Anda di halaman 1dari 19

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi
Secara bahasa pengobatan dalam bahasa arab adalah masdar dari Tadawa
artinya memberikan obat atau memeriksa penyakitnya. Secara istilah : ia
memiliki kesamaan dengan kedokteran, yaitu ilmu yang denganya dapat
mengetahui keadaan manusia dari segi yang dapat meningkatkan dan
menghilangkan kesehatan, hal ini di peruntukan agar dapat menjaga kesehatan
dan menolak hal yang dapat mebahayakan kesehatan.

B. Macam – Macam Pengobatan


Pengobatan dibagi menjadi dua. Pertama, pengobatan yang Allah berikan
sebagai fitrah kepada manusia dan hewan, macam pengobatan ini tidak
membutuhkan pendeteksian dokter. Contohnya lapar dan haus, dingin, payah
dan lain sebagainya. Kedua, pengobatan yang membutuhkan pemikiran dan
perumusan. Seperti berbagai macam penyakit yang ada atau penyakit
komplikasi yang membutuhkan perlakuan khusus dan berbagai campuran obat
untuk dapat menyembuhkanya. Adapun bila ditinjau dari segi hukum maka
berobat juga di bagi menjadi dua; pengobatan yang di syariatkan dan
pengobatana yang di haramkan.
1. Pengobatan yang disyariatkan. Hal ini di dapat di laksanakan dengan
berbagai macam cara, diantaranya :
a. Berobat dengan madu.
b. Berobat dengan susu dan kencing unta.
c. Berobat dengan Habatus sauda
d. Berobat dengan Hijamah (berbekam)
e. Berobat dengan cendawa atau jamur

1
f. Berobat dengan abu
g. Berobat dengan celak
h. Berobat denga Zait (minyak)
i. Berobat dengan Al Qur'an dari sihir.
j. Berobat dengan ruqyah.
2. Berobat dengan barang yang najis.
Secara bahasa najis bermakna al qadzarah ( ‫ ) القذارة‬yang artinya adalah
kotoran. Sedangkan secara istilah, najis menurut definisi Asy Syafi’iyah
adalah:“Sesuatu yang dianggap kotor dan mencegah sahnya shalat tanpa ada
hal yang meringankan.” Dan menurut definisi Al Malikiyah, najis adalah:
“Sifat hukum suatu benda yang mengharuskan seseorang tercegah dari
kebolehan melakukan shalat bila terkena atau berada di dalamnya.
Menurut madzhab Syafi’i, sebagaimana dijelaskan oleh an-Nawawi
dalam al Majmu’ (9/50-51) berobat dengan benda najis selain khamr hukumnya
boleh, dengan syarat (1) tidak ada obat yang berasal dari bahan yang suci yang
bisa menggantikannya, jika terdapat obat dari bahan yang suci maka haram
berobat dengan benda najis, dan (2) jika memang benda najis itu diketahui –
secara ilmu kedokteran- berkhasiat obat dan tidak ada obat lain dari bahan yang
suci yang bisa menggantikannya.
Pemahaman ini diambil dari hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim
tentang orang-orang dari ‘Urainah yang berobat dengan air kencing unta, dan
kencing unta menurut madzhab Syafi’i hukumnya najis. Dan mereka
memahami hadits ‘Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan kalian
dari apa-apa yang diharamkan atas kalian’ ‘Sesungguhnya Allah telah
menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan setiap penyakit ada obatnya,
maka berobatlah, dan janganlah berobat dengan yang haram’, dan ‘Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berobat dengan obat yang kotor
(khabits) adalah jika didapatkan obat dari bahan yang suci, dan jika tidak ada
obat tersebut maka berobat dengan benda najis, selain khamr, hukumnya boleh.
Sedangkan menurut fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia),
berdasarkan pendapat, saran, dan masukan yang berkembang dalam Sidang
Komisi Fatwa pada Rapat-rapat Komisi pada tanggal 20 Juli 2013, MUI
memutuskan dan menetapkan ketentuan umum dan ketentuan hukumnya.
Berikut Fatwa MUI yang ditetapkan di Jakarta, 20 Juli 2013: Ketentuan
hukumnya adalah: Islam mensyariatkan pengobatan karena ia bagian dari
perlindungan dan perawatan kesehatan. Dalam ikhtiar mencari kesembuhan
wajib menggunakan metode pengobatan yang tidak melanggar syariat. Obat
yang digunakan untuk kepentingan pengobatan wajib menggunakan bahan
yang suci dan halal. Penggunaan bahan najis atau haram dalam obat-obatan
hukumnya haram.
Adapun penggunaan obat yang berbahan najis atau haram untuk
pengobatan hukumnya haram kecuali memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Digunakan pada kondisi keterpaksaan (darurat), yaitu kondisi keterpaksaan
yang apabila tidak dilakukan dapat mengancam jiwa manusia, atau kondisi
keterdesakan yang setara dengan kondisi darurat, yaitu kondisi
keterdesakan yang apabila tidak dilakukan, maka akan dapat mengancam
eksistensi jiwa manusia di kemudian hari.
b. Belum ditemukan bahan yang halal dan suci
c. Adanya rekomendasi paramedik kompeten atau terpercaya bahwa tidak ada
obat yang halal.
Penggunaan obat yang berbahan najis atau haram untuk pengobatan luar
hukumnya boleh dengan syarat dilakukan pensucian.
Firman Allah SWT, antara lain:
ْ‫النماس أَحيَا فَ َكأَمنَّ ََ ا أَحيَا َها َو َمن‬
َْ ‫جََََ يعًا‬
“Barang siapa yang menghidupkan seseorang, maka dia bagaikan menghidupkan
manusia semuanya” QS. Al-Maidah [5]: 32

