Anda di halaman 1dari 24

STUDI KOMPARASI PEKERJAAN RUMAH TANGGA BAGI

SEORANG ISTRI DALAM PERSPEKTIF MAZHᾹB SHᾹFI’Ῑ

DAN ABŪ HANῙFAH

PROPOSAL

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Pada Program Studi Fiqh dan Ushul Fiqh; Ijtihad al-Nawazil

Oleh:

M. FAUZUL ABIDIN
NIM: 18.20.17.1.04.011

Dosen Pembimbing:
K. Abdur Rofi’
Ust. Farid Badruzzaman, S.Ag.

QISMUL FIQHI WA USHULIHI; IJTIHAD AL-NAWAZIL

MA’HAD ALY FADHLUL JAMIL

PONDOK PESANTREN MA’HADUL ULUM ASY-SYAR’IYYAH

SARANG REMBANG
2024 M/ 1445 H

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sudah menjadi sunnatullah, menciptakan segala sesuatu berpasang-

pasangan, seperti firman Allah SWT dalam surah Aż-Żāriyāt ayat 49:

‫َو ِم ْن ُك ِّل َش ْي ٍء َخ َلْق َنا َزْوَج ِنْي َلَعَّلُك ْم َتَذَّك ُرْو َن‬
Artinya: “Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu
mengingat (kebesaran Allah).” (Aż-Żāriyāt [51]:49)1
Manusia menjadi bagian dari makhluk Allah yang diciptakan untuk berpasang-

pasangan. Dan Allah menciptakan pasangan tiap manusia dari golongan mereka

sendiri untuk memudahkan menjalin rasa kasih dan sayang supaya mendapatkan

kehidupan yang tenteram. Seperti firman Allah dalam surah Ar-Rūm ayat 21:

‫ِا‬
‫َلُك ْم ِّم ْن َاْنُف ِس ُك ْم َاْزَواًج ا ِّلَتْس ُك ُنْٓو ا َلْيَه ا َوَجَعَل َبْيَنُك ْم َّم َو َّدًة َّوَرَمْحًة‬ ‫ِم ِت‬
‫َو ْن ٰاٰي ه َاْن َخ َلَق‬
‫ِّلَق ْو ٍم َّيَتَف َّك ُرْو َن‬ ‫ِۗاَّن ٰذ ِلَك ٰاَلٰيٍت‬
‫ْيِف‬
Artinya: “Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia
menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar
kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta
dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (Ar-
Rūm [30]:21)2
Pada dasarnya, setiap manusia ingin melaksanakan pernikahan karena

selain dari kebutuhan biologis juga merupakan ibadah yang dianjurkan nabi

Muhammad SAW. Seperti sabda nabi:

1
Terjemah Al-Qur’an Kemenag
2
Ibid

1
‫َعن َعاِئَش ة َرِض ي اهلل َتَع اىَل َعْنَه ا َعن الَّنيِب ﷺ انه َق اَل الِّنَك اح س ((نيت َفمن مل‬
‫يْع مل ِبسنيت َفَلْيَس مين َو َتَزَّوُج وا َفِإيِّن مَك اِثر بكم االمم َو من َك اَن َذا ط((ول َفْلَيْنِكح َو من‬
‫مل جيد َفَعَليِه بالصيام َفِإَّنُه َلُه َوَج اء‬
3

Artinya: Diriwayatkan dari sayyidah ‘Aisyah RA. dari nabi Muhammad


SAW. bahwasanya beliau bersabda, “Nikah itu sunnahku. Barang siapa
yang tidak mengikuti sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku. Dan
menikahlah, karena sesungguhnya aku berharap akan terlahir umat yang
banyak dari kalian. Barang siapa yang mempunyai kemampuan maka
hendaklah dia menikah. Dan barang siapa yang tidak mempunyai
kemampuan maka hendaklah dia berpuasa, karena puasa bisa menjadi
perisai baginya.
Syariat Islam sangat perhatian dalam mengatur semua hal yang ada di

dunia ini. Termasuk bentuk perhatian Islam adalah dengan memberikan akses

bagi manusia untuk menyalurkan hasrat biologis dan kasih sayangnya terhadap

lawan jenis melalui pernikahan. Sebab, menikah merupakan cara termulia untuk

memenuhi kebutuhan biologis, naluri, dan fitrah saling mencintai yang

dititipkan Allah SWT. kepada manusia. Siapa pun pasti mengetahui manakala

kebutuhan, naluri dan fitrah itu tak terpenuhi maka akan membawa pemiliknya

kepada kegelisahan, kekacauan, bahkan frustasi yang berujung pada berbagai

tindakan tak terpuji. Sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Menikah memiliki beberapa hikmah yaitu:

1. Mendapatkan rida Allah SWT,

2. Mendapatkan kecintaan Rasulullah SAW.4 karena turut memperbanyak

umatnya yang akan dibanggakannya kelak pada hari Kiamat,

sebagaimana hadis berikut ini:

3
Ibnu Ḥajar Al-Haitamī (Wafat: 974 H), Al-Ifṣāḥ An Aḥādīth Al-Nikāh, (Yordania: Dār Ammār
Ammān, t.tp.), Juz 1, Hal 47.
4
Muhammad bin Ali bin Adam bin Musa Al-Atyubi Al-Walwi, Al-Bahr Al-Muhit Al-Thajjaj, (Riyadh:
Dar Ibnu Al-Jawzi, 1426 – 1436 H), j. 25, h. 10.

