Anda di halaman 1dari 26

NIKAH DALAM AL-QUR’AN

Kajian dengan Pendekatan Tafsir Mawdu'iy

MAKALAH
Disampaikan dalam forum seminar kelas
Mata Kuliah Tafsir Maudhu’iy
Semester Satu (I) Program Doktor (S3)

Oleh :

Nurdin
Nim : 80100319041

Dosen Pemandu:

Dr.Dudung Abdullah, M.Ag


Dr.Hj.Aisyah Arsyad, MA

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
ALAUDDIN MAKASSAR
2020


 1

NIKAH DALAM AL-QUR’AN


Kajian dengan Pendekatan Tafsir Mawdu'iy

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mencari pasangan adalah fitrah yang menjadi dambaan bagi semua

orang. Dengan kata lain mendambakan pasangan merupakan kebutuhan yang

sulit dibendung apalagi bila seseorang telah mencapai usia dewasa. Oleh

karena itu, Islam memberikan petunjuk bagi laki-laki yang sudah siap lahir

dan batin untuk memenuhi kebutuhan tersebut lewat pintu pernikahan. Dan

dari pernikahan diharapkan terbentuk sebuah keluarga yang tenteram,

sakinah, mawaddah, wa rahmah.1

Banyak ayat dalam Alquran yang menegaskan bahwa manusia

diciptakan berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan, 2 tentu tiada lain

tujuannya adalah agar mereka saling mengenal. Dari perkenalan itulah

nantinya akan menjadi cikal bakal sebuah pernikahan sesuai dengan petunjuk

Islam. Karena pernikahan adalah hal yang sangat mulia sehingga menjadi

harapan bagi orang yang sudah menikah agar pernikahannya bisa langgeng

selamanya. Olehnya itu sebelum menikah maka terlebih dahulu harus punya

kesiapan fisik, mental dan ekonomi yang mapan.

Di samping Alquran melegitimasi perkawinan, dalam hadis pun juga

banyak yang menganjurkan untuk menikah bagi yang sudah mampu. Dalam

salah satu riwayat, Rasulullah Saw. bersabda:


1
QS. al-Rum (30): 21.
2
QS.al-Ra'd (13):38, QS. al-Nahl (16): 72, QS. Fathir (35): 11, QS. al-Nabi
(78):8.
 2

‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ََي َم ْع َشَر‬


َّ ‫صلَّى‬ َِّ ‫ول‬ َ َ‫اَّللِ ق‬
َّ ‫يد َع ْن َعْب ِد‬ َّ ‫َع ْن َعْب ِد‬
َ ‫الر ْْحَ ِن بْ ِن يَِز‬
َ ‫اَّلل‬ ُ ‫ال لَنَا َر ُس‬
َ َ‫ال ق‬
‫ص ُن لِلْ َف ْرِج َوَم ْن َلْ يَ ْستَ ِط ْع‬ ْ ‫ص ِر َوأ‬
َ ‫َح‬
ِ ُّ ‫اب من استَطَاع ِمْن ُكم الْباءةَ فَلْي تَ زَّوج فَِإنَّه أَ َغ‬
َ َ‫ض للْب‬ ُ ْ َ َ َ َ ْ َ ْ ْ َ ِ َ‫الشَّب‬
‫لص ْوِم فَِإنَّهُ لَهُ ِو َجاء‬
َّ ‫فَ َعلَْي ِه ِِب‬
Artinya:
Dari Abdurrahmān ibn Yazīd dari Abdullah berkata, Rasulullah telah
bersabda: Wahai sekalian pemuda barang siapa di antara kalian yang sudah
sanggup, maka hendaklah ia menikah karena sesungguhnya dengan menikah
akan menjaga pandangan dan kehormatan, barang siapa yang belum sanggup
maka hendaklah ia berpuasa karena dengan puasa ia bisa menjaga diri.(HR.
Muslim)3
Dalam hadis ini Rasulullah dengan jelas menganjurkan pemuda yang

sudah mampu untuk melangsungkan pernikahan, baik mampu dari segi fisik,

ekonomi maupun mental.

Sekalipun Alquran dan hadis melegitimasi perkawinan akan tetapi pada

sisi yang lain Alquran dan hadis juga menetapkan aturan-aturan yang harus

diperhatikan, terlebih lagi karena banyaknya penyimpangan yang terjadi dalam

masyarakat yang melanggar nilai-nilai Islam misalnya mewarisi secara paksa istri

mendiang ayah (ibu tiri) 4 menikahi dua perempuan yang bersaudara secara
5
bersamaan, menikahi perempuan dua sampai empat orang atau lebih, 6

dalam hal ini walaupun secara tersurat dianjurkan oleh Alquran, namun

secara tersirat banyak mufassir yang menentangnya berdasarkan analisis

tafsir yang mereka kemukakan. Berkenaan dengan itulah, menafsirkan ayat-

ayat tentang nikah sangat penting kita lakukan sehingga kita bisa menangkap


CD. al Maktabah al Syāmilah, Shahih Muslim, Bab ‫إستحباب النكاح ملن اتفت نفسه‬
3

Juz VII hal. 174


4
QS. al-Nisa (4): 19.
5
QS. al-Nisa (4):23.
6
QS. al-Nisa (4):3.
 3

pesan yang terdapat dalam Alquran dan mengetahui maksud serta

kandungannya.

Ada beberapa metode yang digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat

Alquran lebih khusus lagi ketika menafsirkan ayat-ayat tentang nikah, yaitu

metode tahlilī, ijmāli, muqāran, dan maūdhu'iy (metode tematik). Metode inilah

yang akan menjadi acuan dalam pembahasan (makalah) ini dengan merujuk pada

ayat-ayat tentang nikah yang terdapat dalam Al-Qur’an.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka masalah

pokok yang menjadi obyek pembahasan adalah bagaimana konsep nikah

dalam Alquran melalui kajian pendekatan tafsir mawdhu'iy ?

Agar pembahasan ini menjadi terarah dan sistematis, masalah pokok

di atas dibatasi dalam sub-sub masalah sebagai berikut :

a. Bagaimana pengertian nikah ?

b. Bagaimana redaksi ayat tentang nikah dalam Alquran ?

c. Bagaimana tafsir ayat tentang nikah secara maūdhu'iy ?


 4

II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Nikah

Ibn Fāris menjelaskan bahwa nikah ( ‫ )النكاح‬berasal dari huruf nun,

kaf, dan ha yang berarti al-bidha', yakni hubungan seksual atau al-jima'.

