Anda di halaman 1dari 9

TUNGGU HAUL DALAM PERSPEKTIF KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA

Oleh :Drs. H. M. Karsayuda, SH. M.Ag.1 (Hakim Tinggi PTA.Banjarmasin) I. Pendahuluan. Pada masyarakat Banjar telah lama berjalan budaya mahaul. Mahaul atau bahaul (kata kerja, kata keadaannya : haulan) adalah kegiatan yang dilaksanakan sesudah setahun dan setiap tahun (kematian), dengan acara pembacaan tahlil dan doa haul yang diakhiri dengan makan bersama, sebagai selamatan kematian.2 upacara haul, yaitu upacara rutin pada setiap tahun sekali yang dilaksanakan tepat pada hari meninggalnya pewaris. Untuk keperluan haul ini biasanya ada harta peninggalan yang dipersiapkan untuk menutupi biayanya.3 Begitu mengakarnya budaya mahaul ini sehingga oleh masyarakat dipandang semacam sebuah kewajiban yang harus diselenggarakan setiap tahun. Dampak dari pandangan tersebut, maka kost yang timbul dari mahaul berupa biaya makan bersama menjadi beban yang harus ditanggung keluarga. Selain bahaul ada lagi kegiatan yang terkait dengan kematian, yaitu baaruah. Upacara yang dilakukan untuk orang yang meninggal disebut baaruah. Upacara ini diadakan untuk mendoakan orang yang baru meninggal dunia, agar arwahnya diterima Allah SWT.4 Baaruah adalah selamatan sebelum satu tahun, terdiri dari turun tanah yang dilaksanakan pada hari kematian, maniga hari (hari ketiga kematian), manujuh hari (hari ketujuh), manyalawi (hari kedua puluh lima) mamatang puluh (hari keempat puluh) dan manyaratus (hari keseratus). Biaya baaruah disatukan dengan pengeluaran untuk mayat yang dijadikan pengurangan dari peninggalan almarhum. Doa, zikir dan bacaannya pada dasarnya sama. Walaupun Syekh Muhammad Arsyad al Banjari menyebut kenduri yang berkaitan dengan kematian itu makruh lagi bidah,5 yang berlaku bagi penyelenggara maupun orang yang datang memenuhi undangan kenduri tersebut,6 namun kenyataannya baik baaruah maupun bahaul terus berlangsung di masyarakat Banjar. 1

Adakalanya biaya mahaul tidak diatur dalam keluarga, melainkan dilaksanakan dengan keikhlasan masing-masing anak keturunannya sebagai perwujudan dari bir al walidain . Tetapi ada yang diatur sendiri oleh almarhum sebelum dia meninggal dunia. Ada pula yang dilakukan dengan kesepakatan para ahli waris untuk menyisihkan sebagian harta warisan yang ditinggalkan orang tua. Sesuatu yang dicadangkan untuk biaya mahaul itulah yang disebut tunggu haul (pahaulan). Pada umumnya dan hampir selalu, yang dijadikan objek adalah lahan pertanian. Bentuk kedua dan ketiga tersebut di atas timbul apabila diantara ahli waris berpotensi ada yang melahirkan sengketa dikemudian hari. Permasalahan berkeinginan untuk menguasai baik pengelolaan maupun kepemilikan yang bisa dipindah tangankan. Lebih-lebih apabila objek tiba-tiba mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Dalam hal hasil yang diperoleh dari tunggu haul lebih besar dari biaya mahaul, maka berpotensi pula menjadi sengketa. Peralihan generasi, juga memicu sengketa, karena pada generasi kedua atau ketiga sama-sama merasa berhak. Apabila terjadi sengketa dan sudah tidak bisa diselesaikan secara damai di tengah-tengah keluarga atau masyarakat, kemana sengketa itu diajukan. Pertanyaan berikutnya adalah konstruksi hukum apa yang tepat diterapkan dalam menyelesaikannya. Konstruksi hukum menjadi penting karena punya implikasi terhadap kewenangan absulot lembaga peradilan yang menangani sengketa. Dari konstruksi hukum tergambar kewenangan absolot suatu pengadilan II. Konstruksi hukum. A. Hubungan hukum yang terjadi. Hampir sama dengan budaya mahaul sendiri, maka mengadakan tunggu haul juga merupakan kebiasaan yang sudah berusia lama di tengah-tengah masyarakat Banjar. Apa yang menjadi kebiasaan oleh masyarakat sering disebut adat atau adat kebiasaan. Mahaul sudah menjadi adat kebiasaan, begitu pula hal-hal berkenaan dengan mahaul. orang-orang yang mempunyai hubungan darah setara dengan pengelola jumlahnya makin banyak dan

