I. PENDAHULUAN
Dalam hukum Islam terdapat dua macam kaidah, yaitu kaidah-kaidah ushul fiqh, yang
terdapat di dalam kitab-kitab ushul fiqh yang digunakan untuk mengeluarkan hukum (takhrij al-
ahkam) dari sumbernya al-Qur’an dan as-Sunnah. Dan kaidah-kaidah fikih, yaitu kaidah-kaidah
yang disimpulkan secara general dari materi fikih dan kemudian di gunakan pula untuk
menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di
dalam nash.[1]
II. RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana qa’idah Al-Hajah Yanzilu Manzilatadh Dharurat?
B. Bagaimana qa’idah Ma Ubiha Lidh Dharurah Tuqaddar Biqodariha?
C. Bagaimana qa’idah Al-Dhararu La Yuzalu Bidh Dharar?
D. Bagaimana qa’idah Al-Irtikabu Bi Akhoffi al-Dhararain?
E. Bagaimana qa’idah Dar’ul Mafasid Muqaddamun ‘Ala Jalbil Mashalih?
III. PEMBAHASAN
A. Qa’idah Al-Hajah Yanzilu Manzilatadh Dharurat
َّ ْال َحا َجةُ تَ ْن ِز ُل َم ْن ِزلَةَ ال
ضر ُْو َر ِة
“Kedudukan kebutuhan itu menempati kedudukan darurat.”
Al-hajah adalah suatu keadaan yang menghendaki agar seseorang melakukan suatu
perbuatan yang tidak menurut hukum yang seharusnya berlaku, karena adanya kesukaran dan
kesulitan. Perbedaan antara al-dharurat dan al-hajah adalah:
1. Di dalam kondisi al-dharurat ada bahaya yang muncul, sedangkan dalam kondisi al-hajah yang
ada hanyalah kesulitan atau kesukaran dalam pelaksanaan hukum.
2. Di dalam al-dharurat yang dilanggar perbuatan yang haram li dzatihi, sedangkan dalam al-
hajah yang dilanggar adalah haram li ghairihi.
Oleh karena itu, ada dhabith yang menyebutkan bahwa:
َ ضر ُْو َر ِة َو َما حُرِّ َم لِ َغي ِْر ِه أُبِي َْح لِ ْل َح
اج ِة َّ َما حُرِّ َم لِ َذاتِ ِه أُبِي َْح لِل
“Apa yang diharamkan karena zatnya dibolehkan karena darurat dan apa yang diharamkan
karena yang lainnya dibolehkan karena adanya al-hajah.”
Karena kebolehan melanggar yang haram inilah, kedudukan al-hajah ditempatkan pada
posisi al-dharurat.[2] Seperti kebolehan pada transaksi salm. Mengingat praktik salm dibutuhkan
dalam masyarakat, maka ditempatkan pada posisi darurat, meskipun bertentangan dengan qiyas
lantaran termasuk kategori jual beli barang yang tidak ada saat transaksi (bai’ ma’dum). Asy-
syari’ telah memberi rukhshah (keringanan) didalamnya, meski pada dasarnya jual beli seperti
ini tidak sah. Nabi Muhammad SAW membolehkannya dengan mempertimbangkan kebutuhan
manusia terhadapnnya guna menepis rasa berdosa yang mungkin datang jika ia tidak disyariatkan
atas orang yang tidak mempunyai barang ditangannya, sementara ia sangat membutuhkan uang.
Inilah dasar kebolehan transaksi pemesanan pembuatan barang, meskipun ia termasuk jual beli
barang yang tidak ada saat transaksi, melainkan baru diberi dana untuk proses pembuatannya.[3]
IV. KESIMPULAN
Qa’idah Al-Hajah Yanzilu Manzilatadh Dharurat adalah Kedudukan kebutuhan itu
menempati kedudukan darurat. kondisi al-dharurat ada bahaya yang muncul, sedangkan dalam
kondisi al-hajah yang ada hanyalah kesulitan atau kesukaran dalam pelaksanaan hukum. Di
dalam al-dharurat yang dilanggar perbuatan yang haram li dzatihi, sedangkan dalam al-
hajah yang dilanggar adalah haram li ghairihi. Qa’idah ma ubiha lidh dharurah tuqaddar
biqodariha adalah Apa yang dibolehkan karena kemudaratan diukur sekadar kemudaratan itu
saja. Kaidah tersebut sesungguhnya membatasi manusia dalam melakukan yang dilarang karena
kondisi darurat. Qa’idah al-dhararu la yuzalu bidh dharar adalah kemudaratan tidak boleh
dihilangkan dengan kemudaratan lagi. Kemudaratan tidak boleh dihilangkan dengan cara
melakukan kemudaratan lain yang sebanding keadaannya.
Qa’idah al-irtikabu bi akhoffi al-dhararain adalah Melaksanakan yang lebih ringan
mudaratnya di antara dua mudarat. Apabila suatu perkara atau tindakan menyebabkan suatu
bahaya yang tidak dapat dihilangkan kecuali dengan satu tindakan bahaya lainnya dan salah satu
dari kedua bahaya tersebut lebih besar daripada yang lainnya, maka bahaya yang lebih besar
dihilangkan dengan yang lebih kecil dan sebaliknya. Qa’idah dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala
jalbil mashalih adalah Menolak kemudaratan lebih utama daripada meraih manfaat. Kaidah ini
menegaskan bahwa apabila pada waktu yang sama dihadapkan kepada pilihan menolak
kemafsadatan atau meraih kemaslahatan, maka yang harus didahulukan adalah menolak
kemafsadatan.
V. PENUTUP
Demikian makalah yang kami sampaikan. Dengan harapan semoga dapat bermanfaat bagi
semua pihak. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh
karena itu kritik dan saran sangat diperlukan demi kemaslahatan kita semua. Dan semoga kita
bisa mengambil hikmahnya.