Disusun Oleh :
FAKULTAS SYARIAH
2019
KATA PENGANTAR
0
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Saya
ucapkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT , karena Rahmat Allah SWT kami
bisa menyelesaikan tugas Makalah ini dengan lancar, itu semua karena atas
kehendak dan ijin Allah serta semangat dari orang-orang mensuport saya.
Motivasi dan tujuan Makalah ini tercapai jika saya dapat menerima kritik
maupun saran dari dosen dan para pembaca. Saya harapkan semoga Mini Riset ini
dapat bermanfaat bagi semuanya. Saya mohon maaf bila isi dari Makalah ini jauh
dari sempurna.
Penyusun
DAFTAR ISI
1
KATA PENGANTAR..............................................................................1
DAFTAR ISI...........................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................22
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
2
Dalam tugasnya para hakim memikul tanggung jawab sepenuhnya dalam
menjalankan tugas , sebab dalam keputusan hakim dapat membawa dampak yang
besar dalam kehidupan orang-orang yang terkena keputusan tersebut.
Keputusan hakim harus adil jika tidak dapat mengakibatkan penderitaan lahir
maupun batin yang dapat membekas dalam batin yorang yang bersangkutan
dengan keputusan tersebut.
Jelas para hakim memiliki kekuasaan yang besar terhadap para pihak yang
bersangkutan dengan suatu masalah atau konflik yang dihadapkan oleh para
hakim tersebut. Maka hal ini yang menyebabkan adanya tanggung jawab hakim
serta cara mengadili perkara dengan adil guna untuk membuat keseimbangan
sosial dan kedamaian didunia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Hadits tentang Tiga Golongan Hakim?
2. Apa Hadits tentang Tanggung Jawab Hakim?
3. Apa Hadits tentang Ijtihad hakim?
4. Apa Hadits tentang Mengadili Perkara, Cara mengadili?
C. Tujuan
1. Mengetauhi Hadits tentang Tiga Golongan Hakim
2. Mengetahui Hadits tentang Tanggung Jawab Hakim
3. Mengetauhi Hadits tentang Ijtihad hakim
4. Mengetauhi tentang Mengadili Perkara, Cara mengadili
BAB II
PEMBAHASAN
3
membimbing ulama dalam berijtihad, termasuk hukum hukum yang telah ada
nashnya, yang kebanyakan nash tersebut tidak pasti petunjuk hukumnya (zhanni
dalalah) kemudian ulama mengambil dasar nash tersebut dari makna makna yang
dikandungnya. Secara umum Ijtihad terbagi menjadi tiga, yaitu :
1. Ijtihad dengan nash zhanni (persangkaan) untuk mentarjih sebagaimana
mafhum mafhumnya tanpa keluar dari tempat pengambilan nash itu sendiri.
2. Ijtihad untuk sampai sebagai hukum syar’i dengan menerapkan qa’idah-
qa’idah tersebut dan masalah belum ada ketentuan hukumnya dalam nash yang
khusus atau belum didahului oleh pendapat ijma’ serta tidak mungkin
ditentukan hukumnya dengan jalan qiyas.
3. Ijtihad dengan pendapat berdasarkan tanda-tanda dan alat-alat yang diletakan
oleh pembawa syariat untuk memberi petunjuk tentang hukumnya, dan ini bagi
maslah yang belum ada ketentuannya dalam nash dan tidak mungkin diambil
dari qa’idah-qa’idah kulliyah (umum), serta belom pernah ada pendapat yang
ijma’.
Menurut tabiatnya hasil ijtihad tidak dalam bentuk yang satu karena perbedaan
jalan-jalanya. Perbedaan dalam fikih adalah buah yang mesti selama perbedaan
paham itu masih ada. Perbedaan yang timbul dari hasil ijtihad adalah hal yang
wajar terjadi dikalangan para hakim yang menerapkan undang-undang yang
dibentuk dalam pasal-pasal yang terbatas.1
A. Hakim Muqallid
Memiliki pengetahuan tentang pokok-pokok hukum syariat dan
mendalami cabang-cabangnya, dan telah dikatakan bahwa menurut pendapat yang
kuat dari mazhab Hanafi, boleh mengangkat hakim muqallid salah satu mazhab.
