Anda di halaman 1dari 23

ETIKA DALAM PERADILAN 1

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hadits

Dosen Pengampu : Joko Roby Prasetyo, S.UD., M.Hum.

Disusun Oleh :

1. Millona Guswa Fiqhi A.(172111428)


2. M. Fajar Wahid P. (182111036)
3. Imam Syafii (182111039)
4. Muhammad Ferdy (182111045)
5. Yuli Ardani (182111062)
6. Hindun Whahibatul M.(182111065)

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA

2019

KATA PENGANTAR

0
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Saya
ucapkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT , karena Rahmat Allah SWT kami
bisa menyelesaikan tugas Makalah ini dengan lancar, itu semua karena atas
kehendak dan ijin Allah serta semangat dari orang-orang mensuport saya.

Motivasi dan tujuan Makalah ini tercapai jika saya dapat menerima kritik
maupun saran dari dosen dan para pembaca. Saya harapkan semoga Mini Riset ini
dapat bermanfaat bagi semuanya. Saya mohon maaf bila isi dari Makalah ini jauh
dari sempurna.

Semoga Allah senatiasa memberi kita taufiq dan hidayahnya sehingga


dapat mempermudahkan kita semua dari segala kesulitan. Amin

Surakarta, Oktober 2019

Penyusun

DAFTAR ISI

1
KATA PENGANTAR..............................................................................1

DAFTAR ISI...........................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah..............................................................3


B. Rumusan Masalah.......................................................................3
C. Tujuan .........................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
A. Hadits tentang Ijtihad Hakim......................................................4
B. Hadits tentang Mengadili Perkara, Cara Mengadili....................11
C. Hadits tentang Tanggung Jawab Hakim......................................15
D. Hadits tentang Tiga Golongan Hakim.........................................19
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan..................................................................................21
B. Saran............................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

2
Dalam tugasnya para hakim memikul tanggung jawab sepenuhnya dalam
menjalankan tugas , sebab dalam keputusan hakim dapat membawa dampak yang
besar dalam kehidupan orang-orang yang terkena keputusan tersebut.
Keputusan hakim harus adil jika tidak dapat mengakibatkan penderitaan lahir
maupun batin yang dapat membekas dalam batin yorang yang bersangkutan
dengan keputusan tersebut.
Jelas para hakim memiliki kekuasaan yang besar terhadap para pihak yang
bersangkutan dengan suatu masalah atau konflik yang dihadapkan oleh para
hakim tersebut. Maka hal ini yang menyebabkan adanya tanggung jawab hakim
serta cara mengadili perkara dengan adil guna untuk membuat keseimbangan
sosial dan kedamaian didunia.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Hadits tentang Tiga Golongan Hakim?
2. Apa Hadits tentang Tanggung Jawab Hakim?
3. Apa Hadits tentang Ijtihad hakim?
4. Apa Hadits tentang Mengadili Perkara, Cara mengadili?

C. Tujuan
1. Mengetauhi Hadits tentang Tiga Golongan Hakim
2. Mengetahui Hadits tentang Tanggung Jawab Hakim
3. Mengetauhi Hadits tentang Ijtihad hakim
4. Mengetauhi tentang Mengadili Perkara, Cara mengadili

BAB II
PEMBAHASAN

1. Hadits tentang Ijtihad Hakim


Bila Ijtihad dihubungkan dengan Peradilan maka dimuatlah kepada jalan
yang diikuti oleh hakim hakim dalam putusan putusan mereka, baik yang
berkaitan dengan ketentuan undang undang atau dengan jalan menyimpulkan dari
hukum yang wajib diterapkan ketika tidak ada nash, meskipun hal ini sangat tidak
mungkin untuk negara negara yang mempunyai undang undang Wadh’iyah yang
telah dikodifikan. Secara umum Allah SWT memilih hukum setiap masalah
banyak di antara masalah masalah itu dibiarkan tanda tanda dan cara cara

3
membimbing ulama dalam berijtihad, termasuk hukum hukum yang telah ada
nashnya, yang kebanyakan nash tersebut tidak pasti petunjuk hukumnya (zhanni
dalalah) kemudian ulama mengambil dasar nash tersebut dari makna makna yang
dikandungnya. Secara umum Ijtihad terbagi menjadi tiga, yaitu :
1. Ijtihad dengan nash zhanni (persangkaan) untuk mentarjih sebagaimana
mafhum mafhumnya tanpa keluar dari tempat pengambilan nash itu sendiri.
2. Ijtihad untuk sampai sebagai hukum syar’i dengan menerapkan qa’idah-
qa’idah tersebut dan masalah belum ada ketentuan hukumnya dalam nash yang
khusus atau belum didahului oleh pendapat ijma’ serta tidak mungkin
ditentukan hukumnya dengan jalan qiyas.
3. Ijtihad dengan pendapat berdasarkan tanda-tanda dan alat-alat yang diletakan
oleh pembawa syariat untuk memberi petunjuk tentang hukumnya, dan ini bagi
maslah yang belum ada ketentuannya dalam nash dan tidak mungkin diambil
dari qa’idah-qa’idah kulliyah (umum), serta belom pernah ada pendapat yang
ijma’.

