Anda di halaman 1dari 24

RUKUN DAN SYARAT PERNIKAHAN, MAHAR, KAFAAH DAN PENCEGAHAN

PERNIKAHAN

Disusun guna memenuhi tugas

Mata Kuliah: Fiqh Mawaris Dan Munakahat

Dosen Pengampu : Agus Khumaedy, M.Ag

Disusun Oleh:

1. Dina Apriyani (2119214)

2. Puput Handika A. (2119216)

3. Fani Rismayanti (2119223)

4. Casruniawati (2119223)

KELAS C

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN

2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT. yang telah


melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga berkat karunia-Nya penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Rukun dan syarat
pernikahan, mahar, kafaah serta pencegahan pernikahan" Sholawat serta
salam tak lupa penulis panjatkan kepada junjungan Nabi Agung Nabi
Muhammad SAW. yang telah menuntun umatnya dari zaman kegelapan
menuju jalan terang benderang yang dinantikan syafaatnya di yaumil Akhir
nanti, aamiin ya Rabbal’alamin.

Di dalam makalah ini penulis berharap semoga makalah ini dapat


bermanfaat dan memberikan wawasan yang lebih luas bagi pembacanya.
Penulis menyadari bahwa dari penulisan makalah ini terdapat kelebihan dan
kekurangan sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun untuk peulisan makalah selanjutnya. Ucapan terimakasih kepada
Bapak Agus Khumaedy, M.Ag. selaku dosen pengampu mata kuliah Fiqh
mawaris dan munakahat yang telah memberi motivasi dan dorongan sehingga
makalah ini dapat terselesaikan. Atas perhatian dan dukungan dari semua
pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini penulis ucapkan terima
kasih.
Pekalongan, 9 November 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... 1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................. 2
B. Rumusan Masalah............................................................................ 2
C. Tujuan.............................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Pernikahan.................................................................... 3
B. Rukun dan syarat pernikahan.......................................................... 4
C. Mahar.............................................................................................. 8
D. Kafaah............................................................................................. 13
E. Pencegahan Pernikahan................................................................... 17

BAB III PENUTUP


A. Simpulan........................................................................................... 19
B. Saran.................................................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 20

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap makhluk hidup yang diciptakan di muka bumi pasti butuh untuk
mempertahankan keturunannya. Dalam melaksanakan kebutuhannya tersebut manusia
diharuskan untuk melaksanakannya dengan cara-cara yang sah dan layak menurut aturan
agama dan aturan negara, yaitu melalui pernikahan terlebih dahulu. Pernikahan
merupakan sarana dalam membangun sebuah rumah tangga yang bahagia antara laki-laki
dan perempuan. Tetapi di dalam pelaksanaanya ada banyak ketentuan-ketentuan baik
menurut aturan agama atau negara yang harus dijalankan oleh kedua calon mempelai.
Oleh karena itu, di dalam makalah ini penulis akan membahas mengenai Rukun, syarat,
mahar di dalam perkawinan, kafaah (kesetaraan di dalam perkawinan), dan pencegahan
perkawinan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pernikahan?
2. Apa Rukun dan syarat pernikahan?
3. Apa pengertian mahar, Syarat-syarat mahar, Kewajiban pemberian mahar, dan
Macam-macam mahar dalam pernikahan?
4. Apa pengertian kafaah, Ukuran kafaah, dan kedudukan kafaah dalam pernikahan?
5. Bagaimana pencegahan pernikahan ?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian Pernikahan
2. Mengethaui Rukun dan syarat pernikahan
3. Mengetahui pengertian mahar, Syarat-syarat mahar, Kewajiban pemberian mahar,
dan Macam-macam mahar dalam pernikahan
4. Mengetahui pengertian kafaah, Ukuran kafaah, dan kedudukan kafaah dalam
pernikahan
5. Mengetahui pencegahan pernikahan