Diriwayatkan dari imam malik, ad-Dasuqi berkata, “itulah pendapat yang lebih
sah” disamping itu ada pendapat bahwa hakim mujtahid adalah lebih utama.
Hakim muqallid diangkat maka ia harus memutuskan hukum berdasarkan
pendapat mazhabnya dan memilih pendapat yang lebih kuat. Apabila ia
mengetahui semua pendapat pendapat itu dan menyimpang dari pendapat
4
mudhabnya dengan sengaja maka putusannya tidak dapat dilaksanakan dan harus
dibatalkan.
Memutuskan hukum berlandaskan pendapat yang lemah adalah terlarang.
Menurut Ibnu Abidin yang mengutip pendapat kalangan mazhab Syafi’i, hakim
dilarang beramal dan memberi fatwa atas mengatakan bahwa mazhab Hanafi
melarang mengamalkan dan memberi fatwa meskipun amalan itu untuk diri
sendiri karena pendapat yang lemah telah di nasikh oleh pendapat yang kuat. Ada
yang berpendapat bahwa berpegang terhadap pendapat yang lemah itu dilarang
bagi orang awam yang tidak memiliki pandangan sendiri.2
2 idid hlm.87
3 Mukti Arto, Penemuan Hukum Islam Demi Mewujudkan Keadilan (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2017) hlm.203
5
1) Memberi perlindungan hukum dan keadilan kepada para pihak pencari
keadilan yang menurut hukum dan keadilan memang di perlukan bagi
yang bersangkutan dalam rangka penyelesaiaan perkara, tanpa harus
diminta dan tanpa diskriminasi.
2) Memberi pelayanan hukum yang berkeadilan secara prima kepada
pencari keadilan.
3) Membantu pencari keadilan dengan mengatasi segala hambatan dan
rintangan untuk tercapainya proses peradilan dan eksekusi yang
sederhana, cepat, dan biaya ringan.
4) Mendamaikan para pihak yang bersengketa.
5) Menyelesaikan sengketa antara para pihak dan emulihkan hubungan
sosial mereka.
6) Menegakkan hukum dan keadilan terhadap perkara yang diajukan
kepadanya.
7) Memberi putusan yang bermutu, tepat, tuntas, final dan eksekutabel.4
4 Mukti Arto, Penemuan Hukum Islam Demi Mewujudkan Keadilan (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2017) hlm.203
6
dapat dilakukan, jika manusia mempergunakan akalnya. Oleh karena itu, Al-
Qur‟an sangat menganjurkan adanya penggunaan akal dalam memahami makna-
makna yang terkandung di dalamnya. Berkaitan dengan hal ini, hal ini terulang
dalam Al-Qur‟an sebanyak 16 kali dalam berbagai konteksnya. Tidak hanya itu,
dalam sebuah riwayat dinyatakan bahwa ijtihad yang dihasilkan oleh seorang
mujtahid sebagai bagian dari tugas ulil amri. Bila hasilnya benar maka ia
mendapatkan dua pahala dan jika salah baginya satu pahala. Pendapat yang
menerangkan pembagian ijtihad menurut bentuk dan metodenya ini amat
bervariasi. Metode ijtihad menurut Wahbah al-Zuhaily ditinjau dari segi
pembentukannya terbagi kepada tiga macam:
a. Ijtihad Bayaniy.
b. Ijtihad Qiyasiy Ta‟liliy
c. Ijtihad Istislahiy
Sementara itu, ditinjau dari segi pelaksanaannya terbagi menjadi tiga bentuk pula
yaitu:
a. Ijtihad Intiqa'i (Tarjih)
b. Ijtihad Insyai
c. Metode Komparatif atau gabungan dari metode ijtihad intiqa„i dan insya'i.
