Anda di halaman 1dari 4

A.

Pengertian Kaidah dan Penerapannya


‫ا َ ْل ُح ُّر ََل َي ْد ُخ ُل تَحْ تَ اْل َيد‬
“Orang merdeka itu tidak masuk di bawah tangan (kekuasaan).”

Maksud dari kaidah ini adalah bahwa bagi orang yang merdeka itu kedudukannya tidak
dikuasai oleh pihak manapun, sebab ia tidak ada yang memiliki. Lain halnya dengan hamba
sahaya, karena ia berstatus hamba sahaya, maka kedudukan dirinya di bawah tuannya, dan
berarti ia juga bisa dimiliki oleh tuannya.
Seperti halnya ada seorang perempuan yang berzina dengan budak perempuan yang
merdeka, maka berdasarkan kaidah ini, laki-laki yang menzinainya tidak dapat dituntut
membayar mas kawin karena orang yang merdeka tidak berada di bawah kekuasaan siapapun.
Ada dua cabang dari kaidah di atas, yaitu:
1. ُ‫ست ْع َمالُهُ ُحر َم ات ِّ َخاذُه‬
ْ ‫َما ُحر َم ا‬
“Apa yang haram digunakan, haram pula didapatkannya.”

Prof. H.A. Djazuli mengartikan kaidah ini sebagai berikut: “Apa yang haram
digunakannya, haram pula didapatkannya”. Maksudnya adalah apa yang haram digunakannya,
baik dimakan, diminum, atau dipakai, maka haram pula mendapatkannya.
Jika kita cermati dari paparan di atas, dapat dipahami bahwa setiap yang haram
digunakan, maka usaha untuk memperolehnya juga diharamkan. Ini konklusi logis dari
keharaman sesuatu yang masih paralel hukumnya. Sebab, jika pengharaman hanya dilakukan
sepihak, sementara pihak lain yang masih terkait dibolehkan begitu saja, maka tidak ada efek
hukum yang dihasilkan dari pelarangan tersebut.
Berikut beberapa contoh kaidah tersebut yang dikemukakan oleh as-Suyuti:
a. Haram hukumnya memiliki alat-alat yang melalaikan. Hal ini dikarenakan keharaman
menggunakan alat tersebut baik yang berbentuk musik ataupun permainan. Semua mazhab
yang empat (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali) sepakat untuk mengharamkannya.
b. Haram hukumnya memiliki bejana yang terbuat dari emas dan perak. Hal ini dikarenakan
keharaman menggunakannya baik untuk wadah makanan atau hiasan. Rasulullah SAW
bersabda: “Janganlah kamu meminum dengan menggunakan bejana yang terbuat dari emas
atau perak, dan jangan makan dengan piring yang terbuat dari keduanya, karena keduanya
itu untuk orang-orang musyrik semasa mereka di dunia, dan untuk kamu nantinya di akhirat.”
c. Haram hukumnya memelihara anjing yang bukan digunakan untuk berburu atau memelihara
babi. Hal ini diharamkan karena binatang-binatang tersebut dilarang untuk dimakan dan
mengandung najis.
d. Haram hukumnya untuk semua orang terlibat dalam urusan khamar karena dikhawatirkan
akan meminumnya hingga jatuh pada perbuatan haram. Dalam hadis riwayat Ibnu Majah dan
Turmudzi disebutkan bahwa ada sepuluh orang yang dikutuk pada persoalan khamar, yaitu:
produsen, distributor, peminum, pembawa, pengirim, penuang, penjual, pemakan harga
hasilnya, pembeli dan pemesan.
e. Haram hukumnya menyimpan perhiasan (emas) bagi laki-laki, begitu juga dengan sutra
karena tidak boleh bagi laki-laki mengenakan keduanya.

Dari beberapa contoh yang telah dikemukakan di atas bisa dipahami bahwa suatu hukum
bersifat paralel dengan sebab yang sebelumnya karena mengarah pada akibat yang akan
muncul sesudahnya. Jika sebuah akhir adalah haram, tentu mengharamkan permulaannya
adalah langkah yang lebih tepat sebagai bentuk pencegahan dini.
Oleh karena itu, setiap benda yang haram digunakan maka apapun cara memperolehnya,
meski tergolong pada cara yang halal maka tetap dihukumkan haram. Dan sebagai
konsekuensi logis, jika memperolehnya saja haram maka seluruh aktivitas yang berbentuk
pemanfaatannya, baik itu disimpan, dimakan atau diminum semuanya juga haram.

2. ‫َما ُحر َم أ َ ْخذُهُ ُحر َم‬


‫إ ْع َطا ُؤ ُه‬
“Sesuatu yang haram diambil, maka haram pula diberikan.”

