Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PENGERTIAN, TUJUAN, HUKUM PERNIKAHAN DAN KHITBAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Fiqh Mawaris dan Munakahat

Dosen Pengampu : Widodo Hami ,M.ag

Disusun Oleh :

1. Shohifatul Mila ( 2120157 )


2. Larasati ( 2120160 )
3. Jihan Caputri ( 2120153)

Kelas : G

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH ILMU DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI K.H. ABDURAHMAN WAHID

PEKALONGAN

2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang selalu melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya
kepada kita. Shalawat serta salam tidak lupa kita haturkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW. Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Pengertian, Tujuan, Hukum Pernikahan dan Khitbah” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Fiqh Mawaris dan Munakahat . Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
bagi para pembaca dan juga bagi penulis. Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Widodo Hami M.ag selaku dosen pengampu mata kuliah Fiqh Mawaris dan Munakahat yang
telah memberikan tugas ini, sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan
bidang studi yang kami pelajari. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan tepat waktu.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami harapkan demi kesempurnaan makalah
ini. Terimakasih.

Pemalang, 5 Oktober 2022

Penulis

Kelompok 6
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pernikahan adalah suatu hal yang membahagiakan. Karena dua insan yang saling mencint
ai dapat berdampingan untuk membangun keluarga yang Sakinah, melalui Mawaddah dan W
arahmah. Bahkan tidak sedikit yang berjuang keras agar bisa menikah dengan orang yang dic
intainya. Selain itu, pernikahan juga dapat menyambung tali silaturrahim antara kedua pasan
gan tersebut.
Suatu perkawinan tentunya dibangun dengan tujuan untuk mewujudkan keluarga yang ba
hagia, kekal, dan harmonis. Sebagaimana yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam pas
al 3 yang berebunyi bahwa “tujuan perkawinan adalah mewujudkan keluarga yang sakinah,
mawaddah, dan warahmah”.1
Tujuan menurut hukum adat berbeda dengan menurut perundangan. Tujuan perkawinan b
agi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan, adalah untuk mempertahankan dan me
neruskan keturunan menurut garis kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan, untuk kebaha
giaan rumah tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamai
an, dan untuk mempertahankan kewarisan.2
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian pernikahan dan khitbah?
2. Bagaimana hukumnya pernikahan dan khitbah?
3. Apa saja tujuan pernikahan dan khitbah?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian pernikahan dan khitbah
2. Untuk mengetahui hukum pernikahan dan khitbah
3. Untuk mengetahui tujuan pernikahan dan khitbah

1
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Bab II Pasal 3, Departemen Agama RI, 2001
2
Hilman Hadikusuma, SH. Hukum Perkawinan Indonesia, Cetakan I, Mandar Maju, Bandung, 1990, Hlm 23
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pernikahan dan Khitbah


1. Pengertian Pernikahan
Perkawinan atau nikah menurut bahasa ialah berkumpul dan bercampur. Menurut istilah
syara’ ialah ijab dan qabul (‘aqad) yang menghalalkan persetubuhan antara laki-laki dan
perempuan yang diucapkan oleh kata-kata yang menunjukkan nikah, menurut peraturan yang
ditentukan oleh Islam. Kata nikah menurut bahasa al-jam’u dan aldhamu yang artinya kumpul.
Makna nikah (zawaj) bisa diartikan dengan aqdu al-tazwij yang artinya akad nikah. juga bisa
diartikan (wath’u alzaujah) bermakna menyetubuhi istrinya. Definisi di atas juga hampir sama
dengan yang dikemukakan oleh Rahmat Hakim, bahwa kata nikah berasal dari bahasa arab
“nikāhun” yang merupakan masdar atau dari kata kerja (fi;il madhi) “nakaha” sinonimnya
“tazawwaja” kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan.3
Dalam bahasa Indonesia “perkawinan” berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa,
artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin dan bersetubuh.
Makna nikah adalah akad atau ikatan, karena dalam suatu proses pernikahan terdapat ijab
(pernyataan penyerahan dari pihak perempuan) dan qabul (pernyataan penerimaan dari pihak
lelaki). Selain itu, nikah bisa diartikan sebagai bersetubuh.4
Pernikahan adalah sunnah Rasul yang apabila dilaksanakan akan mendapat pahala tetapi
apabila tidak dilakukan tidak mendapatkan dosa tetapi dimakruhkan karena tidak mengikuti
sunnah Rasul.5 Arti dari pernikahan adalah bersatunya dua insan dengan jenis berbeda yaitu
lakilaki dan perempuan yang menjalin suatu ikatan dengan perjanjian atau akad.
Suatu pernikahan mempunyai tujuan yaitu ingin membangun keluarga yang sakinah
mawaddah warohmah serta ingin mendapatkan keturunan yang solihah. Keturunan inilah yang
selalu didambakan oleh setiap orang yang sudah menikah karena keturunan merupakan generasi
bagi orang tuanya.6