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian pernikahan
Pernikahan merupakan sunatullah yang umum dan berlaku pada semua
mahluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu
cara yang dipilih oleh Allah S.W.T, untuk berkembang biak, dan melestarikan
hidupnya.
Pernikahan berasal dari kata nikah yang menurut bahasa al-jam’u dan al-
dhamu yang artinya kumpul atau mengumpulkan, dan digunakan untuk kata
bersetubuh. Nikah (Zawaj) bisa diartikan dengan aqdu al-tazwij yang artinya akad
nikah dan juga bisa diartikan (wath’u al-zaujah) bermakna menyetubuhi istri.1Definisi
yang lain mengemukakan bahwa nikah berasal dari bahasa arab ”nikahun”yang
merupakan masdar atau asal kata dari kata kerja ”nakaha”, sinonimnya ”tazawwaja”
kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai”perkawinan”. Menurut
istilah ilmu fiqih (terminologi) para fuqaha mendefinisikan nikah yaitu suatu akad
perjanjian yang mengandung kebolehan melakukan hubungan seksual (persetubuhan)
dengan memakai kata-kata (lafaz) nikah atau tazwij.2
Para ahli fiqih empat mazhab memiliki perbedaan dalam mendefinisikan
nikah atau kawin itu sendiri.
1) Golongan Hanafiyah mendefinisikan Pernikahan adalah akad yang dapan
memberikan manfaat bolehnya bersenang-senang (istimta’) dengan
pasangannya.
2) Golongan Syafi’iyah mendefinisikan Pernikahan adalah akad yang
mengandung ketentuan hukum bolehnya wati’ (bersenggama) dengan
menggunakan lafaz nukah, atau tazwij dan lafaz-lafaz semakna dengan
keduanya.
3) Golongan Malikiyah mendefinisikan bahwa pernikahan adalah akad yang
mengandung ketentuan hukum semata-mata untuk membolehkan
1
Tihami,Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers), 2014,
Cet.4, hlm.6-7
2
Hakim Drs. H. Rahmat, HUKUM PERKAWINAN ISLAM, (Bandung: CV. Pustaka Setia), 2000, hlm.11-
12
4
wati’(bersenggama), bersenang-senang menikmati apa yang ada pada diri
seorang wanita yang boleh dikawininya (bukan mahram).
4) Golongan Hanabilah mendefinisikan pernikahan adalah akad dengan
menggunakan lafaz nikah atau tazwij guna untuk memperoleh kesenangan
dengan seorang wanita.
Dalam konsep kontemporer, antara lain sebagaimana terlihat dalam Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pernikahan didefinisikan sebagai
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum
Islam pernikahan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhah untuk
menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.3
Dapat dipahami bahwa menikah dalam rangka pembentukan keluarga bukan
saja untuk pemenuhan kebutuhan naluri insani manusia. Tetapi pembentukan
keluarga merupakan salah satu perintah agama, yang berfungsi untuk menjaga dan
melindungi manusia dari berbagai penyelewengan dalam pemenuhan kebutuhan
seksual.4

B. Rukun dan syarat pernikahan


1. Rukun Pernikahan
Jumhur ulama sepakat bawa rukun perkawinan itu tediri atas.5
a) Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan
b) Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita
c) Adanya dua orang saksi
d) Sighat akad nikah
Tentang jumlah rukun nikah ini, para ulama berbeda pendapat: Mazhab Mailikyyah
berpendapat bahwa rukun nikah ini ada lima macam yaitu:
a) Sighat

3
Nasir, Prof. Dr. M. Ridlwan M.A. dan Aschal, Drs. R. Nasih Lc, Praktik Prostitus Gigolo Ala Yusuf Al-
Qardawi: Tinjauan Hukum Islam Terhadap Fatwa Kawin Misyar, (Surabaya : Khalista), 2010, hlm.8
4
Siti Zulaikha ,Fiqih Munakahat 1, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta), 2015, Cet.1, hlm.3
5
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Hlm. 64.
5
b) Calon Suami
c) Calon Isteri
d) Wali
e) Mahar
Imam Syafi‟i berkata bahwa rukun itu ada lima macam:
a) Calon pengantin laki-laki
b) Calon pengantin perempuan
c) Wali
d) Dua orang saksi
e) Sighat akad nikah
Menurut Mazhab Hanbaliy rukun nikah hanya tiga, yaitu: Suami, isteri dan
Sighat. Bahkan bagi Mazhab Hanafi, rukun nikahini hanya ijab dan qabul saja (yaitu akad
yang dilakukan oleh pihakwali perempuan dan calon pengantin laki-laki).
Sedangkan menurut segolongan yang lain rukun nikah itu ada empat, yaitu:
a) Sighat (ijab dan qobul)
b) Calon pengantin laki-laki
c) Calon pengantin perempuan
d) Wali dari calon pengantin perempuan
Pendapat yang menyatakan bahwa rukun nikah itu ada empat, karena calon pengantin
laki-laki dan calon pengantin perempuan digabung menjadi satu rukun, seperti dibawah
ini:
Rukun Perkawinan:
a) Dua orang yang saling melakukan akad perkawinan, yakni mempelai laki-
laki dan mempelai perempuan
b) Adanya wali
c) Adanya dua orang saksi
d) Dilakukan dengan sighat tertentu.
e) Adanya perbedaan pendapat menurut Imam Syafi‟i dan Imam Maliki,
Imam Maliki mengatakan bahwa mahar (maskawin) merupakan salah satu
rukun nikah sedangkan saksi bukan bagaiandari rukun nikah dan

6
sebaliknya Imam Syafi‟i mengatakan dua orangsaksi merupakan rukun
nikah sedangkan mahar (maskawin) tidak terdapat di dalam rukun nikah.