Pengertian lain secara literal, nikah adalah ‫الوطء والضم‬ .7 Al-wath’u

(bersenggama), dan atau al-dhammu (bercampur). Kata nikah tersebut, sering

disepadankan dengan kata zawāj atau tazwīj karena memiliki kesamaan

makna dan pengertian.

Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia nikah adalah

perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami-isteri dengan

resmi.8 Di samping definisi ini, banyak lagi definisi tentang nikah dengan

konteks yang beragam namun intinya sama. Misalnya, menurut mazhab

Hanafiah, nikah sebagai ‫ النكاح أبنه عقد يفيد ملك املتعة قصد‬9 (Nikah adalah
akad yang kegunaannya untuk memiliki, bersenang-senang dengan sengaja).

Selanjutnya dalam mazhab al-Syāfi'iyah didefinisikan bahwa ‫النكاح أبنه عقد‬


‫يتضمن ملك وطء بلفظ انكاح او تزويج او معنامها‬ 10
(Nikah adalah akad yang

mengandung ketentuan hukum kebolehan bersenang-senang dengan lafaz

nikah atau tazwij, atau yang semakna dengan keduanya). Kemudian dalam

mazhab Mālikiyah didefinisikan bahwa ‫النكاح أبنه عقد على جمرد متعة التلذذ‬


7
Abiu al-Husain Ibn Faris bin Zakariyah, Mu'jam Maqayis al-Lugah, juz I (Bairut:
Dar al-Fikr, 1974), h. 255.
8
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 2002), h. 614.
9
Abd. al-Rahman al-Jazar, Al-Fiqh 'Ala Mazahib al-Arba'ah, juz IV (Mesir: Dar
al-Qalam, 1979), h. 5.
10
Abd. al-Rahman al-Jazar, Al-Fiqh 'Ala Mazahib al-Arba'ah, juz IV, h.5
 5

‫ أبدمية غري موجب قيمتها ببينة‬11 (nikah adalah yang mengandung ketentuan
hukum semata-mata untuk membolehkan watha', bersenang-senang dan

menikmati apa yang ada pada diri seseorang wanita yang boleh nikah

dengannya).

Dari pengertian nikah yang dikemukakan di atas, dipahami bahwa para

ulama mazhab memandang nikah sebagai jalan yang membolehkan antara

seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk melakukan hubungan

seksual yang ditandai dengan adanya ijab qabul antara kedua belah pihak yang

disaksikan oleh dua orang saksi baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak

perempuan.

Olehnya itu, nikah dimaknai sebagai ikatan atau akad yang kuat

(mīṡāqan galizan), yang di dalamnya terdapat unsur-unsur yaitu syarat dan

rukun yang bertujuan untuk membangun rumah tangga yang sakinah.

B. Redaksi Ayat-ayat tentang Nikah dalam Alquran

Kata nikah dengan berbagai derivasinya disebutkan dalam Alquran

sebanyak 23 kali12. 2 kali disebut dalam bentuk fi’il mādi,13 kali disebut

dalam bentuk fi’il mudhāri, 3 kali disebut dalam bentuk fi’il amr dan 5 kali

disebut dalam bentuk masdar. Di samping kata nikah, Al-Qur’an juga

menggunakan redaksi lain, yaitu kata zawj dalam berbagai bentuknya

sebanyak 81 kali.13 Namun demikian secara umum redaksi ayat-ayat Al-

Qur’an yang menggambarkan terjalinnya hubungan pasangan secara sah


11
Abd. al-Rahman al-Jazar, Al-Fiqh 'Ala Mazahib al-Arba'ah, juz IV, h. 3.
12
Muhammad Fu'ad al-Baqiy, Al-Mu'jam al-Mufahras li Alfazh Al-Qur’an al-
Azhim (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), h. 888.
13
Muhammad Fu'ad al-Baqiy, Al-Mu'jam al-Mufahras li Alfazh Al-Qur’an al-
Azhim, h. 422-423.
 6

hanya menggunakan dua kata tersebut, nikah dan zawj. Bila dicermati lebih

lanjut, kata nikah dalam Al-Qur’an khusus ditujukan kepada manusia. Contoh

dalam dalam surah al-Nisā ayat 25 Allah Swt. berfirman:

‫فا نكحوهن اب دن اهلهن وا توهن ا جو رهن اب املعروف حمصنا ت غريمسفحا ت‬

‫وال متخدات اخدان‬

Terjemahnya
...karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah
maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita
yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang
mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya;

Dalam ayat ini terdapat perintah khusus ditujukan kepada umat manusia

untuk mengawini perempuan dengan seizin tuan mereka. Sedangkan kata zawj

dan derivasinya adalah ditujukan kepada manusia dan selainnya, termasuk

hewan, dan tumbuh-tumbuhan.14 Contoh ayat yang didalamnya ada kata zawj

yang ditujukan kepada umat manusia yaitu di dalam surah al-Baqarah ayat 35

yang berbunyi:

‫و قلنا يا د م ا سكن ا نت و ز وجك الجنه وكال منها رغدا حيث شئتما وال تقربا هد ه الشجره‬

‫فتكونا من الظلمين‬
Terjemahnya;
Dan Kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu
surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik
dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini
yang menyebabkan kamu Termasuk orang-orang yang zalim.

Kata ‫ زوجك‬yang terdapat dalam ayat ini khusus ditujukan kepada

manusia yaitu Adam dan pasangannya yaitu Hawa untuk mendiami surga.


14
Lihat misalnya QS. Yasin (36): 36 dan QS. al-Zuriyat (51): 49.
 7

Sedangkan contoh penggunakan kata zawj yang ditujukan kepada

tumbuh-tumbuhan adalah sebagaimana yang terdapat dalam surah al-Rahman

ayat 52.

‫فيهما من كل فا كهه ز و جا ن‬
Terjemahnya:
di dalam kedua syurga itu terdapat segala macam buah-buahan yang
berpasangan.

Adapun contoh ayat yang di dalamnya terdapat kata zawj yang

ditujukan kepada hewan adalah sebagaimana yang terdapat dala surah al-

Syūrā ayat 11.

ِ ِ ‫ض جعل لَ ُكم ِمن أَنْ ُف ِس ُكم أ َْزو‬ ِ َّ ‫اطر‬ ِ


‫اجا‬
ً ‫اج ا َوم َن ْاْلَنْ َعام أ َْزَو‬
ً َ ْ ْ ْ َ َ َ ِ ‫الس َم َوات َو ْاْل َْر‬ ُ َ‫ف‬
ِ ِ َّ ‫ي ْذرُؤُكم فِ ِيه لَيس َك ِمثْلِهِ َشي ء وهو‬
ُ‫يع الْبَصري‬
ُ ‫السم‬ َُ َ ْ َ ْ ْ َ َ

Terjemahnya:
(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis
kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak
pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak
dengan jalan itu. tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-
lah yang Maha mendengar dan melihat.

