Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PROBLEMATIKA FIKIH JINAYAH KONTEMPORER


Makalah Ini Disusun Sebagai Salah Satu Tugas Pada Mata Kuliah Fiqh Kontemporer

DISUSUN OLEH KELOMPOK


NAMA : WIDY ALFIKRI
NIM : 181119086
KELAS : PAI VI C

DOSEN PENGAMPU
YULMITRA HANDAYANI, S.H., M.H.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


JURUSAN TARBIYAH DAN KEGURUANSEKOLAH TINGGI
AGAMA SYARIAH NEGERI (STAIN) BENGKALIS
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,


Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan seluruh alam. Yang telah memberikan kami
kesempatan dan kesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Salam dan
salawat semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang diutus sebagai rahmat
bagi semesta alam, beserta keluarga dan para sahabatnya serta para pengikutnya yang setia
sampai hari kemudian.
Makalah ini kami buat dengan maksud untuk menunaikan tugas kuliah. Kami
berharap penyusunan dalam bentuk makalah ini akan memberi banyak manfaat dan
memperluas ilmu pengetahuan kita. Kami selaku penulis mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu kami dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini.
Oleh karena itu, kami mengundang pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan ini.
Terima kasih, dan semoga makalah ini bisa memberikan manfaat positif bagi kita
semua, khususnya kami selaku penulis.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Bengkalis, 29 Mei 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Menilai Kedudukan Fikih Jinayah Kontemporer................................................ 3
B. Menilai Pandangan/Tinjauan Hukum Islam Tentang Penjara Sebagai Sanksi
Pidana Dalam Islam
.............................................................................................................................
.............................................................................................................................
6
C. Menilai Pandangan/Tinjauan Hukum Islam Tentang Bom Syahid/Bom Bunuh
Diri
.............................................................................................................................
.............................................................................................................................
9

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan......................................................................................................... 11
B. Saran................................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 12

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fiqih sering disebut sebagai produk yang lahir dari dinamika kehidupan manusia,
dalam pribahasa Latin dari Cicero diungkapkan :Ubi societas ibi ius, artinya: dimana ada
masyarakat disana ada hukum.
Kita harus menyadari bahwa fiqih adalah benda mati tidak berwujud yang menjadi
bagian dari karya dan karsa manusia. Artinya, karena fiqih bukan sumber hidup dan tidak
pada posisi untuk mengubah dirinya, dalam arti apabila fiqih tidak diubah dan dimoderenisasi
maka fiqih tidak akan pernah moderen. Hal ini bermakna bukan hanya fiqih dalam arti kaidah
atau regulasi, melainkan fiqih yang merupakan derifasi Syari’at Islam dalam tataran hakiki,
yaitu fiqih sebagai pandangan hidup.
Pada zaman sekarang ini banyak ditemukan kasus-kasus yang marak terjadi terhadap
pelanggaran perbuatan pidana baik dalam hukum positif maupun hukum islam (Fiqh Jinayat),
dan kasus-kasus tersebut tidak ditetapkan dalam jarimah had(hudud) seperti PSK, Money
Laundering, Narkoba, serta tindak pidana korupsi. Dari permasalahan diatas bagaimana
konstektualisasi penerapan fiqh jinayat dalam masalah kontemporer pada kasus-kasus
tersebut apa digunakan jarimah hudud dalam kasusnya apa ditetapkan oleh ta’zir atau
penguasa dalam penetapan keputusan di pengadilan hakim.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Menilai Kedudukan Fikih Jinayah Kontemporer?
2. Bagaimana Menilai Pandangan/Tinjauan Hukum Islam Tentang Penjara Sebagai Sanksi
Pidana Dalam Islam?
3. Bagaimana Menilai Pandangan/Tinjauan Hukum Islam Tentang Bom Syahid/Bom
Bunuh Diri?