Menurut tabiatnya hasil ijtihad tidak dalam bentuk yang satu karena perbedaan
jalan-jalanya. Perbedaan dalam fikih adalah buah yang mesti selama perbedaan
paham itu masih ada. Perbedaan yang timbul dari hasil ijtihad adalah hal yang
wajar terjadi dikalangan para hakim yang menerapkan undang-undang yang
dibentuk dalam pasal-pasal yang terbatas.1

A. Hakim Muqallid
Memiliki pengetahuan tentang pokok-pokok hukum syariat dan
mendalami cabang-cabangnya, dan telah dikatakan bahwa menurut pendapat yang
kuat dari mazhab Hanafi, boleh mengangkat hakim muqallid salah satu mazhab.
Diriwayatkan dari imam malik, ad-Dasuqi berkata, “itulah pendapat yang lebih
sah” disamping itu ada pendapat bahwa hakim mujtahid adalah lebih utama.
Hakim muqallid diangkat maka ia harus memutuskan hukum berdasarkan
pendapat mazhabnya dan memilih pendapat yang lebih kuat. Apabila ia
mengetahui semua pendapat pendapat itu dan menyimpang dari pendapat

1 Basiq Djalil, Peradilan Islam. (Jakarta : Amzah, 2012) hlm 81

4
mudhabnya dengan sengaja maka putusannya tidak dapat dilaksanakan dan harus
dibatalkan.
Memutuskan hukum berlandaskan pendapat yang lemah adalah terlarang.
Menurut Ibnu Abidin yang mengutip pendapat kalangan mazhab Syafi’i, hakim
dilarang beramal dan memberi fatwa atas mengatakan bahwa mazhab Hanafi
melarang mengamalkan dan memberi fatwa meskipun amalan itu untuk diri
sendiri karena pendapat yang lemah telah di nasikh oleh pendapat yang kuat. Ada
yang berpendapat bahwa berpegang terhadap pendapat yang lemah itu dilarang
bagi orang awam yang tidak memiliki pandangan sendiri.2

B. Tugas Dan Tanggung Jawab Hakim Perdata


Pasal 53 ayat 1 UU Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman
mengamatkan bahwa dalam memeriksa dan memutuskan perkara, hakim
bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya. Berdasarkan
semangat proklamasi, filsafah pancasila dan hukum dasar konstitusi UUD 1945 ,
tugas dan tanggung jawab hakim secara utuh adalah memberi perlindungan
kepada pencari keadilan yang didalamnya terkandung secara rinci tugas pokok
dan fungsi hakim dalam proses peradilan. Tugas pokok dan fungsi hakim dalam
proses peradilan meliputi seluruh tindakan hakim dalam semua fungsi mulai dari
melakukan dading, konstatiring, konstituiring dan eksekutoring. Melalui
kewenangan ex officio, hakim wajib menjalankan tugas dan fungsi tersebut demi
mewujudkan tujuan proses peradilan, yaitu untuk memberi perlindungan hukum
dan keadilan secara nyata kepada pencari keadilan, melaluiproses peradilan yang
sederhana, cepat dan biaya ringan dengan putusan yang berkeadilan dan
eksekutabel.3
Tugas dan tanggung jawab hakim pemeriksaan perkara perdata di
persidangan dalam rangka memberi perlindungan hukum dan keadilan kepada
pencari keadilan melalui proses peradilan dimaksud terkandung di dalamnya tugas
tugas yang meliputi :

2 idid hlm.87
3 Mukti Arto, Penemuan Hukum Islam Demi Mewujudkan Keadilan (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2017) hlm.203

5
1) Memberi perlindungan hukum dan keadilan kepada para pihak pencari
keadilan yang menurut hukum dan keadilan memang di perlukan bagi
yang bersangkutan dalam rangka penyelesaiaan perkara, tanpa harus
diminta dan tanpa diskriminasi.
2) Memberi pelayanan hukum yang berkeadilan secara prima kepada
pencari keadilan.
3) Membantu pencari keadilan dengan mengatasi segala hambatan dan
rintangan untuk tercapainya proses peradilan dan eksekusi yang
sederhana, cepat, dan biaya ringan.
4) Mendamaikan para pihak yang bersengketa.
5) Menyelesaikan sengketa antara para pihak dan emulihkan hubungan
sosial mereka.
6) Menegakkan hukum dan keadilan terhadap perkara yang diajukan
kepadanya.
7) Memberi putusan yang bermutu, tepat, tuntas, final dan eksekutabel.4

C. Seputar tentang Metode Ijtihad dan Hakim

Ijtihad menurut Al-Amidi adalah "mengeluarkan semua kemampuan


dalam mencari hukum - hukum syar’i yang bersifat dzanni, dalam batas dirinya
merasa tidak mampu lagi melebihi usahanya itu.”. Defisi tersebut di atas memberi
pemahaman kepada kita, bahwa lapangan ijtihad hanya terbatas pada
mengeluarkan hukum syara' yang berada dalam peringkat dzanni. Maka dari itu,
dapat dikatakan bahwa hasil ijtihad dari seorang mujtahid adalah relatif, tidak
mutlak benar atau salah. Sedangkan Al Gazali memaknainya sebagai “pencurahan
kemampuan seorang mujtahid dalam rangka mendapatkan hukum-hukum syara.”
Pada dasamya ajaran Islam dapat dibedakan menjadi dua kelompok. Pertama,
ajaran Islam yang bersifat absolut. Kedua, ajaran Islam yang bersifat relatif.
Termasuk kelompok ajaran ini ialah ajaran Islam yang dihasilkan dari proses
ijtihad. Upaya untuk menjadikan Al-Qur‟an sebagai tuntunan hidup sangat
tergantung pada upaya untuk memahaminya. Upaya yang sungguhsungguh hanya

4 Mukti Arto, Penemuan Hukum Islam Demi Mewujudkan Keadilan (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2017) hlm.203