Pada masyarakat Banjar

tidak dikenal lembaga adat yang

berwenangan menegakan hukum,7 oleh karena itu apa yang disebut adat adalah kebiasaan yang berjalan secara alami. Orang Banjar identik dengan agama Islam. Banjar sama dengan muslim. Karenanya apa yang menjadi kebiasaan masyarakat Banjar selalu berbau Islam. Mahaul bersipat budaya (Islam) lokal yang tidak memiliki sanksi. Sejalan dengan itu tunggu haul tidak dapat dikatakan hukum adat, dan tidak pula diatur dalam peraturan perundang-undangan, oleh karenanya kelembagaannya tentu saja lebih dekat bila dikelompokkan menjadi hukum Islam yang menjadi living law di daerah berlakunya.8 Dilihat dari pelaksanaannya tunggu haul dapat terjadi melalui proses sebagai berikut : Pertama : Orang tua sebelum meninggal dunia, menunjuk salah satu peninggalannya biasanya tanah pertanian untuk dijadikan tunggu haul, tanpa menyebut siapa yang diberihak mengelola sekaligus berkewajiban melaksanakan haulan. Yang ditentukan disini adalah objeknya dan kewajiban pengelola. Penentuan pengelolanya diserahkan kepada ahli warisnya. Kedua Ketiga : Sama dengan kasus pertama, namun disini pengelolanya ditentukan. Objek dan subjeknya ditentukan. : Para ahli waris sepeninggal orang tuanya merumuskan bersama, mana diantara peninggalan almarhum yang disisihkan untuk dijadikan objek pahaulan. Dalam kasus ini pelaksana (subjek) kadang-kadang ditentukan, tetapi ada kalanya tidak ditentukan. Oleh karena kegiatan mahaul harus terus berlangsung setiap tahun, tanpa ada batasan sampai kapan harus dilakukan, maka pembebanannya menjadi tidak berbatas pula. Pada generasi keempat pelaksanaan haulan sudah mulai bermasalah karena cicit biasanya kurang tahu persis kapan tanggal kematian datuknya. Kalau dikaitkan dengan kebiasaan ziarah kubur, pada umumnya hanya sampai pada ziarah kubur kakek dan nenek. Untuk datuk, hampir tidak pernah diziarahi cicitnya karena faktor sudah melemahnya hubungan emosional