Metode ijtihad ditinjau dari segi penerapannya terhadap nash terbagi pada dua
bentuk yaitu:
a. Ijtihad Istislahiy
b. Ijtihad Tatbiqiy
َ إذذا: صقللىَّ اَللق ذعلذويقإه ذوذسق لذم يذقلققوولل وذعن ذعمإرو بو إن اَلوعقاَ إ إ
ص ذرضقذي اَللق ذعونقهل أذنذهل ذسقإمذع ذرلسقوولل اَلق ذ ذ ذ و و
لمتُلقذف قق. ب فذقلذقهل أذوجقذراَإن ذوإذذاَ ذحذكقذم ذفاَوجتُذذحقذد ثقللم أذوخطذقأذ فذقلذقهل أذوجققر إ
ذحذكذم اَلذحاَكلم ذفاَوجتُذقذهذد ثللم أذ ذ
صقاَ ذ
ذعلذويإه
Artinya : “Dan dari Amr bin Ash bahwa ia pernah mendengar Rasulullah
shallahu alaihi wa sallam bersabda: “apabila seorang hakim bersungguh-sungguh
dalam memutuskan suatu perkara dan keputusan itu sesuai dengan kebenaran
berarti telah mendapatkan dua pahala dan jika keliru maka dia mendapatkan satu
pahala.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
7
D. Ijtihad Hukum Formal
8
Apabila hakim menemui perkara yang secara eksplisit tidak tertulis dalam
undang-undang, maka hakim mengedepankan faktor moral kemanfaatan dan
keutamaan untuk kepentingan sosial, Faktor ekonomi sosial serta aspek-aspek
psikologi turut berpengaruh pada putusan hakim, seorang hakim yang mengambil
keputusan diluar sekenario undang-undang maka dalam hal ini hakim tersebut
mempertaruhkan kepekaan hati nurani dan kearifannya dalam mengambil
keputusan. Tetapi semua itu tidak boleh membuat seorang hakim lupa dengan
tugasnya sebagai penegak hukum, karena kewibawaan seorang hakim terletak
pada kesetiaanya menjunjung tujuan hukum itu, oleh karena itu keputusan hakim
tidak boleh berkembang secara bebas tanpa batas.5
5 Syarif Mappiasse, Logik Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, (Jakarta, PrenadaMedia Group,
2015),. Hlm. 66
9
kebijakan yang terletak dalam aturan-aturan hukum untuk
memecahkan kasus sulit.6
6 Ibid. Hlm. 69
7 Ibid. Hlm. 71
10
Kehakiman, menjelasankan tentangn lembaga peradilan yang telah diberikan
kewenangan oleh undang-undang, yaitu kewenangan absolut yang terlepas
dari campur tangan orang lain dan tidak ada tekanan dari pihak-pihak lain dengan
tujuan untuk menegakan hukum dan menegakan keadilan.8
Subekti berpendapat bahwa kekuasaan kehakiman adalah “Semua
ketentuan tentang pembagian kekuasaan antara badan-badan pengadilan dari
tiap-tiap jenis pengadilan tersebut, lazimnya diatur dalam undang-undang tentang
11
Landasan sistem peradilan negara dalam menjalankan kekuasaan
kehakiman berdasarkan yurisdiksi. Hal ini dimaksudkan bahwa kekuasaan
kehakiman berlandasan pada kewenangan mutlak untuk mengadili yang
diberikan undang-undang pada porsi masing-masing dalam wilayah
peradilannya.10
Hakim dalam mengadili perkara, ia mempunyai aktivitas atau sebuah
kegiatan yuridis tersendiri tidak mengikuti sologisme belaka. Hakim pun ikut
serta dalam pembentukan hukum, namun bukan hukum yang objektif seperti
diciptakan oleh pembentuk undang-undang, yang mempunyai sifat abstrak,
sedangkan hukum konkret yang diciptkan dari putusan ( judge-made
law ).putusan putusan hakim adalah sebuah hukum, maka dengan demikian harus
sesuai dan dapat ditrima oleh semua pihak dari kalangan masyarakat. Hakim juga
wajib memperhatikan kebutuhan praktik hukum maupun kebutuhan peradilan.
