Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. Amin Suma, S.H., M.A., M.M
Dr. H. Abdurrahman Dahlan, M.A
Disusun Oleh :
Reza Hanafi
21210435000009
2022
Pendahuluan
Perkawinan mesti ada aqad dan begitu juga dengan Talak. Aqad itu
berfungsi sebagai penghalalan atau legalitas hubungan yang akan dijalani oleh
suami isteri setelah menikah. Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk
selamanya. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal- hal yang menghendaki
putusnya perkawinan, dalam arti bila perkawinan tetap dilanjutkan, maka
kemudaratan akan terjadi. Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai
langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga. Putusnya perkawinan
tersebut merupakan jalan keluar yang terbaik. Maka Islam membuka pintu untuk
terjadinya perceraian.
Jumhur Ulama pada Fiqih klasik berpendapat bahwa hak talak mutlat ada
pada tangan suami, oleh sebab itu kapan saja dan dimana saja seorang suami yang
ingin menjatuhkan talak terhadap istrinya , baik ada saksi maupun tidak, baik
dengan alasan ataupun tidak, malak yang dijatuhkannya sah. Bahkan sebagian
ulama mengatakan bahwa talak seorang suami yang dijatuhkan dalam keadaan
mabuk pun sah. 1
1
Musda Asmara, dkk, Urgensi Talak di Depan Sidang Pengadilan, Al-Istinbath: Jurnal
Hukum Islam vol.3, no.2, 2018. h. 208; Lihat juga M. Anshary, Hukum Perkawinan di Indonesia,
(Yogyakarta: Pustaka Belajar: 2010) h. 75
Perceraian pada prinsipnya dilarang, ini dapat dilihat pada isyarat
Rasulullah SAW,. Bahkan Talak atau perceraian adalah perbuatan halal yang paling
dibenci oleh Allah.
( اﺑﻐﺾ اﻟﺤﻼل اﻟﻰ ﷲ اطﻼق ) رواه أﺑﻮ داود واﺑﻦ ﻣﺎﺟﮫ واﻟﺤﺎﻛﻢ
Artinya : sesuatu perbuatan yang halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak
(perceraian). (HR. Abu Dawud, Ibn Majah, dan al-Hakim, dari Ibn ‘Umar)2.
Pembahasan
A. Pengertian Talak
Talak berasal dari bahasa Arab, yaitu اﻟﻄﻼق. Kata اﻟﻄﻼقmerupakan bentuk
mashdar dari kata طﻠﻖ- ﯾﻄﻠﻖ- طﻠﻖyang mempunyai arti lepas dari ikatannya 4. Secara
etimologi kata اﻟﻄﻼقberarti : 5 ﻻ ﻗﯿﺪ ﻋﻠﯿﮭﺎ وﻛﺬﻟﻚ اﻟﺨﻠﯿﺔtidak ada ikatan atasnya dan juga
berarti meninggalkan). Dengan redaksi lain, 'Ali ibn Muhammad Al-Jurjaniy6
mengemukakan pengertian etimologi dari kata اﻟﻄﻼقitu dengan : إزاﻟﺔ اﻟﻘﯿﺪ و
(اﻟﺘﺨﻠﯿﺔmenghilangkan ikatan dan meninggalkan). Dalam pengertian etimologi kata
2
Jalal al-Din al-Suyuti, al-Jami’ al-Saghir, juz 1, (Bandung: al-Ma’arif, tt, hlm. 5
3
Drs. Ahmad Rafiq, MA, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1998), cet. 3, hlm. 269
4
Muhammad Fauzinuddin, Kamus Kontemporer Mahasantri Tiga Bahasa, (Surabaya:
Imtiyaz Press, 2012), 211. Lihat juga Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Arab-Indonesia,
Cet. 14, (Surabaya: Pustaka Progesif, 1997), 861.
5
Ibn Manzur, Lisan al-'Arab, cet. Ke-2, Jilid 8 (Beirut: Daar al-Ihya’ al-Turats al-'Arabiy,
1992), 188.
6
Ali bin Muhammad al-Jurjaniy, Kitab al-Ta'rifat, cet. Ke-3 (Beirut: Daar al-Kutub al-
'Ilmiyyah, 1998), 141.
اﻟﻄﻼقtersebut digunakan untuk menyatakan melepaskan ikatan secara hissiy,
namun ‘urf mengkhususkan pengertian اﻟﻄﻼقitu kepada melepaskan ikatan secara
ma’nawi.7
7
Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, cet. Ke-3, Juz 7 (Damaskus, Daar
al- Fikr, 1989), 356.