‫لَكمْ إنمهْ شي َطانْ م ال خط َواتْ تمبعواْ تَْ َولَََْ َطيبْا ً َحالَلًََْ األَرضْ فَْ مَما كلواْ النماسْ هََُّ ا أَي يَا‬
ْ‫ُّمبينْ عَدو‬
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi,
dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (QS. Al-Baqarah: 168).

َ َ‫غيْ اضطمر فَ َمنْ للاْ لغَيََْ بهْ ل م أهْ َو َما الََنزيرْ َولََََ َْم َوالمد َْم ال َميتَ ْة‬
‫علَيكمْ حَمر َْم إمنَّ ََ ا‬ َ ‫َْر‬
ْ‫علَيهْ إثَََْ فَال عَادْ َولَََْ بَاغ‬
َ ْ‫للاَ ن م إ‬ َ ْ‫مرحيم‬
ْ ْ‫غفور‬
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan
binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa
dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak
(pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah [2]:173)

Hadis-hadis Nabi SAW, antara lain:


ْ‫ي َر ْةَ ه َريْ أَبَْ عَن‬
َْ ‫علَيهْ اللمهْ صَلمى النمبَََْ عَنْ عَنهْ اللمهْ َرض‬ َ ‫َز َْل أَنْ َما قَا َْل َو‬
َ ‫سلم َْم‬
ْ‫شفَاء لَهْ َز َْل أَنْ إم َْل َْدا ًْء اللمه‬
“Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW: Sesungguhnya Allah tidak menurunkan suatu
penyakit kecuali menurunkan (pula) obatnya”. (HR. al-Bukhari)

ْ‫ قَا َْل المدردَاءْ أَبَْ عَن‬: ‫علَيهْ اللمهْ صَلمى اللمهْ َرسولْ َقا َْل‬ َ ‫ َو‬: "ْ‫َز َْل أَنْ اللمهَْ ن م إ‬
َ ‫سلم َْم‬
ْ‫المدوا َْء المدا َء‬
َ ‫ف د ََوا ًْء دَاءْ لكلْ َو َجعَ َْل َو‬ َ ‫اووا تَ َْد َولَََْ تَد‬
َْ ‫َاووا‬ َ ْ‫" بَََ َرام‬
“Dari Abu Darda’, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah telah
menurunkan penyakit dan obat bagi setiap penyakit, maka berobatlah dan janganlah
berobat dengan yang haram”. (HR. Abu Dawud)