6
dapat dilakukan, jika manusia mempergunakan akalnya. Oleh karena itu, Al-
Qur‟an sangat menganjurkan adanya penggunaan akal dalam memahami makna-
makna yang terkandung di dalamnya. Berkaitan dengan hal ini, hal ini terulang
dalam Al-Qur‟an sebanyak 16 kali dalam berbagai konteksnya. Tidak hanya itu,
dalam sebuah riwayat dinyatakan bahwa ijtihad yang dihasilkan oleh seorang
mujtahid sebagai bagian dari tugas ulil amri. Bila hasilnya benar maka ia
mendapatkan dua pahala dan jika salah baginya satu pahala. Pendapat yang
menerangkan pembagian ijtihad menurut bentuk dan metodenya ini amat
bervariasi. Metode ijtihad menurut Wahbah al-Zuhaily ditinjau dari segi
pembentukannya terbagi kepada tiga macam:

a. Ijtihad Bayaniy.
b. Ijtihad Qiyasiy Ta‟liliy
c. Ijtihad Istislahiy
Sementara itu, ditinjau dari segi pelaksanaannya terbagi menjadi tiga bentuk pula
yaitu:
a. Ijtihad Intiqa'i (Tarjih)
b. Ijtihad Insyai
c. Metode Komparatif atau gabungan dari metode ijtihad intiqa„i dan insya'i.
Metode ijtihad ditinjau dari segi penerapannya terhadap nash terbagi pada dua
bentuk yaitu:
a. Ijtihad Istislahiy
b. Ijtihad Tatbiqiy

Hadist tentang ijtihad hakim:

َ‫ إذذا‬: ‫صقللىَّ اَللق ذعلذويقإه ذوذسق لذم يذقلققوولل‬ ‫وذعن ذعمإرو بو إن اَلوعقاَ إ إ‬
‫ص ذرضقذي اَللق ذعونقهل أذنذهل ذسقإمذع ذرلسقوولل اَلق ذ‬ ‫ذ‬ ‫ذ و و‬

‫ لمتُلقذف قق‬. ‫ب فذقلذقهل أذوجقذراَإن ذوإذذاَ ذحذكقذم ذفاَوجتُذذحقذد ثقللم أذوخطذقأذ فذقلذقهل أذوجققر‬ ‫إ‬
‫ذحذكذم اَلذحاَكلم ذفاَوجتُذقذهذد ثللم أذ ذ‬
‫صقاَ ذ‬

‫ذعلذويإه‬

Artinya : “Dan dari Amr bin Ash bahwa ia pernah mendengar Rasulullah
shallahu alaihi wa sallam bersabda: “apabila seorang hakim bersungguh-sungguh
dalam memutuskan suatu perkara dan keputusan itu sesuai dengan kebenaran
berarti telah mendapatkan dua pahala dan jika keliru maka dia mendapatkan satu
pahala.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

7
D. Ijtihad Hukum Formal

Ijtihad, adalah berusaha memaksimalkan daya dan upaya yang


dimilikinya, Ijtihad secara etimologi memiliki pengertian: “pengerahan segala
kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit”. Sedangkan secara
terminologi adalah “penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang
terdekat pada kitabullah (syara) dan sunnah rasul atau yang lainnya untuk
memperoleh nash yang ma’qu; agar maksud dan tujuan umum dari hikmah
syariah yang terkenal dengan maslahat.

Hukum dan peradilan berjalan sejalan dengan perkembangan peradaban


manusia, tapi terkadang tidak dibarengi dengan pembaharuan di bidang
instrument yang digunakan dalam menjalankan peradilan, sedangkan hukum
bukanlah sesuatu yang statis, kaitanya dengan masyarakat, sedangkan masyarakat
merupakan proses yang terus menerus berubah secara berkesinambungan. Oleh
karena itu, perubahan hukum merupakan sesuatu yang esensial.

Dalam dinamika peradilan, hakim sering menemui masalah-masalah atau


perkara-perkara yang tidak di dirumuskan pemecahannya dalam undang-undang,
terlebih dengan jaman yang semakin berkembang, berkembang pula masalah-
masalah yang terjadi tetapi terkadang tidak dibarengi dengan pembaharuan
istrumen hukum yang berlaku. Karena tidak semua penyelesaian perkara diatur
dalam undang-undang, disinilah peran ijtihad hakim digunakan, seperti yang
disampaikan diatas bahwasanya ijtihad digunakan untuk memperoleh nash atau
ketentuan yang sesuai dengan syariat bagi kemaslahatan semua pihak sesuai
dengan apa yang telah diperbuat.

Dalam memutus suatu perkara hakim harus berdasarkan kebenaran yang


riil, sedangkan kebenaran yang riil atau keadaann sebenarnya yang terjadi tidak
selalu diatur pada undang-undang. Disisi lain hakim dituntut untuk menemukan
hukum terhadap persoalan/masalah yang dihadapkan kepadanya, maka
dibutuhkan kreatifitas hakim dalam menemukan hukum terhadap permasalahan
yang ada namun tidak secara tegas diatur dalam undang-undang.

8
Apabila hakim menemui perkara yang secara eksplisit tidak tertulis dalam
undang-undang, maka hakim mengedepankan faktor moral kemanfaatan dan
keutamaan untuk kepentingan sosial, Faktor ekonomi sosial serta aspek-aspek
psikologi turut berpengaruh pada putusan hakim, seorang hakim yang mengambil
keputusan diluar sekenario undang-undang maka dalam hal ini hakim tersebut
mempertaruhkan kepekaan hati nurani dan kearifannya dalam mengambil
keputusan. Tetapi semua itu tidak boleh membuat seorang hakim lupa dengan
tugasnya sebagai penegak hukum, karena kewibawaan seorang hakim terletak
pada kesetiaanya menjunjung tujuan hukum itu, oleh karena itu keputusan hakim
tidak boleh berkembang secara bebas tanpa batas.5

Dalam merumuskan pendapat hukum, maka pada putusan hakim harus


disertai dengan alasan-alasan atau fakta-fakta dan dasar-dasar yang legalistik
termasuk sumber hukum tidak tertulis seperti hukum adat dan kebiasaan
masyarakat yang dapat dijadikan dasar untuk mengadili.

