Anda di halaman 1dari 3

D.

Kaidah Cabang

1. Kaidah Pertama

ِ ‫ات تُبِي ُح ْال َمحْ ظُوْ َرا‬


‫ت‬ ُ ‫ضرُوْ َر‬
َّ ‫ال‬

“Keadaan darurat dapat memperbolehkan sesuatu yang dilarang”.


Dasar nash kaidah di atas adalah firman Allah SWT:

‫ص َل لَ ُك ْم َّما َح َّر َم َعلَ ْي ُك ْم اِاَّل َمااضْ طُ ِررْ تُ ْم اِلَ ْي ۗ ِه‬


َّ َ‫َوقَ ْد ف‬

“Dan sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa
yang terpaksa kamu memakannya” (QS. Al-An‟am ayat 119)

‫اغ َّواَل عَا ٍد فَٓاَل اِ ْث َم َعلَ ْي ِه‬


ٍ َ‫فَ َم ِن اضْ طُ َّر َغي َْر ب‬

“Maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedangkan ia tidak menginginkannya, serta
tidak melampaui batas maka tiada dosa baginya”. (QS.Al-Baqarah:173)

Ayat di atas, tidak semua keterpaksaan itu membolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi
dengan keterpaksaan yang benar-benar tiada jalan lain kecuali hanya melakukan itu, dalam kondisi ini
maka semua yang haram dapat diperbolehkan memakainya. Misalnya seseorang di hutan tiada
makanan sama sekali kecuali ada babi hutan dan bila ia tidak makan menjadi mati, maka babi hutan itu
boleh dimakan sebatas keperluannya.Di kalangan Ulama Ushul, yang dimaksud dengan keadaan darurat
yang membolehkan seseorang melakukan hal-hal yang dilarang adalah keadaan yang memenuhi syarat
sebagai berikut:
Pertama, kondisi darurat itu mengancam jiwa dan/atau anggota badan. Hal ini berdasarkan ayat Al-
Qur‟an surat Al-Baqarah: 177, al-Maidah: 105, al-An‟am: 145, artinya menjaga jiwa (hifzh al-nafs).
Kedua, keadaan darurat hanya dilakukan sekedarnya dalam arti tidak melampaui batas. Ketiga, tidak ada
jalan lain yang halal kecuali dengan melakukan yang dilarang

b. Kaidah Kedua

َّ ‫َمااُبِ ُح لِل‬
‫ضرُوْ َر ِة يُقَ َّد ُر بِقَ َّد ِرهَا‬

(“Apa yang dibolehkan karena adanya kemudharatan diukur menurut kadar kemudharatannya”.)
Yang memperbolehkan seseorang menempuh jalan yang semula haram, adalah karena kondisi darurat.
Manakala keadaannya sudah normal, maka hukum akan kembali menurut status aslinya. Oleh sebab itu,
adalah hal yang sangat wajar jika syari‟at memberi batasan dalam mempergunakan kemudahan ketika
darurat menurut kadar daruratnya.

c. Kaidah ketiga

َ ‫ْال‬
َ ‫ض َر ُر الَيُزَ ا ُل بِا ل‬
‫ض َر ِر‬
“Kemudharatan itu tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan yang lain”.Sebab kalau boleh akan
bertentangan dengan kaidah:

‫ض َر ُر الَيُ َزا ُل بَ ِم ْثلِ ِه‬


َ ‫ْال‬

“ Kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan yang sebanding”

Misalnya, tidak boleh bagi seseorang yang sedang kelaparan mengambil makanan orang lain yang juga
akan mati kelaparan apabila makannnya hilang. Demikian juga tidak boleh dokter mengobati pasien
yang memerlukan tambahan darah dengan mengambil darah pasien lain, yang apabila diambil darahnya
akan lebih parah sakitnya.

Seorang debitor tidak mau membayar utangnya padahal waktu pembayaran sudah habis. Maka dalam
hal ini tidak boleh kreditor mencuri barang debitor sebagai pelunasan terhadap hutangnya.

Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena Dharar adalah untuk memenuhi penolakan
terhadap bahaya, bukan selain ini. Dalam kaitan ini Dr. Wahbah az-Zuhaili membagi kepentingan
manusia akan sesuatu dengan 5 klasifikasi, yaitu:

a. Dharar, yaitu kepentingan manusia yang diperbolehkan menggunakan sesuatu yang dilarang, karena
kepentingan itu menempati puncak kepentingan manusia, bila tidak dilaksanakan maka mendatangkan
kerusakan. Kondisi semacam ini memperbolehkan segala yang diharamkan atau dilarang, seperti
memakai pakaian sutra bagi laki-laki yang telanjang , dan sebagainya.

b. Hajat, yaitu kepentingan manusia akan sesuatu yang bila tidak dipenuhi mendatangkan kesulitan atau
mendekati kerusakan. Kondisi semacam ini tidak menghalalkan yang haram. Misalnya seorang laki-laki
yang tidak mampu berpuasa maka diperbolehkan berbuka dengan makanan halal, bukan makanan
haram.

c. Manfaat, yaitu kepentingan manusia untuk menciptakan kehidupan yang layak. Maka hukum
diterapkan menurut apa adanya karena sesungguhnya hukum itu mendatangkan manfaat. Misalnya
makan makanan pokok seperti beras, ikan, sayur-mayur, lauk-pauk, dan sebagainya.

d. Zienah, yaitu kepentingan manusia yang terkait dengan nilai-nilai estetika.

e. Fudhul, yaitu kepentingan manusia hanya sekedar utuk berlebih-lebihan, yang memungkinkan
mendatangkan kemaksiatan atau keharaman. Kondisi semacam ini dikenakan hukum saddu adz dzariah,
yakni menutup segala kemungkinan yang mendatangkan mafsadah.

d. Kaidah ke empat

‫ح‬ َ ‫ب ْال َم‬


ِ ِ‫صال‬ ِ ‫َدرْ ُء ْال َمفَا ِس ِد ُمقَ َّد ٌم َعلَى َج ْل‬

“Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada menarik kemaslahatan”.


Menolak mafsadah lebih diprioritaskan daripada mendatangkan kemaslahatan. Hal ini karena perhatian
syar‟i terhadap manhiyat (hal-hal yang dilarang) lebih ketat daripada perhatiannya terhadap ma‟murat
(hal-hal yang diperintahkan.

Dengan demikian, seseorang diperbolehkan meninggalkan sebagian kewajiban dikarenakan masyaqqah


yang terbilang ringan. Sebagaimana diperbolehkannya seseorang shalat dengan duduk dalam keadaan
sakit, berbuka dan menjamak shalat bagi seorang musafir dan lain sebagainya. Tetapi syar‟i tidak
mengizinkan seseorang untukmelakukan larangan-larangan agama, terutama melakukan kabair (dosa-
dosa besar) kecuali dalam keadaan darurat.

e. Kaidah kelima

‫ب أَخَ فِّ ِه َما‬ َ D‫ض ْال ُم ْف ِس َدتَا ِن رُوْ ِع َي أَ ْعظَ ُمهُ َما‬
ِ ‫ض َررًا بِارْ تِكَا‬ َ ‫اِ َذا تَ َع‬
َ ‫ار‬

“Apabila dua mafsadah bertentangan, maka diperhatikan mana yang lebih besar mudharatnya dengan
dikerjakan yang lebih ringan mudharatnya”.

Jadi, apabila secara bersamaan ada dua mafsadah atau lebih, mana harus diteliti mana yang lebih kecil
atau lebih ringan dari kedua mafsadah terebut. Yang lebih besar mafsadah-nya ditinggalkan dan
dikerjakan yang lebih ringan mudharat-nya.

Diperbolehkan mengadakan pembedahan perut wanita yang mati jika dimungkinkan bayi yang
dikandungnya dapat diselamatkan.

✓Penerapan Qaidah dalam bidang muamalah :


‫ اَلض ََّر ُر يُزَ ا ُل‬Kemudharatan wajib dihilangkan
a. Mengembalikan barang yang telah dibeli lantaran adanya cacat dalam masa khiyar diperbolehkan.
Begitu pula larangan terhadap mahjur (orang yang dilarang membelanjakan harta kekayaannya), muflis
(yang jatuh pailit, yang safih (orang dungu) untuk bertransaksi. Dasar pertimbangan diberlakukan
ketentuan tersebut untuk menghindarkan sejauh mungkin bahaya yang merugikan pihak-pihak yang
terlibat di dalam transaksi tersebut.

b. Jika seseorang meminjam uang dengan kadar tertentu, kemudian uang tersebut tidak berlaku lagi
karena penggantian uang, atau yang lainnya, maka menurut Abu Yusuf (w.182 H) orang tersebut wajib
mengembalikannya sesuai dengan harga uang tersebut, yaitu pada hari akhir berlakunya uang pinjaman
tersebut.

c. Hakim berhak mencegah orang yang berutang untuk bepergian (safar) atas permintaan yang punya
piutang sehingga ia menunjuk seorang wakil yang mewakilinya dan tidak boleh ia memberhentikan
wakilnya selama ia dalam bepergian, untuk menghilangkan mudharata (bahaya) bagi yang punya
piutang

Anda mungkin juga menyukai