3
Abdul Muhammad Mathlub,. 2005. Panduan Hukum Keluarga Sakinah .Solo: EraIntermedia. Hal 10.
4
Amir Syarifuddin. 2006. HukumPerkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan UndangUndang
Perkawinan. Jakarta: Kencana. Hal 35.
5
Muhammad At-tihami. 2004. Merawat Cinta Kasih Menurut Syriat Islam. Surabaya : Ampel Mulia. Hal 18
6
Ahmad Rafi Baihaqi. 2006. Membangun Surga Rumah Tangga .Surabayah:Gita Mediah Press. Hal 44.
2. Pengertian Khitbah
Kata peminangan berasal dari kata pinang, meminang (kata kerja). Meminang
sinonimnya adalah melamar yang dalam bahasa Arab disebut Khitbah. Menurut
etimologi, meminang atau melamar artinya (antara lain) “meminta wanita untuk dijadikan
istri (bagi diri sendiri atau orang lain)”.7
Kata “khitbah” , dalam terminologi Arab memiliki akar kata yang sama dengan
al-khithab dan alkhathab. Kata al-khathab berarti “pembicaraan”. Apabila dikatakan
takhathaba maksudnya “dua orang yang sedang berbincang-bincang”. Jika dikatakan
khathabahu fi amr artinya “ia memperbincangkan sesuatu persoalan pada seseorang”.
Jika khitbah (pembicaraan) ini berhubungan dengan ihwal perempuan, maka makna yang
pertama kali ditangkap adalah pembicaraan yang berhubungan dengan persoalan
pernikahannya.8
Ditinjau dari akar kata ini, khitbah berarti pembicaraan yang berkaitan dengan
lamaran atau permintaan untuk nikah.Peminangan merupakan pendahuluan perkawinan,
disyari’atkan sebelum ada ikatan suami istri dengan tujuan agar waktu memasuki
perkawinan didasarkan kepada penelitian dan pengetahuan serta kesadaran masing-
masing pihak.

B. Hukum pernikahan dan khitbah


1. Hukum Pernikahan
Dasar hukum pernikahan adalah Q.S. al-Nisa’ [4]:3 dan beberapa hadis Nabi serta ijma’
ulama.
َ ‫اب لَ ُك ْم ِّمنَ النِّ َس ۤا ِء َم ْث ٰنى َوثُ ٰل‬
‫ث َور ُٰب َع‬ َ َ‫فَا ْن ِكحُوْ ا َما ط‬ 
Artinya : “...maka nikahilah wanita-wanita yang engkau sukai, dua atau tiga atau empat...
(Q.s. Al-Nisa [4] : 3)”

ُّ‫ فَِإنَّهُ َأغَض‬، ْ‫اس }تَطَا َع ِم ْن ُك ُم ْالبَ}}ا َءةَ فَ ْليَتَ } َز َّوج‬ ِ ‫صلَى هَّللا َعلَيْه َو َسلَ َم يَا َم ْع َش َر ال َّشبَا‬
ْ ‫ب َم ِن‬ َ ِ ‫ال قَا َل لَنَا َرسُوْ ُل هَّللا‬
َ َ‫ع َْن َع ْب ِد هَّللا ِ ق‬
ِ ْ‫صنُ لِ ْلفَر‬
‫ َو َم ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع فَ َعلَ ْي ِه بِالصَّوْ ِم فَِإنَّهُ لَهُ ِو َجا ٌء‬،‫ج‬ َ ْ‫ص ِر َوَأح‬
َ َ‫لِ ْلب‬
.