1
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Menilai Kedudukan Fikih Jinayah Kontemporer
2. Untuk Mengetahui Menilai Pandangan/Tinjauan Hukum Islam Tentang Penjara Sebagai
Sanksi Pidana Dalam Islam
3. Untuk Mengetahui Menilai Pandangan/Tinjauan Hukum Islam Tentang Bom
Syahid/Bom Bunuh Diri

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Menilai Kedudukan Fikih Jinayah Kontemporer


Dalam hukum islam ada yang dikenal dengn istilah Jinayat (Jinayah) yang merupakan
salah satu bagian dari syari’at islam, jinayah ini bermacam-macam jenis dan sebabnya.
Secara bahasa jinayah berasal dari kata ‘janna dzanba yajniihi jinaayatan’ yang berarti
melakukan dosa. Kata dasar jinayah dijama’kan, karena ia mencakup banyak jenis perbuatan
dosa. Menurut istilah syar’i, kata jinayah berarti menganiaya badan sehingga pelakunya wajib
dijatuhi hukuman qishash atau membayar denda.
Pengertin jinayah yang mengacu pada perbuatan-perbuatan yang dilarangoleh syara’
dan diancam dengan had atau ta’zir telah mengisyaratkan bahwa larngan-larangan atas
perbuatan-perbuatan yang termasuk kategori jinayah adalah yang berasl dari ketentuan-
ketentuan (nash-nash) syara’.artinay perbuatan manusia dapat dikategorikan sebagai jinayah
jika perbuatan tersebut diancam hukuman.
Makhrus Munajaat, M.Hum (2009) menyatakan bahwa seseorang dikenai hukum
jinayah jika memenuhi dua unsur, yaitu umum dan khusus.
Tujuan disyari’atkannya adalah dalam rangka untuk memelihara akal, jiwa, harta, dan
keturunan. Ruang lingkupnya meliputi berbagai tindak kejahatan criminal, seperti :
pencurian, pembunuhan, perzinahan, homoseksual, minum khamar, dan sebagaianya.
Dikalangan Fuqaha’ perkataan jinayah berarti perbuatan-perbuatan yang menurut syara’.
Selain itu ada Fuqaha’ yang membatasi istilah jinayah kepada perbuatan-perbuatan yang
diancam dengan hukuman hudud atau qishahs, tidak termasuk dengan perbuatan yang
diancam dengan hukuman ta’zir. Istilah lain yang sepadan denga jinayah adalah Jarimah
yaitu larangan-larangan syara’ yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir.
Kedudukan fikih jinayah kontemporer menurut Fiqih Jinayah adalah perbuatan
meyakiti orang lain yang mengeai badannya, tetapi tidak sampai menghilangkan nyawanya
didalam fiqih jinayah disebut (Jar’aim). Adapun hukuman bagi pelaku penganiayaan
persekuesi tersebut adalah hukuman Qisas dan membayar Diyat.
Dalam islam dijelaskan berbagai norma atau aturan yang harus diataati oleh setiap
mukalaf, hal itu tercantum dalam sumber fundamental islam termasuk juga mengenai perkara
jarimah atau tindak pidana dalam islam.