ْ‫ َقا َْل َمالكْ بنْ أَنَسْ عَن‬: ‫ال َمدينَةَْ َووا فَاجتَْ نَةَْ ع َريْ أَوْ عكلْ منْ أنَاسْ قَد َْم‬
ْ‫علَيهْ اللمهْ صَلمى النمبَََْ فَأ َ َم َرهم‬ َ ‫َوأَلبَانَََ ا َوالَْا َ أَبْ منْ يَش َْربوا َوأَنْ بل َقاحْ َو‬
َ ‫سلم َْم‬
“Dari Sahabat Anas bin Malik RA: Sekelompok orang ‘Ukl atau Urainah datang ke
kota Madinah dan tidak cocok dengan udaranya (sehingga mereka jatuh sakit), maka
Nabi SAW memerintahkan agar mereka mencari unta perah dan (agar mereka)
meminum air kencing dan susu unta tersebut”. (HR. al-Bukhari)

ْ‫علَيهْ اللمهْ صَلمى اللمهْ َرسولْ قَا َْل قَا َْل عَبماسْ ابنْ عَن‬
َ ‫سلم َْم‬
َ ‫ َو‬: َََْ‫َولَََْ ض ََر َْر ل‬
ْ‫ار‬
َ ‫ماجه وابن ومالك أحمد رواه) ض َر‬
Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata: “Rasulullah SAW bersabda: Tidak boleh
membahayakan/merugikan orang lain dan tidak boleh (pula) membalas bahaya
(kerugian yang ditimbulkan oleh orang lain) dengan bahaya (perbuatan yang
merugikannya).” (HR. Ahmad, Malik, dan Ibn Majah)

‫زيد بن أسامة سمعت قال سعد بن إبراهيم سمعت قال ثابت أبْ بن حبيب عن‬
‫ قال وسلم عليه هللا صلى النبْ عن سعدا يحدث‬: ‫رضْ ْأ َ بْ ونْ ماع الط ب تمْ عْ سمََْ ا إذ‬
ْ‫ال ا بْ تمْ أَن و رضْ ْأ َ بْ قَ َْع و ا إذ و ا و َْه لْ خْ تَدْ َف َال‬
َْ َ‫(البخاري رواه) "ا َْه نْ مْ وا رجْ ف‬
Dari Habib bin Abi Tsabit ia berkata: Saya mendengar Ibrahim bin Sa'd berkata: Saya
mendengar Usamah bin Zaid berbincang dengan Sa'd tentang apa yang didengar dari
nabi saw bahwa beliau bersabda: "Bila kalian mendengar ada wabah penyakit di suatu
daerah maka jangan masuk ke daerah wabah tersebut. Dan bila wabah tersebut telah
terjadi di suatu daerah sedang kalian berada di situ, maka jangan keluar dari daerah
tersebut".
Kaidah-Kaidah fiqh:
‫بوسائله أمر بالشيء األمر‬
"Perintah terhadap sesuatu juga berarti perintah untuk melaksanakan sarananya”

‫واجب فهو به إ َْل الواجب يتم َْل ما‬


“Perbuatan yang hanya dengan perbuatan itu suatu perintah wajib menjadi sempurna
maka perbuatan tersebut hukumnya wajib”.

‫الرفع من أو َْل الدفع‬


"Mencegah lebih utama dari pada menghilangkan"

َ ْ‫اإلمكَانْ بقَدرْ يدفَع‬


‫ضررْ م ال‬
“Dharar (bahaya) harus dicegah sedapat mungkin.”

‫ضررْ م ال‬
َ ‫زََ الْ ي‬
“Dharar (bahaya) harus dihilangkan.”

‫َرة ضروْ م ال َمنزلَ ْةَ نزلْ ت الَََ ََ َْاجَة‬


“Kondisi hajah menempati kondisi darurat.”

‫ال َمحظو َراتْ تبيحْ رتْ ضروْا َ م ال‬


“Darurat membolehkan hal-hal yang dilarang.”