7
Dep. Dikbud, op. cit., 556
8
Cahyadi, Takariawan. 2004. Izinkan Aku Meminangmu.Solo: Era Intermedia
Artinya : “Wahai para pemuda, barang siapa yang telah sanggup menikah, maka
menikahlah karena pernikahan itu akan dapat menghalangi pandangan dan memelihara
kemaluan, dan barang siapa yang tidak sanggup, maka berpuasalah, karena puasa itu akan
menjadi obat”
Namun demikian, menurut jumhur, hukum nikah bagi masing-masing orang dapat
berbeda, sebagai berikut:
a. Wajib.
Hukum ini berlaku bagi mereka yang telah mampu melaksanakan nikah,
mampu memberi nafkah pada isteri serta hak dan kewajiban lainnya dan
dikhawatirkan jatuh pada perbuatan maksiat jika tidak melakukannya.
b. Sunnah.
Hukum ini berlaku bagi mereka yang mampu dan tidak dikhawatirkan jatuh
pada perbuatan maksiat jika tidak melakukannya.
c. Makruh. Hukum ini berlaku bagi mereka yang merasa bahwa dirinya akan
berbuat zalim pada istrinya jika menikah, namun tidak sampai pada tingkatan
yakin, misalnya karena ia tidak memiliki nafsu yang kuat, khawatir tidak
mampu menafkahi, tidak begitu menyukai isterinya, dan lain-lain. Dalam
pandangan Shāfi’iyah, hukum makruh berlaku jika yang bersangkutan punya
cacat seperti pikun, sakit menahun, dan lain-lain. Hukum makruh menurut
Shāfi’iyah juga berlaku bagi mereka yang menikahi wanita yang sudah
menerima pinangan orang lain, pernikahan muhallil yang tidak dikemukanan
dalam akad.
d. Haram, berlaku bagi mereka yang tidak mampu lahir batin dan jika tetap
menikah, akan menyebabkan madarat bagi istrinya secara pasti.
e. Mubah, berlaku bagi mereka yang tidak ada faktor penghalang maupun
pendorong untuk menikah.9
Dibawah ini hukum nikah menurut empat madzab:
a. Madzab Hanafiyah, mereka berpendapat bahwa hukum nikah itu adalah :