Menurut pasal 14 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 menentukan bahwa


dalam sidang permusyawaratan setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan
atau pendapat tertulis terhadap perkara yang diperiksa dan menjadi bagian tidak
terpisahkan dalam putusan. Terdapat lima langkah dalam merumuskan pendapat
hukum, antara lain.

1. Menelaah fakta yan tersedia (research the available facts).


2. Mengidentifikasikan sumber hukum yang mungkin (peraturan
perundang-undangan atau putusan pengadilan).
3. Menganalisis sumber hukum yang untuk menetapkan aturan hukum
yang mungkin dan kebijakan aturan tersebut.
4. Mengelompokan aturan-aturan khusus dibawah aturan umum.
5. Menerapkan aturan-aturan tersebut untuk memastikan hak atau
kewajiban yang timbul dari fakta-fakta itu dengan menggunakan

5 Syarif Mappiasse, Logik Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, (Jakarta, PrenadaMedia Group,
2015),. Hlm. 66

9
kebijakan yang terletak dalam aturan-aturan hukum untuk
memecahkan kasus sulit.6

Dengan menghubungkan ketentuan Pasal 50 ayat (1) juncto Pasal 53 ayat


(2) dan pasal 14 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, serta kebiasaan dalam praktik pengadilan, dapatlah disimpulkan
adanya enam langkah dalam merumuskan pendapat hukum yang disampaikan
pada saat sidang permusyawaratan hakim dalam menjatuhkan putusan. Keenam
langkah tersebut meliputi:

1. Mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu struktur (peta)


kasus yang sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai suatu kasus
yang riil terjadi (terbukti sebagai fakta berdasar hukum pembuktian
yang sah).
2. Menghubungkan (mensubsumsi) struktur kasus tersebut dengan sum-
ber-sumber hukum yang relevan, schingga ia dapat menetapkan per-
buatan hukum ke dalam peristilahan yuridis (legal term).
3. Menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk
kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung di dalam aturan
hukum itu, sehingga dihasilkan suatu struktur (peta) aturan yang
koheren.
4. Menghubungkan struktur aturan dengan struktur kasus (fakta hukum)
secara silogisme deduktif.
5. Mencari alternatif-alternatif penyelesaian yang tepat dan benar.
6. Menetapkan pilihan atas salah satu alternatifuntuk kemudian
ditetapkan sebagai pendapat hukum yang sesuai dengan dictum
putusan.7

2. Hadits tentang Mengadili Perkara


Pasal 1 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

6 Ibid. Hlm. 69
7 Ibid. Hlm. 71

10
Kehakiman, menjelasankan tentangn lembaga peradilan yang telah diberikan
kewenangan oleh undang-undang, yaitu kewenangan absolut yang terlepas
dari campur tangan orang lain dan tidak ada tekanan dari pihak-pihak lain dengan
tujuan untuk menegakan hukum dan menegakan keadilan.8
Subekti berpendapat bahwa kekuasaan kehakiman adalah “Semua
ketentuan tentang pembagian kekuasaan antara badan-badan pengadilan dari
tiap-tiap jenis pengadilan tersebut, lazimnya diatur dalam undang-undang tentang

hukum acara” Selain dengan kompetensi absolut, kekuasaan kehakiman


mempunyai kompetensi relatif, yang dimana kompetensi relatif pada kekuasaan
kehakiman dimaksudkan ketentuan yang diatur oleh undang-undang
mengenai kewenangan susunan dan kewenangan pengadilan oleh karena itu,
kekuasaan adalah kewenangan yang mutlak untuk menjalankan kekuasaan
formal yang diabsahkan dengan tujuan untuk menjalankan hukum dan
menegakan keadilan.9

Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman pada Pasal 2 angka (1)


Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman:
a. Peradilan dilakukan “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”
b. Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila.
c. Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia
adalah peradilan negara yang diatur dengan undang-undang.
d. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan,
Peradilan dilakukan “ Demi Keadilan Berdasarkan ketuhanan Yang
Maha Esa” adalah umdang-undang menjamin kebebasan
menjalankan kehakiman untuk mewujudkan suatu keadilan.

8 Indriana Prima Puspita Sari, Istislam, Nurini Aprilianda, “KEWENANGAN


PENYELESAIAN SENGKETA MENGADILI ATAS OTENTISITAS AKTA YANG DIBUAT
OLEH NOTARIS DI LUAR WILAYAH KERJA”, ADIL: Jurnal Hukum Vol. 8 No.1, hal 165-
166
9 Ibid.

11
Landasan sistem peradilan negara dalam menjalankan kekuasaan
kehakiman berdasarkan yurisdiksi. Hal ini dimaksudkan bahwa kekuasaan
kehakiman berlandasan pada kewenangan mutlak untuk mengadili yang
diberikan undang-undang pada porsi masing-masing dalam wilayah
peradilannya.10
Hakim dalam mengadili perkara, ia mempunyai aktivitas atau sebuah
kegiatan yuridis tersendiri tidak mengikuti sologisme belaka. Hakim pun ikut
serta dalam pembentukan hukum, namun bukan hukum yang objektif seperti
diciptakan oleh pembentuk undang-undang, yang mempunyai sifat abstrak,
sedangkan hukum konkret yang diciptkan dari putusan ( judge-made
law ).putusan putusan hakim adalah sebuah hukum, maka dengan demikian harus
sesuai dan dapat ditrima oleh semua pihak dari kalangan masyarakat. Hakim juga
wajib memperhatikan kebutuhan praktik hukum maupun kebutuhan peradilan.