Karena beragam dan banyaknya ayat yang berbicara tentang nikah,

maka penulis akan memilih ayat yang dianggap dapat mewakili ayat-ayat lain

yang setema. Ayat-ayat tersebut, diklasifikasi dalam Makkiyah dan

Madaniyah.
 8

Contoh ayat-ayat Makkiyah yang berisi tujuan nikah, misalnya QS. al-

Syūra (42): 11, yakni :

ِ ِ ‫ض جعل لَ ُكم ِمن أَنْ ُف ِس ُكم أ َْزو‬ ِ َّ ‫اطر‬ ِ


‫اجا‬
ً ‫اج ا َوم َن ْاْلَنْ َعام أ َْزَو‬
ً َ ْ ْ ْ َ َ َ ِ ‫الس َم َوات َو ْاْل َْر‬ ُ َ‫ف‬
ِ ِ َّ ‫ي ْذرُؤُكم فِ ِيه لَيس َك ِمثْلِهِ َشي ء وهو‬
ُ‫يع الْبَصري‬
ُ ‫السم‬ َُ َ ْ َ ْ ْ َ َ
Terjemahnya :
(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis
kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak
pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak
dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan
Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. 15
Demikian juga dalam QS. al-Rūm (30): 21

‫اجا لِتَ ْس ُكنُوا إِلَيْ َها َو َج َع َل بَيْ نَ ُك ْم‬ ِ ِ ِِ


ً ‫َوم ْن ءَ َاَيته أَ ْن َخلَ َق لَ ُك ْم م ْن أَنْفُس ُك ْم أ َْزَو‬
ِ
‫ت لِ َق ْوٍم يَتَ َف َّك ُرو َن‬
ٍ ‫ك ََلَي‬ِ
َ َ ‫َم َودَّةً َوَر ْْحَةً إِ َّن ِِف ذَل‬
Terjemahnya :
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.16
Kedua ayat di atas menjelaskan tujuan dari pernikahan. Sementara itu

dalam surah al-Nur (24): 32, yakni

ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َ ِِ‫حوا ْاْل َََي َمى ِمنْ ُكم والصَّ اِل‬ ِ


ُ‫ني م ْن عبَاد ُك ْم َوإ َمائ ُك ْم إ ْن يَ ُكونُوا فُ َق َراءَ يُغْنهم‬ َ ْ ُ ‫َوأَنْك‬
‫اسع َعلِيم‬ِ ‫اَّلل و‬ ِ ِ ْ َ‫اَّلل ِمن ف‬
َ َُّ ‫ضله َو‬ ْ َُّ
Terjemahnya :
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang
lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka


15
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya (Jakarta: Proyek Pengadaan
Kitab Suci Al-Qur’an, 1992), h. 784.
16
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, h. 644.
 9

miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan


Allah Maha luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. 17
Dalam ayat ini terdapat perintah untuk mengawinkan hamba sahaya

baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Di ayat lain dari ayat Madaniah

terdapat ayat yang menjelaskan tentang larangan menikahi wanita-wanita

tertentu, misalnya QS. al-Baqarah (2): 221, yakni :

ْ ‫ات َح ََّّت يُ ْؤِم َّن َوَْل ََمة ُم ْؤِمنَة َخ ْري ِم ْن ُم ْش ِرَكةٍ َولَ ْو أ‬
‫َع َجبَ تْ ُك ْم َوََل‬ ِ ‫وََل تَنْكِحوا الْم ْش ِرَك‬
ُ ُ َ
‫ك‬ َ ِ‫َع َجبَ ُك ْم أُولَئ‬
ْ ‫ني َح ََّّت يُ ْؤِمنُوا َولَ َعبْد ُم ْؤِمن َخ ْري ِم ْن ُم ْش ِر ٍك َولَ ْو أ‬ ِ
َ ‫حوا الْ ُم ْش ِرك‬
ِ
ُ ‫تُنْك‬
ِ ‫ني ءَ َاَيتِهِ لِلن‬
‫َّاس لَ َعلَّ ُه ْم‬ ِِ ِ ِ
ُ ِِ َ‫اَّللُ يَ ْد عُو إِ ََل ا ْْلَنَّة َوالْ َمغْف َرةِ ِبِِ ْذنه َويُب‬
َّ ‫يَ ْد عُو َن إِ ََل النَّا ِر َو‬
‫يَتَ َذ َّك ُرو َن‬
Terjemahnya :
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari
wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik
dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.
Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran. 18
Kemudian Alquran juga secara tekstual dalam ayat Madaniah

menjelaskan tentang bolehnya menikah dengan cara poligami, yakni QS. al-

Nisā (4): 3,
ِ
َ ‫اب لَ ُك ْم ِم َن النِِ َساء َمثْ ََن َوثََُل‬
‫ث‬ َ َ‫حوا َم ا ط‬
ِ ِ ِ
ُ ‫َوإِ ْن خ ْفتُ ْم أ َََّل تُ ْقسطُوا ِِف الْيَ تَ َامى فَانْك‬
َ ِ‫ت أ َْْيَانُ ُك ْم ذَل‬ ِ ِ ِ
‫ك أ َْد ََن أ َََّل تَعُولُوا‬ ْ ‫ع فَإِ ْن خ ْفتُ ْم أ َََّل تَ ْعدلُوا فَ َواح َد ًة أ َْو َما َملَ َك‬َ ‫َوُرَِب‬
Terjemahnya :
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka


17
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, h.548.
18
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, h. 53.
 10

kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga


atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang
kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya.19
Berkaitan dengan asbāb al-nuzūl, ayat-ayat Makkiyah yang disebut di

atas tidak ditemukan sebab nuzulnya20 akan tetapi ayat-ayat Madaniyah

khususnya surah al-Baqarah ayat 221 sebagaimana diungkap oleh al-Marāgi

dengan mengutip riwayat dari Ibn Abbās bahwa Nabi saw mengutus seorang

laki-laki kaya yang bernama Martsad ibn Abi Marstad ke Mekah untuk

membebaskan tawanan muslimin yang ditahan di sana. Tatkala Martsad

sampai ke Mekah, kedatangannya telah didengar oleh seorang wanita

bernama Anaq teman akrab Martsad di zaman Jahiliah. Ketika Martsad

memeluk Islam, ia meninggalkan wanita tersebut. Ketika mereka bertemu di

Mekah, Anaq berkata : "Celakalah engkau Martsad, kemana saja engkau ?".