3
Para ulama membagi jarimah berdasarkan aspek berat dan ringannya hukuman serta
ditegaskan atau tidaknya oleh Al-Qur’an atau Hadist, atas dasar ini mereka memebagi
menjadi 3 macam yaitu :
a. Jarimah Hudud
Menurut bahasa adalah menahan (menghukum), sedangkan menurut istilah hudud
berarti sanksi bagi orang yang melanggar hukum syara’ dengan cara didera/dipukul
(dijilid) atau dilempari dengan batu hingga mati (rajam). Sanksi tersebut dapat pula
berupa dipotong tangan sebelah atau kedua-duanya atau kaki dan tangannya, tergantung
kepada kesalahan yang dilakukan. Hukum had ini merupakan yang maksimal bagi suatu
pelanggaran tertentu bagi setiap hukuman. Jarimah hudud ini dalam beberapa kasus
dijelaskan dalam Q.S An-Nur: 2, Q.S Al-Maidah: 33 dan 38 tentang perzinaan, qadzaf,
(menuduh perbuatan zina), meminum khamar, pencurian, perampokan, pemberontakan
dan murtad.
b. Jarimah Qishash/Diyat
Hukum qishas adalah pembalasan yang setimpal atas pelanggaran yang bersifat
pengerusakan badan atau menghilagkan jiwa, seperti dalam firman Allah SWT dalam
Q.S Al-Maidah: 45, Q.S Al-Baqarah: 178. Diyat adalah denda yang wajib dikeluarkan
baik berupa barang maupun uang oleh seseorang yang terkena hukum diyat sebab
membunuh atau melukai seseorang karena ada pengampunan, keringanan hukuman dan
hal lain. Pembunuhan yang terjadi bias dikarenakan pembunuhan dengan tidak sengaja
atau pembunuhan karena kesalahan (khoto’). Hal ini dijelaskan dalam Q.S An-Nisa: 92
tentang pembunuhan sengaja, pembunuhan semi senhaja, pembunuhan tersalah, pelukan
sengaja dan pelukan semi sengaja.
c. Jarimah Ta’zir
Hukum ta’zir adalah hukuman atas pelanggaran yang tidak ditetapkan hukumannya
dalam Al-Qur’an dan Hadist yang bentuknya sebagai hukuman ringan. Menurut hukum
islam, pelaksanaan hukum ta’zir diserahkan sepenuhnya kepada hakim islam.

Hukum ta’zir diperuntukkan bagi seseorang yang tidak atau belum memenuhi syarat
untuk dihukum had atau tidak memenuhi syarat membayar diyat sebagai hukum ringan
untuk menebus dosanya akibat dari perbuatannya. Ta’zir ini dibagi menjadi 3 yaitu :
1. Jarimah hudud atau qishas/diyat yang subhat atau tidak memenuhi syarat namun
sudah merupakan maksiat mislanya, percobaan pencurian, percobaan pembunuhan,
pencurian dikalangan keluarga dan pencurian aliran listrik.

4
2. Jarimah-jarimah yang dtentukan Al-Qur’an dan Al-Hadis namun tidak ditentukan
sanksinya, mislanya penghinaan, saksi palsu, tidak melaksanakan amanat dan
menghina agama.
3. Jarimah-jarimah yang ditentukan oleh ulul amri untuk kemaslahatan umum. Dalam
hal ini nilai ajaran islam dijadikan pertimbangan penentuan kemaslahatan umum.
Berdasarkan niat pelakunya, jarimah dibagi menjadi 2 yaitu : (1) jarimah yang
disengaja (Al-jarimah, Al-Masquddah), (2) jarimah karena kesalahan )Al-jarimah
ghayr, Al-maqsuddah/jarima, Al-khata’).

Proses Dalam Jinayah


1. Percobaan
Maksudnya yaitu melakukan perbuatan jarimah belum dikerjakan dengan sempurna,
dlam hukum pidana islam. percobaan jarimah tidak dikenal secara khusus, namun daoat
digolongkan pada jarimah ghoiru tammah. Dalam hukum pidana islam, jarimah hudud,
qisas, diyat harus dilaakukan dengan sempurna jika tidak maka ta’zir. Hadist Nabi:
”Barang siapa yng memberikan hukuman bukan terhadap jarimah had, amka dia
digolongkan orang-orang yang melewati batas”.
2. Kerjasama
Maksudnya pelaku bersama-sama melakukan jarimah. Dalam bentuk ini tiap-tiap
pelakumasing-masing mmeberikan andilnya dalam melakukan jarimah. Para juris islam
mengkasifikasi kerjasama melakukan jarimah menjadi 2 yaitu :
- Sekutu berbuat jarimah secara langsung: yaitu pelaku bersama-sama dengan orang
lain aktif melakukan jarimah atau kawan nyata dalam melakukan jarimah. Ini ada 2
- Sekutu berbuat jarimah secara tidak langsung : berbuat seara tidak nyata, tetapi
menjadi factor penyebab adanya jarimah. Misalnya menghasut, memeberi bantuan
atau memeberi janji tertentu.