Dalam contoh adalah kasus dalam sebuah hukum acara perdata. Yang ada
dalam HIR dan RBG. Yang menjelaskan tentang tidak menetapkan nya syarat-
syarat tentang isi dari sebuah gugatan. Contohnya dalam tidak diharuskannya,
seperti hal nya sebuah gugatan ( daagvarding ) dalam sebuah ketentuan hukum
acara perdata eropa yang berperan dan diatur dalam Rv, bahwa sebuah gugatan
harus memuat isi apa yang dituntut terhadap tergugat, adapun dasar dasar
penuntutan tersebut dan tuntutan itu harus terang dan juga tertentu. Hukum acara
perdata yang memuat HIR dan RBG. 11
10 Ibid.
11 Adi Sulistyono, Sistem Peradilan di Indonesia Dalam Teori dan Praktik (Jakarta : Prenadamedia,
2018) hlm 130
12
ك ذرلجلذإن فذلذ تذقوقق إ إذذاَ تذقذقاَ ذ: صقللىَّ اَللق ذعلذوي إه ذوذسق لذم إ إ إ
ض ضقىَّ إلذويق ذ قذقذل ذرلسقوولل اَلق ذ: ذو ذعون ذعليي ذرضقذي اَللل هل ذعون هل قذقذل
ف تذقوق إ
ضي تذودإريِ ذكوي ذ.ضيياَ بذقوعلد فذذماَ إزلو ل: ف ذقاَذل ذعإليي
ت ذقاَ إ إ إ
فذ ذ, للذلول ذحلتُىَّ تذوسذمع ذكلذذم اَلذخإر
سوو ذ
13 Muhammad Ali, “Hakim dalam perspektif hadis”, Tahdis, Vol. 8 No. 1, 2017, hlm 52
13
hal ini memberikan pernyataan yaitu bila mengambil pada kaidah ushul
yang memberikan pernyataan “setiap yang dilarang memberikan petunjuk
hukum haram, mudah bahwa yang menjadi larangan marah pada hadits
tersebut mengarah pada hukum haram dalam mengadili perkara di
persidangan saat marah. Maksud hukum makruh seorang hakim dalam
mengadili sebuah perkara karena secara terpaksa ia marah. Karena sikap
marah atau sikap emosional dalam diri adalah suatu hal yang sering dialami
setiap manusia, termasuk seorang hakim sekalipun.
Mengutip dari Hasbi As-Shiddieqy yang mengutip pendapat al-
Nawawi dan ulama lainnya menyatakan bahwa hakim yang dalam kondisi
sedang marah, kemudian mengadili dan memutuskan sebuah perkara, maka
keputusannya, sah. Sebab Rasulullah SAW pernah memutuskan perkara saat
sedang dalam kondisi sedikit marah.
Mengutip pandangan Abd. Rasyid Abd. ‘Aziz al-Salim menjelaskan
tentang larangan marah dalam sebuah hadits ini mengarahkan
bahwasannya seorang hakim tidak memutuskan perkara dalam kondisi
marah, karena hal-hal yang makruh bila ditinggalkan akan mendapatkan
pahala. Sebab karena kemarahan pikiran dan hati akan terganggu dan
mempersempit wawasan yang benar sehingga dapat menimbulkan
kesalahan.
Dari hadits di atas, dan sesuai dengan penjelasan para ulama di atas,
maka dapat diambil kesimpulan yaitu seorang hakim boleh-boleh saja atau
sah ia marah saat memutuskan perkara dengan syarat marahnya tidak
mempengaruhi keputusan hakimnya.
keputusan seorang hakim tidak bisa mengganti yang halal menjadi haram.
Qatadah pernah berkata “Ketahuilah wahai anak Adam bahwa keputusan
hakim tidak bisa menghalalkan yang haram dan mengramkan yang halal dan
tidak membenarkan hal-hal yang bathil. Karena seorang hakim dalam
memutuskan suatu perkara sesuai dengan adanya saksi yang melihat, karena
hakim adalah seorang manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan.