2. Syarat Sahnya Perkawinan


Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya
perkawinan. Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan
itu sah dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai
suami istri. Syarat sah nikah adalah yang membuat akad itu patut
menimbulkan beberapa hukum. Jika satu syarat tidak ada, maka
akadnya rusak, adapun syarat sah akad ada tiga; adanya
persaksiaan, wanita yang tidak haramuntuk selamanya atau
sementara bagi suami, dan shighat akad hendaknya selamanya.6
Secara rinci, masing-masing syarat sahnya perkawinan akan
dijelaskan sebagai berikut:
a) Syarat-syarat kedua mempelai
b) Syarat-syarat pengantin pria.
Syari‟at Islam menentukan beberapa syaratyang harusdipenuhi
oleh calon suami berdasarkan ijtihad para ulama, yaitu:
1) Calon suami beragama Islam
2) Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki
3) Orangnya diketahui dan tertentu
4) Calon mempelai laki-laki jelas halal kawin dengan calon
istri.
5) Calon mepelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri sertatahu
betul calon istrinya halah baginya.
6) Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk
melakukanperkawinan itu.
7) Tidak sedang melakukan ihram

6
Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Dr. Abdul Wahab SayyedHawwas, Fiqh Munakahat, (Jakarta:
Anzah, 2009, hal. 100.
7
8) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan
calonistri
9) Tidak sedang mempunyai istri empat.7
Syarat-syarat calon pengantin perempuan
1) Beragama Islam atau ahli kitab
2) Terang bahwa ia wanita, bukan khuntsa (banci)
3) Wanita itu tentu orangnya
4) Halal bagi calon suami
5) Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak dalam
iddah.
6) Tidak dipaksa/ikhtiyar
7) Tidak dalam keadaan ihram haji dan umroh

a. Syarat-syarat Wali

Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak


mempelaiperempuan atau wakilnya dengan calon suami atau
wakilnya.Perkawinan yang dilangsungkan tanpa adanya seorang
wali makaperkawinan itu tidak sah.
Adapun syarat-syarat wali sebagai berikut: Beragama Islam ,
Laki-laki , Baligh , Berakal , Tidak dalam keadaan dipaksa ,
Tidak sedang ihram haji

b. Syarat-syarat Saksi

Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua


orang lakilaki, muslim baligh, berakal, melihat dan
mendengar serta memahami (paham) akan maksud akad
nikah. Tetapi menurut golongan Hanafi saksi boleh satu
orang laki-laki dan dua orang perempuan.Ada yang
berpendapat bahwa syarat-syarat saksi itu adalah sebagai
berikut: , Berakal, bukan orang gila , Baligh, bukan anak-
anak , Merdeka, bukan budak , Islam , Kedua orang saksi
itu mendengar8

7
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Ilmu Fiqh, (Jakarta: IAIN Jakarta, 1985),
hlm. 49-50.
8
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, op.cit. hlm. 64.
8
c. Syarat-syarat Ijab Kabul

Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab dan kabul dengan


lisan. Inilah yang dinamakan akd nikah (ikatan atau perjanjian
perkawinan). Bagi orang bisu sah perkawinanya dengan isyarat
tangan atau kepala yang bisa dipahami. Dalam perkawinan ijab
dan kabul merupakan rukun utama dan persyaratan paling
terpenting. Tanpa adanya sebuah ijab dan kabul perkawinan
itutidak sah dan menjadi batal, adapun syarat-syarat ijab
kabulsebagai berikut:
i. Ijab dan kabul dilakukan di dalam satu majelis

ii. Tidak boleh ada jarak yang lama anatara ijab dan kabul
yang merusak kesatuan akad nikah dan kelangsungan
akad
iii. Ijab dan kabul dapat didengar dengan baik oleh kedua
belah pihak dan dua orang saksi
iv. Di dalam suatu sigah dua elemen, pertama ucapan ijab
dariwali atau wakilnya dengan kata zawwajtuka atau
ankahtuka,dan kedua sigah qabul dari calon mempelai
laki-laki yang bersambungan dengan sigah ijab,
ucapanya bisa dengan kata-kata tazawwajtu atau
nakahtu.

Adapun beberapa hukum yang berkenan dengan pernikahan,


adanya syarat yang harus dipenuhi pihak suami, yaitu syarat yang
manfaatdan faedahnya kembali kepada isteri. Misalnya memberikan
syarat kepada calon suaminya untuk tidak membawanya keluar dari
rumah atau kampungnya. Semua persyaratan tersebut harus dipenuhi
oleh calon suami, jika ia tidak memenuhi syarat tersebut , maka pihak
wanita boleh membatalkan pernikahan.