َْ ‫بقَدَر َها قَمدرْ تََْ ي ضرو َرةْ م لل أبي‬


‫ح َما‬
“Sesuatu yang dibolehkan karena darurat dibatasi sesuai kadar (kebutuhan)-nya.
Menurut Prof. DR. H. Ahmad Zahro, M.A Yang dimaksud keadaan
darurat yang membolehkan dilakukannya hal-hal yang mestinya dilarang adalah
keadaan sangat terpaksa yang apabila dibiarkan akan terjadi kehancuran atau
bahkan kematian.
Keadaan tersebut terkait eksistensi agama, nyawa, akal,
keturunan/kehormatan dan harta. Sedang penetapan apakah sesuatu itu sudah
dalam keadaan darurat atau belum, maka harus dilakukan oleh orang yang berakal
sehat, berhati taat dan berilmu manfaat (terkait keadaan tersebut).
Tetapi jika cara penyembuhan itu mengandung syirik, maka apapun
alasannya tetap tidak diperbolahkan. Keadaan darurat tidak dapat dipakai jika
solusinya syirik. Lebih baik tetap sakit atau bahkan mati, dari pada harus menukar
agama atau mengotori aqidah dengan syirik, karena Allah SWT tidak berkenan
mengampuni dosa syirik (kalau sampai terbawa mati), sebagaimana firman-Nya
dalam surat an-Nisa’ ayat 116 (yang maknanya): “Sungguh Allah SWT tidak
berkenan mengampuni dosa karena mempersekutukan-Nya, dan berkenan
mengampuni dosa apa saja selain syirik tersebut, bagi siapa saja yang dikendaki-
Nya…”

C. Jenis Bahan Baku Pembuatan Obat


Bahan baku pembuatan obat
1. Bahan nabati/Flora/Tumbuhan.
2. Bahan hewani/Fauna.
3. Bahan pelikan/Mineral.
Berdasarkan Undang-Undang No.7 tahun 1963 tentang Farmasi, obat-obatan kimia
dapat digolongkan menjadi 5 (lima) kategori, yang dimaksudkan untuk
peningkatan keamanan dan ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusi
masing-masing. Kelima kategori tersebut apabila diurutkan dari yang paling
longgar hingga yang paling ketat mengenai peraturan pengamanan, penggunaan,
dan distribusinya adalah sebagai berikut :
1. Obat Bebas
2. Obat Bebas Terbatas (Daftar W atau ”Waarschuwing”, waspada)
3. Obat Keras (Daftar G atau ”Gevaarlijk”, berbahaya)
4. Obat Psikotropika (OKT, Obat Keras Terbatas)
5. Obat Narkotika (Daftar O atau ”Opium”)