dan tidak jarang pula karena faktor teknis akibat cicit sudah tidak tahu lagi dimana kubur datuknya tersebut. B. Tunggu Haul dalam Hukum Islam Ada dua langkah yang harus kita lakukan untuk mendudukkan posisi tunggu haul. Pertama apakah kebiasaan itu dibenarkan dalam Islam (termasuk urf as shalih). Kedua kalau tunggu haul masuk dalam urf as shalih berarti masuk dalam hukum Islam, pertanyaan selanjutnya adalah apakah ia masuk dalam lembaga lainnya. Kalangan ahli ushul fiqh dengan berlandaskan pada hadits rasulullah SAW : Artinya : Apa yang dinilai kaum muslimin itu baik, maka disisi Allah (juga) baik. menempatkan urf (adat/adat kebiasaan) sebagai salah satu sumber hukum Islam.9 Disadari bahwa tidak semua urf itu baik dan sejalan dengan ajaran Islam. Karenanya perlu seleksi dan penilaian terhadap urf tersebut, sehingga akan dihasilkan penilaian berupa urf shahih dan urf fasid/gairu shahih. Urf shahih adalah urf yang dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara. Sementara urf fasid tidak dapat diterima karena bertentangan dengan syara. Dalam kaitan ini Imam Suyuthi (Syafiiyah) merumuskan : alaadah muhakkamah10 adat/kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum.11 Pengertian dapat bukan berarti semua kebiasaan otomatis ditetapkan sebagai hukum, karenanya ia harus di tahkim yaitu dinilai dengan ketentuan hukum Islam yang sudah melembaga. Hasil dari proses penilaian (tahkim) itulah yang menentukan apakah ia masuk kategori hukum (Islam) atau bukan . waris, hibah, wasiat atau lembaga hukum Islam

Hal ini sejalan dengan teori Receptio A Contrario (gagasan Sayuti Talib) yang memandang hukum adat baru bisa berlaku apabila tidak bertentangan dengan hukum Islam.12 Haulan sebagaimana didefinisikan Alfani Daud, termasuk wilayah mubah, karena tidak ada larangan dan tidak ada pula suruhan untuk melakukannya. Walau hukum asalnya mahaul itu mubah tetapi tidak tertutup kemungkinan dalam keadaan tertentu bisa bergeser dari ketentuan umum tersebut, sesuai kasusnya. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa pelaksanaan haul itu adalah urf shahih, sementara transaksi tunggu haul sebagai kegiatan yang mengiringinya (asisor) tentu masuk urf shahih juga. Dalam kasus tunggu haul oleh orang tua kepada salah seorang anaknya yang berlaku setelah orang tua meninggal dunia, dilihat dari waktu berlakunya pemberian trsebut termasuk wasiat.13 Namun karena tunggu haul diberikan kepada ahli waris maka tidak dapat disebut wasiat, karena syarat wasiat harus diberikan kepada orang yang tidak berhak mendapatkan warisan dari orang yang berwasiat, kecuali apabila ahli waris lainnya membolehkannya.14 Pada sisi lain adanya pengganti dari pemberian berupa jasa menyelenggarakan mahaul, merupakan syarat dalam wasiat pada kasus tunggu haul.15 Ketika tunggu haul diberikan atas kesepakatan para ahli waris kepada salah seorang diantara mereka yang berlaku sejak kesepakatan itu diperoleh, tidak dapat dikatakan hibah, karena hibah adalah pemberian secara suka rela dan tanpa imbalan16. Dalam kasus tunggu haul ini penerima diwajibkan memberi imbalan berupa mahaul. Dengan demikian hubungan hukum yang terjadi adalah aqad wakalah (pemberian kuasa) bukan hibah. Kalau terjadi sengketa maka yang menjadi pihak adalah pemberi kuasa dengan pemerima kuasa. Dalam kasus dimana hanya objek dan kewajiban subjek yang disebutkan (Tanah naini gasan tunggu haulku laki bini/ Lahan ini untuk biaya haulan aku suami isteri), sementara subjeknya tidak ditentukan, maka ikatan terjadi manakala ada pihak yang bersedia menjadi subjek. Kesediaan menerima tunggu haul sekaligus merupakan kesediaan menyelenggarakan haulan.