9
C. Mahar
1. Pengertian mahar dan Hukum Mahar
Dalam istilah ahli fiqh, disamping perkataan “mahar” juga dipakai
perkataan : “shadaq”, nihlah; dan faridhah” dalam bahasa indonesia dipakai
dengan perkataan maskawin.9
Mahar, secara etimologi, artinya maskawin. Secara terminologi,
mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai
ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang
istri kepada calon suaminya. Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi
calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa
(memerdekakan, mengajar, dan lain sebagainya).10
Mahar adalah pemberian wajib yang diberikan dan dinyatakan oleh
calon suami kepada calon istrinya di dalam sighat akad nikah yang merupakan
tanda persetujuan dan kerelaan dari mereka untuk hidup sebagai suami istri.
Para ulama sependapat bahwa mahar merupakan syarat sahnya nikah, dan
tidak diperbolehkan mengadakan persetujuan untuk meniadakannya.11
Mahar adalah bukan rukun nikah hal ini ditegaskan dalam Kompilasi Hukum
Islam Pasal 34 ayat (1). Menurut As-Shan’ani dalam buku Subulus Salam
sebagaimana telah dikutip oleh Neng Djubaidah dalam bukunya Pencatatan
Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat , mahar adalah sebuah bukti
kebenaran cinta calon suami terhadap calon istrinya. Pendapat itu benar,
karena setiap orang pasti berkehendak memberikan dan mewujudkan cinta
kasihnya berupa benda kepada orang yang dicintainya.12
Adapun dasar hukum mengenai kewajiban memberi mahar ini
tercantum dalam firman Allah Q.S. An-Nisaa ayat 4.

9
Kamal Muhktar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 81.
10
Zakiyah Daradjat dkk, Ilmu Fiqh (Jakarta: Depag RI, 1985) Jilid 3, 83.
11
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, cet. v, (Yogyakarta : Liberty,
2004), hlm. 56.
12
Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat,cet. i, (Jakarta : Sinar Grafika,
2010), hlm. 132.
10
Artinya : “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati,
Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi
baik akibatnya.”13
Dari ayat tersebut di atas diperoleh ketentuan bahwa mahar adalah
merupakan pemberian wajib dari suami kepada istrinya. Terutama untuk istri-
istri yang telah dicampuri, mahar merupakan kewajiban atas suami dimana
istri harus tahu berapa besar dan wujud dari mahar yang menjadi haknya itu.
Setelah istri mengetahuinya, boleh terjadi persetujuan lain tentang mahar yang
menjadi hak itu. Misalnya ia membebaskan suami untuk pemberian mahar itu
atau ia mengurangi jumlah, merubah wujud dan lain sebagainya. Dengan
demikian mahar yang menjadi hak istri itu dapat diartikan sebagai tanda
bahwa suami sanggup untuk memikul kewajiban-kewajiban sebagai suami
dalam hidup perkawinannya. Jadi, jangan diartikan bahwa pemberian mahar
itu sebagai pembelian atau upah bagi istri yang telah menyerahkan dirinya
kepada suami.14
Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib
diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai
seluruh anggota badannya.
Jika istri telah menerima maharnya, tanpa paksaan, dan tipu muslihat,
lalu ia memberikan sebagian maharnya maka boleh diterima dan tidak
disalahkan. Akan tetapi, bila istri dalam memberi maharnya karena malu, atau
takut, maka tidak halal menerimanya. Allah Swt. Berfirman:
‫ا‬L‫ا َواِ ْث ًم‬Lً‫هُ بُ ْهتَن‬Lَ‫ ْيئُا اَتَأْ ُخ ُذوْ ن‬L‫هُ َش‬L‫ ُذوْ ا ِم ْن‬L‫ارًا فَالَ تَأْ ُخ‬Lَ‫ج َو َءاتَ ْيتُ ْم اِحْ َده َُّن قِ ْنط‬ ٍ ْ‫َوإِ ْن اَ َر ْدتُ ْم اِ ْستِ ْبدَا َل َزو‬
ِ ْ‫ج َّم َكانَ َزو‬
‫ُمبِ ْينًا‬
Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang
kamu telah memberikan seseorang diantara mereka harta yang banyak, maka

13
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya, (Semarang : Karya Toha Putra Semarang, 2002),
hlm. 77.
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, cet. v, (Yogyakarta : Liberty,
14

2004), hlm. 57.