Yang termasuk di dalam kelima golongan tersebut di atas adalah obat yang dibuat
dengan bahan-bahan kimia dan atau dengan bahan-bahan dari unsur tumbuhan dan
hewan yang sudah dikategorikan sebagai bahan obat atau campuran / paduan
keduanya, sehingga berupa obat sintetik dan obat semi-sintetik, secara berturut-
turut. Obat herbal / tradisional (TR) tidak termasuk dalam kelompok ini.
Berikut penjabaran untuk masing-masing golongan tersebut :
1. Obat Bebas (OB)
Pada kemasannya terdapat tanda lingkaran hijau bergaris tepi hitam.
Merupakan obat yang paling “aman”, boleh digunakan untuk menangani
penyakit-penyakit simptomatis ringan yang banyak diderita masyarakat luas
yang penanganannya dapat dilakukan sendiri oleh penderita atau self
medication (penanganan sendiri). Obat ini telah digunakan dalam pengobatan
secara ilmiah (modern) dan terbukti tidak memiliki risiko bahaya yang
mengkhawatirkan.
OB dapat dibeli secara bebas tanpa resep dokter, baik di apotek, counter
obat di supermarket/toko swalayan, toko kelontong, bahkan di warung, disebut
juga obat OTC (Over the Counter). Penderita dapat membeli dalam jumlah
yang sangat sedikit, seperlunya saja saat obat dibutuhkan. Jenis zat aktif pada
OB relatif aman sehingga penggunaanya tidak memerlukan pengawasan tenaga
medis selama diminum sesuai petunjuk yang tertera pada kemasan obat. Oleh
karena itu sebaiknya OB tetap dibeli bersama kemasannya.
OB digunakan untuk mengobati gejala penyakit yang ringan yang
bersifat nonspesifik, misalnya : beberapa analgetik atau pain killer (obat
penghilang rasa nyeri), obat gosok, obat luka luar, beberapa antipiretik (obat
penurun panas), beberapa analgetik-antipiretik (obat pereda gejala flu),
antasida, beberapa suplemen vitamin dan mineral, dll.
2. Obat Bebas Terbatas (OBT)
Pada kemasannya terdapat tanda lingkaran biru bergaris tepi hitam.
Obat ini sebenarnya termasuk dakam kategori obat keras, akan tetapi dalam
jumlah tertentu masih dapat diperjualbelikan secara bebas tanpa resep dokter.
Sebagai obat keras, penggunaan obat ini diberi batas untuk setiap takarannya.
Seharusnya obat ini hanya dapat dijual bebas di toko obat berizin yang dipegang
oleh seorang asisten apoteker, serta apotek yang hanya boleh beroperasi jika
ada apoteker. Hal ini karena diharapkan pasien memperoleh informasi obat
yang memadai saat membeli obat yang termasuk golongan ini.
Sesuai dengan SK MenKes RI No.6355/Dirjen/SK/1969, pada kemasan
OBT harus tertera peringatan yang berupa kotak kecil berukuran 5×2 cm
berdasar warna hitam atau kotak putih bergaris tepi hitam, dengan tulisan
sebagai berikut:
Contoh OBT adalah: pain relief (analgesik), obat batuk, obat pilek, obat
influenza, obat penghilang rasa nyeri dan penurun panas pada saat demam
(analgetik-antipiretik), beberapa suplemen vitamin dan mineral, obat-obat
antiseptik, obat tetes mata untuk iritasi ringan, dll.
Memang, dalam keadaaan dan batas-batas tertentu, sakit yang ringan
masih dibenarkan untuk melakukan pengobatan sendiri (self medication)
menggunakan obat-obatan dari golongan OB dan OBT yang dengan mudah
diperoleh masyarakat. Dianjurkan untuk tidak sekali pun melakukan uji coba
obat sendiri terhadap obat-obat yang seharusnya diperoleh dengan
menggunakan resep dokter (SK MenKes RI No.2380 tahun 1983).
Setelah upaya self medication, apabila kondisi penyakit semakin serius,
tidak kunjung sembuh setelah sekitar 3-5 hari, maka sebaiknya segera
memeriksakan diri ke dokter. Oleh karena itulah semua kemasan OB dan OBT
wajib mencantumkan tanda peringatan “apabila sakit berlanjut segera hubungi
dokter” (SK MenKes RI No.386 tahun1994).
Dalam rangka self medication menggunakan OB atau OBT, perhatikan
kemasan dan brosur yang terdapat di dalamnya. Berdasarkan SK MenKes
No.917 tahun 1993, pada setiap kemasan/brosur OB dan OBT harus
menyebutkan informasi obat sebagai berikut :
a. Nama obat (merek dagang dan kandungannya)
b. Daftar dan jumlah bahan berkhasiat yang terkandung di dalamnya
c. Nama dan alamat produsen tertulis dengan jelas
d. Izin beredar ditunjukkan dengan adanya nomor batch dan nomor registrasi
dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) atau Departemen
Kesehatan (DepKes)
e. Kondisi obat masih baik. Perhatikan tanggal kadaluwarsa (masa berlaku)
obat
f. Indikasi (petunjuk kegunaan obat)
g. Kontra-indikasi (petunjuk penggunaan obat yang tidak diperbolehkan)
h. Efek samping (efek negatif yang timbul, yang bukan merupakan kegunaan
obat)
i. Petunjuk cara penggunaan
j. Dosis (takaran) dan aturan penggunaan obat
k. Cara penyimpanan obat.
l. Peringatan.
m. Informasi tentang interaksi obat yang bersangkutan dengan obat lain yang
digunakan dan atau dengan makanan yang dikonsumsi.
3. Obat Keras (OK)
Pada kemasannya terdapat tanda lingkaran merah bergaris tepi hitam
dengan tulisan huruf K di dalamnya. Obat-obatan yang termasuk dalam
golongan ini berkhasiat keras dan bila dipakai sembarangan bisa berbahaya
bahkan meracuni tubuh, memperparah penyakit, memicu munculnya penyakit
lain sebagai efek negatifnya, hingga menyebabkan kerusakan organ-organ
tubuh, bahkan dapat menyebabkan kematian. Oleh karena itu, golongan obat
ini hanya boleh diberikan atas resep dokter umum/spesialis, dokter gigi, dan
dokter hewan.