2
،‫ َو َيْنَه ى َعْن الَّتَبُّت ِل َنْه ًي ا َش ِديًد ا‬،‫ «َك اَن َرُس وُل الَّل ِه ﷺ َيْأُمُرَنا ِباْلَب اَءِة‬: ‫َو َعْن ُه َقاَل‬
، ‫ َف ِإيِّن ُمَك اِثٌر ِبُك ْم اَأْلْنِبَي اَء َيْو َم اْلِق َياَم ِة» َرَواُه َأَمْحُد‬.‫ َتَزَّوُج وا اْلَوُل وَد اْل َو ُدوَد‬: ‫َو َيُق وُل‬
‫ َواْبِن ِح َّب اَن ِم ْن َح ِديِث َم ْع ِق ِل‬، ‫ َوالَّنَس اِئُّي‬،‫ َو َلُه َش اِه ٌد ِعْنَد َأيِب َداُود‬. ‫َو َص َّح َحُه اْبُن ِح َّباَن‬
5 ‫ْبِن َي اٍر‬
‫َس‬
Artinya: “Diriwayatkan dari sahabat Anas Ibnu Mālik RA. ia berkata:
‘Rasulullah SAW memerintahkan kami berkeluarga dan sangat melarang
kami membujang. Dan beliau bersabda: ‘Menikahlah kalian dengan
perempuan yang paling banyak memberi keturunan dan yang paling
penyayang. Sebab aku akan membanggakan jumlahmu yang banyak di
hadapan para Nabi pada hari Kiamat.”
3. Mendapatkan keberkahan dari doa anak-anak yang saleh ketika kelak
telah meninggal.6 Sebagaimana hadis berikut ini :

‫ « َذا َم اَت اإلنَس اُن انقَطَع‬: ‫وعن َأيب ُه َرْيَرَة رضي اهلل عنه أَّن رُس ول الَّل ﷺ َقاَل‬
‫ِإ‬ ‫ِه‬
‫ َأْو َو َل ٍد َص اٍحل َي دُعو َل ُه»رواه‬،‫ أْو ِعلم ُيْنَتَف ُع ِب ِه‬،‫ َص دَقٍة جارَي ٍة‬: ‫عَم ُل ُه إَّال ِم ْن َثالٍث‬
.‫مسلم‬ 7

Artinya: “Dari Abu Hurairah RA. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:


“Jika seseorang meninggal, maka putuslah seluruh amalnya kecuali tiga
hal : ṣodaqoh jāriyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang
mendoakannya.” (HR. Muslim )
4. Mendapat syafaat dari anak yang meninggal dalam keadaan masih kecil.
Hal ini berdasarkan hadis:

‫ ْمَل‬، ‫ (َمْن َم اَت َل ُه َثاَل َث ٌة َن اْلَو َل‬:‫ َعِن الَّنِّيِب ﷺ‬،‫َق اَل َأُب و ُه َرْيَرَة رضي اهلل عنه‬
‫ِد‬ ‫ِم‬
.)‫ َأْو َدَخ َل اَجْلَّنَة‬، ‫ َك اَن َلُه ِح َج اًبا ِم َن الَّناِر‬، ‫َيْبُلُغوا اِحْلْنَث‬
8

Artinya: “Abū Hurairah berkata, dari Nabi Muhammad SAW: (Barang


siapa memiliki tiga orang anak yang meninggal tanpa mencapai usia

5
Muhammad Bin Ismāīl Al-Amīr Al-Yamanī Al-Ṣan’ānī (W. 1182 H.), Subul Al-Sālām Sharḥ
Bulūgh Al-Marām, (Al-Qāhirah Misr: Dār Al-Ḥadīth, 1418 H/1997 M) Cet: Ke-5, Hal: 162 Juz 3,
Hadis Ke-912.
6
Ibid.
7
Abū Zakariā Muḥyīddīn Yahyā Bin Sharaf Al-Nawawī (W. 676 H), Riyāḍ Al-Shāliḥīn,
(Damaskus Beirut: Dār Ibn Kathīr, 1428 H/2007 M) Cet Ke-1, Hal: 283, Hadis Ke-949.
8
Abū ‘Abdillāh Muhammad Bin Ismāīl Al-Bukhārī Al-Ju’fī, Ṣaḥīḥ Al-Bukhārī, (Dār Al-Yamamah:
Dār Ibnu Kathīr, 1414 H/1993 M), Cet. Ke-5 Hal: 464, Juz: 1 Hadis Ke-1314.

3
melanggar sumpah, maka dia mendapat perisai dari Neraka, atau akan
masuk surga).”
5. Bisa lebih mengontrol pandangannya pada lawan jenis agar terhindar
dari kemaksiatan dan bisa lebih menjaga farjinya dari zina.

‫ «َق اَل َلَن ا وُل الَّل ِه‬: ‫ َق اَل‬- ‫ ِض الَّل اىَل ْن‬- ‫وٍد‬ ‫ِد ِه‬
‫َرُس‬ ‫َر َي ُه َتَع َع ُه‬ ‫َعْن َعْب الَّل ْبِن َمْس ُع‬
، ‫ َفِإَّنُه َأَغُّض ِلْلَبَص ِر‬. ‫ َيا َم ْع َش َرا الَّش َباِب ! َمْن اْس َتَطاَع ِم ْنُك ْم اْلَباَءَة َفْلَيَتَزَّوْج‬:‫ﷺ‬
.‫ َفِإَّنُه َلُه ِوَج اٌء» ُمَّتَف ٌق َعَلْيه‬، ‫ َوَمْن ْمَل َيْس َتِط ْع َفَعَلْيِه ِبالَّصْو ِم‬، ‫َوَأْحَص ُن ِلْلَف ْرِج‬
9

Artinya: “Dari ‘Abdullah bin Mas’ûd RA. Rasûlullâh SAW. bersabda


kepada kami: ‘Wahai para pemuda! Barang siapa di antara kalian mampu
untuk menikah, maka menikahlah! Karena menikah itu lebih
menundukkan pandangan, dan lebih menjaga farji (kemaluan). Dan
barang siapa yang tidak mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena
puasa itu dapat menjadi perisa baginya.’”
Setiap manusia yang menikah pasti ingin membangun kehidupan rumah

tangga yang sakinah (tenteram). Dan untuk menciptakan keluarga yang sakinah

harus didukung oleh dua hal:

1. Mawaddah, suami dan istri harus memiliki rasa cinta yang berkaitan

dengan hal-hal yang bersifat jasmani seperti kecantikan dan kegagahan.