11
janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikit pun. Apakah
kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan
dengan (menanggung) dosa yang nyata? (Q.S AL-NISA[4]: 20).
Adapun jumlah besar dan wujudnya maskawin tidak ditentukan pasti.
Hal ini tergantung kemampuan calon suami dan persetujuan dari masing-
masing pihak yang akan kawin. Mahar ada yang berwujud upah. Dalam hal ini
seorang laki-laki yang hendak mengawini seorang wanita melakukan suatu
pekerjaan pada pihak istri yang bisa mendatangkan upah, dan upah yang
diterimanya itu dipakai untuk membayar mahar pada calon istrinya.
Perkawinan dengan mahar berupa upah ini disebut nikah bil ijarah. Mahar
yang berbentuk upah diperbolehkan oleh agama dasarnya ialah perbuatan nabi
Muhammad Saw yang membolehkan seorang laki-laki mengawini seoarang
wanita dengan maharnya mengajarkan ayat-ayat Al-Quran kepada calon
istrinya.15
2. Syarat-syarat Mahar
Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut.
a) Harga berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga
walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, mahar
sedikit, tapi bernilai tetap sah disebut mahar. Barangnya suci dan bisa
diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan memberikan khamar, babi,
atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga.
b) Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang
milik orang lain tanpa seizinnya namun tidak termasuk untuk
memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya kelak.
Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah, tetapi
akadnya tetap sah. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya.Tidak
sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaannya,
atau tidak disebutkan jenisnya.16
3. Kewajiban Mahar
15
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, .......,hlm.57-58
16
Kamal Muhktar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm . 82
12
Seperti yang dijelaskan bahwa mahar adalah suatu pemberian wajib
dari suami kepada istrinya. Dengan demikian seoarang wanita yang telah
menjadi istrinya berhak atas mahar yang telah diberikan sejak akad nikah
selesai. Istri berhak atas mahar seluruhnya apabila telah terjadi persetubuhan
dengan suaminya. Dan apabila antar mereka terjadi perceraian sebelum
bersetubuh, maka hak istri atas maharnya mendapatkan separuhnya, hal ini
dapat dijelaskan pada Al-Quran surat An-Nisaa ayat 20-21 dan Al-Quran surat
Al-Baqarah ayat 237.
Artinya : “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang
lain, sedang kamu Telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta
yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang
sedikitpun. apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan
yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ? Bagaimana kamu
akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-
isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”
Artinya : “Jika kamu menceraikan Isteri-isterimu sebelum kamu
bercampur dengan mereka, padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan
maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang Telah kamu tentukan itu,
kecuali jika Isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang
memegang ikatan nikah, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa.
dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan.”
Apabila terjadi kematian salah satu pihak, suami atau istri sebelum bercampur,
mahar itu pun tetap harus dibayar. Seandainya suami yang meninggal maka
pembayaran mahar itu diambil dari harta peninggalannya sebagai pelunasan
hutang. Apabila istri yang meninggal maka haknya mahar harus dipenuhi oleh
suami dan merupakan dari harta peninggalan istri.17
4. Macam-macam Mahar

17
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan,......, hlm.59
13
Menurut Soemiyati macam-macam mahar dibagi menjadi dua, yaitu
mahar musamma dan mahar mitsil.18
a) Mahar musamma ialah mahar yang telah ditetapkan jumlahnya dalam
sighat akad. Ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
1) mahar yang segera diberikan, dan
2) mahar yang pemberiannya ditangguhkan, jadi tidak seketika
dibayarkan sesuai dengan persetujuan kedua beah pihak.
Ulama fikih sepakat bahwa,dalam pelaksanaannya, mahar
musamma harus diberikan secara penuh apabila:
a. Telah bercampur (bersenggama).
b. Salah satu dari suami istri meninggal. Dengan demikian menurut
ijma’.
Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami
telah bercampurdengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan
sebab tertentu, seperti ternyata istrinya mahram sendiri, atau dikira
perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama. Akan
tetapi, kalau istri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib dibayar
setengah.19
b) Mahar mitsil ialah mahar yang jumlahnya ditetapkan menurut jumlah
yang diterima keluarga pihak istri, karena pada waktu akad nikah
jumlah mahar dan bentuknya belum ditetapkan. Untuk menentukan
jumlah dan bentuk mahar mitsil tidak ada ukuran yang pasti. Biasanya
disesuaikan dengan kedudukan istri di tengah-tengah masyarakat atau
dapat pula disesuaikan dengan mahar yang pernah diterima wanita
yang sederajat atau oleh saudara-saudaranya atau sanak keluarganya.
Mahar Mitsli juga terjadi dalam keadaan sebagai berikut:
1) Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika
berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur
dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.

18
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, ...........,hlm. 59-60.
19
Abdurrahman Ghazali, Fiqih Munakahat (Jakarta, Prenada Media, 2003), hlm.93
14
2) Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah
bercampur dengan istri dan ternyata nikahnya tidak sah.
Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya disebut
nikah tafwid. Hal ini menurut jumhur ulama dibolehkan.
B. Kafaah
1. Pengertian Kafaah
Secara etimologis, kata kâfa’ah berasal dari bahasa Arab yang berarti
kesamaan, sepadan, sejodoh.20 Sedangkan secara terminologi mengambil
pendapat dari Sayyid Sabiq, yang dimaksud dnegan kufu’ dalam pernikahan
adalah: calon mempelai laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam
kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak serta
kekayaan. Selanjutnya menurut beliau bahwa tidak diragukan jika kedudukan
antara laki-laki dan perempuan sebanding.
Menurut Amir Syarifuddin bahwa penentuan kâfa’ah itu merupakan
hak perempuan yang akan kawin sehingga bila dia akan dikawinkan oleh
walinya dengan orang yang tidak se-kufu dengannya, dia dapat menolak atau
tidak memberikan izin untuk dikawinkan oleh walinya. Sebaliknya dapat pula
dikatakan sebagai hak wali yang akan menikahkan sehingga bila si anak
perempuan kawin dengan laki-laki yang tidak sekufu, wali dapat
mengintervensinya yang untuk selanjutnya menuntut pencegahan
berlangsungnya perkawinan itu. Yang dijadikan standar dalam penentuan
kâfa’ah itu adalah status sosial pihak perempuan karena dialah yang akan
dipinang oleh laki-laki untuk dikawini.21
Kafa’ah dalam perkawinan merupakan faktor yang dapat mendorong
terciptanya kebahagiaan suami istri, dan lebih menjamin keselamatan
perempuan dari kegagalan atau kegoncangan rumah tangga. Kafaah
dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon suami/istri, tetapi tidak
menentukan sah atau tidaknya perkawinan. Kafaah adalah hak bagi wanita