Martsad menjawab, "Islam telah menghalangi diriku dengan dirimu dan

Islam telah mengharamkannya. Tetapi jika engkau suka, akan aku nikahi

engkau". Anaq menjawab, "baiklah, saya setuju". Martsad melanjutkan

perkataannya: "Baiklah, aku pulang dulu untuk meminta izin kepada Nabi

saw. tentang masalah ini, baru aku akan menikahimu". Anaq berkata

padanya: "Oh, ayahku", sambil mengumpat dan meminta pertologan kepada

orang banyak, sehingga mereka berdatangan dan memukuli Martsad lalu

meninggalkannya. Setelah Martsad menyelesaikan tugasnya, ia segera

kembali ke Madinah menemui Nabi saw, dan mengabarkan kepada beliau


19
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, h. 115.
20
Penulis merujuk pada beberapa kitab tafsir, dan sumber lain yang berbicara
tentang sebab nuzul, misalnya kitab Lubab al-Nuqal fi Asbab al-Nuzul karya Jalal al-Din
al-Suyuti, demikian pula kitab Asbab al-Nuzul karya Abū al-Husaīn Alī ibn Ahmad al-
Wahid al-Nasaburi.
 11

tentang keinginannya untuk menikahi Anaq, dan menceritakan peristiwa

yang ia alami bersama Anaq ketika di Mekah sehingga ia dipukuli orang

banyak. Martsad berkata kepada beliau, "Wahai Rasulullah saw, bolehkah

saya menikahinya ?", kemudian turunlah ayat tersebut.21 Yakni, surah al-

Baqarah ayat 221 yang melarang menikahi perempuan musyrik.

Sedangkan sebab nuzul surah al-Nisā ayat 3, dalam riwayat dikatakan

bahwa, ayat tersebut turun setelah perang Uhud di mana banyak sekali

pejuang muslim gugur yang mengakibatkan banyak pula anak yatim yang

mesti mendapatkan pengawasan dan orang tua yang bertanggung jawab.

Pernikahan dengan cara menikahi beberapa istri, yakni sampai empat istri

menyebabkan ayat tersebut turun. Dijelaskan juga dalam riwayat lain bahwa

dari Ahmad, dari Ibn Syihāb bahwa Ghaīlan bin Salamah al-Tsaqafi

beristerikan sepuluh orang tatkala ia masuk Islam, lalu turunlah ayat tersebut

dan kemudian Nabi saw, menyuruh Ghaīlān untuk memilih empat dari

sepuluh istrinya tersebut.22 Di kalangan mufassir, ayat ini menjadi dasar

perbedaan pendapat tentang boleh atau tidaknya poligami dalam Islam.

Bila dicermati kandungan ayat-ayat di atas baik yang Makkiyah

maupun yang Madaniah maka akan ditemukan munāsabah (korelasi

sistematik). Ayat-ayat Makkiyah menerangkan tentang tujuan nikah,

sedangkan ayat Madaniah menganjurkan untuk menikah.

C. Tafsir Ayat-ayat tentang Nikah secara Maūdhu'iy


21
Ahmad Musthafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi, Juz I (Mesir: Mustafa al-Bab al-
Halabi wa Aūlāduh, 1973), h. 282-283.
22
Abu al-Fidā Ismāil bin Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-Azhīm, juz II (Surabaya: Bina
Ilmu 1990), h. 305.
 12

Ketika dicermati redaksi ayat-ayat Al-Qur’an tentang nikah dengan

menggunakan metode maūdhu'iy, maka ada 3 tema yang akan menjadi fokus

pembahasan yaitu tujuan menikah, wanita yang boleh dan tidak boleh

dinikahi, serta hukum berpoligami.

1. Tujuan menikah

Tujuan menikah dijelaskan dalam surah al-Syūra ayat 11 di mana

tujuan tersebut sejalan dengan tujuan penciptaan manusia secara berpasang-

‫اجا‬ ِ ِ
pasangan. Dalam ayat terdapat redaksi kalimat ً ‫َج َع َل لَ ُك ْم م ْن أَنْ ُفس ُك ْم أ َْزَو‬
(Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri berpasangan-pasangan).

Ayat ini menjelaskan bahwa manusia diciptakan agar mereka mencari

pasangannya masing-masing yaitu dengan jalan menikah. Penggunakan kata

‫ أَنْ ُف ِس ُك م‬di dalam ayat ini adalah bentuk jamak dari kata nafs yang berarti
"jenis" atau "diri". Pernyataan bahwa manusia diciptakan dari jenisnya

memberikan pemahaman secara kontekstual bahwa melampiaskan nafsu

seksual melalui makhluk lain, dan menikah dengan makhluk lain, atau

melakukan hubungan kepada selain pasangan sah sebagai suami isteri, sama

sekali tidak dibenarkan oleh agama.

Di sisi lain, penggunaan kata anfus juga terdapat dalam surah al-Nisā

ayat 1 bahwa Allah menciptakan pasangannya dari nafsin wāhidah,

penggalan ayat ini mengandung makna bahwa pasangan suami istri

hendaknya menyatu sehingga menjadi nafs/diri yang satu, yakni menyatu

dalam perasaan dan pikiran. Inilah inti dari sebuah pernikahan. Dua orang

yang dulunya tidak saling mengenal dan tidak ada hubungan apa-apa, tetapi

karena adanya ikatan pernikahan keduanya bisa hidup dan bersatu dalam

sebuah rumah tangga.


 13

Di ayat lain yaitu surah al-Rūm ayat 21 menjelaskan bahwa tujuan

lain dari sebuah pernikahan adalah ‫لِتَ ْس ُكنُوا إِلَيْ َها َو َج َع َل بَيْ نَ ُك ْم َم َو َّدةً َوَر ْْحَة‬
(supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-

Nya di antaramu rasa kasih dan sayang). Kata ‫ تسكنوا‬yang berasal dari kata

‫سكن‬ yang berarti "diam, tenang, setelah sebelumnya sibuk", memberi

gambaran bahwa di dalam pernikahan akan ditemukan ketenangan, dan

dalam rumah tangga adalah tempat diam untuk merasakan ketenangan

tersebut.

M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata ‫ إِلَيْ َه ا‬dalam ayat tersebut

ُ ‫ لِتَس‬mengandung makna cenderung menuju


yang merangkai kata ‫ك نُوا‬
ْ
kepadanya, memberi pemahaman bahwa Allah menjadikan pasangan suami

istri masing-masing merasakan ketenangan di samping pasangannya, serta

cenderung kepadanya.23 Setelah itu, ditemukan lagi kata ً‫ َم َودَّ ةً َوَر ْْحَة‬yang
juga menjadi salah satu tujuan pernikahan yaitu mawaddah yang

mengandung arti hidup harmonis dan rahmat yang berarti kasih sayang.