2. Rahmah, suami dan istri harus memiliki rasa kasih sayang yang berkaitan

dengan hal-hal yang bersifat rohani

Kedua faktor tersebut tidak boleh terabaikan. Idealnya, kedua faktor tersebut

harus berjalan bersama-sama. Janganlah terlalu fokus pada satu hal yaitu

mawaddah yang cenderung tidak bertahan lama, tetapi yang harus diutamakan

adalah faktor rahmah yang akan terus dibawa mengiringi perjalanan suatu

keluarga hingga akhir hayat.

9
Muhammad Bin Ismāīl Al-Amīr Al-Yamanī Al-Ṣān’ānī (W. 1182 H.), Subul Al-Salām Sharḥ
Bulugh Al-Marām, (Al-Qāhirah Misr: Dār Al-Hadīs,1997), Juz: 3 Hal: 159 Hadis Ke-910.

4
Untuk mencapai tujuan pernikahan yang sakinah (tenteram), mawadah

(penuh kasih sayang) dan rahmah, suami dan istri harus menjalankan hak dan

kewajibannya masing-masing. Sejak melaksanakan akad nikah, kedua belah pihak

telah terikat dan sejak itulah mereka mempunyai hak dan kewajiban yang tidak

mereka miliki sebelumnya. Hak bagi Istri menjadi kewajiban bagi suami. Begitu

pula kewajiban suami menjadi hak bagi istri. Suatu hak belum pantas diterima

sebelum kewajiban dilaksanakan. Oleh karena itu, sebaiknya suami harus lebih

dulu melaksanakan kewajibannya tanpa menunggu haknya terpenuhi karena

termasuk Al-Mu’āsharah Bil Ma’rūf (bergaul dengan baik) adalah melaksanakan

kewajiban tanpa menunggu haknya terpenuhi, dan hal tersebut juga dilakukan

oleh nabi seperti hadis berikut ini :

‫َأْك َم ُل اْلُم ْؤ ِمِنَني ِإَمياًنا َأْح َس ُنُه ْم ُخ ُلًق ا َوِخ َياُرُك ْم ِخ َياُرُك ْم ِلِنَس اِئِه ْم ُخ ُلًق ا‬10
Artinya: “orang mu’min yang paling sempurna imannya adalah orang-
orang yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang
paling baik akhlaknya terhadap istrinya”.

Untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah perlu

adanya tekad yang kuat dan kesiapan dari kedua belah pihak yakni suami dan istri

untuk memahami dan menunaikan hak dan kewajibannya masing-masing.

Suatu bentuk anugerah yang Allah berikan kepada suami adalah dengan

diberikan fisik dan psikis yang lebih kuat daripada perempuan yang cenderung

lebih lemah fisik dan perasaannya. Laki-laki tercipta dari tanah sedangkan

perempuan tercipta dari tulang rusuknya. Seorang laki-laki tercipta dengan

membawa beban yang berat yakni menjadi pemimpin keluarga sehingga ia diberi
10
Al-Imām Al-Hāfīz Muhammad Bin Isā Bin Saurah Al-Sulamī Al-Tirmidhī (W. 279 H), Sunan
Al-Tirmidhī, Muwaqqi’

5
bagian lebih banyak dibandingkan perempuan. Allah berfirman dalam surat An-

nisa ayat 34:

ۗ ‫َالِّرَج اُل َقَّواُم ْو َن َعَلى الِّنَس ۤاِء َمِبا َفَّض َل الّٰل ُه َبْع َض ُه ْم َعٰل ى َبْع ٍض َّوَمِبٓا َاْنَفُق ْوا ِم ْن َاْم َواِهِلْم‬
‫َفالّٰص ِلٰح ُت ٰقِنٰت ٌت ٰح ِف ٰظٌت ِّلْلَغْيِب َمِبا َح ِف َظ الّٰل ُهۗ َواّٰلْيِت َخَتاُفْو َن ُنُش ْو َزُه َّن َفِعُظ ْوُه َّن‬
‫َواْه ُج ُرْوُه َّن ىِف اْلَم َض اِج ِع َواْض ِرُبْوُه َّن ۚ َف ِاْن َاَطْع َنُك ْم َفاَل َتْبُغ ْوا َعَلْيِه َّن َس ِبْياًل ۗ ِاَّن الّٰل َه َك اَن‬
‫َعِلًّيا َك ِبْيًرا‬
Artinya: “Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para
perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-
laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari hartanya. Perempuan-perempuan saleh
adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika
(suaminya) tidak ada karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-
perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz) berilah mereka nasihat,
tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu,)
pukullah mereka (dengan cara yang tidak menyakitkan). Akan tetapi, jika
mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha
Besar.” (An-Nisā' [4]:34)11

Pada dasarnya, tugas seorang suami adalah menafkahi istri sebagaimana

firman Allah dalam Al-Qur’an surah Al Baqarah ayat 233:

ٗ‫َواْلٰو ِلٰد ُت ُيْرِض ْع َن َاْواَل َدُه َّن َح ْو َلِنْي َك اِم َلِنْي ِلَمْن َاَراَد َاْن ُّيِتَّم الَّرَض اَعَةۗ َو َعَلى اْلَمْو ُل ْو ِد َل ه‬
‫ِرْزُقُه َّن َوِكْس َوُتُه َّن ِب اْلَم ْع ُرْو ِۗف اَل ُتَك َّل ُف َنْف ٌس ِااَّل ُوْس َعَه اۚ اَل ُتَض ۤاَّر َواِل َد ٌةۢ ِبَو َل ِدَه ا َواَل‬
‫َمْو ُلْو ٌد َّل هٗ ِبَوَل ِدهٖ َو َعَلى اْل َواِرِث ِم ْث ُل ٰذ ِل َك ۚ َف ِاْن َاَراَدا ِفَص ااًل َعْن َتَراٍض ِّم ْنُه َم ا َو َتَش اُوٍر َفاَل‬
‫ِا‬ ‫ِض‬ ‫ِه ِا‬
‫ُج َن اَح َعَلْي َم اۗ َو ْن َاَرْدْمُّت َاْن َتْس َتْر ُعْٓو ا َاْواَل َدُك ْم َفاَل ُج َن اَح َعَلْيُك ْم َذا َس َّلْم ُتْم َّم ٓا ٰاَتْيُتْم‬
‫ِص‬ ‫ّٰل‬ ‫ّٰل‬ ‫ِب‬
‫اْلَم ْع ُرْو َواَّتُقوا ال َه َواْع َلُم ْٓو ا َاَّن ال َه َمِبا َتْع َم ُلْو َن َب ْيٌر‬
‫ِۗف‬

Artinya: “Ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun


penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Kewajiban ayah
menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut.
Seseorang tidak dibebani, kecuali sesuai dengan kemampuannya.