Yang termasuk ke dalam golongan OK adalah :


a. “Daftar G”, seperti: antibiotika, obat-obatan yang mengandung hormon,
antidiabetes, antihipertensi, antihipotensi, obat jantung, obat ulkus
lambung, dll.
b. “Daftar O” atau obat bius/anestesi, yaitu golongan obat-obat narkotika
c. Obat Keras Tertentu (OKT) atau psikotropika, seperti: obat penenang, obat
sakit jiwa, obat tidur, dll.
d. Obat Generik dan Obat Wajib Apotek (OWA), yaitu obat yang dapat dibeli
dengan resep dokter, namun dapat pula diserahkan oleh apoteker kepada
pasien di apotek tanpa resep dokter dengan jumlah tertentu, seperti
antihistamin, obat asma, pil antihamil, beberapa obat kulit tertentu,
antikoagulan, sulfonamida dan derivatnya, obat injeksi, dll.
e. Obat yang dibungkus sedemikian rupa, digunakan secara enteral maupun
parenteral, baik dengan cara suntikan maupun dengan cara lain yang siatnya
invasif.
f. Obat baru yang belum tercantum di dalam kompedial/farmakope terbaru
yang berlaku di Indonesia
g. Obat-obatan lain yang ditetapkan sebagai obat keras melalui SK MenKes
RI
4. Obat Psikotropika
Tanda pada kemasannya sama dengan tanda pada Obat Keras. Obat-
obatan golongan ini mulai dari pembuatannya, pengemasan, distribusi, sampai
penggunaannya diawasi secara ketat oleh pemerintah (BPOM dan DepKes) dan
hanya boleh diperjualbelikan di apotek atas resep dokter. Tiap bulan apotek
wajib melaporkan pembelian dan peenggunaannya kepada pemerintah.
Psikotropika atau biasa disebut sebagai ”obat penenang” (transquilizer),
adalah zat/ obat baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika yang bersifat
psikoaktif melalui pengaruh stimulatif selektif pada susunan syaraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Fungsi
psikotropika adalah sebagai berikut :
a. Antidepresan : meredakan kegiatan syaraf, menurunkan aktivitas otak dan
fungsi tubuh, atau sebagai penenang. Contohnya: phenobarbital, diazepam,
alprazolam.
b. Stimulan : merangsang stimulasi kegiatan syaraf dan fungsi tubuh sehingga
mengurangi rasa mengantuk, lapar, serta menimbulkan rasa gembira dan
semangat yang berlebihan (efek euforia). Contohnya: amfetamin,
metamfetamin, dan derivatnya
c. Halusinogen : menimbulkan halusinasi dan ilusi (mengkhayal), gangguan
cara berpikir, perubahan alam perasaan (mood), kesadaran diri, dan tingkat
emosional terhadap orang lain sehingga tidak mampu membedakan yang
realitas dan fantasi. Contohnya: THC, LSD, psilobisin.

Berdasarkan UU RI No.5 Tahun 1997 tentang psikotropika, obat ini dapat


dibagi dibagi menjadi 4 (empat) golongan yaitu :
a. Psikotropika gol. I : Hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan
dan tidak dapat digunakan dalam terapi pengobatan, serta mempunyai
potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh:
Meskalina, MDMA (ekstasi), LSD, STP
b. Psikotropika gol. II : Berkhasiat untuk pengobatan dan dapat digunakan
dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh:
Amfetamin, Metamfetamin (sabu), Fensiklidin, Ritalin
c. Psikotropika gol. III : Berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan
dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh:
Pentobarbital, Amobarbital, Flunitrazepam, Pentazosina
d. Psikotropika gol. IV : Berkhasiat untuk pengobatan yang sangat luas,
digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantunagan.
Contoh: Alprazolam, Diazepam, Klobozam, Fenobarbital, Barbital,
Klorazepam, Klordiazepoxide, Nitrazepam