Dengan dipahaminya tujuan mulia tersebut, maka Alquran lebih

lanjut dalam surah al-Nūr ayat 32 menganjurkan manusia untuk menikah.

Ayat ini dimulai dengan kata ‫ح وا‬ ِ


ُ ‫ وأَنْك‬sebagai fi'il amr, kalimat perintah
َ
untuk menikah, yakni menikahi orang-orang yang layak dinikahi menurut

syariat.

Muhammad Mahmūd Hijāzi menjelaskan bahwa surah al-Nūr ayat

32 sesungguhnya menghilangkan ‫( الشك‬keraguan) bagi orang yang ragu


untuk menikah. Menurutnya, ada orang yang ragu untuk menikah karena


23
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Kesan, Pesan, dan Keserasian Al-Qur’an,
vol.11 (Cet. IV; Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 35.
 14

takut memikul beban berat dan menghindarkan diri dari kesulitan hidup. Ini

adalah pemahaman yang keliru karena Allah swt memberikan jaminan bagi

orang yang sudah menikah dengan memberikan jalan kecukupan,

menghilangkan kesulitan-kesulitan, dan memberikan kekuatan yang mampu

mengatasi kemiskinan.24

Anjuran menikah di samping ditegaskan dalam dalam Alquran, juga

ditegaskan dalam hadis Nabi saw, misalnya :


ِ ‫ول ج اء ثَ ََلثَةُ ره ٍط إِ ََل ب ي‬ ِ‫كر‬ ٍِ ُ ْ‫َح ِدي‬
ِِ ِ‫اج الن‬
‫َّب‬ ِ ‫وت أ َْزَو‬ ُُ َْ َ َ ُ ‫اَّلل َعنْه يَ ُق‬ َّ ‫ض ي‬ َ ‫س بْ َن َم ال‬ َ َ‫ث أَن‬
‫وه ا فَ َق الُوا َوأَيْ َن َ ْ ُن ِم َن‬ ِ ‫ يس بَلُو َن عن عِب‬
َ ُّ‫ُخِرُوا َك ب ََُُّ ْم تَ َق ال‬
ْ ‫ فَ لَمَّ ا أ‬ ِ‫اد ة النَِّ ِب‬َ َ َْ ْ َ
‫َح ُد ُه ْم أ ََّم ا أَ ََن فَإِ ِِّن أُص َ لِِي‬ َ ‫ال أ‬َ َ‫َخ َر ق‬ َّ ‫َّم ِم ْن ذَنْبِهِ َوَم ا ََت‬ ِ
َ ‫ قَ ْد غُف َر لَهُ َم ا تَ َقد‬ ِ‫َّب‬ ِ ِ ‫الن‬
‫َعتَ ِز ُل النِِس َ اءَ فَ ََل‬ ْ ‫آخ ُر أَ ََن أ‬ َ ‫ال‬ َ َ‫الد ْه َر َوََل أُفْ ِط ُر َوق‬
َّ ُ‫آخ ُر أَ ََن أَص ُوم‬ َ ‫ال‬ َ َ‫اللَّيْ َل أَبَ ًد ا َوق‬
‫اَّللِ إِِِّن‬
َّ ‫ين قُلْتُ ْم َك َذ ا َوَك َذ ا أ ََم ا َو‬ ِ
َ ‫ال أَنْتُمُ الَّذ‬ َ ‫ إِلَيْ ِه ْم فَ َق‬ ِ‫اَّلل‬
َّ ‫ول‬ ُ ‫ج أَبَ ًد ا فَ َج اءَ َر ُس‬ ُ ‫أَتَ َزَّو‬
‫ج النِِسَ اءَ فَ َم ْن‬ ِ ِ ِ ِِ
ُ ‫َخشَ ا ُك ْم ََّّلل َوأَتْ َق ا ُك ْم لَهُ لَك ِِأ أَصُومُ َوأُفْط ُر َوأُصَ لِي َوأ َْرقُ ُد َوأَتَ َزَّو‬ ْ ‫َْل‬
)‫ (متفق عليه‬25 ‫س ِم ِِأ‬ َ ‫ي‬
ْ ‫ل‬
َ ‫ف‬
َ ِ
‫َِّت‬‫ن‬ ‫س‬
ُ ‫ن‬ْ ‫ع‬
َ ‫ب‬َ
ِ‫رغ‬
َ
Artinya :
Hadis dari Anas bin Mālik ra. berkata: Datang tiga orang ke rumah isteri
Nabi saw untuk menanyakan ibadah Nabi saw, kemudian sesudah
diberitahu mereka anggap sedikit, tetapi mereka lalu berkata : Di
manakah kami jika dibanding dengan Nabi saw yang telah diampuni
semua dosanya yang lalu dan yang akan datang. Lalu yang satu berkata:
Saya akan bangun semalam suntuk shalat untuk selamanya. Yang kedua
berkata: Aku akan puasa selama hidup dan tidak akan berhenti. Ketiga
berkata: Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan kawin untuk
selamanya. Kemudian datang Nabi saw bertanya kepada mereka: Kalian
telah berkata begini, begitu ; ingatlah demi Allah akulah yang lebih takut


24
Muhammad Mahmad Hijazi, Tafsir al-Wadhih, Juz VI (Cet. VI; Kairo:
Mathba'ah al-Istiqlal al-Kubrah, 1979), h. 128.
25
Abu Abdillah ibn al-Mughirah ibn al-Bardizbah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, juz
V (Semarang: Toha Putra, t.th), h. 116. Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi, Shahih
Muslim, juz I (Bandung: Maktabah Dahlan, t.th), h. 584.
 15

kepada Allah daripada kalian, dan lebih taqwa kepada Allah, tetapi aku
puasa dan berbuka, shalat malam dan tidur, dan kawin dengan wanita,
maka siapa tidak suka kepada sunnahku, bukan dari ummatnya. (HR.
disepakati oleh Bukhāri dan Muslim)
Inti dari hadis tersebut adalah bahwa menikah adalah sunnah nabi,

bagi yang meninggalkannya maka yang bersangkutan bukan ummatnya.

Hadis di atas mengandung interpretasi bahwa Islam tidak membenarkan

"‫التبتل‬ " (anti kawin). Islam juga tidak membenarkan orang-orang yang

sengaja menghindar dari pernikahan tanpa ada alasan yang dibenarkan.