8
Al-Sayyid Abi Bakr (al-Sayyidal-Bakr), I'anatul-Thalibin, Juz4, (Beirut: Daar Ihya’ al-
Turats al-'Arabiy, t.th.), 2.
9
Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz 2, (Beirut: Daar al-Fikr, 1983), 206.
10
Abdurrahman al-Jaziriy, al-Fiqħ 'Ala Madzahib al-Arba'aħ, Juz 4, (Beirut: Daar al-Fikr,
1990) , 279.
B. Ayat dan Hadits serta Terjemahan tentang Talak
ﻻ أَن ﯾَﺨَﺎﻓَﺎ ٓ أ َ ﱠﻻٓ ﺴ ٖ ۗﻦ َو َﻻ ﯾَﺤِ ﱡﻞ ﻟَﻜُ ۡﻢ أَن ﺗ َۡﺄ ُﺧﺬُواْ ِﻣ ﱠﻤﺎ ٓ َءاﺗ َۡﯿﺘ ُ ُﻤﻮھ ﱠُﻦ ﺷ ۡ �َﯿﺎ ِإ ﱠ
َ ٰ ۡﺎكُ ﺑِ َﻤﻌۡ ُﺮوفٍ أ َ ۡو ﺗ َﺴۡ ِﺮﯾ ۢ ُﺢ ﺑِﺈِﺣۢ ﺴ َ َۡﺎن ﻓَﺈِﻣِ ۖ ﻼ ُق َﻣ ﱠﺮﺗَٰ ﻄ
ٱﻟ ﱠ
ٱ� ﻓَ َﻼ ﺗ َﻌۡ ﺘَﺪُوھ َۚﺎ َو َﻣﻦ ﯾَﺘ َ َﻌﺪﱠ ِ ﻋﻠَ ۡﯿ ِﮭ َﻤﺎ ﻓِﯿ َﻤﺎ ۡٱﻓﺘَﺪَ ۡت ِﺑ ِۗۦﮫ ﺗ ِۡﻠﻚَ ُﺣﺪُودُ ﱠ
َ ٱ� ﻓَ َﻼ ُﺟﻨَﺎ َح ِ ٱ� ﻓَﺈِ ۡن ﺧِ ۡﻔﺘ ُ ۡﻢ أ َ ﱠﻻ ﯾُﻘِﯿ َﻤﺎ ُﺣﺪُودَ ﱠ
ِ ۖ ﯾُﻘِﯿ َﻤﺎ ُﺣﺪُودَ ﱠ
(۲۲۹ : ﻈ ِﻠ ُﻤﻮنَ )اﻟﺒﻘﺮة ٱ� َﻓﺄ ُ ْو ٰ َﻟٓﺌِﻚَ ُھ ُﻢ ٱﻟ ٰ ﱠ
ِ ُﺣﺪُودَ ﱠ
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk
lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal
bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada
mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-
hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum
Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-
hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al-Baqarah:229)
اﻟﻨﻜﺎح: ﻋﻦ اٴﺑﻲ ھﺮﯾﺮة رﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﮫ اٴن رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل ﺛﻼث ﺟﺪھﻦ ﺟﺪ وھﺰﻟﮭﻦ ﺟﺪ
(واﻟﻄﻼق واﻟﺮﺟﻌﺔ )رواه اﻷرﺑﻌﺔ إﻻ اﻟﻨﺴﺎ ٴﯾﻲ وﺻﺤﺤﮫ اﻟﺤﺎﻛﻢ
Artinya: "Dari Abu Hurairah r.a ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Ada tiga
perkara sungguh-sungguh dalam tiga perkara itu menjadi sungguh- singguh dan
main-main menjadi sungguh-sungguh, yaitu nikah, talak, dan rujuk" (HR. Al-
Arbba’ah).
