Menurut definisi etimologi, kata ( ضررdharar) berarti kekurangan yang terdapat pada
sesuatu, batasan رر## ضadalah keadaan yang membahayakan yang dialami manusia atau
masyaqqah yang parah yang tak mungkin mampu dipikul olehnya. Maka kemudharatan
dapat dipahami sebagai sesuatu yang membahayakan dan tidak memiliki kegunaan bagi
manusia.2 Dan kata dharar sendiri, mempunyai tiga makna pokok, yaitu lawan dari manfaat
(dhid al - naf’i), kesulitan/kesempitan (syiddah wa dhayq), dan buruknya keadaan (su`ul
haal). Sedangkan, kata dharurah, mempunyai arti kebutuhan (hajah), sesuatu yang tidak
dapat dihindari (laa madfa’a lahaa), dan kesulitan (masyaqqah). Kata (يزالyuzaal) berasal
dari kata zaala – yaziilu - zaalatan kata ini dalam bentuk majhul dengan wazan fu’al yang
berarti dihilangkan. Maka setiap kemudharatan yang ada harus dihilangkan.3
1. Menurut Asy Suyuti, “Dharar adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana
kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris
binasa.
2. Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, “Dharar ialah mengkhawatirkan diri
dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan”.
3. Berdasarkan pendapat para ulama di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Dharar
adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak
1
Muchlis Usman, Kaidah-kaidah ushuliyah dan fiqhiyyah, (Jakarta: PT RajaGrafindo persada, 2002), hal.132
2
Djuzuli, Kaidah-Kaidah Fikih, Cet.2, (Jakarta: Kencana, 2007), hal.68
3
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, cet. 14, (Surabaya: Penerbit Pustaka
Progressif, 1997), hal. 819
diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan
manusia.4
B. Dasar Hukum Adh-Dhororu Yuzalu
Kaidah ini menunjukkan bahwa kemadharatan yaitu jika sesuatu itu dianggap sedang
atau akan bahkan memang menimbulkan kemadharatan, maka keberadaanya wajib
dihilangkan. Kaidah ini mengambil dalil dari firman Allah SWT dan Hadist Nabi Muhammad
SAW, yaitu sebaagai berikut:
َو اَل ُتْفِس ُد ْو ا ِفى اَاْلْر ِض َبْع َد ِاْص اَل ِحَها َو اْدُع ْو ُه َخ ْو ًفا َّو َطَم ًع ۗا ِاَّن َر ْح َم َت ِهّٰللا َقِر ْيٌب ِّم َن
اْلُم ْح ِسِنْيَن
Artinya: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)
memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan
harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang
berbuat baik.” (Q.S al-a’raf: 56)
Hadits nabi SAW yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas:
"Tidak diperbolehkan membuat kemadharatan pada diri sendiri dan kemadharatan pada orang
lain".
Dalam ayat yang lainnya Allah ta’ala telah memberikan batasan-batasan yang harus
diikuti oleh umat Islam, namun jika dalam keadaan darurat atau terpaksa maka hal tersebut
boleh saja dilakukan sebagaimana firmanNya:
َتْأُك ُلو۟ا ِمَّم ا ُذ ِكَر ٱْس ُم ٱِهَّلل َع َلْيِه َو َقْد َفَّص َل َلُك م َّم ا َح َّر َم َع َلْيُك ْم ِإاَّل َم ا َو َم ا َلُك ْم َأاَّل
ِإَلْيِهۗ َو ِإَّن َك ِثيًرا َّلُيِض ُّلوَن ِبَأْهَو ٓاِئِهم ِبَغْيِر ِع ْلٍم ۗ ِإَّن َر َّبَك ُهَو َأْع َلُم ِبٱْلُم ْعَتِد يَن ٱْض ُطِر ْر ُتْم
4
Muchlis Usman, Kaidah-kaidah ushuliyah dan fiqhiyyah, hal. 134
Artinya: “Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang
disebut nama Allah ketika menyembelihnya, Padahal Sesungguhnya Allah telah
menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa
kamu memakannya. dan Sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak
menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya
Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.” (Al –
An’am : 119)
Kaidah ke empat ini merupakan pembina dasar fiqh-islami. Sebagai mana kita ketahui
bahwa dalam bagian muamalat, jinayat dan munakahat jiwa dari kaidah tersebut memegang
peranan utama. Islam membolehkan adanya perceraian dalam keadaan yang sangat
diperlukan demi ketentraman rumah tangga yang sudah begitu kacau dan memberikan kuasa
kepada hukum untuk memfasakhkan nikah sesorang lantaran suami sudah tidak dapat
menunaikan tugas berumah tangga dengan baik, demi untuk menghilangkan kemudharatan
bagi mereka yang tersiksa.