Mereka yang menghindarkan diri dari pernikahan adalah termasuk orang-

orang yang menyalahi fitrah kemanusiaannya, sebab setiap manusia

diciptakan berpasang-pasangan.26

Dari uraian beberapa ayat di atas, maka hukum asal nikah adalah

mubāh. Namun berdasarkan beberapa dalil, para ulama merinci hukum

pernikahan sebagai berikut :

a. Wajib, jika seseorang telah mampu dalam hal materi, psikologis dan

biologis serta dikhawatirkan terjerumus ke dalam dunia perzinahan jika

tidak melaksanakan perkawinan

b. Sunnah, jika seseorang telah mempunyai kemampuan biaya material dan

kemampuan psikologis (perasaan) dan biologis. Akan tetapi belum

mengkhawatirkan dirinya dari perbuatan maksiat.

c. Haram, bagi orang yang mempunyai niat untuk menyiksa isterinya.

d. Makruh bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah kepada isterinya.


26
QS. al-Rum (30): 21
 16

Bagi mereka yang tergolong dalam kategori wajib dan sunnah untuk

menikah maka hendaklah ia mencari calon pasangannya yang sesuai dengan

petunjuk agama.

2. Perempuan/laki-laki yang tidak boleh dinikahi

Secara jelas surah al-Baqarah ayat 221 melarang menikahi

perempuan-perempuan musyrik. Hal tersebut secara tegas pada bagian awal

ayat yakni, ‫ات َح ََّّت يُ ْؤِم َّن‬


ِ َ ‫( وََل تَنْكِ ح وا الْمش ْ ِرك‬Dan janganlah kalian
ُ ُ َ
menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman). Mafhūm

mukhālafah penggalan ayat ini adalah bahwa dalam mencari jodoh

hendaklah mencari yang se-akidah. Wanita budak yang mukmin masih jauh

lebih baik dari pada wanita cantik yang musyrik.

Illat dari larangan menikahi wanita musyrik dalam ayat ini adalah

karena berlainan agama dan keyakinan. Sekalipun larangan ini ditujukan

kepada laki-laki muslim, tetapi juga sebaliknya, larangan tersebut juga

berlaku bagi perempuan muslimah yang ingin dinikahi laki-laki musyrik.

Hal ini dimaksudkan agar dalam pernikahan terjalin hubungan yang

harmonis antara kedua belah pihak

Di samping ayat yang melarang laki-laki menikahi wanita musyrik,

juga terdapat ayat yang melarang menikahi wanita tertentu sekalipun ia

muslimah. Hal ini dikarenakan adanya hubungan mahram seperti ibu, anak

perempuan, saudari, tante, kemanakan perempuan, ibu susuan, saudari

sesusuan, mertua, anak perempuan istri yang sudah digauli lalu dicerai, istri

anak kandung, menikahi dua perempuan bersaudara. Ketentuan-ketentuan

ini, ditegaskan dalam surah al-Nisā ayat 23-24, yakni :


 17

‫َخ‬
ِ ‫ات ْاْل‬ ُ َ‫َخ َواتُ ُك ْم َو َع َّماتُ ُك ْم َو َخ َاَلتُ ُك ْم َوبَن‬
َ ‫ت َع لَيْ ُك ْم أ َُّم َه اتُ ُك ْم َوبَنَاتُ ُك ْم َوأ‬ْ ‫ُح ِِرَم‬
ِ ‫ض‬ َّ ‫َخ َواتُ ُك ْم ِم َن‬ ِ ‫ُخ‬
‫ات‬
ُ ‫اعة َوأ َُّم َه‬ َ َ ‫الر‬ َ ‫ض ْعنَ ُك ْم َوأ‬َ ‫الَلِِت أ َْر‬
َّ ُ‫ت َوأ َُّم َه اتُ ُكم‬ ْ ‫ات ْاْل‬ ُ َ‫َوبَن‬
‫الَلِِت َد َخ لْتُ ْم ِبِِ َّن فَإِ ْن َلْ تَ ُكونُوا‬
َّ ُ‫جو ِرُك ْم ِم ْن نِ َسائِ ُكم‬ُ ‫الَلِِت ِِف ُح‬ َّ ُ‫نِ َس ائِ ُك ْم َوَرَِبئِبُ ُكم‬
‫َص ََلبِ ُك ْم َوأَ ْن ََتْ َمعُوا‬ ِ ‫دخلْتُم ِبِِ َّن فَ ََل جنَاح علَي ُك م وح ََلئِل أَب نَائِ ُكم الَّ ِذ‬
ْ ‫ين م ْن أ‬ َ ُ ْ ُ ََ ْ َْ َ ُ ْ ََ
ِ ‫اَّلل َكا َن َغ ُف‬ ِ َ َ‫ني إََِّل َما قَ ْد َسل‬ ِ ْ َ‫ُخت‬
‫يم ا‬
ً ‫ورا َرح‬ً ََّ ‫ف إ َّن‬ ْ ‫ني ْاْل‬
َ ْ َ‫ب‬
‫اَّللِ َع لَيْ ُك ْم َوأ ُِحلَّ لَ ُك ْم َم ا‬ ِ ِ ِ ِ ‫والْمحصن‬
َّ ‫اب‬ َ َ‫ت أَْْيَانُ ُك ْم كت‬ْ ‫ات م َن النِ َساء إََِّل َم ا َم لَ َك‬ ُ ََ ْ ُ َ
‫استَ ْمتَ ْعتُ ْم بِهِ ِمنْ ُه َّن‬ ِِ ِِ ِ ِ
ْ ‫ني فَ َما‬ َ ‫ني َغ ْريَ ُم َسافح‬ َ ‫َوَراءَ ذَل ُك ْم أَ ْن تَبْ تَ غُوا ِأب َْم َوال ُك ْم ُمُْصن‬
‫يض ِة إِ َّن‬ ِ ِ
َ ‫اضيْ تُ ْم بِ ِه ِم ْن بَ ْعد الْ َف ِر‬
َ ‫يما تَ َر‬
َ ‫اح َعلَيْ ُك ْم ف‬ َ َ‫يضةً َوََل ُجن‬ َ ‫ور ُه َّن فَ ِر‬
َ ‫ُج‬ُ ‫وه َّن أ‬
ُ ُ‫فَآت‬
‫يم ا‬ ِ ِ
ً ‫يما َحك‬ ً ‫اَّللَ َك ا َن َعل‬
َّ
Terjemahnya :
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu
(mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri
yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan
isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu
(menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan
yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali
budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu)
sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang
demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini
bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu ni`mati
(campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya
(dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi
kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah
menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.
Demikianlah Alquran memberikan batasan wanita yang tidak boleh

dinikahi.
 18

Selanjutnya dalam hal mencari siapa yang pantas untuk dipilih

sebagai pasangan hidup, Nabi Muhammad Saw. memberikan petunjuk bagi

laki-laki yang ingin mencari pasangan hidup. Tuntunan tersebut terdapat

dalam hadis Nabi saw, yakni :