Bukti Pelaksanaan Jinayah


Alat-alat bukti dalam menetapkan sebuah kejahatan yang mengakibtakan qishahs atau
diyat adlah sbb:

a. Pengakuan : Syarat dalam pengakuan bagi kasus pidana yang akan berakibat qishash atau
diyat adlaah harus jelas dan terperinci. Tidak sah pengakuan yang umum atau masih
terdapat syubhat.

5
b. Persaksian : Dalam kasus pidana selain zina (4 orang saksi lelaki adil), syarat minimal
adalah 2 orang saksi laki-laki yang adil.
c. Qarinah : segala tanda-tanda yang zahir yang bersamaan dengan sesuatu yang masih
samar.
d. Menarik diri dari bersumpah : ketika terdakwa menarik diri (mengelak) dari bersumpah
yang diajukan kepada terdakwa melalui hakim (menurut mazhab Hanafiyah).
e. Al-qasamah : sebuah sumpah yang diulang-ulang bagi kasus pidana pembunuhan, ia
dilakukan 50 kali sumpah dari 50 lelaki.

B. Menilai Pandangan/Tinjauan Hukum Islam Tentang Penjara Sebagai Sanksi Pidana


Dalam Islam
Penjara atau Lembaga Pemasyarakatan (LP) adalah salah satu institusi yang dibuat
negara untuk mengubah pelaku tindak pidana menjadi warga negara yang lebih baik. Akan
tetapi kenyataanya, tidak sedikit narapidana yang mengulangi kembali kejahatannya setelah
keluar dari penjara, bahkan ada kesan pada masyarakat bahwa dipenjarakannya terpidana
bukan membuat ia semakin baik justru menjadi semakin jahat, karena ada anggapan bahwa
penjara adalah perguruan untuk melakukan keahatan. Kekerasan fisik yang dialami terpidana
akan semakin menjauhkan mereka dari usaha perbaikan atau kesadaran bahkan dapat
meningkatkan kualitas dari kejahatan terpidana.
Hukum pidana Islam merupakan syariat yang bertujuan untuk merealisasikan
kemaslahatan pada masyarakat, baik kemaslahatan di dunia maupun akhirat. Secara materiil,
syariat Islam mewajibkan setiap manusia untuk melaksanakan kewajiban asasi yang
terkandung dalam syariat. Kewajiban asasi ini menempatkan Allah sebagai pemegang
otoritas, baik yang ada pada diri sendiri maupun yang ada pada orang lain. Setiap individu
hanya melaksanakan kewajiban yang Allah perintahkan. Perintah Allah yang ditunaikan
mengandung kemaslahatan bagi masyarakat.
Abdul Qadir ‘Audah menjelaskan bahwa al-‘uqubah (hukuman) adalah balasan yang
setimpal untuk menegakkan kemaslahatan umum karena melakukan perbuatan yang tidak
sesuai dengan perintah Allah swt. Tujuan utama penjatuhan hukuman dalam syariat Islam
adalah pencegahan (arraddu waz-zajru), pengajaran dan pendidikan (al-islah wa at-tahdhib),
menciptakan kemaslahatan, menjauhkan dari kemafsadatan, kemaksiatan serta menyeru
kepada ketaatan. Penjatuhan hukuman dalam syariat Islam semata-mata untuk kemaslahatan
manusia untuk memparbaiki individu dan menjaga ketertiban masyarakat.