9
Dr. Hj. Iffah Muzammil, Fiqh Munakahat Hukum Pernikahan dalam islam ( Tangerang : Tira Smart :
2019),hal. 5-9
1) fardhu apabila memenehuni empat syarat, yaitu : Pertama, seseorang
menyakini apabila tidak nikah akan terjerumus dalam perbuatan zina, kedua
tidak mampu untuk berpuasa sebagai alat untuk peredah yang bisa terhindar
dari perbuatan zina, Ketiga tidak akan mampu mengambil umat, juga bebas
untuk memilih, keempat mampu mambayar mayar, dan memberi nafaqah
dengan usaha halal bukan hasil usaha yang haram seperti menipu,menghasab,
mencuri.
2) Wajib bukan fardhu apabila bagi seseorang sangat berkeinginan untuk nikah
dan takut jatuh keperbuatan zina, adapun syarat-syaratnya seperti dalam
hukum fardhu.
3) Sunnah Muakadah adalah apabila bagi seseorang yang berkeinginan untuk
nikah, ia adalah orang yang adil dan menyakini akan terjerumus dalam
perbuatan zina dan tidak takut berbuat zina jika tidak nikah.
4) Haram apabila diyakini bercari hartanya dengan cara yang haram dan
medhalimi mereka karena di syari’atkannya nikah adalah untuk
kemashlahatan manusia.
5) Makruh tahrim apabila takut sampainya kedzaliman dan aniaya tapi tidak
menyakininya.
6) Mubah bagi orang yang menginginkan nikah tetapi tidak kawatir terjerumus
dalam perbuatan zina dan tidak meyakininya namun malakukan nikah karena
kebutuhan syahwat.
b. Madzab Malikiyah
1) Fardhu nikah bagi orang yang berkeinginan nikah dan takut bagi terjerumus
dalam perbuatan zina, jika tidak nikah ia tidak mampu menahan dirinya
dengan puasa, walaupun dirinya lemah untuk mencari rizki yang halal maka
difardhukan nikah dengan tiga syarat, pertama ia takut pada dirinya
terjerumus dalam perbuatan zina, kedua ia tidak kuat untuk berpuasa yang
dapat menahan dari perbuatan zina atau mampu untuk berpuasa tetapi tidak
cukup untuk menahan dari perbuatan zina, ketiga ia lemah untuk mengambil
umat yang dapat memenuhinya.
2) Haram nikah bagi orang yang tidak takut terjerumus perbuatan zina dan lemah
untuk memberi nafaqah pada istrinya dari usaha yang halal atau lemah untuk
wathi (hubungan suami istri).
3) Sunah nikah bagi orang yang tidak berkeinginan nikah tetapi mengharapkan
keturunan dengan syarat ia mampu melakukan kewajibannya mencari rizki
yang halal dan mampu untuk malakukan wathi (hubungan suami istri).
4) Makruh nikah bagi orang tidak berkeinginan nikah akan tetapi takut untuk
melaksanakn sebagian kewajiban yang dibebankan kepadanya dan tidak
mampu untuk melakukan kebaikan.
5) Mubah nikah bagi orang yang tidak berkeinginan nikah dan tidak
mengharapkan keturunan dan ia mampu serta dapat berbuat baik.
c. Madzab Syafi’iyyah Menurut madzab syafi’iyyah bahwa hukum asal dari nikah
adalah mubah, maka bagi seseorang dimubahan melakukan pernikahan untuk tujuan
mencari kesenangan dan kenikmatan.
1) Wajib nikah untuk tujuan mencegah perbuatan haram seperti seorang takut
pada dirinya terjerumus dalam berbuat dosa tidak bisa dicega kecuali dengan
nikah, maka baginya wajib nikah.
2) Makruh nikah bagi seseorang yang takut tidak bisa melaksanakan hak-hak
suami istri seperti seorang yang tidak ingin nikah dan tidak mampu untuk
membayar mahar serta memberi nafaqah.
3) Sunah apabila seseorang berkeinginan nikah dan mampu untuk menanggung
biaya hidup.
d. Madzab Hanabilah
1) Fardhu nikah bagi orang yang takut terjerumus dalam perbuatan zina
2) Haram nikah bagi orang yang berada di daerah peperangan kecuali dalam
kondisi darurat.
3) Mubah Jika dalam suatu daerah peperangan kondisinya tidak sulit untuk
melakukan pernikahan
4) Sunnah nikah bagi orang yang berkeinginan nikah tapi jika tidak nikah tidak
takut terjerumus dalam perbuatan zina.10
10
Dr.H.Kosim,M.Ag, fiqh munakahat i dalam kajian filsafat hukum islam dan keberadaannya dalam
politik hukum ketatanegaraan indonesia (Depok : PT Raja Grafindo Persada : 2019), hal. 7-8
2. Hukum Khitbah (peminangan)
Dasar hukum yang dijadikan pijakan tentang pinangan seperti telah dikemukakan
di atas adalah firman Allah Swt Surat Al-Baqarah ayat 235:

‫طبَ ِة النِّ َس ۤا ِء اَوْ اَ ْكنَ ْنتُ ْم فِ ْٓي اَ ْنفُ ِس ُك ْم‬


ْ ‫ۗ واَل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم فِ ْي َما َعرَّضْ تُ ْم بِ ٖه ِم ْن ِخ‬
َ