‫ال تُنْ َك ُح الْ َم ْرأَةُ ِْل َْربَ ٍع لِ َم ِاِلَا َو ِِلَسَ بِ َها‬
َ َ‫ ق‬ ِ‫َّب‬ َّ ‫َع ْن أَِِب ُه َريْ َرةَ َرضِ ي‬
ِ ِ ‫اَّلل َعنْه َع ِن الن‬
ِ ِ ِ ِِ ِ
)‫اك (متفق عليه‬ ْ َ‫َو ََجَاِلَا َولدين َه ا فَاظْ َف ْر بِ َذ ات ال ِد ي ِن تَ ِرب‬
َ ‫ت يَ َد‬
Artinya
Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw bersabda: Orang menikahi perempuan,
karena empat (perkara): karena hartanya, karena keturunannya, karena
kecantikannya, dan karena agama-nya. Olehnya itu, dpaatilah
perempuan yang baik agamanya (karena jika tidak) binasalah dua
tanganmu. (Hadis Disepakati Bukhāri dan Muslim).

Hadis di atas menyebutkan bahwa ada beberapa komponen yang

harus diperhatikan dalam memilih calon isteri atau calon suami, yakni karena;

a. Harta

Seorang yang ingin menikah karena faktor harta yang dimiliki calon

pasangannya, atau karena calonnya itu adalah hartawan, meskipun

dibolehkan oleh agama, tetapi faktor ini bukanlah yang terpenting, karena

seringkali harta itu menggelincirkan seseorang ke arah yang negatif. Di sisi

lain, harta tidak akan kekal, ia akan habis, dan pada kenyataannya pula

bahwa banyak orang yang berharta tapi kehidupannya tidak tenteram.

b. Keturunan

Faktor lain selain harta yang menjadi pertimbangan untuk menikahi

perempuan adalah karena keturunannya. Ini sah-sah saja akan tetapi


 19

janganlah karena faktor keturunan yang jadi pertimbangan utama karena

jika faktor ini yang diutamakan maka akan mendatangkan kehinaan.

c. Kecantikan

Sudah menjadi sunnatullah bahwa rupa yang cantik menjadi alasan

utama seorang laki-laki akan menikahi perempuan. Akan tetapi karena

kecantikan itu sifatnya relatif dan temporer maka sangat tidak wajar kalau

dasar itu yang menjadi pertimbangan utama dalam hal memilih calon istri.

d. Agama

Sudah menjadi syariat Islam bahwa seorang muslim haruslah

memilih yang muslimah sebagaimana yang dipahami dalam surah al-

Baqarah ayat 221 tadi. Perbedaan agama atau kepercayaan sering membawa

konflik di dalam rumah tangga. Terkait dengan ini, Nabi saw pernah

bersabda : ‫اِلة‬ ‫إن الدنيا كلها متاع وخري متاع الدنيا املرأة الص‬ (Sesungguhnya

dunia secara umum adalah hiasan dan sebaik hiasan adalah wanita yang

shalehah).

Ciri-ciri perempuan shalehah menurut Al-Qur’an, dijelaskan lagi

dalam QS. al-Nisā (4): 34, yakni ِ ْ‫ات قَانِتَات َح افِبَات لِلْغَي‬
‫ب ِ َا‬ ِ
ُ َ‫فَالص َّ اِل‬
‫اَّلل‬
َّ ‫ظ‬ َ ‫( َح ِف‬adapun perempuan-perempunan yang shalehah ialah mereka yang
taat kepada Allah dan suaminya, memelihara hak suaminya sewaktu

suaminya itu tidak ada). Dengan ayat ini, jelaslah bahwa agama dan budi

pekerti adalah dua hal pokok dan utama untuk mencari calon isteri/calon

suami

3. Hukum berpoligami
 20

Yang dimaksud dengan poligami adalah ta'addud al-zawjāt yakni


27
menikah lebih dari satu istri. Secara tekstual surah al-Nisā ayat 3

membolehkan poligami sampai empat istri, yakni ‫اب لَ ُك ْم ِم َن‬


َ َ‫حوا َم ا ط‬
ِ
ُ ‫فَانْك‬
ِ
‫ع‬ َ ‫( النِِس َ اء َمثْ ََن َوثََُل‬maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu
َ ‫ث َوُرَِب‬
senangi: dua, tiga atau empat) sehingga ulama salaf membolehkan poligami

dengan ketentuan:

a. Poligami dibolehkan dalam kondisi tertentu dan dalam keadaan tertentu

pula, dengan syarat harus berlaku adil terhadap semua istri.

b. Bolehnya melakukan poligami dibatasi dengan pembatasan, yaitu

beristeri tidak lebih dari empat orang.

c. Hak istri kedua dan istri ketiga harus sama dengan hak istri yang pertama.

Begitu pula kewajiban-kewajiban yang harus mereka lakukan. Istri kedua

atau ketiga berkewajiban melakukan segala kewajiban yang dijatuhkan

kepada istri pertama. Persamaan dalam perlindungan kesehatan,

kesejahteraan dan kebaikan bagi semua istri itu adalah syarat yang harus

dipenuhi oleh laki-laki yang beristri lebih dari satu. 28

Berbeda dengan ulama salaf, ulama kontemporer justru memahami

ayat tersebut secara kontekstual, sehingga mereka sangat berhati-hati dalam

menetapkan hukum kebolehan poligami, walaupun mereka mengakui bahwa

hukum asalnya adalah boleh berdasarkan ayat tersebut.

Asghar Ali Enginer jutsru secara tegas menyatakan bahwa beristri

lebih dari satu tidak diperbolehkan secara umum dalam Alquran.

Pembolehan dalam ayat tersebut menurutnya hanya berlaku pada zaman


27
QS. al-Nisa (4): 3
28
Fadlurrahman, Islam Mengangkat Martabat Wanita (Cet. I; Jakarta: Pustaka
pelajar, 1999), h. 56.
 21

Nabi saw, tepatnya setelah perang Uhud dengan memperhatikan sebab

wurūd ayat tersebut. Pada perang Uhud, 70 dari 700 laki-laki muslim mati

syahid, kejadian ini sangat mengurangi jumlah laki-laki sebagai pemberi

nafkah kepada kaum perempuan, di mana kaum perempuan ketika itu banyak

yang menjadi janda. Setelah perang Uhud, justru laki-laki muslim banyak

yang mati syahid, dan sebagai konsekuensinya menikah dengan cara

poligami dianjurkan.29 Dengan demikian, Asghar Ali Enginer dalam melihat

pembolehan dan ketidakbolehan poligami merujuk pada sebab nuzul ayat,

dan keadaan pada zaman Nabi saw, berbeda dengan zaman sekarang.