Sebagai kaidah pokok, ada beberapa kaidah yang menginduk pada kaidah ini, yaitu:5
asalnya dilarang. Dasar nash dari kaidah di atas adalah firman Allah:
َو َلْح َم اْلِخ ْنِزْيِر َو َم ٓا ُاِهَّل ِبٖه ِلَغْيِر ِهّٰللا َفَمِن ِاَّنَم ا َح َّر َم َع َلْيُك ُم اْلَم ْيَتَة َو الَّد َم
ِاْثَم َع َلْيِه ِاَّن َهّٰللا َغ ُفْو ٌر َّر ِح ْيٌم اْض ُطَّر َغْيَر َباٍغ َّو اَل َع اٍد َفٓاَل
5
M. Yahya Chusnan Manshur, Ats- Tsamarot Al-Mardliyyah Ulasan Nadhom Qowaid Fiqhiyyah al-Faroid al-
Bahiyyah, (Jombang: Pustaka Al-Muhibbin, 2011), hal 82
Melihat ayat di atas, tidak semua keterpaksaan itu memperbolehkan yang
haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar-benar tidak
ada jalan lain kecuali hanya melakukan itu, dalam kondisi ini maka yang haram dapat
diperbolehkan memakainya. Misalnya seseorang di hutan tiada menemukan makanan
sama sekali kecuali babi hutan dan bila ia tidak memakannya akan mati, maka babi
hutan itu dapat dimakan sebatas keperluannya.
Kiranya perlu ditegaskan disini bahwa ada tiga hal yang menjadi pengecualian
kaidah ini, yakni kufur, membunuh, dan berzina. Ketiga jenis perbuatan tersebut tidak
6
Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqih), (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2000),
hal. 76
7
Ibid, hal. 78
boleh dilakukan dalam kondisi apapun termasuk kondisi dhorurot. Artinya, ketiga hal
tersebut dalam kondisi apapun tetap diharamkan.
Maksud kaedah itu adalah kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan cara
melakukan kemudharatan lain yang sebanding keadaannya. Misalnya Iqbal dan
Subekti adalah dua orang yang sedang kelaparan, keduanya sangat membutuhkan
makanan untuk meneruskan nafasnya. Iqbal, saking tidak tahannya menahan lapar
nekat mengambil getuk Manis kepunyaan Subekti yang kebetulan dibeli sebelumnya
di Kantin. Tindakan Iqbal walaupun dalam keadaan yang sangat menghawatirkan
baginya tidak bisa dibenarkan karena Subekti juga mengalami nasib yang sama
dengannya, yaitu kelaparan.
6. ِاَذ ا َتَع اَر َض اْلُم ْفِس َدَتاِن ُرْو ِع َي َأْع َظُم ُهَم ا َض َر ًرا ِباْر ِتَك اِب َأَخ ِّفِهَم ا
Apabila dua buah kerusakan saling berlawanan, maka haruslah dipelihara yang
lebih berat mudharatnya dengan melaksanakan yang lebih ringan daripadanya.
Menurut qaidah ini jika satu perbuatan mempunyai dua kemudharatan atau
lebih, hendaklah dipilih manakah diantara kemudharatan-kemudharatan itu yang
lebih ringan. Walaupun sebenarnya kemudharatan itu ringan maupun berat harus
dihindarkan. Namun karena tidak ada jalan lain untuk menghindarkannya selain
8
Rachmat Syafe’i, Ilmu USHUL FIQIH Untuk UIN, STAIN, PTAIS Cetakan IV. (Bandung: CV PUSTAKA
SETIA, 2010), hal. 68
dengan memilih yang paling sedikit mudharatnya, maka itulah yang tepat.
Contohnya:
Kebutuhan itu terkadang ditempatkan pada tempat darurat baik kebutuhan itu bersifat
umum atau khusus. Kehajatan yang mendesak, menurut qaidah ini, dapat disamakan
dengan keadaan darurat. Apalagi jika kebutuhan itu bersifat umum, niscaya berubah
menjadi darurat.
Tujuan pencatatan perkawinan ini untuk memberikan kepastian dan perlindungan bagi
para pihak yang melangsungkan perkawinan, sehingga memberikan kekuatan bukti autentik
tentang telah terjadinya perkawinan dan para pihak dapat mempertahankan perkawinan
tersebut kepada siapapun di hadapan hukum. Sebaliknya dengan tidak dicatatnya perkawinan,
maka perkawinan yang dilangsungkan para pihak tidak mempunyai kekuatan hukum dan
bukti sebagai suatu perkawinan.9
DAFTAR PUSTAKA
Usman, Muchlis. 2002 Kaidah-kaidah ushuliyah dan fiqhiyyah. Jakarta: PT Raja Grafindo
persada.
Djuzuli. 2007. Kaidah-Kaidah Fikih. Jakarta: Kencana.
Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Penerbit
Pustaka Progressif.
Manshur, M. Yahya Chusnan. 2011. Ats- Tsamarot Al-Mardliyyah Ulasan Nadhom Qowaid
Fiqhiyyah al-Faroid al-Bahiyyah. Jombang: Pustaka Al - Muhibbin.
Khallaf, Abdul Wahab. 2000. Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqih), (Jakarta:
PT Raja Grafindo.
Syafe’I, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih Untuk Uin, Stain, Ptais Cetakan IV. Bandung: CV
Pustaka Setia.
Usman, Rachmadi Usman. 2017. “Makna Pencatatan Perkawinan Dalam Peraturan
Perundang-Undangan Perkawinan Di Indonesia”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 14
No. 03.
9
Rachmadi Usman, “Makna Pencatatan Perkawinan Dalam Peraturan Perundang-Undangan Perkawinan Di
Indonesia”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 14 No. 03 - September 2017,as 256.