Artinya : "Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran
atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu”.
Memang banyak terdapat dalam al-qur’an dan hadis Nabi yang membicarakan hal
peminangan. Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau
larangan melakukan peminangan, sebagaiman perintah untuk mengadakan perkawinan
dengan kalimat yang jelas, baik dalam al-qur’an maupun dalam hadis Nabi. Oleh karena
itu, dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama yang mewajibkannya,
dalam arti hukumannya mubāḥ (boleh).11 Namun ibnu Rusyd dalam Bidayat al-Mujtahid
yang menukilkan pendapat Daud al-Zhahiriy yang mengatakan hukumnya adalah wajib.
Ulama ini mendasarkan pendapatnya kepada perbuatan dan tradisi yang dilakukan Nabi
dalam peminangan itu.
Berkenaan dengan landasan hukum dari peminangan, telah diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) khususnya terdapat dalam pasal 11, 12, dan 13 yang
menjelaskan bahwa peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak
mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula diwakilkan oleh orang perantara yang dapat
dipercaya. Agama Islam membenarkan bahwa sebelum terjadinya perkawinan boleh
diadakan peminangan (Khitbah) dimana calon suami boleh melihat calon istri dalam
batas-batas kesopanan Islam yaitu melihat muka dan telapak tangannya, dengan
disaksikan oleh sebagian keluarga dari pihak laki-laki atau perempuan, dengan tujuan
untuk saling kenal mengenal dengan jalan sama-sama melihat. Sebagaimana ulama’
berpendapat bahwa peminang boleh melihat wanita yang akan dinikahi itu pada bagian-
bagian yang dapat menarik perhatian kepada pernikahan yang akan datang untuk

11
Anifa Nur Faidah, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tradisi Perempuan Meminang Laki-Laki di
Kecamatan Modo Kabupaten Lamongan”, Jurnal Hukum Keluarga, Vol.5 No.1, (2022), hal. 3
mengekalkan adanya suatu perkawinan kelak tanpa menimbulkan adanya suatu keragu-
raguan atau merasa tertipu setelah terjadi akad nikah. Sabda Rasulullah SAW:

‫اذا خطب احدكم املرأة فان استطاع ان ينظر منها ما يدعو اىل نكاحها فليفعل‬

Artinya: “Jika salah seorang dari kalian melamar seorang wanita, sedangkan ia diberi
kesempatan untuk melihat sebagian dari apa-apa yang menarik dirinya untuk
menikahinya, hendaknya ia lakukan.”

Pinangan atau lamaran seorang laki-laki kepada seorang perempuan boleh dengan
ucapan langsung maupun secara tertulis. Meminang perempuan sebaiknya dengan
sindiran. Dalam meminang dapat dilakukan dengan tanpa melihat wajahnya, juga dapat
melihat wanita yang dipinangnya.

Meskipun melamar atau meminang itu disunnahkan dalam ajaran Islam, akan
tetapi adakalanya berubah menjadi haram. Hal itu terjadi karena alasan-alasan sebagai
berikut:

a. Melamar kepada wanita yang masih dalam masa ‘iddah dari perceraian dengan
laki-laki lain, baik dengan talak raj’i atau bai’in atau dengan fasakh atau ditinggal
mati. Meskipun demikian, diperbolehkan kaluar dengan kata-kata sindiran kepada
janda yang masih dalam masa ‘iddah selain talak raj’i.
b. Melamar wanita bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak selama masih
dalam masa ‘iddah baik dia maupun dari perceraian dengan laki-laki lain.
c. Melamar wanita yang diketahui olehnya telah dilamar oleh laki-laki serta
lamarannya diterima.12
C. Tujuan Pernikahan
a. Tujuan–tujuan perkawinan yang pokok antara lain :
1. Untuk menegakkan dan menjunjung tinggi syariat agamamanusia normal baik laki-
laki maupun perempuan yang memeluk agama tertentu dengan taat pasti berusaha
untuk menjunjung tinggi ajaran agamanya, untuk menjaga kesucian agamanya,