( أﺑﻐﺾ اﻟﺤﻼل إﻟﻰ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ اﻟﻄﻼق )رواه أﺑﻮ داود:ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل
Artinya: Dari Ibnu Umar R.A., dari Nabi Muhammad S.A.W Bersabda: Perkara
halal yang paling dibenci Allah SWT adalah Talak (Perceraian). (HR. Abu Dawud)
C. Makna Mufradat
َ ﻓَﺈِ ْﻣ
ﺴﺎكٌ ﺑﻤﻌﺮوف : Hendaknya dalam mengembalikan istri kepadanya
tidak untuk menyakitinya tetapi untuk memperbaikinya dan
menggaulinya dengan baik. 11
ﺗَﺴ ِْﺮﯾ ۢ ٌﺢ ﺑﺈﺣﺴﺎن : Melepaskan/menceraikan istri tiga kali, kemudian
memberikan kepadanya hak-haknya yang berupa harta dan tidak pernah
menyebut-nyebut lagi setelah berpisah12
۟ ُﺗ َﺄ ْ ُﺧﺬ
وا : Kamu mengambil
َءاﺗ َ ْﯿﺘ ُ ُﻤﻮھ ﱠُﻦ : yang telah kamu berikan kepada mereka(Istri)
ٓ َﯾﺨَﺎﻓَﺎ : keduanya khawatir
ﯾُﻘِﯿ َﻤﺎ : keduanya melaksanakan
ت ْ َٱ ْﻓﺘَﺪ : membayar tebusan
ﺗ َ ْﻌﺘَﺪُوھ َۚﺎ : kamu melanggarnya
ّﺟﺪ : Serius/sungguh-sungguh
ھﺰل : Bercanda
11
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Cet. 2, (Semarang: PT. Karya Toha
Putra Semarang, 1993), h.292
12
Ibid
D. Tafsir Al-qur’an Surat Al-Baqarah : 229 dan Penjelasan Hadits
tentang Talak
13
Syekh Quthbhi, Fi Zilal Al-Qur’an Di Bawah Naungan Al-Qur’an. Terj. As’ad Yasin dan Abd.
Aziz (Jakarta: Gema Insani Press, Cet. I. Al-Qur’an Al-Karim, 2000), 294
kepada istrinya selama hidup berumah tangga. Kecuali, jika istri
merasa tidak suka dan tidak nyaman untuk hidup bersama
dengannya lagi. Atau jika istri merasa bahwa kebenciannya dan
ketidak senangannya kepada suami akan dapat mengeluarkan
dirinya dari batas-batas pergaulan yang baik, menghilangkan harga
dirinya, atau merusak moralnya. Maka, dalam kondisi seperti itu
bolehlah istri meminta cerai dari suami dan membayar iwadh
“penggantian pemberian”. Dengan mengembalikan mahar yang
telah diberikan oleh suami kepadanya, atau seluruh nafkah atau
sebagiannya, untuk menjaga dirinya dari bermaksiat kepada Allah
dan melanggar batas-batasnya serta menzalimi dirinya dan lainnya.
Demikianlah Islam memelihara semua kondisi riil yang
dihadapi manusia, juga tidak memaksa istri untuk menempuh
kehidupan berumah tangga yang tidak mungkin dijalani. Di sisi lain
Islam tidak mengabaikan hak- hak suami terhadap apa yang telah
diberikannya. Sebagaimana pada ayat lain surah an-Nisa ayat 128
yang menjelaskan tentang perdamaian antara keduanya (suami
istri)“...perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)”. Dimana, menurut
Syekh Qutbhi perdamaian itu secara mutlak lebih baik daripada
perseteruan, tindak kekerasan, nusyuz, dan talak. Namun, jika
hubungan suami istri dianggap dan dirasa sudah tidak dapat dibina
dan dilanjutkan lagi, maka Islam tidak memberatkan mereka berdua
dalam mengambil keputusan untuk berpisah. “Jika keduanya
bercerai, maka Allah akan memberikan kecukupan kepada masing-
masing dari limpahan karuniaNya. Dan adalah Allah Maha luas lagi
Maha Bijaksana.”14
14
Quthbhi, Fi Zilal Al-Qur’an, 91-93.
c. Tafsir Maraghi
َٰ ﻄ
ِ ۖ ﻼ ُق َﻣ ﱠﺮﺗ
َﺎن ٱﻟ ﱠ Sesungguhnya Talaq Syar’I yang telah ditetapkam
oleh Allah dalam masalah ini dan masih dalam kekuasaan suami
ialah dua kali. Pada setiap talak dari dua talak ini seorang suami
boleh tetap memelihara istrinya dalam kekuasaannya, kemudian bisa
Kembali lagi. Adapun menjatuhkan talak dua kali atau tiga kali
sekaligus, haram hukumnya sebagaimana pendapat Sebagian para
sahabat, diantara mereka ialah Umar, Utsman, Ali, Abdullah ibn
Mas’ud dan Abu Musa Al-Asy’Ari.