Hakim yang berkerja dalam peradilah harus proaktif membuat dalam


membuat putusan untuk menyelesaikan sebuah perkara dengan memperhatikan
sebuah kenyataan sosial. Jadi dengan demikian, putusan hakim akan dapat
memenuhi rasa keadilan masyarakat. Dari pemikiran disini lah lahir sebuah ide
baru dalam sociological jurisprudence tentang law is a loot of social engineering.

Dalam contoh adalah kasus dalam sebuah hukum acara perdata. Yang ada
dalam HIR dan RBG. Yang menjelaskan tentang tidak menetapkan nya syarat-
syarat tentang isi dari sebuah gugatan. Contohnya dalam tidak diharuskannya,
seperti hal nya sebuah gugatan ( daagvarding ) dalam sebuah ketentuan hukum
acara perdata eropa yang berperan dan diatur dalam Rv, bahwa sebuah gugatan
harus memuat isi apa yang dituntut terhadap tergugat, adapun dasar dasar
penuntutan tersebut dan tuntutan itu harus terang dan juga tertentu. Hukum acara
perdata yang memuat HIR dan RBG. 11

Hadits tentang mengadili Perkara yaitu:

10 Ibid.
11 Adi Sulistyono, Sistem Peradilan di Indonesia Dalam Teori dan Praktik (Jakarta : Prenadamedia,
2018) hlm 130

12
‫ك ذرلجلذإن فذلذ تذقوقق إ‬ ‫ إذذاَ تذقذقاَ ذ‬: ‫صقللىَّ اَللق ذعلذوي إه ذوذسق لذم‬ ‫إ‬ ‫إ إ‬
‫ض‬ ‫ضقىَّ إلذويق ذ‬ ‫ قذقذل ذرلسقوولل اَلق ذ‬: ‫ذو ذعون ذعليي ذرضقذي اَللل هل ذعون هل قذقذل‬
‫ف تذقوق إ‬
‫ضي‬ ‫تذودإريِ ذكوي ذ‬.‫ضيياَ بذقوعلد‬ ‫ فذذماَ إزلو ل‬: ‫ف ذقاَذل ذعإليي‬
‫ت ذقاَ إ‬ ‫إ إ‬
‫ فذ ذ‬, ‫للذلول ذحلتُىَّ تذوسذمع ذكلذذم اَلذخإر‬
‫سوو ذ‬

Artinya : “ Rasulullah SAW bersabda , Jika kamu mengadili dua orang


yang sedang bersengketa maka janganah kamu beri keputusan kepada pihak
pertama hingga kamu mendengar laporan dari pihak kedua , dengan demikian
kamu akan mengetauhi bagaimana cara mengambil keputusan. “ Ali
Radhiyallahu Anhu berkata” setelah itu aku tetap menjabat sebagai hakim”.
a. Hadits tentang larangan marah bagi seorang hakim saat sedang mengadili
perkara di persidangan.

‫نقاَنل بنبكنرةن أنببيِ ببنن‬: ‫ب‬


‫ضنيِ لن ببأ نبن بببسبجبسنتاَنن نونكاَنن اببنببه إبنلىَ بنبكنرةن أنببوُ نكتن ن‬
‫ابثننبيبن بنبينن تنبق ب‬ ‫نوأنبن ن‬
‫ت‬
‫الرربحنمبن نعببدْ نعبن‬
‫صرلىَ النربب ر‬
‫يِ نسبمبع ب‬
‫نغ ب‬, ِ‫ت فنإ بنني‬
‫ضنباَبن‬ ‫ابثننبيبن بنبينن نحنكمم ينبق ب‬
‫ضينرن لن ينبقوُبل نونسلرنم نعلنبيبه ن‬
Artinya: Dari Abdurrahman ibn Abu Bakrah, ia berkata: Abu Bakrah
menulis surat untuk anaknya yang ketika itu berada di Sijistan yang isinya:
jangan engkau marah, sebab aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
Seorang hakim dilarang memutuskan antara dua orang ketika marah (HR.
Bukhari).12
Periwayat pertama hadits di atas adalah Abu Bakrah memiliki sebab wurud
yang menyatakan bahwa Abu Bakrah mempunyai dua orang anak,
‘ubaidullah yaitu seorang hakim di Sijistan, dan Abdurrahman yang menjadi
salah seorang periwayat hadits ini juga. Nama lengkap Abu Bakrah adalah
Abu Bakrah Nugai al-Saqafi mengirim surat untuk anaknya ‘Ubaidullah
sebagai hakim di Sijistan (persia) yang berisi tentang permintaan agar
anaknya tidak duduk dalam persidangan untuk memutskan suatu perkara,
jika dia dalam kondisi marah, menurut sabda Rasulullah SAW di atas.13
Teks hadits di atas memberikan pengertian tentang seorang hakim
yang sedang marah atau bersikap emosional saat sedang mengadili di
persidangan antara dua orang yang sedang berperkara. Al-Nawawi dalam
12 Hadis riwayat shohih bukhori nomor 6625