Boleh jadi juga Alquran membolehkan poligami adalah untuk

mendorong para janda akibat perang Uhud, dan anak yatim ketika itu

mendapat perlindungan, dan nikah poligami yang dilakukan bukan untuk

memuaskan seks laki-laki terhadap kaum perempuan.

Di sisi lain, ayat yang membolehkan berpoligami turun berkaitan

dengan sikap sementara pemelihara anak yatim perempuan yang bermaksud

menikahi mereka karena harta mereka, tetapi enggan berlaku adil. Hal ini

dipahami dari awal redaksi ayat yang berbicara tentang anjuran menikahi
ِ ِ ِ
perempuan yatim, yakni ُ ‫( َوإِ ْن خ ْفتُ ْم أ َََّل تُ ْقسطُوا ِِف الْيَ تَ َامى فَانْك‬Dan jika
‫حو ا‬
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan

yatim (bilamana kamu mengawininya)). Jadi jelas bahwa ayat ini ditujukan

kepada para pemelihara anak yatim yang hendak menikahi mereka tanpa

berlaku adil. Selanjutnya pada kata ‫ِخ ْفتُم‬ yang biasa diartikan takut


29
Asghar Ali Enginer, The Right of Women in Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici
Farkha Asegaf dengan judul Hak-hak Perempuan dalam Islam (Cet. I; Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budara,1994), h. 221-222.
 22

menunjukkan bahwa siapa tidak bisa berlaku adil, maka seorang suami tidak

diperkenankan melakukan poligami. Demikian juga penggunaan kata


ِ ‫ تُ ْق‬dalam ayat tersebut dan bukan kata
‫س طُوا‬ ‫ تعدلوا‬walaupun artinya serupa
karena kata tuqsithū lebih berkenaan dengan berlaku adil antara dua orang

atau lebih, sementara ta'dilū berlaku adil dan baik terhadap orang lain

maupun diri sendiri, sehingga penggunaan tuqsithū dalam ayat tersebut

menekankan perlunya menyenangkan dua orang istri atau lebih yang

dinikahinya.

Berdasar dari uraian di atas, maka perlu ditegaskan bahwa surah al-

Nisā ayat 3 tidak menganjurkan apalagi mewajibkan poligami, tetapi ayat

tersebut hanya memberikan solusi terhadap sebuah persoalan yang

mengharuskan seorang suami untuk beristri lebih dari satu.


 23

III. KESIMPULAN

Dari pemaparan di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa :

1. Pernikahan adalah ikatan yang sangat kuat (mīṡāqan galīzān)

antara suami dan isteri untuk membentuk sebuah mahligai rumah

tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.

2. Redaksi tentang ayat-ayat nikah, di samping menggunakan kata

nikah itu sendiri dengan derivasinya, juga menggunakan kata

zawj dalam berbagai bentuk derivasinya. Ayat-ayat tersebut

terklasifikasi dalam Makkiyah dan Madaniyah

3. Penelusuran ayat-ayat pernikahan secara tematis (maūdhu'iy)

terfokus pada 3 pembahasan, yaitu tujuan pernikahan, orang-

orang yang boleh dan tidak boleh dinikahi serta aturan

berpoligami.
 24

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim

al-Ashfahāniy, Al-Rāgib. Mufradāt Alfāzh Al-Qur’an. Cet.I; Beirut: Dār al-


Qalam, 1992.

al-Bāqī, Muhammad Fu'ād Abd. Al-Mu'jam al-Mufahras li-Alfāzh Al-Qur’an


al-Azhīm. Beirūt: Dār al-Fikr, 1992.

al-Bukhāri, Abū Abdillah ibn al-Mughīrah ibn al-Bardizbah. Shahih al-


Bukhāri, juz V. Semarang: Toha Putra, t.th.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Proyek


Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1995.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:


Balai Pustaka, 2002.

Enginer, Asghar Ali. The Right of Women in Islam diterjemahkan oleh Farid
Wajdi dan Cici Farkha Asegaf dengan judul Hak-hak Perempuan
dalam Islam. Cet. I; Yogyakarta: Yayasan Bentang Budara,.1994.

Fachurddin HS, Eksiklopedi Al-Qur’an, Cet I; Jakarta : PT Rineka cipta, 1992.

Fadlurrahman, Islam Mengangkat Martabat Wanita. Cet. I; Jakarta: Pustaka


Pelajar, 1999.

Hākim, Abd. Hamīd. Al-Bayān fī Ushūl al-Fiqh. Bandung: Angkasa, 1992.

Hijāzi, Muhammad Mahmūd. Tafsir al-Wādhih, Juz VI. Cet. VI; Kairo:
Mathba'ah al-Istiqlāl al-Kubrāh, 1979.

Ibn Fāris ibn Zakariyah, Abu al-Husain. Mu'jam Maqāyis al-Lugah, juz I.
Beīrut: Dār al-Fikr, 1974.

Ibn Katsīr, Abū al-Fidā Ismāil. Tafsir Al-Qur’an al-Azhīm, juz II. Surabaya:
Bina Ilmu 1990.

Istibsyorah. Hak-hak Perempuan; Relasi Jender menurut Tafsir al-Sya'rāwi.


Cet I; Jakarta: Teraju, 2004.

al-Jazīri, Abd. al-Rahmān. Al-Fiqh 'Alā al-Mazāhib al-Arba'ah, juz IV. Mesir:
Dār al-Qalam, 1979.
 25

al-Marāgi, Ahmad Musthafā. Tafsir al-Marāgi, juz I. Mesir: Mustafā al-Bab al-
Halab wa Aūlāduh, 1973.

al-Nawawī, al-Imām Abī Zakariyya Yahyā bin Syarf. Shahih Muslim. Juz VII.
Kairo: Dār al-Fikri, 1995.

Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbāh; Kesan, Pesan, dan Keserasian Al-


Qur’an, vol.11. Cet. IV; Jakarta: Lentera Hati, 2006.

. Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat.


Bandung: Mizan, 1999.

al-Suy-tiy, Jalāl al-Dīn. Lubab al-Nuqūl fī Asbāb al-Nuzūl, t.d. (terjemahan)

al-Wahīdiy al-Naīsabūrī, Abū al-Husaīn Ali ibn Ahmad. Asbāb al-Nuzūl.


Semarang: Dina Utama Ilmu, t.th.

Anda mungkin juga menyukai