Anda di halaman 1dari 18

Kelompok IV

MAKALAH
PERATURAN BIDANG HUKUM PERKAWINAN
ISLAM DI INDONESIA
Di Susun Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Hukum Perdata Islam

Dosen Pengampu : Aris Sunandar Suradilaga

TIM PENYUSUN

Baitul Dawiyah (2112140143)


Ahmad Fajri (2112140192)

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, karunia, serta
taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Makalah Peraturan
Bidang Hukum Perkawinan Islam di Indonesia ini dengan baik meskipun banyak
kekurangan didalamnya.

Kami sangat berharap makalah ini dapat bermanfaat. Kami juga menyadari
sepenuh nya didalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh
sebab itu, kami berharap ada nya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang
telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna
tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang
yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktek kan dalam kehidupan sehari-hari.

Palangkaraya, 03 Oktober 2022

Tim Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER...............................................................................................................................i
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
A. Latar Belakang .......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah .................................................................................................2
C. Tujuan Pembuatan Makalah .................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................................3


A. Hukum Perkawinan Islam III ................................................................................ 3
B. Sebab Terputusnya Perkawinan.............................................................................5
C. Alasan Perceraian ..................................................................................................6
D. Macam-Macam Perceraian .................................................................................... 7
E. Tata Cara Perceraian .............................................................................................. 8
F. Akibat Putusnya Perkawinan ............................................................................... 10
G. Waktu Tunggu (Iddah) & Rujuk Beserta Tata Caranya ..................................... 10

BAB III PENUTUP .........................................................................................................13


A. Kesimpulan ..........................................................................................................13
B. Saran .................................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................15

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pernikahan dalam Islam merupakan anjuran bagi kaum muslimin. Dalam
undang undang No. 1 Tahun 1974 dinyataka n bahwa: “Perkawinan ialah ikatan
lahir batin antara seorang wanita dan seorang pria sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa.”
Sedang dalam Kompilasi Hukum Islam “perkawinan yang sah menurut hukum
Islam merupakan pernikahan, yaitu akad yang kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk
menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.”1
Dari pengertian di atas, pernikahan memiliki tujuan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal. Sehingga baik suami maupun isteri harus saling melengkapi agar
masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai
kesejahteraan spiritual dan material.2 Hal ini sejalan dengan firman Allah :

‫و ِمن ٰا ٰيتِ ْٓه ان خلق ل ُكم ِ ِّمن انفُ ِس ُكم ازواجا ِلِّتس ُكنُ ْٓوا اِليها وجعل بين ُكم مودة ورحمة ۗاِن فِي ٰذ ِلك‬
٢١ - ‫َٰل ٰيت ِِّلقوم يتفك ُرون‬

Artinya: "Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-


pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran
Allah) bagi kaum yang berpikir."(QS. Ar-Rum : 21)

Ayat di atas menjelaskan bahwa dalam Islam perkawinan dimaksudkan untuk


memenuhi kebutuhan seksual seseorang secara halal serta untuk melangsungkan
keturunannya dalam suasana saling mencintai (mawaddah) dan kasih sayang
(rahmah) antara suami isteri. Jadi, pada dasarnya perkawinan merupakan cara
penghalalan terhadap hubungan antar kedua lawan jenis, yang semula diharamkan,
seperti memegang, memeluk, mencium dan hubungan intim.
Dalam ilmu pengetahuan, perkawinan memiliki multi dimensi sosiologis dan
psikologis, secara sosiologis perkawinan merupakan cara untuk melangsungkan
kehidupan umat manusia di muka bumi, karena tanpa adanya regenerasi, populasi

1
Departemen Agama RI, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam, 2000) hal. 14.
2
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet, I,1995) hal.
56
1
manusia di bumi ini akan punah. Sedangkan secara psikologis dengan adanya
perkawinan, kedua insan suami dan isteri yang semula merupakan orang lain
kemudian menjadi satu. Mereka saling memiliki, saling menjaga, saling
membutuhkan, dan tentu saja saling mencintai dan saling menyayangi, sehingga
terwujud keluarga yang harmonis.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari perkawinan dalam hukum islam?
2. Apa saja sebab putusnya perkawinan?
3. Apa saja alasan terjadinya perceraian?
4. Apa itu cerai talak dan cerai gugat?
5. Bagaimana tata cara perceraian?
6. Apa akibat putusnya perkawinan?
7. Bagaiman waktu Tunggu (Iddah) & Rujuk Beserta Tata Caranya?