13 Muhammad Ali, “Hakim dalam perspektif hadis”, Tahdis, Vol. 8 No. 1, 2017, hlm 52

13
hal ini memberikan pernyataan yaitu bila mengambil pada kaidah ushul
yang memberikan pernyataan “setiap yang dilarang memberikan petunjuk
hukum haram, mudah bahwa yang menjadi larangan marah pada hadits
tersebut mengarah pada hukum haram dalam mengadili perkara di
persidangan saat marah. Maksud hukum makruh seorang hakim dalam
mengadili sebuah perkara karena secara terpaksa ia marah. Karena sikap
marah atau sikap emosional dalam diri adalah suatu hal yang sering dialami
setiap manusia, termasuk seorang hakim sekalipun.
Mengutip dari Hasbi As-Shiddieqy yang mengutip pendapat al-
Nawawi dan ulama lainnya menyatakan bahwa hakim yang dalam kondisi
sedang marah, kemudian mengadili dan memutuskan sebuah perkara, maka
keputusannya, sah. Sebab Rasulullah SAW pernah memutuskan perkara saat
sedang dalam kondisi sedikit marah.
Mengutip pandangan Abd. Rasyid Abd. ‘Aziz al-Salim menjelaskan
tentang larangan marah dalam sebuah hadits ini mengarahkan
bahwasannya seorang hakim tidak memutuskan perkara dalam kondisi
marah, karena hal-hal yang makruh bila ditinggalkan akan mendapatkan
pahala. Sebab karena kemarahan pikiran dan hati akan terganggu dan
mempersempit wawasan yang benar sehingga dapat menimbulkan
kesalahan.
Dari hadits di atas, dan sesuai dengan penjelasan para ulama di atas,
maka dapat diambil kesimpulan yaitu seorang hakim boleh-boleh saja atau
sah ia marah saat memutuskan perkara dengan syarat marahnya tidak
mempengaruhi keputusan hakimnya.
keputusan seorang hakim tidak bisa mengganti yang halal menjadi haram.
Qatadah pernah berkata “Ketahuilah wahai anak Adam bahwa keputusan
hakim tidak bisa menghalalkan yang haram dan mengramkan yang halal dan
tidak membenarkan hal-hal yang bathil. Karena seorang hakim dalam
memutuskan suatu perkara sesuai dengan adanya saksi yang melihat, karena
hakim adalah seorang manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan.

14
Seseorang yang mengadili dengan kebathilan, sesungguhnya perselisihan
mereka tidak selesai hingga mereka dikumpulkan pada hari kiamat nanti14
3. Hadits tentang Tanggung Jawab Hakim

Tugas hakim untuk menentukan hukum berdasarkan keadilan dalam


masyarakat sangatlah berat tapi mulia. Berat karena sebagai manusia biasa diberi
hak istimewa oleh negara dan atas nama Tuhan Yang Maha Esa menentukaan
bersalah atau tidaknya seseorang dalam suatu perkara, maka hakim haruslah
dituntut memiliki tanggung jawab pada hati nurani, nilai-nilai etik masyarakat,
Allah SWT dan tanggung jawab terhadap kode etik pada profesinya.

a. Tanggung jawab pada hati nurani


Hati nurani lah yang merumuskan hukum sekaligus sebagai intuisi dalam
diri seorang hakim dalam menentukan sesuatu itu salah atau benar, dalam
hati nurani yang baik menghindarkan seseorang dari perbuatan yang melanggar
kebaikan atau norma yang dipahami. Tetapi kalau pelanggaran itu dilakukan terus
menerus, dan mengabaikan suara hati nuraninya, maka hati nurani yang baik akan
bungkam sehingga perbuatan yang salah menjadi kebiasaan dan menjadi suatu
kenikmatan untuk terus menerus dilakukan. Akhirnya suara hati yang baik yang
dimilikinya menjadi rusak.15
b. Tanggung jawab pada masyarakat
Hakim harus bertindak secara adil dalam memutuskan perkara, dimana
pengadilan tersebut dapat menjadi contoh bagi masyarakat mengenai
prosedur hukum di pengadilan, hakim harus bersikap netral tidak berpihak
atau menunjukan keberpihakanya pada suatu golongan.
c. Tanggung jawab pada Tuhan YME
Hakim adalah pemutus perkara, yang memutuskan apakah seorang akan
diadili atau tidak, dengan demikian keputusan yang dikeluarkan oleh
hakim haruslah adil karena menyagkut hak hidup seseorang.
d. Tanggung jawab terhadap kode etik profesinya
Hakim yang diberi kewenangan dalam profesi hukum untuk bertugas
memberi kepastian hukum kepada para pencari keadilan, oleh karena itu
profesi hakim adalah profesi yang terhormat dan luhur, bukan semata-mata
14 Sulaeman Jajuli, Ekonomi dalam al-qur’an, (Yogyakarta: Cv budi utama, 2018), hlm 17

15 Nurani Sebagai Hakim, http://www.rehobot.org/beranda_renungan/nurani-sebagai-hakim/


(diakses pada 21 Oktober 2019, 22.55)

15
karena bobot dan kualitas penguasaan hukum yang dimiliki, melainkan
melainkan juga memiliki integritas sebagai pengawal konstitusi, HAM,
kebenaran dan keadilan sebagai komitmen moral profesinya

Untuk menjunjung etika profesi dan menghormati hak-hak orang lain yang
membutuhkan keadilan didepan hukum, maka diperlukan professional
hukum yang memiliki kompetensi sebagai berikut.
1) Sikap kemanusiaan, agar tidak menanggapi hukum hanya
secara formal, tetapi selalu mendahulukan hukum secara
materiil dengan mendahulukan HAM.
2) Sikap keadilan, untuk menentukan apa yang layak bagi
masyarakat agar terjamin keadilannya.
3) Sikap kepatutan, dalam mempertimbangkan apa yang sungguh
sungguh adil dalam suatu perkara.
4) Sikap jujur, sikap yang dibentuk sejak dalam masa mahasiswa
dengan dibekali oleh akhlak budi pekerti dan pengenalan
profesi hakim.16

Hadits tentang Tanggung Jawab hakim yaitu:

Artinya: “Dari Abu Hurairah, Dia berkata: Rasulullah shallahu ‘allahi wa


sallam bersabda, Barangsiapa dijadikan hakim diantara manusia, maka
sesunggungnya dia di sembelih tanpa menggunakan pisau”.