6
Fuqaha mengemukakan beberapa prinsip dasar penjatuhan hukuman dalam syariat
Islam di antaranya:
Pertama, hukuman itu bersifat universal, yaitu dapat menghentikan seseorang dari
melakukan suatu tindak pidana, dapat menyadarkan dan memberi pelajaran bagi pelaku
tindak pidana, serta menyadarkan orang agar tidak melakukan tindak pidana.
Kedua, penerapan materi hukuman itu sejalan dengan kebutuhan dan kemaslahat
masyarakat. Apabila kemaslahatan masyarakat menginginkan hukuman lebih berat, hukuman
diperberat. Apabila kemaslahatan masyarakat menghendaki peringanan hukuman, hukuman
tersebut diringankan.
Ketiga, Seluruh bentuk hukuman yang dapat menjamin dan mencapai kemaslahatan
pribadi dan ketentraman masyarakat adalah hukuman yang disyariatkan. Oleh sebab itu wajib
dilaksanakan.
Keempat, Hukuman dalam Islam bukan bersifat balas dendam, tetapi untuk
melakukan perbaikan terhadap pelaku pidana. Hukuman yang ditetapkan Islam dengan
berbagai bentuknya sesuai dengan bentuk tindak pidana yang dilakukan.
Pelaksanaan pidana penjara di Islam termasuk dalam kategori hukuman ta'z karena di
dalam al-Qur'an memang tidak mengatur tentang pidana penjara. Hal ini mengacu pada
pengertian tentang hukuman ta'z bahwa hukuman atas jar mah yang hukumannya belum di
tentukan oleh syara' disebut sebagai hukum ta'z.
Jenis sanksi dalam hukum pidana Islam jika dilihat dari segi jenis tindak pidananya
adalah sebagai berikut:
pertama, hukuman Hudud, Hudud adalah bentuk jamak dari kata hadd yang berarti
batasan adalah sebuah istilah Islam yang mengacu pada hukuman yang berdasarkan hukum
Islam, Pidana dalam kategori ini dapat didefiniskan sebagai kejahatan yang diancam dengan
hukuuman had, yaitu hukuman yang ditentukan sebagai hak Allah. Dalam definisi ini,
hukuman yang ditentukan, berarti bahwa baik kuantitasnya maupun kualitasnya ditentukan
dan ia tidak mengenal tingkatan. Menurut Mohammad Ibnu Ibrahim Ibnu Jubair, yang
tergolong hudud ada tujuh pidana, yaitu riddah (murtad), al-baghy (pemberontakan), Zina,
qadzaf (tuduhan palsu zina), sariqah (pencurian), hirabah (perampokan), dan syurb al khamr
(meminum khamar).
Kedua, hukuman kisas, kisas berasal dari bahasa Arab dari kata ُ‫صاص‬
َ ِ‫ ق‬yang berarti
mencari jejak seperti al-Qashâsh. Sedangkan dalam istilah hukum Islam berarti pelaku
kejahatan dibalas seperti perbuatannya, apabila membunuh maka dibalas dengan dibunuh dan
bila memotong anggota tubuh maka dipotong juga anggota tubuhnya. Shâlih bin Fauzân –