14
Seseorang yang mengadili dengan kebathilan, sesungguhnya perselisihan
mereka tidak selesai hingga mereka dikumpulkan pada hari kiamat nanti14
3. Hadits tentang Tanggung Jawab Hakim
15
karena bobot dan kualitas penguasaan hukum yang dimiliki, melainkan
melainkan juga memiliki integritas sebagai pengawal konstitusi, HAM,
kebenaran dan keadilan sebagai komitmen moral profesinya
Untuk menjunjung etika profesi dan menghormati hak-hak orang lain yang
membutuhkan keadilan didepan hukum, maka diperlukan professional
hukum yang memiliki kompetensi sebagai berikut.
1) Sikap kemanusiaan, agar tidak menanggapi hukum hanya
secara formal, tetapi selalu mendahulukan hukum secara
materiil dengan mendahulukan HAM.
2) Sikap keadilan, untuk menentukan apa yang layak bagi
masyarakat agar terjamin keadilannya.
3) Sikap kepatutan, dalam mempertimbangkan apa yang sungguh
sungguh adil dalam suatu perkara.
4) Sikap jujur, sikap yang dibentuk sejak dalam masa mahasiswa
dengan dibekali oleh akhlak budi pekerti dan pengenalan
profesi hakim.16
Tidak boleh bersikap hasad (iri hati) kecuali kepada dua orang, pertama;
Orang yang diberikan harta oleh Allah dan dia menggunakannya untuk
mendukung kebenaran, kedua; orang yang diberikan hikmah oleh Allah dan dia
menggunakannya dalam memberi keputusan dan dia juga mengajarkan hikmah
tersebut kepada orang lain .
16 Mustofa, Wildan Suyuthi, Kode Etik Hakim, (Jakarta : Prenada Pedia 2017). Hlm.46-49
16
benar. Terkait dengan hakim peradilanagama yang ada di negara Indonesia, hakim
itu adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman. Oleh karena
itu, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 menentukan syarat-syarat
pengangkatan, pemberhentian dan sumpah yang harus diucapkan oleh hakim
tersebut
Hakim agama harus beragama Islam, diangkat oleh presiden selaku kepala
negara atas usul Menteri Agama RI berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah
Agung RI. Prosedur pengankatan hakim yang melibatkan instansi yang
berwewenang dan tiga unsur aparat negara menujukkan betapa terhormatnya
jabatan hakim ini. Maka hendaklah para hakim menjunjung tinggi kehormatan
dan kepercayaan yang diberikan kepadanya, sedapat mungkin menjauhkan diri
dari berbagai hal yang dapat menurunkan kewibawaannya.17 putusanyang akan
dijatuhkan. Masayarakat tidak akan percaya lagi terhadap hakim tersebut dan juga
lembaga peradilan tempatnya bekerja.
17 Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan : Suatu Kajian dalam
Sistem Peradilan Islam, (Jakarta : Fajar InterpratamaOffest, 2007), hlm 181
17
d. menyelesaikan sengketa ekonomi syariah adalah: Al-Qur‟an, Hadits, dan
kitabkitab Turats (kitab-kitab klasik) dan fatwa Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).
e. ijtihad hakim yang di gunakan dalam hal ini adalah ijtihad hakim dalam
memilih sumber hukum yang akan digunakan untuk menyelesaikan
sengketa ekonomi syariah. Dalam menyelesaikan sengketa ekonomi
syariah hakim belum menggunakan sumber hukum berupa ijtihad seperti:
urf, Istihsan, maslahah mursalah dan lain sebagainya, karena para hakim
berpendapat bahwa sumber hukum yang ada, baik sumber hukum formil
ataupun materiil sudah mencukupi sebagai sumber dalam menyelesaikan
sengketa ekonomi yang ada. 18
E. Hadits tentang Tiga Golongan Hakim
Disini hakim memiliki tanggung jawab yang sangat besar yakni ketika
memutuskan perkara, putusan yang dijatuhkan hakim tidak hanya dipertanggung
jawabkan kepada para pihak yang juga dihadapan allah swt. Keberadaan ibrah-
ibrah “ demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa” dan dalam setiap
putusan bukan hanya sekedar formalitas bentuk belaka, namun juga menggandung
maksud tertentu yang begitu mendalam agar putusan hakim harus benar-benar
menggandung maksud dari keadilan yang berdasarkan pada nilai-nilai ketuhanan.