III. TUNGGU HAUL DAN KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA. Terkait dengan ekonomi syariah maka personalitas ke Islaman diukur dari aqad yang mereka lakukan. Apabila aqad menggunakan aqad syari yang termasuk dalam lingkup kewenangan (baru) peradilan agama, maka kewenangan menyelesaikan sengketa yang terjadi adalah kewenangan pengadilan agama. Dari uraian terdahulu dapat disimpulkan bahwa ada kasus tunggu haul yang dilihat dari subjek dan objeknya berupa manfaat17 maupun materi hukumnya dapat dimasukkan dalam lembaga wasiat bersyarat. Syarat pertama ia berlaku apabila para ahli waris menerimanya, tidak mempersoalkannya,18 tetapi kalau ahli waris mempersoalkannya, mereka dapat mengajukan gugatan ke pengadilan agama, maka kasusnya menjadi warisan (dengan menyatakan wasiat tersebut batal), dan apa yang diterima salah seorang ahli waris (berupa tunggu haul) diperhitungkan sebagai warisan. Syarat melaksanakan kedua adalah adanya kewajiban penerima haul untuk tidak mahaul. sekiranya penerima tunggu

melaksanakan kewajibannya, maka ia dapat digugat pembatalan wasiat. Biaya dalam kegiatan mahaul bersifat relatif, karenanya manakala terjadi kesenjangan yang mencolok antara biaya mahaul dengan hasil dari objek tunggu haul, maka dimungkinkan pula terjadi sengketa. Sepanjang wewenang sengketa menyangkut wasiat, tentu menjadi yang Pengadilan Agama. Pengadilan Agama mana

berwenang, ditentukan oleh objek tunggu haul dan dimana objek tersebut berada. Kalau objek tunggu haul itu berupa tanah karena menyangkut sengketa barang tetap/tidak bergerak, maka pengadilan agama yang berwenang adalah yang mewilayahi objek itu berada. Tetapi seandainya objek tunggu haul merupakan barang bergerak, maka pengadilan tunggu haul. Dalam kasus tunggu haul muncul dari kesepakatan ahli waris untuk menyisihkan atau mengeluarkan sebagian harta warisan dijadikan tunggu haul dengan menunjuk salah seorang ahli waris sebagai agama yang berwenang menanganinya adalah yang mewilayahi tempat tinggal (domisili) pihak yang menguasai objek

pengelola (penerima amanah), bisa terjadi persoalan yang berakhir dengan sengketa di pengadilan. Pelanggaran kesepakatan oleh penerima amanah, dapat terjadi dalam dua hal : Pertama, pelaksanaan haulan yang tidak memadai dibanding hasil tunggu haul, (melaksanakan kewajiban tidak sebagaimana mestinya), hal yang mungkin terjadi seperti a. Mahaul secara jama (beberapa orang di haul sekali gus). b. Atau dihaul seadanya, sementara hasil tunggu haul lumayan banyak Kedua, pelaksana haul lalai melaksanakan kewajibannya (sama sekali mengabaikan kewajibannya melaksanakan haulan). Dalam kasus diatas, sengketa wasiat tidak dapat diterapkan, karena kejadiannya bukan kasus wasiat. Tunggu haul sebagai tradisi lokal merupakan lembaga yang belum dikenal dalam hukum Islam dan hukum adat serta transaksi konvensional, karenanya untuk menentukan lembaga peradilan yang berwenang menangani sengketa yang terjadi memerlukan pemikiran yang sungguh-sungguh. Sebagai lembaga yang baru yang bersifat lokal, perlu didekati dari beberapa aspek. 1. Dari aspek akad. Tunggu haul yang disisihkan para ahli waris dari harta warisan, dikeluarkan atas kesepakatan, karena itu akad yang terjadi adalah wakalah. Para ahli waris mewakilkan/menugaskan salah seorang diantara mereka untuk menyelenggarakan haulan. 2. Dari aspek ruang lingkup. Akad wakalah dapat dimasukkan dalam bidang bisnis syariah, karena bisnis menyangkut pekerjaan, profesi, penghasilan, mata pencaharian dan keuntungan.19 Mahaul adalah pekerjaan sebagai salah satu kegiatan bisnis yang diselenggarakan sebagai pegamalan ajaran Islam dalam bentuk budaya lokal. Identifikasi lebih lanjut dapat dilihat dari bentuk sengketa bisnis yang meliputi : sengketa perniagaan, sengketa perbankan, sengketa keuangan, sengketa investasi, sengketa perindustrian, sengketa HAKI, sengketa konsumen, sengketa kontrak, sengketa sengketa pekerjaan, organisasi, sengketa sengketa perburuhan, hak, 7 sengketa perusahaan, sengketa sengketa privat,