Kedudukan Terhormat Seorang Hakim

Tidak boleh bersikap hasad (iri hati) kecuali kepada dua orang, pertama;
Orang yang diberikan harta oleh Allah dan dia menggunakannya untuk
mendukung kebenaran, kedua; orang yang diberikan hikmah oleh Allah dan dia
menggunakannya dalam memberi keputusan dan dia juga mengajarkan hikmah
tersebut kepada orang lain .

Seseorang yang menjadi hakim pada hakikatnya memiliki jabatan yang


tinggi, dia merupakan salah satu bagian dari penegak hukum yang sangat
diharapakan dapat memutuskan perkara yang diajukan kepadanya dengan adil dan

16 Mustofa, Wildan Suyuthi, Kode Etik Hakim, (Jakarta : Prenada Pedia 2017). Hlm.46-49

16
benar. Terkait dengan hakim peradilanagama yang ada di negara Indonesia, hakim
itu adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman. Oleh karena
itu, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 menentukan syarat-syarat
pengangkatan, pemberhentian dan sumpah yang harus diucapkan oleh hakim
tersebut

Hakim agama harus beragama Islam, diangkat oleh presiden selaku kepala
negara atas usul Menteri Agama RI berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah
Agung RI. Prosedur pengankatan hakim yang melibatkan instansi yang
berwewenang dan tiga unsur aparat negara menujukkan betapa terhormatnya
jabatan hakim ini. Maka hendaklah para hakim menjunjung tinggi kehormatan
dan kepercayaan yang diberikan kepadanya, sedapat mungkin menjauhkan diri
dari berbagai hal yang dapat menurunkan kewibawaannya.17 putusanyang akan
dijatuhkan. Masayarakat tidak akan percaya lagi terhadap hakim tersebut dan juga
lembaga peradilan tempatnya bekerja.

Para hakim disebuah peradilan agama belum banyak yang menggunakan


sumber hukum Ijtihad tersendiri, seperti Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah,
Urf. Karena hukum formil yang ada masih dianggap relefan dan memenuhi untuk
menyelesaikan sengketa yang ada. Seperti dalam hal atau kasus ekonomi syariah
dapat dipahami bahwa :

a. Ijtihad majelis hakim dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah


menggunakan sumber hukum yang sudah ada, baik sumber hukum formil
ataupun sumber hukum meteriil.
b. Sumber hukum acara atau sumber hukum formil yang berlaku di
Pengadilan Umum diberlakukan juga untuk lingkungan Pengadilan
Agama.
c. sumber hukum materiil yang digunakan oleh Hakim Pengadilan Agama
dalam

17 Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan : Suatu Kajian dalam
Sistem Peradilan Islam, (Jakarta : Fajar InterpratamaOffest, 2007), hlm 181

17
d. menyelesaikan sengketa ekonomi syariah adalah: Al-Qur‟an, Hadits, dan
kitabkitab Turats (kitab-kitab klasik) dan fatwa Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).
e. ijtihad hakim yang di gunakan dalam hal ini adalah ijtihad hakim dalam
memilih sumber hukum yang akan digunakan untuk menyelesaikan
sengketa ekonomi syariah. Dalam menyelesaikan sengketa ekonomi
syariah hakim belum menggunakan sumber hukum berupa ijtihad seperti:
urf, Istihsan, maslahah mursalah dan lain sebagainya, karena para hakim
berpendapat bahwa sumber hukum yang ada, baik sumber hukum formil
ataupun materiil sudah mencukupi sebagai sumber dalam menyelesaikan
sengketa ekonomi yang ada. 18
E. Hadits tentang Tiga Golongan Hakim

Disini hakim memiliki tanggung jawab yang sangat besar yakni ketika
memutuskan perkara, putusan yang dijatuhkan hakim tidak hanya dipertanggung
jawabkan kepada para pihak yang juga dihadapan allah swt. Keberadaan ibrah-
ibrah “ demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa” dan dalam setiap
putusan bukan hanya sekedar formalitas bentuk belaka, namun juga menggandung
maksud tertentu yang begitu mendalam agar putusan hakim harus benar-benar
menggandung maksud dari keadilan yang berdasarkan pada nilai-nilai ketuhanan.

Hakim dengan suatu kedudukan yang dimiliki nya yang sangat mulia dan
kerap disebut sebagai “wakil” tuhan di muka bumi ini menggambarkan bahwa
betapa urgennya peran-peran hakim sebagai tokoh penegak hukum. Hakim juga
dituntut harus benar-benar adil dalam memutuskan sebuah masalah dalam
perkara. Namun dengan demikian, hakim bukan lah malaikat atau nabi yang steril
dari sebuah kesalahan dan dari pengaruh bujuk rayuan hawa nafsu. Dalam
melaksanakan tugas dan profesinya hakim, dan juga pihak hakim yang justru
melakukan pengadain keadilan dan nuraninya demi sebuah godaan dunia.19

Hakim dalam memutuskan sebuah perkara tak jarang juga hakim-hakim


ini menyelewengkan sebuah keilmuan yang dimilikinya dengan mengadili

18 Abdul manan, pembaruan hukum Islam di Indonesia, (Depok: Kencana, 201), hlm 90
19 Wildan Sayuthi Musthofa, Kode Etik Hakim ( Jakarta : Prenada media, 2013 ) hlm 230

18
putusan yang curang atau tidak adil semata mata didasarkan atas kepentingan
tertentu atau juga berpihak dalam suatu yang disukainya atau berpihak dalam satu
orang yang telah dia sukai. Oleh karena itu islam dapat menyimpulkan bahwa
golongan hakim dengan tiga golongan yang dima dua golongan tersebut masuk di
neraka dan satu golongan yang lain nya masuk surge, dengan ketentuan berikut.20