Hakim dengan suatu kedudukan yang dimiliki nya yang sangat mulia dan
kerap disebut sebagai “wakil” tuhan di muka bumi ini menggambarkan bahwa
betapa urgennya peran-peran hakim sebagai tokoh penegak hukum. Hakim juga
dituntut harus benar-benar adil dalam memutuskan sebuah masalah dalam
perkara. Namun dengan demikian, hakim bukan lah malaikat atau nabi yang steril
dari sebuah kesalahan dan dari pengaruh bujuk rayuan hawa nafsu. Dalam
melaksanakan tugas dan profesinya hakim, dan juga pihak hakim yang justru
melakukan pengadain keadilan dan nuraninya demi sebuah godaan dunia.19
18 Abdul manan, pembaruan hukum Islam di Indonesia, (Depok: Kencana, 201), hlm 90
19 Wildan Sayuthi Musthofa, Kode Etik Hakim ( Jakarta : Prenada media, 2013 ) hlm 230
18
putusan yang curang atau tidak adil semata mata didasarkan atas kepentingan
tertentu atau juga berpihak dalam suatu yang disukainya atau berpihak dalam satu
orang yang telah dia sukai. Oleh karena itu islam dapat menyimpulkan bahwa
golongan hakim dengan tiga golongan yang dima dua golongan tersebut masuk di
neraka dan satu golongan yang lain nya masuk surge, dengan ketentuan berikut.20
Hadits tentang tiga Golongan Hakim juga ada dalam Riwayat Tirmidzi
ضقذياَإن إفقي ص للىَّ اَل لقهل ذعلذويقإه ذوذسق لذم قذقاَذل اَلولق ذ
ضقاَةل ثذذلثذقةق ذقاَ إ
ذعن بلقذريوذدةذ أذلن اَلنلبإقلي ذ
فذذذلإ ذ
ك إفي اَلوذجنلإة
Artinya : “Dari Buraidah RA Nahwa Nabi SAW bersabda, “Hakim itu ada
tiga, dua di neraka dan satu di surga: 1) seseorang yang menghukumi secara tak
benar padahal ia mengetauhi mana yang benar, maka ia di neraka, 2) seseorang
hakim yang bodih lalu mengancurkan hak- hak manusia, maka ia di neraka, dan 3)
20 Abdul Manan, Pembaruan Hukumu Isalam di Indonesia ( Jakarta : Prenada media, 2017 ) hlm
334
21 Samsul rizal hamid . buku pintar hadist ( Jakarta : qibla 2012) hlm 515
19
seorang hakim yang menghukumi dengan benar, maka ia masuk surga” (HR.
Tirmidzi).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ijtihad dihubungkan dengan Peradilan maka dimuatlah kepada
jalan yang diikuti oleh hakim hakim dalam putusan putusan mereka, baik
yang berkaitan dengan ketentuan undang undang atau dengan jalan
menyimpulkan dari hukum yang wajib diterapkan ketika tidak ada nash,
meskipun hal ini sangat tidak mungkin untuk negara negara yang
mempunyai undang undang Wadh’iyah yang telah dikodifikan.
Pasal 53 ayat 1 UU Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan
kehakiman mengamatkan bahwa dalam memeriksa dan memutuskan
perkara, hakim bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang
dibuatnya. Berdasarkan semangat proklamasi, filsafah pancasila dan
hukum dasar konstitusi UUD 1945 , tugas dan tanggung jawab hakim
secara utuh adalah memberi perlindungan kepada pencari keadilan yang
didalamnya terkandung secara rinci tugas pokok dan fungsi hakim dalam
proses peradilan.
20
B. Saran
Makalah ini tentunya jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu
masukan serta saran dari para pembaca sangat kami harapkan demi
tercapainya kesempurnaan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
21
22