11
Terjemah Al-Qur’an Kemenag

6
Janganlah seorang ibu dibuat menderita karena anaknya dan jangan pula
ayahnya dibuat menderita karena anaknya. Ahli waris pun seperti itu pula.
Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) berdasarkan
persetujuan dan musyawarah antara keduanya, tidak ada dosa atas
keduanya. Apabila kamu ingin menyusukan anakmu (kepada orang lain),
tidak ada dosa bagimu jika kamu memberikan pembayaran dengan cara
yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa
sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah
[2]:233)12

ࣖ ‫َو ُهَلَّن ِم ْثُل اَّلِذْي َعَلْيِه َّن ِباْلَم ْع ُرْو ِۖف َو ِللِّرَج اِل َعَلْيِه َّن َدَرَج ٌة ۗ َوالّٰل ُه َعِزْيٌز َح ِكْيٌم‬
Artinya: “Para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka
(menunggu) tiga kali qurū’ (suci atau haid). Tidak boleh bagi mereka
menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka, jika
mereka beriman kepada Allah dan hari Akhir. Suami-suami mereka lebih
berhak untuk kembali kepada mereka dalam (masa) itu, jika mereka
menghendaki perbaikan. Mereka (para perempuan) mempunyai hak
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Akan tetapi, para
suami mempunyai kelebihan atas mereka. Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (Al-Baqarah [2]:228)13
Ayat di atas menerangkan bahwa suami dan istri memiliki hak dan kewajiban

masing-masing (sesuai dengan fitrahnya). Kewajiban suami adalah memberi

nafkah sedangkan kewajiban istri adalah taat pada suami sebagai timbal balik atas

nafkah yang diberikan suami.

Pembagian tugas dalam rumah tangga pada umumnya, seorang suami

bekerja di luar rumah sedangkan istri melaksanakan pekerjaan rumah tangga. Hal

ini sudah umum diterapkan karena perempuan dianggap lebih produktif bekerja di

dalam rumah dan lebih sesuai dengan fitrah mereka. Karena sudah menjadi

kebiasaan, menjadikan mayoritas manusia beranggapan bahwa pekerjaan rumah

tangga (memasak, mencuci, menyapu, dan lain-lain) adalah kewajiban seorang

istri hingga muncul istilah “sumur, dapur, kasur” yang disematkan kepada

perempuan.14 Sehingga dengan dasar kebiasaan tersebut kebanyakan suami tidak


12
Ibid.
13
Ibid.
14
Angger Widji Rahayu, “Perempuan Dan Belenggu Peran Kultural” Dalam

7
berkenan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Bahkan hal-hal unik seperti istri

tidak mau memasak kerap dijadikan alasan suami menggugat cerai istrinya. 15

Seperti yang terjadi pada mantan anggota DPRD kota Pasuruan yang bercerai

karena masalah makanan.16

Berbagai faktor di atas membuat peneliti tertarik untuk mengkaji tentang

hukum bagi seorang istri mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Dalam penelitian

ini penulis menitikberatkan pembahasan pada dua mazhab, yakni mazhab Shāfi’ī

yang berpendapat bahwa hukum mengerjakan pekerjaan rumah tangga tidak

wajib bagi istri dan mazhab Abū Ḥanīfah yang mengatakan hukumnya wajib

diyanatan. Kemudian pendapat mana yang paling relevan dalam konteks ke-

Indonesia-an memandang banyak kasus perceraian dan ketidakharmonisan yang

terjadi akibat dari pembebanan tugas tersebut. Pada akhirnya peneliti

membahasnya dalam sebuah tulisan skripsi yang berjudul “Studi komparasi

pekerjaan rumah tangga bagi seorang istri dalam Perspektif Mazhab Shāfi’ī dan

Abū Ḥanīfah”

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana hukum mengerjakan pekerjaan rumah tangga bagi seorang istri

menurut Mazhab Shāfi’ī dan Abū Ḥanīfah?

2. Apa saja pekerjaan rumah tangga yang wajib dikerjakan seorang istri

dalam perspektif dua mazhab tersebut?

Https://Www.Jurnalperempuan.Org/Wacana-Feminis/Perempuan-Dan-Belenggu-Peran-Kultural
(Diakses Pada 09 November 2023)
15
Jarkasih, “Jarang Masak, Istri Bisa Digugat Cerai” Dalam
Https://Poskota.Co.Id/2018/02/22/Jarang-Masak-Istri-Bisa-Digugat-Cerai. (Diakses Pada 09
November 2023).
16
Muhajir Arifin, Mantan Anggota DPRD Kota Pasuruan Digugat Cerai Gegara Mi Instan, Dalam
Https://News.Detik.Com/Berita-Jawa-Timur/D-5851602/Mantan-Anggota-Dprd-Kota-Pasuruan-
Digugat-Cerai-Gegara-Mi-Instan/Amp. (Diakses Pada 10 November 2023).

8
3. Mana pendapat yang paling relevan dalam konteks negara Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui hukum mengerjakan pekerjaan rumah tangga bagi

seorang istri menurut Mazhab Shāfi’ī dan Abū Ḥanīfah.

2. Untuk mengetahui pekerjaan rumah tangga yang wajib dikerjakan seorang

istri dalam perspektif dua mazhab tersebut.

3. Untuk mengetahui pendapat yang paling relevan dalam konteks negara

indonesia.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, diharapkan penelitian ini dapat

memberikan kemanfaatan baik secara akademis (keilmuan) maupun pragmatik.

