Anda di halaman 1dari 3

A.

Dharurah dan Dalil Pembentuknya


Kaidah al-dharar yuzaluh didasarkan kepada hadits Nabi saw, yang diriwayatkan oleh
Ibnu Majah, Darul Qutni, Hakim dan lainnya yang berbunyi ( ‫“ )َال َض َر َر َو َال ِض َر اَر‬Jangan
memudharatkan diri dan orang lain”. Sedangkan menurut Ahmad bin Muhammad al-Zarqa
hadits ini tidak hanya dijadikan sebagai dasar kaidah, tetapi nama bagi kaidah al-dharar juga
diambil dari hadits tersebut.1
Kata al-dharurat itu sendiri diambil dari kataal-dharar yang
berarti bahaya. Dharurat juga berarti masyaqqah atau kondisi sulit. Dalam mendefinisikan
dharurat, sejumlah ulama, baik ulama terdahulu maupun kontemporer, banyak bersilang
pendapat walaupun tidak terlalu berjauhan. Adadefinisi Al- Jashshash, Al-Zarkasyi, Al-
Suyuthi, Abu Zahrah, ulama-ulama Malikiyah dan Syafi'iyah. Seluruh defenisi yang
jumlahnya tidak sedikit itu memang saling berlainan dan mempunyai standar jami' dan
mani' yang berbeda, namun mempunyai arah yang hampir bersamaan.
Dalil pembentukan kaedah dharurat ada dua bentuk yaitu nash dan rasio.Dalil nash
berupa al-Quran, hadits dan ijma’.
1. Ayat Al-Qur’an

‫…ۗ َو اَل ُتْمِس ُك ْو ُهَّن ِض َر اًرا ِّلَتْعَتُد ْو اۚ َو َم ْن َّيْفَع ْل ٰذ ِلَك َفَقْد َظَلَم َنْفَس ٗه‬.
Artinya: “…janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan,
karenadengan demikian kamu Menganiaya mereka”. (QS. Al-Baqarah: 231)
Ayat ini menegaskan kepada suami yang telah mentalak isterinya untuktidak
melakukan rujuk terhadap isterinya bila bertujuan untuk memudharatkansiisteri, misalnya
rujuk dengan tujuan untuk memaksa isteri meminta khulu’, sehingga isteri harus
mengeluarkan ujrah khulu’. Kasus lain seperti merujukdengan tujuan untuk menyakiti isteri.
Maka Allah melarang yang demikian karenamenimbulkan kemudharatan pada isteri. Ayat ini
menunjukkan kepada tidak boleh (haram) menimbulkan kemudharatan dan seharusnya
kemudharatan itu dihindari.
Ayat lain yang memuat larangan melakukan kemudharatan adalah fimanAllah swt:

… ‫… َاْس ِكُنْو ُهَّن ِم ْن َح ْيُث َس َك ْنُتْم ِّم ْن ُّو ْج ِد ُك ْم َو اَل ُتَض ۤا ُّر ْو ُهَّن ِلُتَض ِّيُقْو ا َع َلْيِهَّۗن‬.
Artinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat
tinggalmenurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan merekauntuk
menyempitkan (hati) mereka”. (QS. At-Thalaq: 6)
Ayat ini memerintah kepada suami yang telah mentalak isterinya,supaya menyediakan
tempat tinggal bagi mereka, supaya siisteri tidak terkatung-katung hidupnya. Allah melarang
suami memudharatkan isterinya sekalipun telahditalak. Allah juga melarang menyempitkan
hak isteri, karena hal itu dapatmemudharatkan isteri, semua haknya harus dipenuhi.
2. Hadits
1
Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah Dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta: AngloMedia, 2004),
h. 125
Adapun dalil dari hadits adalah hadits riwayat Ibnu Majah, Darul Qutnidan Hakim yang
telah disebutkan sebelumnya yaitu; (jangan memudharatkan diri dan orang lain). Hadits ini
menunjukkan semua bentuk kemudharatan baik kecil maupun besar, terhadap diri seseorang
ataupun oranglain. Penggunaan kata nakirah dalam hadits menunjukkan makna umum
yangmeliputi semua bentuk kemudharatan tanpa kecuali.

Dalam hadits yang lain Nabi menyebutkan bahwa; ( ‫ )َال َض َر َر َو َال ِض َر اَر‬seseorang tidak
dibolehkan memudharatkan orang lain, demikian juga tidak dibenarkan membalas
kemudharatan yang dilakukan orang lain terhadapnya. Orang
yang bersedia memaafkan orang lain, diberikan derajat yang tinggi sebagaimana janjiAllah
dalam al-Quran surat as-Syura ayat 40 yang berbunyi:
‫ٰۤز‬
‫َو َج ُؤ ا َس ِّيَئٍة َس ِّيَئٌة ِّم ْثُلَهاۚ َفَم ْن َع َفا َو َاْص َلَح َفَاْج ُر ٗه َع َلى ِهّٰللاۗ ِاَّنٗه اَل ُيِح ُّب الّٰظ ِلِم ْيَن‬
Artinya: “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi
barangsiapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka
pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim”.
3. Ijma’
Semua ulama Islam menyepakati dengan tujuan kaedah ini, hampir tidakditemukan
seorang ulamapun yang berpendapat beda. Semua ulama menerima kaedah ini dan sepakat
bahwa kemudharatan adalah suatu yang harusdihilangkan.2
Adapun dalil rasio bagi kaedah dharurah yaitu sesungguhnya membiarkan atau
membolehkan kemudharatan adalah suatu yang tercela, suatu yang tercelasama sekali tidak
sesuai bagi Allah swt, karena Allah memiliki sifat Rahman dan syariat yang diturunkan-Nya
bertujuan untuk memperbaiki keadaan manusia dan menjauhkan dari segala kemudharatan.3
Berdasarkan dalil-dalil di atas, menunjukkan bahwasanya kaedah dharurahmemiliki
dasar yang cukup kuat dari dalil baik nash maupun rasio. Kemantapan dasar ini sehingga
menjadikan kaedah ini salah satu dari lima kaedah pokok fikih untuk menjawab persoalan
yang dihadapi manusia, khususnya tentang kemudharatan yang biasa muncul dalam
kehidupan. Kaidah ini mengatur masalah kemudharatan, seperti sebab, bentuk, batasan dan
solusi untuk menghilangkan kemudharatan tersebut.

2
Muhammad ‘Azam, al-Qawaid al-Fiqhiyyah, (Kairo: ar-Risalah Dauliyah, 2001), h. 157
3
Ibid. h. 158

Anda mungkin juga menyukai