20
Mahmud Yunus. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-
Qur’an,1973. Hlm 378.
21
Amir Syarifuddin. Hukum Pernikahan Islam di Indonesia antara fiqih munakahat dan undang-undang
pernikahan. Jakarta: prenadamedia 2006. Hlm 140.
15
atau walinya. Karena suatu perkawinan yang tidak seimbang, tidak serasi atau
tidak sesuai akan menimbulkan problema berkelanjutan, dan besar
kemungkinan menyebabkan terjadinya perceraian. Oleh karena itu boleh
dibatalkan.22
2. Ukuran Kafaah
Kafa ’ah menurut bahasa adalah kesamaan dan kemiripan. Adapun
maksud yang sebenarnya adalah kesamaan antara dua belah pihak suami-istri.
Kesamaan atau kesetaraan yang dimaksud dalam hal ini ada beberapa macam,
atau bisa dikatakan sebagai ukuran dari kafaah ada lima yaitu :
a) Agama
Semua ulama (mazhab imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali)
sepakat memasukkan agama dalam kafa‘ah.
b) Kedudukan (Nasab atau silsilah keturunan)
Menurut jumhur ulama (empat imam mazdhab) selain Malikiyah
berpendapat bahwa nasab merupakan suatu hal yang paling dan masuk
dalam kafa‘ah, karena ada beberapa alasan mendasar yang mengilhami
mereka, seperti banyaknya orang Islam, khususnya orang muslim arab
yang sangat fanatik dalam menjaga keturunan dan golongan mereka.
Menurut ulama Hanafiah nasab (keturunan) dalam kafa‘ah hanya
dikhususkan orang-orang arab. Dengan demikian suami dengan isteri
harus sama dengan kabilahnya.
Adapun menurut ulama Syafi’iyah orang Quraisy sebanding dengan
Quraisy lainnya kecuali dari bani Hasyim dan Mut}alib.Dan yang
menjadi pertimbangan dalam hal nasab adalah bapak, sedangkan
ulama Hanafiah berpendapat bahwa golongan Quraisy sebanding
dengan bani Hasyim.
c) Merdeka
Maka seorang budak laki-laki tidaklah kufu’ bagi wanita merdeka
karena statusnya berkurang sebagai budak. Yang dimaksud merdeka
disini adalah bukan budak (hamba sahaya).

22
Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, M.A., Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 97.
16
d) Keterampilan (Pekerjaan)
Menurut jumhur ulama pekerjaan seorang laki-laki minimal mendekati
pekerjaan keluarga wanita dalam hal penghasilannya. Sedangkan
menurut golongan Hanafiah penghasilan laki-laki harus sebanding
dengan penghasilan pihak keluarga perempuan sesuai dengan adat
yang berlaku. Apabila menjahit menurut adat lebih tinggi derajatnya di
banding menenun, maka penjahit itu tidak sebanding dengan anak
penenun. Menanggapi permasalahan ini golongan Malikiyah
berpendapat tidak ada perbedaan antara harta dan pekerjaan, semua
dapat berubah dengan kehendak AllahSAW. Pekerjaan merupakan hal
yang biasa dan tidak perlu dimasukkan dalam masalah kafa‘ah.23
e) Harta Kekayaan
Harta Kekayaan memiliki harta sesuai dengan kewajiban untuk calon
istrinya berupa maskawin dan nafkah. Maka, laki-laki yang sulit
ekonomi tidak kufu’ untuk seorang gadis yang berada karena pada
wanita itu dalam bahaya dengan kesulitan pada suaminya, karena bisa
jadi nafkah yang harus ia terima mengalami kemacetan.
Maksud dengan harta adalah kekayaan seoarang (calon suami) untuk
memberikan maskawin dan nafkah kepada isterinya. Ulama Hanafiah
dan Hanabilah dan sebagian Syafi’iyah berpendapat bahwa harta
merupakan hal yang sangat penting untuk dimasukkan dalam kafa‘ah.
Golongan ulama Hanafiah dan Hanabilah menyatakan bahwa yang
dianggap se-kufu’ ialah seorang laki-laki harus sanggup membayar
maskawin dan nafkah, adapun hanya salah satu diantaranya maka
dianggap tidak se-kufu’.
Jika salah satu dari pasangan suami-istri berbeda dari pasangannya
dalam salah satu dari lima perkara ini, kafa’ah (keserasian,
kecocokan,kesetaraan) telah hilang. Namunhal ini tidak memberi
pengaruh kepada sahnya pernikahan karena kafa’ah bukan syarat
dalam sahnya pernikahan. Seperti perintah Nabi SAW kepada Fatimah