12
Faiz Ridlo Himamul Wafa, “Status Pengikat Dalam Khitbah Studi Komparatif Pendapat Madzhab Syafi’i
Dan Madzhab Hanafi”, Jurnal Studi Hukum Islam,vol. 6 no. 1 (2021),hal 57-59.
apabila tidak demikian berarti bukanlah pemeluk agama yang taat. Dalam ajaran
islam nikah termasuk perbuatan yang diatur dengan syariat Islam dengan syarat dan
rukun tertentu. Maka orang–orang yang melangsungkan perkawinan berarti
menjunjung tinggi agamanya, sedangkan orang–orang yang berzina, menjalankan
perbuatan mesum, melacur, melaksanakan pemerkosaan dan lain–lain berarti
merendahkan syariat agamanya
2. Untuk menghalalkan hubungan biologis antara laki–laki dengan perempuan yang
bukan muhrimnya. Telah diketahui bersama bahwa suami isteri asalnya orang lain,
tidak ada hubungan keluarga dekat atau bukan muhrimnya, sehingga untuk
melakukan hubungan seksual antara mereka hukumnya haram, tetapi melalui
perkawinan hubungan seksual mereka atau hubungan biologis antara keduanya halal,
bukan berdosa bahkan menjadi berpahala.
3. Untuk melahirkan keturunan yang sah menurut hukum. Anak yang dilahirkan oleh
seorang ibu tanpa diketahui dengan jelas siapa ayahnya, atau ayahnya banyak karena
ibunya berhubungan dengan banyak laki-laki tanpa terikat tali perkawinan, atau dia
lahir dari hubungan di luar nikah ibunya dengan laki-laki, menurut Undang–Undang
nomor 1 Tahun 1974 anak itu hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya. Ia
hanya berhak memberi warisan atau mendapatkan warisan dari ibunya. Apabila dia
anak perempuan tidak akan ada laki–laki yang berhak menjadi walinya waktu
menjadi pengantin maka walinya adalah wali hakim. Karena itu tujuan perkawinan
dalam islam untuk melahirkan keturunan yang sah menurut hukum, maka anak yang
dilahirkan oleh suami isteriyang sudah terikat suatu perkawinan adalah anak
merekaberdua yang mempunyai hubungan hukum dengan keduaorang tuanya itu,
berhak mewarisi dan mendapatkan warisanantara orang tua dengan anaknya. Bila
anak itu perempuan,ayahnya berhak menjadi wali pada waktu menjadi
pengantin.Status anak – anaknya itu jelas sebagai anak siapa, siapa ayahnya dan siapa
ibunya.13
4. Untuk menjaga fitrah manusia sebagai makhluk Allah yangdikarunia cipta, rasa dan
karsa serta dengan petunjuk agama.Berarti perkawinan ini merupakan penyaluran
secara sah naluri seksual manusia, dan mempunyai naluri seksual yang tidakmungkin

13
Bibit Suprapto, Liku – liku Poligami, Al Kautsar, 1990, Yogyakarta, hal. 37-38
diamati atau diobral begitu saja. Maka perkawinan merupakan lembaga untuk
memanusiakan manusia dalammenyalurkan naluri seksualnya, atau untuk menjaga
nilai– nilai kemanusian dan fitrah manusia. Menurut fitrahnya manusiamerupakan
makhluk paling mulia, maka penyaluran nalurinya harus secara mulia juga, yakni
melalui perkawinan.
5. Untuk menjaga ketenteraman hidup. Perkawinan merupakan lembaga untuk menjaga
ketenteraman hidup seseorang, orang–orang yang sudah melangsungkan perkawinan
secaraumum hidupnya lebih tenteram terutama yang menyangkut segi seksual,
kejahatan–kejahatan seksual, dapat menjalankan. kehidupan seksual yang normal.
Walaupun asalnya mudah terbuai mata, kecantikan wajah, bentuk badan wanita yang
montok dan sebagainya, tetapi secara normal manusia setelah melangsungkan
perkawinan dapat mengontrolnya, dapat mengerem semua rangsangan yang datang
pada dirinya, andai kata tertarik pada seseorang wanita selain isterinya toh iapunya
semacam wanita itu juga yaitu isterinya sendiri.Kalaupun dinikahinya juga membawa
juga membawa ketenteraman pada diri seseorang, begitu pula keluarga ayahibunya
atau orang tuanya, setelah mereka membentuk keluarga sendiri berarti ketenteraman
keluarga, dan perkawinan jugamembawa ketenteraman masyarakat.
6. Untuk mempererat hubungan persaudaraan. Perkawinan juga merupakan sarana untuk
mempererat hubungan persaudaraan atau ukhuwah, bagi umat islam tentu saja
ukhuwah Islamiyah, baik ruang lingkup sempit maupun luas. Pada ruang lingkup
sempit atau kecil yakni ruang lingkup keluarga, maka dengan adanya perkawinan
diharapkan antara kedua keluarga atau kedua besan dapat menjalin kekeluargaan
( persaudaraan ) yang lebih erat lagi, maka dari itu dihindarkan perkawinan antara
saudara dekat, apalagi dalam syariat Islam ditetapkan tidak boleh kawin dengan
muhrim sendiri. Perkawinan dengan saudara dekat memang kurang baik karena tidak
dapat memperluas jaringan persaudaraan / antara keluarga yang jauh, sehingga
persaudaraannya hanya berputar dari situ ke situ saja pada satu lingkaran kecil,
keturunan yang dilahirkannya pun lemah. Juga apabila terjadi pertentangan ataupun
perceraian maka keretakan keluarga akan terjadi karena besan memang sebelumnya
sudah satu keluarga. Dengan adanya perceraian maka antara anak mereka masing–
masing, keluarga cenderung membela anaknya sendiri, sehingga ikatan keluarga yang
masih dekat antar besan itu menjadi renggang bahkan retak. Perkawinan antar
keluarga jauh atau orang lain sama sekali memang baik karena dapat menambah
saudara, dapat menimbulkan persaudaraan baru antara keluarga

