitu melalui garis ibu
dan bapak sedangkan saudara laki-laki sebapak saja
kekerabatannya lebih lemah karena melalui garis bapak saja.
Begitu juga dalam masalah ashabah dikenal dalam ilmu
faraidh tarjih ashabah yaitu tarjih jihat. Bahwa jihat
bunuwah lebih didahulukan dari jihat ubuwah, jihat ubuwah
lebih didahulukan dari jihat ukhuwah dan jihat ukhuwah
lebih didahulukan dari jihat umumah,
Kaidah tersebut hanya berlaku jika derajat
kekerabatannya sama, yakni sama-sama derajat saudara
seperti contoh diatas atau dalam cara-cara memperoleh harta
dengan jalan ashabah.
Selanjutnya ada pula kaidah yang dirumuskan oleh
para ulama yakni
َ ‫ُك ُّل َم ْن ا َ ْدلَى اِلَى ال َْالك ِب َوا ِس‬
ُ ‫ط ٍة فَالَ َي ِر‬
‫ث ِب ُو ُج ْو ِد َاا‬
Setiap orang yang dihubungkan dengan kepada yang
meninggal melalui perantaraan, maka dia tidak mewarisi
selama perantara itu ada29
Contohnya, antara kakek dan bapak, kakek tidak
dapat waris selama bapak orang yang meninggal itu ada,
karena kakek dihubungkan dengan orang yang meninggal
melalui bapak. Demikian pula anak laki-laki dengan cucu
laki-laki. Cucu laki-laki tidak menjadi ahli waris selama ada
anak laki-laki karena cucu laki-laki dihubungkan dengan
orang yang meninggal melalui anak laki-laki.

5. Asas Keadilan atau keseimbangan


Asas ini mengandung makna bahwa dalam
pembagian harta waris harus senantiasa terdapat

29
Muhammad Ar-Ruki, Qawaid Al-Fiqh Al-Islmi. Beirut : Dar Al-Qolam
hal 271

24
keseimbangan antara hak dan kewajiban, yakni antara hak
yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus
ditunaikannya.

Harta peninggalan ahli waris pada dasarnya nya


adalah kelanjutan tanggung jawab pewaris kepada
keluarganya. Dengan demikian bagian yang diterima oleh
masing-masing ahli waris harus berimbang dengan
perbedaan tanggung jawab masing-masing terhadap
keluarganya30.

6. Asas Individual

Asas individual dalam kewarisan Islam, berarti


bahwa harta warisan dapat dibagikan kepada ahli waris
untuk dimiliki secara perorangan. Dalam melaksanakan
Azas ini seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai
tertentu yang kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris
yang berhak menerimanya sesuai dengan kadarnya masing-
masing. Hal ini berarti setiap ahli waris berhak atas bagian
yang didapatnya tanpa terikat kepada ahli waris yang lain,
karena bagian masing-masing telah ditentukan (mafrudha).
Dasar hukum asas ini merujuk kepada surat An-Nisa ayat
7,12 dan 176.

Berdasarkan asas individual ini, maka setiap orang


yang berhak mendapat harta waris berarti ia bebas bertindak
atas harta yang dimilikinya, dengan catatan ia cakap dalam
mengelolanya. Jika ia masih kecil atau tidak memiliki
kecakapan atas hartanya maka diangkatlah wali untuk
bertanggung jawab atas harta tersebut. Misalnya bayi yang
memperoleh harta waris, maka yang bertanggung jawab atas
hartanya itu adalah walinya. Adapun jika nanti ia telah

30
Juhaya S.Praja. Op Cit. hal 111

25
dewasa dan memiliki kecakapan maka walinya
berkewajiban mengembalikan harta tersebut, dan satu hal
yang perlu dicatat, berdasarkan asas individual ini maka
harta seseorang yang berada dibawa perwaliannya tidak
boleh bercampur dengan harta walinya. (Juhaya S.Praja :
107-112)

EVALUASI

Jawablah oleh saudara pertanyaan-pertanyaan dibawah ini


dengan tepat !

1. Ajaran Islam mengatur segala aspek kehidupan manusia,


diantaranya tentang kewarisan, mengapa masalah kewarisan
harus diatur ? jelaskan dengan singkat !
2. Mengapa Nabi memerintahkan untuk mempelajari hukum
waris dan mengajarkannya ? jelaskan dengan singkat !

26
3. Apa arti faraidl, dan apa yang dimaksud dengan ilmu
faraidl? Jelaskan oleh saudara apa saja yang menjadi
ruanglingkup kajian dalam kewarisan dalam hukum Islam !
4. Jelaskan apa pentingnya kita mempelajari hukum kewarisan
Islam!
5. Jelaskan oleh saudara sejarah perkembangan hukum
kewarisan Islam secara singkat dan jelas !
6. Jelaskan oleh saudara sebab-sebab mewarisi pada zaman
jahiliyah dan pada masa awal Islam.!
7. Sebutkan Asas-asas Hukum Waris Islam !
8. Salah satu azas kewarisan Islam adalah Ijbari coba jelaskan
oleh saudara apa yang dimaksud dengan asas tersebut dan
apa implikasi hukum dari asas tersebut !
9. Apa yang dimaksud dengan asas bilateral dalam kewarisan ?
10. Apa yang dimaksud dengan asas kematian dalam kewarisan?

27

Anda mungkin juga menyukai