23
Wahbah Az-Zuhaili. Fiqih Islam 9. Jakarta: Gema Insani, 2011. Hlm 223.
17
bintu Qais untukmenikah dengan Usamah bin Zaid. Maka, Usamah
menikahinya atas dasar perintah Nabi SAW.
Akan tetapi kafa’ah menjadi syarat lebih utama untuk sebaiknya
dilakukan pernikahan. Jika seorang wanita dinikahkan kepada laki-laki
yang tidak sekufu’ dengannya, siapa saja yang tidak ridha dengan itu
baik pihak istri atau para walinya, berhak melakukan fasakh
(pembatalan nikah).
3. Kedudukan Kafaah
Perbedaan ulama’ tentang hukum kafa‘ah dan pelaksanaannya berefek
pada kontradiksi mengenai kedudukan kafa‘ah dalam pernikahan sendiri,
ditinjau dari sisi keabsahan nikah. Ulama’ terbagi menjadi 2 poros dalam
menanggapi kedudukan kafa‘ah dalam pernikahan. Jumhur ulama’ termasuk
Malikiyah, Syafiiyah, Hanafiah, dan satu riwayat dari Imam Ahmad
berpendapat bahwa kafa‘ah itu tidak termasuk syarat pernikahan sehingga
pernikahan antara orang yang tidak se-kufu akan tetap dianggap memiliki
legalitas hukum (sah, baca). Kafa‘ah dipandang hanya merupakan segi
afdalnya saja.
Bertolak belakang dengan pendapat yang pertama, salah satu riwayat
dari ImamAhmad malah mengatakan bahwa kafa‘ah itu termasuk syarat
perkawinan. Ini berarti bahwa pernikahan yang dilakukan oleh kedua
mempelai yang tidak sekufu masihdianggap belum sah. Mereka bertendensius
dengan potongan hadis riwayat oleh al-Daruqut}ni yang dianggap lemah oleh
kebanyakan ulama’. Hadis itu yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan al-
Daruqutni, dari Jabir bin Abdillah Al-Ansari, bersabda Rasulullah
saw:Artinya: “Janganlah engkau menikahkan wanita kecuali dengan yang se-
kufu’ dan janganlah engkau mengawinkannya kecuali dengan izin walinya
…”.
Akan tetapi, para ulama Malikiyah mengakui adanya kafa‘ah. Akan
tetapi kafa‘ah, menurut mereka hanya dipandang dari sifat istiqamah dan budi
pekertinya saja. Kafa‘ah bukan karena nasab atau keturunan, bukan pekerjaan
atau kekayaan. Seorang lelaki Shaleh yang tidak bernasab boleh kawin dengan

18
perempuan yang bernasab, pengusaha kecil boleh kawin dengan pengusaha
besar, orang hina boleh saja menikahi perempuan terhormat, seorang lelaki
miskin boleh kawin dengan perempuan yang kaya rayaasalkan muslimah.
Seorang wali tidak boleh menolaknya dan tidak berhak memintakan. cerai
meskipun laki-laki tadi tidak sama kedudukannya dengan kedudukan wali
yang menikahkan, apabila pernikahannya dilaksanakan dengan persetujuan
perempuan.24

C. Pencegahan Pernikahan
Pencegahan pernikahan merupakan usaha yang mengakibatkan tidak
berlangsungnya pernikahan. Berbeda dengan pembatalan pernikahan, pencegahan
dilakukan sebelum terjadinya pernikahan. Sedangkan pembatalan pernikahan
merupakan usaha untuk tidak melanjutkan hubungan pernikahan setelah sebelumnya
pernikahan tersebut telah terjadi secara sah
Pernikahan dapat dicegah, apabila ada pihak tidak memenuhi syarat-syarat
untuk melangsungkan pernikahan. Pencegahan pernikahan dapat diajukan ke
Pengadilan Agama dalam daerah hukum dimana pernikahan akan dilangsungkan.25
Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke
atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon
mempelai dan pihak-pihak yang bersangkutan. (Pasal 62 Kompilasi Hukum Islam).26
Pencegah pernikahan harus memberitahukan kepada Pegawai Pencatat Nikah (PPN)
yang bersangkutan tentang usaha pencegahannya tersebut dan PPN memberitahukan
adanya permohonan pencegahan pernikahan kepada masing-masing calon mempelai.
Pencegahan pernikahan dapat dicabut dengan keputusan Pengadilan Agama atau
dengan menarik kembali permohonan pada Pengadilan Agama oleh yang