Manfaat akademis yaitu memberikan kontribusi jangka panjang dalam

pengembangan konsep-konsep didalam keilmuan atau pemahaman terhadap suatu

hal. Sedangkan manfaat pragmatik yaitu hasil penelitian yang mempunyai nilai

manfaat bagi masyarakat luas. Manfaat teoritis dan manfaat praktis dari penelitian

ini adalah sebagai berikut :

1) Manfaat akademis

Secara akademis, penelitian ini semoga dapat memberikan

kontribusi dalam bidang fikih yang berkaitan dengan hak dan kewajiban

suami istri dalam rumah tangga, dapat dijadikan informasi yang berguna

bagi penulis khususnya dan pihak-pihak yang membutuhkan pada

umumnya, serta dapat dijadikan referensi bagi penelitian sejenis.

2) Manfaat Pragmatik

9
Secara pragmatik, penelitian ini semoga dapat memberikan

kontribusi kepada:

a. Pihak yang relevan dengan penelitian ini, sehingga dapat dijadikan

referensi atau perbandingan kajian yang dapat digunakan lebih lanjut

dalam perkembangan pendidikan agama Islam pada pembahasan fiqih.

b. Bagi pasangan suami istri, diharapkan bisa memperdalam pemahaman

fikih keluarga, sehingga dapat dijadikan referensi dalam memahami

hak dan kewajiban suami istri dalam rumah tangga.

c. Bagi peneliti, diharapkan bisa bermanfaat untuk menambah wawasan

keilmuan peneliti tidak hanya pada kajian fikih Mazhab Shāfi’ī, namun

juga pada Mazhab lainnya.

E. Tinjauan Pustaka

Setelah melakukan penelusuran, sampai saat ini penulis belum

menemukan penelitian atau penulisan yang sama yang mengkaji tentang “Hukum

Mengerjakan Pekerjaan Rumah Tangga bagi Seorang Istri dalam Perspektif

Mazhab Shāfi’ī dan Abū Ḥanīfah”. Namun ada beberapa karya ilmiah yang

penulis temukan yang mempunyai kemiripan dengan skripsi penulis diantaranya

adalah sebagai berikut:

Pertama, skripsi yang berjudul “Hak dan Kewajiban Suami Istri

Pemikiran Syaikh Zainuddin ‘Abdul Azīz al-Malībarī dan Relevansinya dalam

Pembaruan Hukum Keluarga Islam Indonesia” yang ditulis oleh Humaidulloh.

Dalam skripsi tersebut, penulis menjelaskan bahwa hak dan kewajiban suami istri

menurut Syaikh Zainuddīn ‘Abdul Azīz al-Malībarī sebagian besarnya masih

10
relevan bagi sebagian masyarakat Indonesia saat ini, sebagiannya lagi sangat

butuh pembaruan. Diantara pembaruannya yaitu pertama: kewajiban mencari

nafkah yang mutlak dibebankan kepada suami harusnya bisa diemban oleh

siapapun dengan berpedoman pada prinsip saling memberi dan kerjasama. Kedua:

kewajiban patuh bukan berarti harus melayani, tetapi lebih kepada relasi saling

membantu satu sama lain. Ketiga: tidak ada larangan keluar rumah bagi istri,

kecuali jika diperlukan untuk melindunginya dari kejahatan atau mencegahnya

dari perbuatan munkar. Keempat: batas minimal mahar sepertinya perlu

diterapkan di Indonesia, untuk digunakan sebagai pedoman bagi yang akan

melaksanakan pernikahan, tetapi bukan diwajibkan.

Kedua, skripsi yang berjudul “Hak dan Kewajiban Suami Istri Studi

komparasi Pemikiran Sayyid Muhammad Alaw ī al-Malikī dan KH. Husein

Muhammad” yang ditulis oleh Muhammad Kemal Irsyadul Ibad. Penulis

merupakan mahasisiwa Universitas Islam Malang Fakultas Agama Islam program

studi hukum keluarga islam. Dalam skripsi tersebut, penulis meneliti dua hal.

Yang pertama: Konsep Pemikiran Sayyid Muhammad Alawī al-Malikī dan KH.

Husein Muhammad mengenai hak dan kewajiban suami istri. Kedua: persamaan

dan perbedaan serta relevansinya mengenai hak dan kewajiban suami Istri dengan

Perundang undangan yang berlaku di indonesia.

Ketiga, skripsi yang berjudul “Hak dan Kewajiban Suami Istri Studi

Pemikiran Muhammad Alī al-Shabunī dalam Kitab Tafsir Rawai’ al-Bayan” yang

di tulis oleh Komaruddin. Penulis merupakan salah satu mahasiswa fakultas

Ushuluddin dan studi agama di universitas Islam negeri Raden intan lampung.

Dalam skripsi tersebut, penulis mengkaji tentang bagaimana hak dan kewajiban

11
suami istri yang tertera dalam al-Qur‟an dalam perspektif Tafsir Rawai‟ al-Bayan

karya Muhammad Alī al-Shabunī.

Keempat, jurnal hukum keluarga Islam yang berjudul “Hak Dan

Kewajiban Suami Istri Dalam Al-Qur’an” yang ditulis oleh Haris Hidayatulloh.

Penulis merupakan salah satu mahasiswa Universitas Pesantren Tinggi Darul

Ulum Jombang-Indonesia. Dalam jurnal tersebut, penulis menjelaskan beberapa

kewajiban suami dan hak istri menurut al-Qur’an, diantaranya yang pertama yaitu

memberikan nafkah, penulis menjelaskan bahwa nafkah harus disesuaikan

dengan standar yang berlaku di suatu masyarakat, tidak minim dan tidak

berlebihan sesuai dengan kemampuan suami dan hendaknya nafkah diberikan

sesuai dengan kebutuhan. Kedua, memberikan tempat tinggal atau rumah yang

layak bagi istri. Ketiga, seorang suami wajib memperlakukan dan bergaul dengan

istri dengan cara yang baik. Keempat, suami wajib memberikan mahar kepada

istrinya dengan sukarela disertai dengan cinta dan kasih sayang tanpa

mengharapkan imbalan.