Tiga golongan hakim

Sahabat buroidah ra. Memberi tahu kepada nabi Muhammad saw


bersabda, “ hakim ada 3 golongan. Satu golongan masuk kedalam surga,
sedangkan dua golongan yang lainnya ada di dalam neraka. Hakim yang berada
didalam surga adalah hakim yang mengetahui kebenaran, dan menghukum dengan
suatu kebenaran itu. Sedangkan hakim yang mengetahui kebenaran itu, tetapi dia
malah menyimpang (dari kebenaran itu) dalam menetapkan keputusannya, maka
ia ditempatkan kedalam neraka. Dan sedangkan hakim yang memutuskan hukum
terhadap orang lain dengan kebohan, maka ia ditempatkan di dalam neraka juga.”
(H.R Ibnu majah dan Abu dawud).21

Hadits tentang tiga Golongan Hakim juga ada dalam Riwayat Tirmidzi

‫ضقذياَإن إفقي‬ ‫ص للىَّ اَل لقهل ذعلذويقإه ذوذسق لذم قذقاَذل اَلولق ذ‬
‫ضقاَةل ثذذلثذقةق ذقاَ إ‬
‫ذعن بلقذريوذدةذ أذلن اَلنلبإقلي ذ‬

‫ضققىَّ بإغذويقإر اَلوذحققق فذقذعلإقذم ذذاَذك فذقذذاَذك إفققي اَلنلققاَإر‬


‫ض إفققي اَلوذجنلقإة ذرلجقلق قذ ذ‬
‫اَلنلققاَإر ذوققذقاَ ض‬

‫ضققىَّ بقإقاَلوذحقق‬ ‫س فذقلهقذو إفققي اَلنلققاَإر ذوققذقاَ ض‬


‫ض قذ ذ‬ ‫ك لحلقققوذق اَلنلققاَ إ‬ ‫ذوققذقاَ ض‬
‫ض ذل يذقوعلذقلم فذأذوهلذق ذ‬

‫فذذذلإ ذ‬
‫ك إفي اَلوذجنلإة‬

Artinya : “Dari Buraidah RA Nahwa Nabi SAW bersabda, “Hakim itu ada
tiga, dua di neraka dan satu di surga: 1) seseorang yang menghukumi secara tak
benar padahal ia mengetauhi mana yang benar, maka ia di neraka, 2) seseorang
hakim yang bodih lalu mengancurkan hak- hak manusia, maka ia di neraka, dan 3)

20 Abdul Manan, Pembaruan Hukumu Isalam di Indonesia ( Jakarta : Prenada media, 2017 ) hlm
334
21 Samsul rizal hamid . buku pintar hadist ( Jakarta : qibla 2012) hlm 515

19
seorang hakim yang menghukumi dengan benar, maka ia masuk surga” (HR.
Tirmidzi).

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Ijtihad dihubungkan dengan Peradilan maka dimuatlah kepada
jalan yang diikuti oleh hakim hakim dalam putusan putusan mereka, baik
yang berkaitan dengan ketentuan undang undang atau dengan jalan
menyimpulkan dari hukum yang wajib diterapkan ketika tidak ada nash,
meskipun hal ini sangat tidak mungkin untuk negara negara yang
mempunyai undang undang Wadh’iyah yang telah dikodifikan.
Pasal 53 ayat 1 UU Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan
kehakiman mengamatkan bahwa dalam memeriksa dan memutuskan
perkara, hakim bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang
dibuatnya. Berdasarkan semangat proklamasi, filsafah pancasila dan
hukum dasar konstitusi UUD 1945 , tugas dan tanggung jawab hakim
secara utuh adalah memberi perlindungan kepada pencari keadilan yang
didalamnya terkandung secara rinci tugas pokok dan fungsi hakim dalam
proses peradilan.

Islam dapat menyimpulkan bahwa golongan hakim dengan tiga


golongan yang dimana dua golongan tersebut masuk di neraka dan satu
golongan yang lain nya masuk surga, dengan ketentuan berikut.

20
B. Saran
Makalah ini tentunya jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu
masukan serta saran dari para pembaca sangat kami harapkan demi
tercapainya kesempurnaan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

 Abdul Manan. 2017. Pembaruan Hukumu Isalam di Indonesia. Jakarta :


Prenada Media.
 Basiq Djalil. 2012. Peradilan Islam. Jakarta : Amzah.
 Indriana Prima Puspita Sari, Istislam, Nurini Aprilianda, kewenangan
penyelesaian sengketa mengadili atas otentisitas akta yang dibuat oleh
notaris di luar wilayah kerja. ADIL: Jurnal Hukum Vol. 8 No.1
 Mukti Arto. 2017. Penemuan Hukum Islam Demi Mewujudkan Keadilan.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
 Mustofa, Wildan Suyuthi. 2017. Kode Etik Hakim. Jakarta : Prenada Media.
 Nurani Sebagai Hakim, http://www.rehobot.org/beranda_renungan/nurani-
sebagai-hakim/ (diakses pada 21 Oktober 2019)
 Hamid, Samsul rizal. 2012. Buku Pintar Hadist. Jakarta : Qibla.
 Musthofa, Wildan Sayuthi. 2013. Kode Etik Hakim. Jakarta : Prenada Media.
 Adi Sulistyono. 2018. Sistem Peradilan di Indonesia Dalam Teori dan
Praktik. Jakarta : Prenada Media.
 Syarif Mappiase. 2015. Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim. Jakarta
: Prenada Media.
 Muhammad Ali. 2017. Hakim Dalam Perspektif Hadis. Tahdis.
 Sulaeman Jajuli. 2018. Ekonomi dalam Al-Qur’an. Yogyakarta : CV Budi
Utama.

21
22

Anda mungkin juga menyukai