7
hafizhahullâh- mendefiniskannya dengan: perbuatan (pembalasan) korban atau walinya
terhadap pelaku kejahatan sama atau seperti perbuatan pelaku tadi. Sementara itu dalam Al-
Mu’jam Al- Wasit, kisas diartikan dengan menjatuhkan sanksi hukum kepada pelaku tindak
pidana sama persis dengan tindak pidana yang dilakukan, nyawa dengan nyawa dan anggota
tubuh dibalas dengan anggota tubuh. Dapat disimpulkan Qishâsh adalah melakukan
pembalasan yang sama atau serupa, nyawa pelaku pembunuhan dapat dihilangkan karena ia
telah menghilangkan nyawa korban atau pelaku penganiyaan boleh dianiaya karena ia telah
menganiaya korban.
Ketiga, hukuman kifarat, yaitu hukuman yang ditetapkan untuk sebagian tindak
pidana kisas dan beberapa tindak pidana takzir. Keempat, hukuman takzir, secara etimologis
takzir berasal dari kata kerja azar yang berarti mencegah, respek dan memperbaiki. menurut
Wahbah Zuhaili definisi takzir adalah hukuman yang ditetapkan atas perbuatan maksiat atau
jinayah yang tidak dikenakan hukuman hadd dan tidak pula kifarat. Hukuman takzir
hukuman yang dijatuhkan atas dasar kebijaksanaan hakim karena tidak terdapat dalam al-
Quran dan hadis. Jenis hukuman dalam taksir diatanranya, hukuman mati, hukuman cambuk,
penjara, pengasingan, salib, pengucilan, teguran dan denda.
Hal yang menarik dalam hukum pidana Islam terkait dengan penjatuhan sanksi yaitu
hukum pidana Islam tidak hanya mengenal sanksi dalam bentuk pidana (straf) tetapi juga
mengenal sanksi dalam bentuk tindakan (matregel), yang pada masa kini dijadikan sebagai
suatu bentuk sanksi double track system. Dengan demikian, persfektif hukum pidana Islam
terhadapa penetapan sanksi bagi pelaku tindak pidana sebenarnya telah melangkah ke depan,
sehingga konsep tindakan bukan merupakan suatu konsep yang dilahirkan pada masa
kekinian.
Dalam hukum pidana Islam, khususnya dalam sanksi takzir lebih berpeluang untuk
dikembangkan, terbukti bahwa seorang hakim dimungkinkan untuk menetapkan sanksi
mengikuti perkembangan zaman, seorang hakim dapat menjatuhkan hukuman tahanan bagi
pelaku tindak pidana sesuai dengan berat atau ringannya tidak pidana yang ia lakukan.
Hukuman tahanan bagi pelaku tindak pidana baru dikenal setelah dikenalnya hukuman
penjara. Sebagai catatan, meski penjara terus eksis dalam setiap generasi fiqh, tetapi fiqh
tidak merumuskan institusi penjara. Artinya eksistensi penjara merupakan upaya penyesuaian
fiqh dengan konteks di mana fiqh berkembang.

C. Menilai Pandangan/Tinjauan Hukum Islam Tentang Bom Syahid/Bom Bunuh Diri

8
Bom bunuh diri atau juga dikenal sebagai bom manusia (human bombing) menurut
Nawaf Hail Takruri adalah aktivitas seorang (mujahid) mengisi tas atau mobilnya dengan
bahan peledak, atau melilitkan bahan peledak pada tubuhnya, kemudian menyerang musuh di
tempat mereka berkumpul, hingga orang tersebut kemungkinan besar ikut terbunuh.Adapun
menurut Muhammad Tha’mah Al-Qadah, bom bunuh diri adalah aktivitas seorang mujahid
yang melemparkan dirinya pada kematian untuk melaksanakan tugas berat, dengan
kemungkinan besar tidak selamat, akan tetapi dapat memberi manfaat besar bagi kaum