Dari judul-judul di atas, belum ditemukan penulisan yang secara khusus

membahas tentang “Hukum Mengerjakan Pekerjaan Rumah Tangga bagi Seorang

Istri dalam Perspektif Mazhab Shāfi’ī dan Abū Ḥanīfah”. Meskipun terdapat

karya ilmiah lain yang membahas hak dan kewajiban suami istri dari sudut

pandang berbagai tokoh Islam, namun belum ada yang secara spesifik mengkaji

pekerjaan rumah tangga dari perspektif kedua mazhab tersebut. Oleh karena itu,

skripsi ini memiliki nilai kontribusi tersendiri dalam mengisi kesenjangan

pengetahuan terkait pembahasan tersebut. Dan di dalam skripsi ini, penulis lebih

menekankan pada pembahasan mengenai bagaimana “Hukum bagi seorang Istri

12
Mengerjakan Pekerjaan Rumah Tangga dalam perspektif Mazhab Shāfi’ī dan Abū

Ḥanīfah”.

F. Kerangka Teori

Dalam menulis karya ilmiyah, kerangka teori sangatlah dibutuhkan agar

pembahasannya jelas dan tidak keluar dari topik pembahasan. Kerangka teori

sendiri merupakan suatu gambaran atau rencana yang berisi tentang penjelasan

dari semua hal yang dijadikan sebagai bahan penelitian yang berlandaskan pada

hasil dari penelitian tersebut.17 karena penulis mengangkat judul “Hukum Bagi

Seorang Istri Mengerjakan Pekerjaan Rumah Tangga Dalam Perspektif Mazhab

Shāfi’ī Dan Abū Ḥanīfah” maka kerangka teori yang dibutuhkan adalah;

1. Definisi hak dan kewajiban suami istri.

2. Kewajiban istri setelah menikah menurut dua mazhab.

3. Hukum bagi istri mengerjakan pekerjaan rumah tangga menurut dua

mazhab.

4. Jenis-jenis pekerjaan rumah tangga.

5. Pekerjaan rumah tangga yang wajib dikerjakan istri menurut dua mazhab.

Penulis memulainya dengan mencari definisi dari hak dan kewajiban

suami istri, kewajiban istri setelah menikah menurut Mazhab Shāfi’ī dan Abū

Ḥanīfah, kemudian mencari hukum bagi istri mengerjakan pekerjaan rumah

tangga menurut dua mazhab tersebut untuk mendapatkan jawaban dari rumusan

masalah diatas. Setelah mengetahui hukumnya, kemudian mencari jenis-jenis

17
Qotrun A, “Pengertian Kerangka Teori: Contoh & Cara Membuatnya” Dalam
Https://Www.Gramedia.Com/Literasi/Kerangka-Teori/. Diakses Pada (09 November 2023).

13
pekerjaan rumah tangga dan apa saja pekerjaan rumah tangga yang wajib

dikerjakan istri menurut dua mazhab.

G. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode study pustaka (library Research),

yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengumpulkan, membaca, mencatat serta

mengelolah data kepustakaan.18 baik dari al-qur’an, hadis, kitab turots, karya

ilmiah dan buku kepustakaan. Namun penulis lebih menekankan pada referensi

kitab-kitab Mazhab Shāfi’ī dan Abū Ḥanīfah.

Disamping itu, penulis juga menggunakan metode komparatif, menurut

Sugiyono (2014:54) yaitu metode penelitian yang dilakukan dengan cara

membandingkan satu variabel atau lebih untuk dicari titik kesamaan dan

perbedaannnya serta untuk mendapatkan jawaban dari masalah yang diteliti. 19

Dalam hal ini, penulis meneliti pendapat Mazhab Shāfi’ī dan Abū Ḥanīfah

mengenai hukum bagi seorang istri mengerjakan pekerjaan rumah tangga,

kemudian mencari persamaan dan perbedaan keduanya serta menarik kesimpulan

dari penelitian tersebut.

H. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data, penulis menggunakan metode pengumpulan data

sebagai berikut:

a. Mengadakan penelusuran kepustakaan dengan mencari kitab-kitab

Mazhab Shāfi’ī dan Abū Ḥanīfah yang menjadi sumber primer.


18
Mestika Zed, Metodologi Peneletian Kepustakaan, Cet Ke-1, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2004, Hlm. 3
19
Tyas Wening, “Penelitian Komparatif: Pengertian, Jenis dan Contoh”
https://deepublishstore.com/blog/penelitian-komparatif/. diakses pada (18 November 2023)

14
b. Mencari sumber pendukung, baik dari ensiklopedia, kamus, buku, jurnal,

penelitian ilmiah dan berbagai situs internet yang menunjang penelitian

terhadap permasalahan yang sedang diteliti.

I. Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode analisis deskriptif-

komparatif. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status

kelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun

suatu kilas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah

untuk membuat deskripsi, gambaran secara sistematis, faktual dan akurat

mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta fenomena yang diteliti. 20 Dalam metode

deskriptif peneliti bisa membandingkan fenomena-fenomena tertentu sehingga

merupakan suatu studi komparatif.

Metode Komparatif adalah penelitian yang dilakukan dengan

membandingkan dua variabel atau lebih.21 Dimulai dari meneliti pendapat masing-

masing mengenai hak dan kewajiban antara suami istri. Setelah itu, menganalisa

isi dari perspektif Mazhab Shāfi’ī dan Abū Ḥanīfah tentang hukum mengerjakan

pekerjaan rumah tangga bagi seorang istri kemudian membandingkan persamaan

dan perbedaannya diantara keduanya. Setelah itu baru mengambil kesimpulan

akhirnya.

J. Sumber Data

Sumber data yang akan digunakan terdiri dari:

1. Data Primer, yaitu sumber yang memberikan teori tentang masalah yang
20
Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), 131.
21
Surakhmad Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah, (Bandung: Tarsito, 1994), 143.

15
diteliti. Data ini diambil dari kitab fiqih Mazhab Shāfi’ī dan Mazhab Abu

Hanifah, yaitu Hashiyat al-Jamal ‘ala Syarh al-Minhaj, Roudhah al-

Tholibin wa ‘umdah al-Muftin, Bariqat Mahmudiyyat fi Syarah Thoriqat

Muhammadiyat wa Syari’at Nabawiyyat fi Sirat Ahmadiyyat, dan al-

Hadiqat al-Nadiyyat.