5. Obat Narkotika
Pada kemasannya terdapat tanda seperti medali berwarna merah. Secara
awam obat narkotika disebut sebagai “obat bius”. Hal ini karena dalam bidang
kedokteran, obat-obat narkotika umum digunakan sebagai anestesi/obat bius
dan analgetik/obat penghilang rasa nyeri.
Seperti halnya psikotropika, obat narkotika sangat ketat dalam hal
pengawasan mulai dari pembuatannya, pengemasan, distribusi, sampai
penggunaannya. Obat golongan ini hanya boleh diperjualbelikan di apotek atas
resep dokter, dengan menunjukkan resep asli dan resep tidak dapat dicopy. Tiap
bulan apotek wajib melaporkan pembelian dan penggunannya kepada
pemerintah.
Menurut UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, obat-obatan yang
tergolong sebagai Narkotika adalah zat/obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan tingkat kesadaran (fungsi anestesia), hilangnya rasa,
menghilangkan rasa nyeri (sedatif), munculnya rangsangan semangat (euforia),
halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan, dan dapat menimbulkan efek
ketergantungan bagi penggunanya.

Narkotika dapat dibedakan lagi menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu:


a. Narkotika gol.I : berpotensi sangat tinggi menyebabkan ketergantungan
sehingga dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan
pengobatan. Dalam jumlah terbatas dapat digunakan untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, reagensia diagnostik, dan
reagensia laboratorium. Contoh: heroin, kokain, ganja/marijuana
b. Narkotika gol.II : berpotensi tinggi menyebabkan ketergantungan. Dapat
digunakan untuk terapi pengobatan, namun sebagai pilihan terakhir.
Contoh: morfin, petidin, metadon
c. Narkotika gol.III : berpotensi ringan menyebabkan ketergantungan. Banyak
digunakan dalam terapi pengobatan, namun tetap dalam pengawasan yang
sangat kodein Contoh: kodein