Adapun talak yang diperbolehkan bagi seorang saumi untuk
Kembali kepada istrinya adalah dua kali, jika talak telah dijatuhkan
untuk ketiga kalinya, maka tidak diperbolehkan baginya Kembali
kepada istrinya kecuali bekas istrinya sudah kawin lagi dengan
orang lain.15
15
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Cet. 2, (Semarang: PT. Karya Toha
Putra Semarang, 1993), h.293
16
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, Jilid 1, (Jakarta: Gema Insani, 2013) h. 545
istrinya meskipun ia menalak seratus kali atau lebih. Hingga suatu ketika
ada seorang lelaki berkata kepada istrinya, "Demi Allah, aku tidak akan
menalakmu sehingga ikatan pernikahan kita putus, tapi aku juga tidak
akan memberimu tumpangan/tempat tinggal." Sang istri
bertanya,'"Bagaimana bisa begitu?" Lelaki itu berkata, 'Aku
menalakmu, dan setiap kali masa idahmu hampir habis, aku
meruiukmu." Wanita itu lantas pergi melapor kepada Nabi saw. Beliau
terdiam hingga turunlah Al-Qur'an: "Talak (yang dapat diruiuki) dua
kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau
menceraikan dengan carayang baik." Tentang firman-Nya "Tidak halal
bagi kamu mengambil kembali...", Abu Dawud, dalam an Naasikh wal
Mansuukh, meriwayatkan dari Ibnu Abbas, katanya: Dulu lelaki bisa
mengambil lagi maskawin dan lain-lain yang telah diberikannya kepada
istrinya. Perbuatan itu tidak dipandang dosa. Maka Allah menurunkan
firman -Nya, "Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu
yang telah kamu berikan kepada mereka."
Tentang firman-Nya "Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami
istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Ibnu jarir ath-
Thabari meriwayatkan dari Ibnu furaii, katanya: Ayat ini turun
berkenaan dengan Tsabit bin Qais dan istrinya, Habibah. Wanita ini
mengadukan suaminya kepada Rasulullah saw. Beliau lantas
menanyainya, "Maukah kau mengembalikan kebun Tsabit?" Ia
meniawab, "Ya, saya mau." Beliau lantas memanggil Tsabit dan
menceritakan permintaan istrinya. Ia berkata, 'Apakah halal kalau saya
mengambil kebun itu?" Beliau bersabda, "Ya" Tsabit berkata, "Baiklah
kalau begitu." Maka turunlah ayat ini: "Tidak halal bagi kamu meng
ambil Kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka,
kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-
hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak
dapat menialankan hukum-hukum Allah."17
Sementara itu Bukhari, Ibnu Majah, dan Nasa'i meriwayatkan dari
lbnu Abbas bahwa familah, yang merupakan saudari Abdullah bin
Ubaiy bin Salul serta istri Tsabit bin Qais, menemui Rasulullah saw.lalu
berkata, "Wahai Rasulullah, sebenarnya saya tidak mencela perangai
maupun ketaatan Tsabit bin Qais kepada agama, tapi saya tidak suka
dengan perawakannya yang jeleh sementara saya tidak mau melakukan
perbuatan-perbuatan kafir setelah masuk Islam." Beliau bertanya,
'Apakah kau bersedia mengembalikan kebunnya?" la menjawab, "Ya."
Beliau kemudian bersabda kepada Tsabit, "Terimalah kembali kebun itu
dan jatuhkan satu talak kepadanya."
17
Ibid, h.547
18
Ibid, h.550
“(Setelah itu) terserah dia apakah mau menahan istrinya atau
menalaknya”.
Rasulullah saw. sendiri pun pernah menalak Hafshah kemudian
merujuknya.19
Para ulama berijmak bahwa talak yang dijatuhkan suami terhadap
istrinya pada masa suci dan mereka belum berhubungan badan
pada masa suci tersebut merupakan talak yang sesuai dengan aturan
agama (dikenal dengan istilah talak sunniy), dan suami berhak merujuk
istrinya yang sudah pernah digaulinya sebelum idahnya habis. Kalau
idahnya sudah habis, ia hanya berhak melamar, statusnya sama seperti
lelaki lain.
Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Mujahid, dan lain-lain berkata: Maksud
ayat ini adalah memperkenalkan cara menjatuhkan talak (yakni harus
secara terpisah). Barangsiapa sudah menalak dua kali, maka untuk
kesempatan ketiga ia harus berhati-hati: hendaknya ia meninggalkan
istrinya tanpa menzalimi haknya sedikit pun, atau ia menahannya
sebagai istri dan harus menggaulinya dengan baik.