Kaidah ini berdasarkan pada firman Allah SWT Surat al-Maidah ayat 2, yang artinya: “Dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
Dari kaidah tersebut dapat dipahami bahwa mengambil sesuatu yang diharamkan, lalu
hasilnya kita berikan kepada orang lain itu dapat diibaratkan bersekutu dengannya. Dua
kegiatan di atas dinilai memiliki kausalitas (sebab-akibat) yang terikat satu sama lain, maka
hukumnya diparalelkan. Jika suatu akibat dari aktivitas kegiatan yang dinilai haram, maka
aktivitas sebelumnya yang merupakan sebab munculnya keharaman, maka diharamkan pula.
Ini sebagai konsekuensi logis untuk mewujudkan kemaslahatan yang lebih komprehensif dari
sebuah pelarangan. Bahkan langkah ini dianggap cukup efektif bagi penerapan kebijakan
dalam siyasah syariyyah.
Berikut beberapa contoh kaidah tersebut yang dikemukakan oleh as-Suyuti:
a. Haram hukumnya memberikan riba kepada orang lain, sebagaimana diharamkan memakan
riba dari harta orang lain. Ini berdasarkan dari hadis: “Allah melaknat orang yang memakan
riba, memberinya, saksinya dan pencatatnya”.
b. Haram hukumnya memberikan upah pada seorang pelacur, sebagaimana seorang wanita
dilarang mengambil upah dari melacurkan diri (haram melakukan prostitusi).
c. Haram hukumnya memberikan upah pada tukang ramal (dukun), sebagaimana diharamkan
pekerjaan dukun tersebut dan mengambil upah dari orang yang diramalnya.
d. Haram hukumnya memberikan suap (risywah), sebagaimana diharamkan mengambil uang
suap dari seseorang.
3. Pengecualian Kaidah ‫ما حرم أخذه حرم إعطاؤه‬
a. Menyuap hakim untuk mendapatkan hak.
Jika hakim tersebut menahan atau mencegah seseorang untuk mendapatkan haknya, maka
dibolehkan menyuapnya. Dalam ini, yang dikenakan dosa adalah hakim karena mengambil
suap.
b. Membayar harta tebusan untuk membebaskan tawanan.
c. Memberikan sesuatu kepada orang yang dikhawatirkan akan menghinanya.
d. Seorang pewasiat boleh memberikan sesuatu kepada orang yang dikhawatirkan akan
merampas harta anak yatim. Lantas bagi seorang hakim harus mengambil alih atas harta anak
yatim tersebut dan diharamkan bagi pemerintah untuk mengambil sesuatu darinya.

B.

ُ‫ﺍﻟْﺤَﺮِﻳْﻢُ ﻟَﻪُ ﺣُﻜْﻢُ ﻣَﺎ ﻫُﻮَﺣَﺮِﻳْﻢٌ ﻟَﻪ‬

“yang mengelilingi larangan hukumnya sama dengan yang dikelilingi”.

C.

‫ص ْو ُد ُه َما َد َخ َل فِى ْاْل ِخ ِرغَا ِلبًا‬


ُ ‫ف َم ْق‬
ْ ‫اح ٍد لَ ْم يَ ْخت َ ِل‬ ِ ‫اِ َذاجْ ت َ َم َع ا َ ْم َر‬
ِ ‫ان ِم ْن ِج ْن ٍس َو‬
“Apabila berkumpul dua perkara satu jenis, dan tidak berbeda maksud dari keduanya, maka
menurut biasanya yang satu masuk kepada yang lain”.
Dari kaidah ini dapat diambil pengertian bahwa apabila ada dua perkara dimana maksud
dari keduanya sama, maka salah satu dari dua perkara tersebut masuk kepada yang lain, artinya
cukup dengan mengerjakan salah satu saja dari dua perkara tersebut yang lebih besar. Karena
pada hakikatnya yang besar itu telah mencakup yang lebih kecil, sehingga karenanya sudah
dianggap telah mencakup dua perkara itu sekaligus.
Contoh apabila orang hadast kecil dan hadast besar (junub)maka cukup bersuci dengan
mandi saja, seperti kalau orang junub dan haid. Masuk masjid kemudian sholat fardhu, maka
sudah tercakup sholat tahiyatulmasjid. Kalau orang yang datang di masjidil haram kemudian
tawaf nadzar maka sudah termasuk didalamnya tawaf qudum. Tetapi kalau tawaf ifadah tidak
dapat masuk didalamnya tawaf wada’ karena maksudnya berbeda.

Anda mungkin juga menyukai