muslimin. Bom bunuh diri yaitu kegiatan bunuh diri yang dilatarbelakangi keyakinan oleh
pelaku bahwa perbuatan tersebut merupakan salah satu bentuk perjuangan untuk
memperjuangkan kebenaran.
Dalam bahasa arab, bom bunuh diri disebut intihaar, yang berasal dari kata kerja
nahara yang berarti menyembelih (dzabaha) dan membunuh (qatala). Artinya seseorang
menyembelih dan membunuh dirinya sendiri.
Bom bunuh diri hukumnya haram karena merupakan salah satu bentuk tindakan
keputus-asaan (al-ya’su) dan mencelakakan diri sendiri (ihlak an-nafs), baik dilakukan di
daerah damai (dar al-shulh/dar al-salam/dar al-da’wah) maupun di daerah perang (dar al-
harb).
Di dalam al-Qur’an surat al-mulk ayat 2, Allah SWT berfirman: Diingatkan
bahwa hidup dan mati adalah di tangan tuhan yang Ia ciptakan untuk menguji iman, amalan,
dan ketaatan manusia terhadap tuhan penciptanya. Karena itu, Islam sangat memperhatikan
keselamatan hidup dan kehidupan manusia sejak ia berada di rahim ibunya sampai sepanjang
hidupnya. Kemudian untuk melindungi keselamatan hidup dan kehidupan manusia itu, Islam
menetapkan berbagai norma hukum perdata dan pidana beserta sanksi-sanksi hukumannya,
baik di dunia berupa hukuman had dan qishas termasuk hukuman mati, diyat (denda), atau
ta’zir ialah hukuman yang ditetapkan oleh ulul amr atau lembaga peradilan, maupun
hukuman di akhirat berupa siksaan Tuhan di neraka kelak.
Ayat Al-Qur’an dan Hadits-Hadits tersebut di atas dengan jelas menunjukkan bahwa
bunuh diri itu dilarang keras oleh Islam dengan alasan apapun. Misalnya, seorang menderita
AIDS atau kanker tahap akhir yang sudah tak ada harapan sembuh secara medis dan telah
kehabisan harta untuk biaya pengobatannya.
Islam tetap tidak memperbolehkan si penderita menghabisi nyawanya, baik dengan
tangannya sendiri (bunuh diri dengan minum racun atau menggantung diri dan sebagainya)
maupun dengan bantuan orang lain, sekalipun dokter dengan cara memberi suntikan atau obat
yang dapat mempercepat kematiannya (eutanasia positif), atau dengan cara menghentikan

9
segala pertolongan terhadap si penderita termasuk pengobatannya (eutanasia negatif). Sebab
penderita yang menghabisi nyawanya dengan tangannya sendiri atau dengan bantuan orang
lain itu berarti ia mendahului atau melanggar kehendak dan wewenang tuhan; padahal
seharusnya ia bersikap sabar dan tawakal menghadapi musibah, seraya tetap berikhtiar
mengatasi musibah dan berdoa kepada Allah yang maha kuasa, semoga Allah berkenan
memberi ampunan kepadanya dan memberi kesehatan kembali, apabila hidupnya masih
bermanfaat dan lebih baik baginya.
Menurut hukum pidana Islam, orang yang menganjurkan/menyetujui/membantu
seseorang yang membunuh diri adalah berdosa dan dapat dikenakan hukuman ta’zir.
Demikian pula apabila orang gagal melakukan bunuh diri, sekalipun dibantu orang lain, maka
semuanya dapat dikenakan hukuman ta’zir. Berat ringannya hukuman ta’zir itu diserahkan
sepenuhnya kepada hakim yang mengadili perkara untuk menjatuhkan hukuman yang sesuai
dengan tindak pidananya, pelakunya, dan situasi dan kondisinya di mana tindak pidana itu
terjadi.
Penyebab utama terjadinya bunuh diri di masyarakat menurut hemat penulis adalah
karena kurang iman dan kurang percaya pada diri sendiri. Karena itu, untuk menangkalnya
harus diintensifkan pendidikan agama sejak masa kanak-kanak dan ditingkatkan dakwah
Islamiyah kepada seluruh lapisan masyarakat Islam guna peningkatan iman, ibadah, dan
takwanya kepada Allah yang maha kuasa.