Menurut al-Qurthubi, ayat ini mencakup kedua makna itu, yakni
menentukan jumlah talak dan menjelaskan bahwa talak harus dijatuhkan
secara terpisah. Dalil mereka adalah riwayat Ibnu jarir ath-Thabari dari
Ibnu Mas'ud tentang firman Allah Ta'ala ( )اﻟﻄﻼق ﻣﺮﺗﺎنkatanya: "Lelaki
menceraikan istrinya setelah suci dari haid sebelum mereka berjima lalu
ia membiarkannya sampai suci lagi, kemudian menceraikannya kalau
mau, lalu ia boleh merujuknya kalau mau, kemudian ia menceraikannya
kalau mau; kalau tidak hendaknya ia membiarkannya sampai tiga haid,
dan dengan begitu istrinya telah putus hubungan dengannya."
Ini berarti Allah menjelaskan aturan talak dalam ayat ini, dan Dia
menjelaskan bahwa salah satu aturan talak adalah menjatuhkannya
secara terpisah (tidak sekaligus dua atau sekaligus tiga. Selain itu Allah
19
HR. Ibnu Majah
berfirman "talak itu dua kali", dan ini berarti talak itu semestinya dua
kali secara terpisah, sebab kalau keduanya dijatuhkan secara bersama
berarti ia bukan "dua kali".
Kalau seseorang melanggar aturan talak ini (yakni ia menjatuhkan
tiga talak dengan satu lafal), hukumnya diperselisihkan para ulama.
- Jumhur [di antaranya para imam empat madzhab) berkata: Itu
dihitung tiga talak, tapi-menurut madzhab Hanafi dan Maliki
hukumnya makruh, karena talak yang disyariatkan adalah suami
menalak istrinya satu kali kemudian membiarkannya sampai masa
idahnya habis.
- Sedangkan madzhab Zaidiyah, Ibnu Taimiyah, dan lbnul Qayyim
berkata: Itu dihitung talak satu; lafal talak tiga tidak ada pengaruh di
dalamnya.
Para imam empat madzhab menakwilkan hadits ini berupa pengulangan
lafal "talak" tiga kali, yakni suami berkata kepada istrinya "Kamu saya
talak, kamu saya talak, kamu saya talak". Dalam hal ini, talak dihitung
satu jika ia meniatkan pengulangan itu sebagai tawkiid [penegasan), tapi
dianggap tiga jika ia berniat menjatuhkan talak itu berulang-ulang.
Kaum muslimin pada masa awal-awal Islam dipercaya ucapannya jika
ia mengatakan bahwa dirinya bermaksud menegaskan talak akan tetapi
kemudian keadaan berubah, dimana kebanyakan kalimat seperti itu
diniatkan sebagai talak tiga, dengan bukti perkataan Umar: "Orang-
orang sekarang mau cepat-cepat melakukan sesuatu yang sebenarnya
longgar bagi mereka". Putusan ini hanya berlaku di peradilan, adapun
secara keagamaan setiap orang beramal sesuai niatnya masing-masing.
Walaupun menurut saya pendapat jumhur lebih kuat, boleh-boleh
saja kita berpegang kepada pendapat lbnu Taimiyyah dan yang
sependapat dengannya, karena talak menghancurkan keluarga dan
menyebabkan anak-anak terlantar.
Penutup
Dari pembahasan diatas dapat kita tarik beberapa kesimpulan :
- Jumlah talak raj’iyah adalah dua kali secara bertahap dan dalam masa ‘iddah dia
boleh memilih kembali dalam pernikahan, serta tidak bolehnya mengambil
kembali mahar yang telah diberikan dahulu.
- Kebolehan pengajuan khulu’ bagi istri dengan membayar tebusan kepada suami,
dan dalam pembayaran tersebut suami dilarang untuk memberatkan istrinya.
- Wanita yang tertalak tiga (ba’in) kemudian menikah dengan orang lain, boleh
kembali menikah dengan suaminya yang pertama asalkan dia telah ditalak suami
kedua dan sudah terjadi jima’.
Islam memperkenankan talak sekalipun dinilai hal yang amat dibenci Allah
karena ada suatu dharurat yang memaksa, dan demi memulai hidup yang lebih baik.
Karena itu talak dipandang sebagai solusi untuk menghindarkan kemelut rumah
tangga yang justru terkadang dampak negatifnya dirasakan oleh seluruh keluarga.
Dan hanya dalam Islam yang menjelaskan sistem “rujuk” dengan motivasi demi
mengembalikan ikatan perkawinan dan demi menjaga anak cucu dari perceraian
dan berantakan serta memperbaiki hubungan cinta suami istri yang telah rusak.
Talak raj’i ini hanya dua kali, untuk memberi kesempatan kepada suami istri untuk
berpikir kembali dan memperbaiki hubungan yang telah rusak kemudian kembali
hidup dengan penuh cinta.