Oleh karena itu perkawinan di dalam Islam secara luas adalah:

a. Merupakan alat untuk memenuhi kebutuhan emosi dan seksual yang sah dan benar.
b. Suatu mekanisme untuk mengurangi ketegangan.
c. Cara untuk memperoleh keturunan yang sah.
d. Menduduki fungsi sosial.
e. Mendekatkan hubungan antar keluarga dan solidaritas kelompok.
f. Merupakan perbuatan menuju ketaqwaan.
g. Merupakan suatu bentuk ibadah yaitu pengabdian kepadaAllah, mengikuti sunah
Rasulullah SAW.14
b. Tujuan Khitbah
Pada dasarnya tujuan dari peminangan dengan perkawinan tidaklah jauh berbeda.
Secara eksplisit, tujuan dari peminangan memang tidak disebutkan seperti halnya dalam
perkawinan, namun secara implisit, tujuan daripada peminangan dapat dilihat dari syarat-
syarat yang ada dalam peminangan. Peminangan itu sendiri mempunyai tujuan, tidak lain
yaitu untuk menghindar dari kesalahpahaman antara kedua belah pihak,
dan juga, agar perkawinan itu sendiri berjalan atas pemikiran yang
mendalam dan mendapat hidayah. Lebih jauh lagi, suasana kekeluargaaan
nantinya akan berjalan erat antara suami istri, dan anggota keluarga lainnya.15
Selain itu, Soerojo Wignjodipoero menyatakan, yang menjadi
landasan orang melakukan peminangan tidak sama di semua daerah,
lazimnya adalah:
a. Karena ingin menjamin perkawinan yang dikehendaki itu sudah dapat
dilangsungkan dalam waktu dekat.
b. Khususnya di daerah-daerah yang pergaulannya sangat bebas antara
pergaulan muda-mudi maka dibatasi dengan pertunangan.

14
Abdul Rahman I. Doi. Perkawinan dalam syariat Islam, Rineka Cipta. 1996 , Jakarta, hal.7
15
Abdullah Nashih „Ulwan, Tata Cara Meminang dalam Islam (Solo: Pustaka Mantiq, 1993 ), h. 29.
c. Suatu pemberian kesempatan bagi kedua belah pihak untuk mengenal
lebih jauh lagi calon suami, agar nantinya menjadi pasangan yang
harmonis.16
Dalam bukunya al-Ahwal al-Syakhsiyyah, Abu Zahrah menyatakan bahwa tujuan
peminangan tidak lain adalah sebagai ajang, bahwasanya pasangan yang hendak
melangsungkan pernikahan dapat saling melihat antara pihak perempuan dengan pihak
laki-laki agar tidak terjadi suatu penyesalan, karena dikatakan bahwa melihat merupakan
cara terbaik untuk mengetahui akan suatu hal.17 Yang terpenting dari tujuan peminangan
bila ditinjau secara umum adalah:

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

16
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat (Jakarta: PT Gunung Agung, 1995), h.
125.
17
Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwal al- Syakhsiyyah (Beirut: Daral-Fikr), h. 29.
Pernikahan adalah sunnah Rasul yang apabila dilaksanakan akan mendapat pahala tetapi
apabila tidak dilakukan tidak mendapatkan dosa tetapi dimakruhkan karena tidak mengikuti
sunnah Rasul.
Khitbah berarti pembicaraan yang berkaitan dengan lamaran atau permintaan untuk
nikah.Peminangan merupakan pendahuluan perkawinan,
Menurut jumhur ulama hukum asal perkawinan adalah wajib hukumnya. Sedangkan
Syafi'iyyah mengatakan bahwa hukum asal perkawinan adalah mubah. Dan seseorang
dibolehkan melakukan perkawinan dengan tujuan mencari kenikmatan. Hukum Perkawinan ada
lima macam yaitu Wajib, Sunnah, Haram, Makruh dan Mubah.
Melakukan khitbah yang mengikat seorang perempuan sebelum memutuskan untuk
menikah hukumnya adalah mubah atau diperbolehkan.
Tujuan pernikahan, sebagaimana difirmankan Allah s.w.t. dalam surat Ar-Rum ayat 21
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di
antaramu rasa kasih sayang (mawaddah warahmah).
Khitbah atau lamaran ini bertujuan untuk memantapkan kedua belah pihak bahwasanya
pihak laki-laki serius ingin menikahi pihak perempuan.

DAFTAR PUSTAKA
Muzammil, Iffah. 2019. Fiqh Munakahat Hukum Pernikahan dalam islam. Tangerang : Tira
Smart
Abdul Muhammad Mathlub,. 2005. Panduan Hukum Keluarga Sakinah .Solo: EraIntermedia.
Hal 10.
Amir Syarifuddin. 2006. HukumPerkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
UndangUndang Perkawinan. Jakarta: Kencana. Hal 35.
Muhammad At-tihami. 2004. Merawat Cinta Kasih Menurut Syriat Islam. Surabaya : Ampel
Mulia. Hal 18
Ahmad Rafi Baihaqi. 2006. Membangun Surga Rumah Tangga .Surabayah:Gita Mediah Press.
Hal 44.
Dep. Dikbud, op. cit., 556
Cahyadi, Takariawan. 2004. Izinkan Aku Meminangmu.Solo: Era Intermedia
Kosim. 2019 Fiqh Munakahat Dalam Kajian Filsafat Hukum Islam dan Keberadaannya Dalam
Politik Hukum Ketatanegaraan Indonesia. Depok : PT Raja Grafindo Persada
Faidah, Anifa Nur. 2022. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tradisi Perempuan Meminang Laki-
Laki di Kecamatan Modo Kabupaten Lamongan. Jurnal Hukum Keluarga. 5 (1): 3
Wafa, Faiz Ridlo Himamul. 2021. Status Pengikat Dalam Khitbah Studi Komparatif Pendapat
Madzhab Syafi’i Dan Madzhab Hanafi. Jurnal Studi Hukum Islam. 6 (1) : 57-59.
Suprapto, Bibit. 1990. Liku – liku Poligami. Al Kautsar. Yogyakarta.
Doi, Abdul Rahman I. 1996. Perkawinan dalam syariat Islam, Rineka Cipta. Jakarta.
Ulwan, Abdullah Nashih. 1993. Tata Cara Meminang dalam Islam. Solo: Pustaka Mantiq
Wignjodipoero, Soerojo. 1995. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta: PT Gunung
Agung.
Zahrah, Muhammad Abu. al-Ahwal al- Syakhsiyyah. Beirut: Daral-Fikr.
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Bab II Pasal 3, Departemen Agama RI, 2001
Hadikusuma, Hilman. 1990. Hukum Perkawinan Indonesia. Cetakan I, Mandar Maju, Bandung.

Anda mungkin juga menyukai