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan diatas dapat disimpulkan bahwa, Kedudukan fikih jinayah kontemporer
menurut Fiqih Jinayah adalah perbuatan meyakiti orang lain yang mengeai badannya, tetapi
tidak sampai menghilangkan nyawanya didalam fiqih jinayah disebut (Jar’aim). Adapun
hukuman bagi pelaku penganiayaan persekuesi tersebut adalah hukuman Qisas dan
membayar Diyat.
Hukum pidana Islam merupakan syariat yang bertujuan untuk merealisasikan
kemaslahatan pada masyarakat, baik kemaslahatan di dunia maupun akhirat. Secara materiil,
syariat Islam mewajibkan setiap manusia untuk melaksanakan kewajiban asasi yang
terkandung dalam syariat. Kewajiban asasi ini menempatkan Allah sebagai pemegang
otoritas, baik yang ada pada diri sendiri maupun yang ada pada orang lain. Setiap individu
hanya melaksanakan kewajiban yang Allah perintahkan. Perintah Allah yang ditunaikan
mengandung kemaslahatan bagi masyarakat.
Bom bunuh diri hukumnya haram karena merupakan salah satu bentuk tindakan
keputus-asaan (al-ya’su) dan mencelakakan diri sendiri (ihlak an-nafs), baik dilakukan di
daerah damai (dar al-shulh/dar al-salam/dar al-da’wah) maupun di daerah perang (dar al-
harb).

B. Saran
Dengan terselesainya makalah ini, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari pembaca karena makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik
dari segi pengetikan maupun dari segi penyusunan. Dan semoga penyusun dan pembaca
dapat mengerti dan memahami materi dalam makalah ini.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Dahlan, “Ensiklopedi Hukum Islam,” Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Abdul Qadir Audah, “Al-Tasyri’al-Jinaiy Al-Islamiy,” Jil. I, Beirut: Muassasah Al-Risalah,
1987, hlm. 456.
Ibn Jubair and Mohammad Ibn Ibrahim, “Criminal Law in Islam: Basic Sources and General
Principles,” Criminal Law in Islam and the Muslim World-A Comparative Perspektive,
Institute of Objective Studies, Delhi, 1996.
Ibrahim Mustafa, “Dkk., Al-Mu’jam Al-Wasit,” Tahran: Al-Maktabah Al-‗ Ilmiyyah, t. Th,
1973.
Islamul Haq, “JARIMAH TERHADAP KEHORMATAN SIMBOL SIMBOL NEGARA
(Persfektif Hukum Pidana Indonesia Dan Hukum Pidana Islam),” Jurnal Syari’ah Dan
Hukum Diktum 15, no. 1 (2017): 23–42.
Islamul Haq, M Ali Rusdi Bedong, and Abdul Syatar, “Effect Of Young Age in Murder
Felony (Comparative Study Between Islamic Jurisprudence and Indonesian Law),” Al-
Ahkam: Jurnal Ilmu Syariah Dan Hukum 3, no. 2 (2018).
Luthfi Assyaukanie, Politik, HAM, dan Isu-Isu Teknologi dalam Fikih Kontemporer,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1998)
Muhammad Ali Rusdi, “Maslahat Sebagai Metode Ijtihad Dan Tujuan Utama Hukum Islam,”
DIKTUM: Jurnal Syariah Dan Hukum 15, no. 2 (2017)
Muhammad Tha’mah al-Qadah, Aksi Bom Syahid dalam Pendangan Hukum Islam (al-
Mughamarat bi an-Nafsi fi al-Qital wa Hukmuha fi al-Islam), (Bandung: Pustaka Umat,
2002)
Nawaf hail Takfuri, Aksi Bunuh Diri atau Mati Syahid (al-Amaliyat al- Istisyhidiyah fi al-
Mizan al-Fiqhi), (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2002)
Otto Yudianto, “Eksistensi Pidana Penjara Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum
Adat,” DiH: Jurnal Ilmu Hukum 8, no. 15 (2012)
Shalih bin Fauzân Ali Fauzân, “Al-Mulakhash Al-Fiqhy” (Beirut: Ri‟ asah Idaarah al-Buhuts
al-„Ilmiyah wa al-Ifta, n.d.)
Sulaiman al-Husain, Mengapa Harus Bunuh Diri, (Jakarta: Qisthi Press, 2005)
Yudianto, “Eksistensi Pidana Penjara Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Adat.”

12

Anda mungkin juga menyukai