D. Fatwa Mui Tentang Jenis Bahan Baku Haram Yang Digunakan Untuk
Pembuatan Obat
1. Fatwa Tentang Imunisasi
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:
a. Imunisasi adalah suatu proses untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh
terhadap penyakit tertentu dengan cara memasukkan vaksin.
b. Vaksin adalah produk biologi yang berisi antigen berupa mikroorganisme
yang sudah mati atau masih hidup tetapi dilemahkan, masih utuh atau
bagiannya, atau berupa toksin mikroorganisme yang telah diolah menjadi
toksoid atau protein rekombinan, yang ditambahkan dengan zat lain, yang
bila diberikan kepada seseorang akan menimbulkan kekebalan spesifik
secara aktif terhadap penyakit tertentu.
c. al-Dlarurat adalah kondisi keterpaksaan yang apabila tidak diimunisasi
dapat mengancam jiwa manusia.
d. al-Hajat adalah kondisi keterdesakan yang apabila tidak diimunisasi maka
akan dapat menyebabkan penyakit berat atau kecacatan pada seseorang.
Kedua : Ketentuan Hukum
a. Imunisasi pada dasarnya dibolehkan (mubah) sebagai bentuk ikhtiar untuk
mewujudkan kekebalan tubuh (imunitas) dan mencegah terjadinya suatu
penyakit tertentu.
b. Vaksin untuk imunisasi wajib menggunakan vaksin yang halal dan suci.
c. Penggunaan vaksin imunisasi yang berbahan haram dan/atau najis
hukumnya haram.
d. Imunisasi dengan vaksin yang haram dan/atau najis tidak dibolehkan
kecuali:
1) digunakan pada kondisi al-dlarurat atau al-hajat;
2) belum ditemukan bahan vaksin yang halal dan suci; dan
3) adanya keterangan tenaga medis yang kompeten dan dipercaya bahwa
tidak ada vaksin yang halal.
e. Dalam hal jika seseorang yang tidak diimunisasi akan menyebabkan
kematian, penyakit berat, atau kecacatan permanen yang mengancam jiwa,
berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya, maka
imunisasi hukumnya wajib.
f. Imunisasi tidak boleh dilakukan jika berdasarkan pertimbangan ahli yang
kompeten dan dipercaya, menimbulkan dampak yang membahayakan
(dlarar).
2. Fatwa MUI Nomor 30 Tahun 2013 tentang Obat dan Pengobatan:
Ketentuan Hukum:
a. Islam mensyariatkan pengobatan karena ia bagian dari perlindungan dan
perawatan kesehatan yang merupakan bagian dari menjaga Al-Dharuriyat Al-
Kham.
b. Dalam ikhtiar mencari kesembuhan wajib menggunakan metode pengobatan
yang tidak melanggar syariat.
c. Obat yang digunakan untuk kepentingan pengobatan wajib menggunakan
bahan yang suci dan halal.
d. Penggunaan bahan najis atau haram dalam obat hukumnya haram.
e. Penggunaan obat yang berbahan najis atau haram untuk pengobatan hukumnya
haram kecuali memenuhi syarat sebagai berikut:
1) digunakan pada kondisi keterpaksaan (al-dlarurat), yaitu kondisi
keterpaksaan yang apabila tidak dilakukan dapat mengancam jiwa
manusia, atau kondisi keterdesakan yang setara dengan kondisi darurat (al-
hajat allati tanzilu manzilah al-dlarurat), yaitu kondisi keterdesakan yang
apabila tidak dilakukan maka akan dapat mengancam eksistensi jiwa
manusia di kemudian hari;
2) belum ditemukan bahan yang halal dan suci; dan
3) adanya rekomendasi paramedis kompeten dan terpercaya bahwa tidak ada
obat yang halal.
4) Penggunaan obat yang berbahan najis atau haram untuk pengobatan luar
hukumnya boleh dengan syarat dilakukan pensucian.
3. Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2009 tentang Hukum Alkohol:
Ketentuan Hukum
a. Meminum minuman beralkohol sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum
hukumnya haram.
b. Khamr sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum adalah najis.
c. Alkohol sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum yang berasal dari
khamr adalah najis. Sedangkan alkohol yang tidak berasal dari khamr adalah
tidak najis.
d. Minuman beralkohol adalah najis jika alkohol/etanolnya berasal dari khamr,
dan minuman beralkohol adalah tidak najis jika alkohol/ethanolnya berasal dari
bukan khamr.
e. Penggunaan alkohol/etanol hasil industri khamr untuk produk makanan,
minuman, kosmetika, dan obat, hukumnya haram.
f. Penggunaan alkohol/etanol hasil industri non khamr (baik merupakan hasil
sintesis kimiawi [dari petrokimia] ataupun hasil industri fermentasi non khamr)
untuk proses produksi produk makanan, minuman, kosmetika, dan obat,
hukumnya: mubah, apabila secara medis tidak membahayakan.
g. Penggunaan alkohol/etanol hasil industri non khamr (baik merupakan hasil
sintesis kimiawi [dari petrokimia] ataupun hasil industri fermentasi non khamr)
untuk proses produksi produk makanan, minuman, kosmetika dan obat,
hukumnya: haram, apabila secara medis membahayakan.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Allah SWT adalah Tuhan yang maha tahu, maha pengampun dan maha
segalanya. Menurunkan penyakit tentu dengan obatnya, layaknya adanya
kebaikan dan keburukan. Berbagai macam zat dan benda yang kita tahu adalah
haram, namun dalam pandangan lain membolehkan menggunakannya atau
berobat dengannya asalkan dalam keadaan darurat dan tidak ada obat yang halal
selain itu. Disamping itu juga eksistensi penyakit yang diderita ditakutkan akan
mengancam jiwa pada diri manusia yang bersangkutan.

B. Saran
Semoga dari makalah yang telah kelompok kami buat, dapat bermanfaat dan bisa
di aplikasikan pada masyarakat nanti. Juga dapat menjadi bahan referensi untuk
tugas berikutnya yang berhubungan dengan berobat dengan zat yang haram juga
untuk mahasiswa lain yang membutuhkan informasi mengenai materi berobat
dengan zat yang haram.

18
DAFTAR PUSTAKA

Kuntari, Titik. 2015. Prinsip-prinsip Pengobatan Dalam Islam. Yogyakarta: Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia.

Majelis Ulama Indonesia. 2016. Imunisasi. Jakarta: Fatwa Majelis Ulama Indonesia
No 04 Tahun 2016.

19

Anda mungkin juga menyukai