24
M. A. Tihami, Sohari Sahrani. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Lengkap. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada. Hlm 20.
25
Mohd.Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, cet. iv, (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2002), hlm..174.
26
Departemen Agama RI, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam, cet. i, (Jakarta : Grahamedia Press, 2014), hlm.. 350.
19
mencegahnya. Selama pencegahan belum dicabut pernikahan tidak dapat
dilangsungkan. 27
Alasan pencabutan dapat juga dilakukan dengan alasan-alasan nyata yang
mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya yang mempunyai
hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal 14 undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974. Barang siapa karena perkawinan dirinya masih terikat
dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan,
dapat mencegah perkawinan yang baru dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3
ayat (2) dan pasal 4 undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Pejabat yang ditunjuk
berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan
dalam pasal 7 ayat (1), pasal 8, pasal 9, pasal 10 dan pasal 12 undang-undang Nomor
1 Tahun 1974.28

27
Departemen Agama RI, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, cet. ii, (Jakarta : Badan
Kesejahteraan Masjid Pusat, 1993), hlm. 13.
28
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, cet. iv, (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2002), hlm..175.
20
BAB III

(PENUTUPAN)

A. Simpulan
Jumhur ulama sepakat bawa rukun perkawinan itu tediri atas:Adanya calon
suami dan istri yang akan melakukan perkawinan, Adanya wali dari pihak calon
pengantin wanita, Adanya dua orang saksi, Sighat akad nikah. Syarat-syarat
perkawinan merupakan dasar bagi sahnyaperkawinan. Apabila syarat-syaratnya
terpenuhi, maka perkawinan itusah dan menimbulkan adanya segala hak dan
kewajiban sebagai suamiistri.Pengertian mahar secara etimologi berarti maskawin.
Sedangkan pengertian mahar menurut istilah ilmu fiqih adalah pemberian yang wajib
dari calon suami kepada calon isteri sebagai ketulusan hati calon suami, untuk
menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang isteri kepada calon suaminya dalam
kaitannya dengan perkawinan.Kafaah berasal dari kata ‫ كفىء‬yang berarti sama atau
setara. Sehingga yang dimaksud kafaah dalam perkawinan mengandung arti bahwa
perempuan harus sama atau setara dengan laki-laki.Pencegahan pernikahan
merupakan usaha yang mengakibatkan tidak berlangsungnya pernikahan. Sedangkan
pembatalan pernikahan merupakan usaha untuk tidak melanjutkan hubungan
pernikahan setelah sebelumnya pernikahan tersebut telah terjadi secara sah.
B. Saran
Sebagai seorang calon pendidik yang baik maka disarankan kepada mahasiswa
selaku bagian dari sivitas akademika maka diharapkan untuk memperbanyak literasi
guna menambah wawasan pengetahuan

21
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Slamet dan Aminuddin, 1999, Fiqh Munakahat, Bandung: CV. Pustaka Setia.
Az-Zuhaili. Wahbah, 2011, Fiqih Islam 9. Jakarta: Gema Insani.
Daradjat, Zakiyah, dkk, 1985, Ilmu Fiqh Jakarta: Depag RI.
Departemen Agama RI, 1993, Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, cet. ii, Jakarta : Badan
Kesejahteraan Masjid Pusat.
Departemen Agama RI, 2014, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam, cet. i, Jakarta : Grahamedia Press.
Departemen Agama RI, 2002, Al-Qur’an dan Terjemahanya, Semarang : Karya Toha Putra
Semarang.
Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Dr. Abdul Wahab SayyedHawwas, 2009, Fiqh
Munakahat, Jakarta: Anzah.
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1985, Ilmu Fiqh, Jakarta: IAIN
Jakarta
Djubaidah, Neng, 2010, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat,cet. i, Jakarta :
Sinar Grafika.
Ghazali, Abdurrahman , 2003, Fiqih Munakahat Jakarta : Prenada Media.
Hakim Drs. H. Rahmat, 2000. HUKUM PERKAWINAN ISLAM, (Bandung: CV. Pustaka SSetia.
Muhktar, Kamal , 1994, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan .Jakarta: Bulan Bintang.
Nasir, Prof. Dr. M. Ridlwan M.A. dkk, 2010, Praktik Prostitus Gigolo Ala Yusuf Al-Qardawi:
Tinjauan Hukum Islam Terhadap Fatwa Kawin Misyar, Surabaya : Khalista.
Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, M.A., 2010, Fiqih Munakahat, Jakarta: Kencana.
Ramulyo, Mohd.Idris , 2002, Hukum Perkawinan Islam, cet. iv, Jakarta : PT Bumi Aksara.
Sahrani, Tihami , 2014, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: Rajawali Pers.
Soemiyati, 2004, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, cet. v,
Yogyakarta : Liberty.
Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum Pernikahan Islam di Indonesia antara fiqih munakahat dan
undang-undang pernikahan. Jakarta: prenadamedia

22
Tihami, M.A, Sohari Sahrani.2011. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Lengkap. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Yunus, Mahmud, 1973, Kamus Arab Indonesia. Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an.
Zulaikha, Siti, 2015, Fiqih Munakahat 1, Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta.

23

Anda mungkin juga menyukai