2. Data Sekunder, yaitu data yang yang memberikan penjelasan dari data

primer. Data ini diambil dari kitab-kitab yang menjelaskan mengenai

masalah yang diteliti, seperti Fiqh ‘ala al-Madzaahib al-Arba’ah, Fiqh al-

Islami Wa Adillatuhu, al-Muhadzdzab fi Fiqhi al-Imam al-Mazhab Shāfi’ī,

Majmu’ al-Fatawa, Fiqh Sunnah, Bidayatul Mujtahid, dan kitab-kitab

turats maupun kontemporer lainnya yang membahas tentang masalah yang

diteliti.

3. Data Tersier, yaitu data pelengkap yang memberikan penjelasan dari data

primer dan sekunder. Data ini diambil dari ensiklopedia, kamus, buku,

jurnal, penelitian ilmiah dan berbagai situs internet yang menunjang

penelitian terhadap permasalahan yang sedang diteliti.

K. Sistematika Pembahasan

Sistematika penelitian ini, secara keseluruhan dibagi menjadi empat bab

dengan perincian sub-bab secara sistematis dan berkesinambungan. Adapun

perinciannya terangkum sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan yang di dalamnya terdapat beberapa sub,

diantaranya:

A. Latar Belakang Masalah

B. Rumusan Masalah

16
C. Tujuan Penelitian

D. Manfaat Penelitian

E. Tinjauan Pustaka

F. Kerangka Teori

G. Metode Penelitian

H. Teknik Pengumpulan Data

I. Teknik Analisis Data

J. Sumber Data

K. Sistematika pembahasan

BAB II : Landasan teori terkait hukum kewajiban suami istri dalam rumah

tangga. Didalamnya memuat beberapa sub yaitu :

A. Pengertian Hak dan Kewajiban.

B. Jenis-Jenis Pekerjaan Rumah Tangga.

BAB III : Analisis pandangan hukum Mazhab Shāfi’ī dan Abū Ḥanīfah

tentang kewajiban Istri dalam rumah tangga yang disusun

menjadi dua sub, per-subnya terdapat beberapa pembahasan

diantaranya :

A. Biografi Imam Shāfi’ī

1. Nama dan Nasab Imam Shāfi’ī

2. Kelahiran dan keluarga Imam Shāfi’ī

3. Riwayat pendidikan dan guru Imam Shāfi’ī

4. Karya Imam Shāfi’ī

5. Metode Istinbath hukum Imam Shāfi’ī

6. Kewajiban seorang istri dalam rumah tangga menurut

17
Imam Shāfi’ī

7. Hukum mengerjakan pekerjaan rumah tangga bagi

istri menurut Imam Shāfi’ī

B. Biografi Abū Ḥanīfah

1. Nama dan Nasab Abū Ḥanīfah

2. Kelahiran dan keluarga Abū Ḥanīfah

3. Riwayat pendidikan dan guru Abū Ḥanīfah

4. Karya Abū Ḥanīfah

5. Metode Istinbath hukum Abū Ḥanīfah

6. Kewajiban seorang istri dalam rumah tangga menurut

Abū Ḥanīfah

7. Hukum mengerjakan pekerjaan rumah tangga bagi

istri menurut Abū Ḥanīfah

C. Relevansinya.

BAB IV : Penutup yang berisi dua sub-bab, yaitu:


A. Kesimpulan dan,

B. Saran.

L. Daftar Pustaka Tentatif

Sulaiman bin Umar bin Mansur al-‘Ajili al-Azhari (w. 1204 H), Hāshiyat al-

Jamal ‘Ala Sharh al-Manhāj=Futuhat Al wahhab bi taudih Sharh

manhaj al-thullāb, (Dar al-Fikr, t.th), Juz 4, Hal 489.

18
Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Ḥajar al-Haitamī, Tuhfah al-Muhtaj fi Sharh

al-Minhaj, (Mesir: al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, 1983 M), Juz 8,

Hal 332.

Muhammad bin Faramuz dikenal dengan Munla Khusraw, Durar al-Ahkam fi

Sharh Gharar al-Ahkam, (Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiah, 885 H - 1480

M), Juz 1, Hal 413.

Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl al-Syarkhasi (w. 483 H), Al-Mabsuth Li al-

Sharkhasi, (Mesir: Mathba’ah al-Sa’adah), Juz 5, Hal 209.

Terjemah al-Qur’an Kemenag

Ibnu Ḥajar al-Haitamī (w. 974 H), al-ifṣāḥ an aḥādīth al-nikāh, (Yordania: Dār

Ammār Ammān), Juz 1 hal 47. Hal. 159 Juz. 3 hadis ke-910.

Muhammad bin Ismāīl al-Amīr al-Yamanī al-Ṣan’ānī (w. 1182 H.), Subul al-

Sālām Sharḥ Bulūgh al-Marām, (al-Qāhirah Misr: Dār al-Ḥadīth, 1418

H/1997 M) Cet: Ke-5, Hal: 162 juz 3. Hadis ke-912.

Abū Zakariā Muḥyīddīn Yahyā bin Sharaf al-Nawawī (w. 676 H), Riyāḍ al-

Ṣhāliḥīn, (Damaskus Beirut: Dār Ibn Kathīr, 1428 H/2007 M) Cet ke-1,

Hal: 283, hadis ke-949.

Abū ‘Abdillāh Muhammad bin Ismāīl al-Bukhārī al-Ju’fī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, (Dār

al-Yamamah: Dār Ibnu kathīr, 1414 H/1993 M), Cet. Ke-5 Hal : 464,

Juz : 1 hadis ke-1314.

Muhammad bin Ismāīl al-Amīr al-Yamanī al-Ṣān’ānī (w. 1182 H.), Subul al-

Salām Sharḥ Bulugh al-Marām, (al-Qāhirah Misr: Dar al-Hadis,1997),

Juz: 3 Hal: 159 Hadis ke-910.