perdagangan publik, sengketa property dan sengketa lainnya.20 Oleh karena dalam kasus tunggu haul terdapat sengketa pekerjaan yang terkait dengan kegiatan pengamalan ajaran Islam, maka sengketanya masuk dalam katagori bisnis syariah yang menjadi kewenangan (baru) Pengadilan Agama. 3. Dari aspek adat Banjar. Transaksi tunggu haul tidak dikenal dalam ekonomi konvensional yang didasarkan pada KUHPerdata. Ia juga tidak dikenal dalam konsep fiqih muamalah, karena berasal dari tradisi lokal. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pada masyarakat Banjar hukum Islam sangat berpengaruh.21 Oleh karena pada masyarakat Banjar tidak dikenal lembaga adat, maka penyelesaian sengketa dimasyarakat ditangani tuan guru sebagai adjudikatif privat voluntary22 yang tidak mengikat dan tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya. Apa yang dilakukan tuan guru ini adalah adat badamai yang dalam istilah Banjar disebut baparbaik, bashuluh, baakuran dan bapatut.23 Berdasarkan kondisi ini maka lembaga peradilan yang paling dekat dengan budaya masyarakat Banjar dalam menyelesaikan sengketa tunggu haul adalah pengadilan agama. Tunggu haul sebagai kegiatan pemindahan hak merupakan upaya penerapan kebiasaan masyarakat muslim lokal, dalam rangka mewujudkan bir al walidain yang tentu saja pihak-pihaknya beragama Islam, yang tidak termasuk dalam transaksi perdata konvensional yang telah baku, oleh karenanya asas personalitas ke Islaman dapat pula dijadikan landasan penentuan kewenangan lembaga peradilan yang berwenang menangani sengketanya. Dalam hal ini menjadi kewenangan peradilan agama. Bisa saja terjadi wan prestasi atau cidra janji, atau bahkan penyalah gunaan objek dalam kasus tunggu haul, oleh karenanya peradilan agama, harus senantiasa siap menangani sengketa ini. Wallahu alam bi ash shawab

Hakim Tinggi pada PTA Banjarmsin. Bahan semula dipersiapkan untuk Penyuluhan Hukum di Mandastana Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan.

DR. Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997, hal 305

dan 308.