19
Al-Imām al-Hāfīz Muhammad bin Isā bin Saurah al-Sulamī al-Tirmidhī (W. 279

H), Sunan al-Tirmidhī, Muwaqqi’

Angger Widji Rahayu, “Perempuan dan Belenggu Peran Kultural” dalam

https://www.jurnalperempuan.org/wacana-feminis/perempuan-dan-

belenggu-peran-kultural (diakses pada 17 November 2023)

Jarkasih, “Jarang Masak, Istri Bisa Digugat Cerai” dalam

https://poskota.co.id/2018/02/22/jarang-masak-istri-bisa-digugat-cerai.

(diakses pada 17 November 2023)

Al-Imām al-Hāfīz Muhammad bin Isā bin Saurah al-Sulamī al-Tirmidhī (W. 279

H), Sunan al-Tirmidhī, Muwaqqi’

Muhammad bin Isā bin Saurah bin Musā bin al-Ḍahhāk al-Tirmidhī (W. 279 H),

Sunan al-Tirmidhī, (Misr, Shirkah Maktabah wa Matba’ah Musthofā al-

Babi al-Halabī, 1395 H / 1975 M) cet: Ke-2, Juz: 5 hal: 709.

Muhammad Najīb al-Mutī’ī, al-Majmū’ Sharḥ al-Muhadhdhab Takmilat al- Mutī’ī

al-Ulā, (al-Madīnah al-Munawwarah, al-Maktabah al-Salafiyyah), juz.

16, hal. 426.

Qotrun A, “Pengertian Kerangka Teori: Contoh & Cara Membuatnya” dalam

https://www.gramedia.com/literasi/kerangka-teori/ Diakses pada (18

November 2023).

Mestika Zed, Metodologi Peneletian Kepustakaan, cet ke-1, Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia, 2004, hlm. 3

Tyas Wening, “Penelitian Komparatif: Pengertian, Jenis dan Contoh”

https://deepublishstore.com/blog/penelitian-komparatif/. Diakses pada

(18 November 2023)

20
Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2004), 131.

Surakhmad Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah (Bandung: Tarsito, 1994), 143.

BAB II

LANDASAN TEORI

A. HAK DAN KEWAJIBAN

Kata al-Haq (‫ق‬jj‫ ) الح‬berasal dari bahasa Arab dan merupakan bentuk

masdar dari kata‫ يحق‬- ‫ حق‬yang secara etimologi mempunyai makna lawan dari

kata kebatilan yakni kebenaran; keadilan; kepemilikan; dan bagian. 22 Sedangkan

didalam kamus besar bahasa Indonesia hak mempunyai arti benar; milik;

kewenangan; kekuasaan; dan derajat atau martabat.

B. JENIS-JENIS PEKERJAAN RUMAH TANGGA

Dari berbagai literatur kitab turoth, pekerjaan rumah tangga (domestik)

yang dimaksud dalam masalah ini adalah pekerjaan yang memang biasa dilakukan

22
Fr.Louis Ma‟luf al- Yassu‟i, Fr. Bernard Tottel al-Yassu‟i, al-Munjîd Fî al-Lughah wa al-A’lam
(DarIal-Masyriq: Beirut Libanon, 2017), h. 144

21
dalam rumah tangga. Adapun jenis pekerjaan rumah tangga yang disebutkan oleh

para ulama diantaranya sebagai berikut:

a. Memasak.23

b. menggiling tepung dan membuat roti.24

c. Menyapu rumah,25 merapikan rumah.

d. Mencuci.

BAB III

ANALISIS PANDANGAN HUKUM MAZHAB SHAFII DAN ABU

HANIFAH

A. BIOGRAFI IMAM SHAFII

1. Nama dan Nasab imam shafii

Nama lengkap Imam Shāfi’i adalah Muhammad bin Idris bin Abbās bin

Uthman bin Shāfi’ bin Sha’ib bin ‘Ubaid bin Abd Yazīd bin Hāsyim bin Abdul

Muṭallib bin Abd Manāf bin Quṣay. 26 Nasab Imām Shāfi’i bertemu Rasulullah

pada kakeknya, yakni Abd Manāf bin Quṣay. Nasab ini sesuai dengan riwayat

yang masyhur. Penamaan mazhab Shāfi’ī itu dinisbatkan pada kakeknya yang

bernama Shāfi’.

2. Kelahiran dan keluarga Imam Shāfi’ī

Imam Shāfi’ī dilahirkan di Gaza, Palestina, pada tahun 150 H. dan

meninggal di hari Jum’at pada penghujung akhir bulan Rajab tahun 204 H. Beliau

dimakamkan di pemakaman Qarafah. Saat usia dua tahun beiau diajak hijrah oleh

23
A. Dr. Wahbah bin Mustafa Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, (Damasqus: Dar Al-Fikri,
t,th), Cet. 4, J. 9, h. 6850.
24
Ibid.
25
Abdurrahman bin Muhammad Awad Al-Jaziri , Al-Fiqh ‘Ala al-Madzāhib al-‘Arba’ah, (Beirut: Dār
al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), J. 4, h. 490.
26
Taj al-Din Abdul Wahhab bin Taqi al-Din al-Subki (w. 771 H), Tabaqāt Al-Shāfi'īyyah al-Kubrā,
(t.tp: Hajar, 1413H), cet. 2, j. 2, h. 71.

22
ibunya ke Makkah sampai usia remaja beliau menuntut ilmu disana. Pada usia

tujuh tahun beliau sudah hafal al-Qur’an setelah itu beliau melakukan rihlah

ilmiahnya ke Madinah guna berguru dengan Imām Mālik, dan hafal kitab

Muwaṭṭa’ pada umur sepuluh tahun. Sekembalinya ke Makkah Imām Shāfi’i

belajar keilmuan fikih kepada Syaikh Muslim bin Khālid al-Zanjiy dan belajar

hadis dari maha guru hadis kepada Sufyān bin ‘Uyainah, genap lima belas tahun

beliau sudah diperkenankan memberikan fatwa keagamaan.27

27
Al-Sayyid Bakrie bin al-Sayyid Muhammad Syaṭā, “Hashiyah I’ānah al-Thālibīn”, (Jakarta: Dār al-
Kutub al-Islāmiyyah, 2009), 33.

23

Anda mungkin juga menyukai