Gusti Muzainah, Pembagian Warisan Menurut Hukum Waris Adat Masyarakat Banjar, Tesis pada Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 1999, hal. 70. 4 M. Suriansyah Ideham, BA. dkk (editor), Urang Banjar dan Kebudayaannya, Badan Litbang Daerah Kalsel, Banjarmasin, 2005, hal 67. 5 Drs. M. Karsayuda, SH. M.Ag (Editor), Fiqih Syafie Cuplikan Sabilal Muhtadin, MUI Kota Banjarmasin, 2007, hal 168. 6 Drs. H. Syarifuddin, dkk (Tim Penulis), Sejarah Banjar, Badan Litbang Daerah Kalsel, 2007, hal 209. 7 Adat menjadi hukum adat bila memenuhi 4 unsur : - merupakan kebiasaan dalam masyarakat teradat diadatkan (seolah-olah kewajiban) dan - pernah diputuskan lembaga adat Moh. Koesno, Hukum Adat Dalam Alam Kemerdekaan Nasional dan Persoalannya Menghadapi Era Globalisasi, Editor H. Siti Soendari ,SH. dan Agni Udayati, Ubhara Press, Surabaya, 1996, h 60 8 Ayat 208 S. Baqarah mengisyaratkan tiap muslim wajib mengamalkan ajaran Islam secara menyeluruh/total, semakna dengan teori receptie in conplexu atau teori receptie exit Hazairin yang mengajarkan hukum agama telah masuk menjadi Hukum Nasional. Dedi Supriyadi M.Ag, Sejarah Hukum Islam (dari Kawasan Jazirah Arab hingga Indonesia), CV. Pustaka Setia, Bandung, 2007, hal 316. Urf dipandang lebih umum dari adat yang seakan-akan telah merupakan hukum tertulis sehingga ada sangsi-sangsi untuk orang yang melanggarnya. Drs. Kamal Mukhtar dkk, Ushul Fiqh (jilid I), Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1995, hal 146 10 Al Imam Jalaluddin Ash Shuyuthi, al Asybah wa an Nazhair, al Hidayah, Surabaya, 1384 H, hal 63. 11 Terdapat perbedaan penggunaan antara al adah dan al urf. Ulama yang membedakan penggunaan kedua istlah ini antara lain Abu Sinnah dan Muhammad Mushtafa al-Syalaby, begitu juga al-Zarqa. Uraian lengkap lihat Ahmad Fahmi Abi Sinnah , Al-Urf wa alAdat fi Ray al Fuqaha, (Ttp, Matbaah al Azhar, 1947) hal 7-13. Muhammad Mushtafa al-Syalaby, Ushul al Fiqh al Islamy, (Beirut, Dar al Nahdhah alArabiyyah, 1406H/1986M), hal 313 315 dan Muhammad Ahmad al Zarqa, al-Fqh al-Islam fi Tsaubih alJadid al-Madkhul ila al-Fiqh alAm, Juz II (Damsyiq, Tharbn, 1968) Cet X h 838. 12 Abdul Aziz Dahlan (Editor), Ensiklopedi Hukum Islam (Jilid 5), Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1996, hal 1496 13 Pasal 171 KHI huruf f menentukan : Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. 14 Rasulullah SAW bersabda : Laa washiyyata li waaritsin illaa an yujizahu al waratsatu, (Tidak ada hak menerima wasiat pada ahli waris yang menerima warisan kecuali apabila ahli waris lin membolehkan), Diriwayatkan Daar al Qutni, Drs. Ahmad Rafiq, MA, Hukum Islam di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal 447 15 Abdul Aziz Dahlan (Editor), Op cit, hal 1930. Syarat dalam wasiat dimungkinkan. 16 Pasal 171 KHI huruf f. 17 Drs. H. A. Nawawi Ali, SH. Sengketa Wasiat dan Hibah, Disampaikan pada Pendidikan Calon Hakim PA tahun 2008. 18 Dalam konteks ini rasulullah pernah berpesan : La washiyyata li waritsin illa an yujizaha al waratsatu 19 Bambang Sutiyoso, S.H. M.Hum.,Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Media, Yogyakarta, 2006, hal 2. 20 I b i d, hal 7. 21 Gusti Muzainah, Op cit, hal 22. Penelitian Bidang Hukum Waris yang dilakukan IAIN Antasari tahun 1980 menyimpulkan hukum waris yang berlaku dalam masyarakat Banjar pada dasarnya adalah hukum Islam. Penelitian yang dilakukan Mahkamah Agung RI pada tahun 1980 menyimpulkan hukum yang berlaku adalah hukum adat yang telah banyak mendapat pengaruh dari hukum Islam. Tim Peneliti Puslit Unlam yang meneliti Hukum Adat Kalimantan menyimpulkan Hukum Adat yang berlaku dikalangan masyarakat Banjar banyak dipengaruhi oleh Hukum Islam. 22 Bambang Sutiyoso, S.H. M.Hum., Op cit, hal 6. 23 Dr. Ahmadi Hasan, Adat Badamai Interaksi Hukum Islam dan Hukum Adat pada Masyarakat Banjar,Antasari Press, Banjarmasin, 2007 hal 272.
9

Anda mungkin juga menyukai