C. Tujuan Pembuatan Makalah


Untuk mengetahui mengenai perkawinan, sebab putusnya perkawinan, alasan
terjadinya perceraian, cerai talak dan cerai gugat, tata cara perceraian, akibat
putusnya perkawinan serta waktu tunggu (iddah) dan rujuk beserta tata caranya.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Perkawinan/Pernikahan
Kata nikah berasal dari bahasa Arab ‫نكح‬, ‫ينكح‬, ‫ نكاح‬yang secara etimologi berarti
(menikah), bercampur. Dalam bahasa Arab kata “nikah“ berarti berakad,
bersetubuh, bersenang-senang. Annikah menurut bahasa Arab berarti dh-dhamm
(menghimpun). Adapun menurut syariat, Ibnu Qudamah rahimahu-Allah berkata
“nikah’’ menurut syariat adalah akad perkawinan, ketika kata nikah diucapkan
secara mutlak maka kata tersebut bermakna demikian selagi tidak ada satu pun dalil
yang memalingkan darinya.3
Adapun kata perkawinan menurut kamus bahasa Indonesia adalah Perjanjian
yang diucapkan dan diberi tanda kemudian dilakukan oleh lakilaki dan perempuan
yang siap menjadi suami isteri, perjanjian dengan akad yang disaksikan beberapa
orang dan diberi izin oleh wali perempuan. Hal ini senada dengan pasal 1 Undang-
Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, pengertian ini diperkuat dalam Pasal 2
Kompilasi Hukum Islam bahwa perkawinan adalah pernikahan, di mana pernikahan
itu adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqon gholiidha untuk menaati perintah
Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah.4
Perkawinan merupakan ikatan suami isteri antara perempuan dan laki-laki secara
berpasang-pasangan untuk menghalalkan hubungan antara kedua belah pihak untuk
mewujudkan hidup berkeluarga yang bahagia, serta melanjutkan keturunan.
Perkawinan merupakan tujuan syariat yang dibawa Rasulullah SAW, yaitu
penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrowi.
Pernikahan adalah sunatullah, yakni merupakan kebutuhan setiap naluri manusia
dan dianggap sebagai ikatan yang sangat kokoh. Allah SWT dan RasulNya telah
menjelaskan isyarat perintah melalui kalam-Nya dan sabda rasul-Nya.5 Yang
merupakan sunatullah bahwa makhluk yang bernyawa itu diciptakan berpasang-
pasangan, baik laki-laki maupun perempuan, sebagaimana terdapat dalam (QS. Az-
Zariayat : 49)

َ‫ونم َن ُك نَل شيءَ خلقنا زوج ن‬


٤٩ – َ‫ي لعلَّ ُكمَ تذ َّك ُروَن‬
Artinya: "Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu
mengingat (kebesaran Allah)." (QS. Az Zariyat: 49).

3
Mualifah Sahlany, Perkawinan dan Peroblematikanya, (Yogyakarta: Sumbangsi Offset,1991),
cet. Ke-1, hal.1.
4
Abu Sahla, Nurul Nazara, Buku Pintar Pernikahan, (Jakarta : PT. Niaga Swadaya, 2011), hal.16.
5
Siska Lis Sulistiani, Kedudukan Hukum Anak, (Bandung : PT Refika Aditama, 2015),hal.9
3
Dalam pernikahan terdapat hubungan batin yang hakiki, cinta sejati yang jujur,
kebersamaan, kasih sayang untuk membentuk keluarga yang tulus, sekaligus
memakmurkan alam semesta.6

Ada beberapa definisi nikah yang dikemukakan oleh para ahli fikih, tetapi pada
prinsipnya tidak ada perbedaan yang berarti pada redaksinya.
1. Menurut ulama Hanafiyah, nikah adalah akad yang disengaja dengan tujuan
mendapatkan kesenangan.
2. Menurut ulama Syafi’iyah, nikah adalah akad yang mengandung makna wathi
(untuk memiliki kesenangan) disertai lafaz nikah, kawin, atau yang semakna.
3. Menurut ulama Malikiyah, nikah adalah akad yang semata-mata untuk
mendapatkan kesenangan dengan sesama manusia.
4. Menurut ulam Hanabilah, nikah adalah akad dengan lafaz nikah atau kawin
untuk mendapatkan manfaat bersenang-senang.

Perkawinan atau nikah berarti suatu akad yang mengahalalkan pergaulan antara
seorang laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dan menimbulkan hak dan
kewajiban antara keduanya. Dalam arti lain bahwasannya pernikahan atau
perkawinan merupakan suatu ikatan lahir antara dua orang, laki-laki dan
perempuan, untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga yang dilangsungkan
menurut ketentuan- ketentuan syariat Islam.

Pernikahan atau perkawinan adalah fitrah manusia maka Islam menganjurkan


untuk menikah karena menikah merupakan naluri kemanusiaan. Apabila naluri ini
tidak dipenuhi dengan jalan yang sah, yaitu dengan pernikahan maka dia akan
mencari jalan setan yang akan menjerumuskan manusia menuju kesesatan.
Pernikahan itu merupakan ladang untuk menanam benih keturunan, peristirahatan
jiwa, kesenangan hidup, ketenteraman hati, dan penjaga anggota tubuh.
Sebagaimana juga menjadi sebuah kenikmatan, relaksasi, dan sebagai sunnah
Rasulullah SAW. Pernikahan juga sebagai tirai, perisai dari kemaksiatan, dan
fasilitator untuk memperoleh manfaat kepada manusia di saat hidup dan setelah
kematiannya. Pernikahan merupakan suatu urgensi yang mendesak, di mana
manusia tidak akan sampai pada tingkat kesempurnaan, jika dia masih setengah
agamanya.7

6
Zainal Abidin bin Syamsudin, Romantika Kawin Muda, (Jakarta Timur :Pustaka Imam
Bonjol,205), h. 61.
7
Departemen Agama RI,Al-Qur’an dan Terjemahan,( Bandung: Cv Penerbit JART,2005), h. 407

4
B. Sebab Terputusnya Perkawinan
Putusnya perkawinan adalah berakhirnya hubungan dan ikatan antara suami
istri. Sebab-sebab putusnya perkawinan menurut hukum Islam antara lain:
1. Talak
Talak berasal dari kata bahsa arab “ithlaq” yang berartimelepaskan atau
meninggalkan. Dalam istilah Fikih berarti pelepasanikatan perkawinan yaitu
perceraian anatara suami istri.3Dalammengemukakan arti talak secara
terminologis, ulama mengemukakanrumusan yang berbeda, namun esensinya
sama, yakni melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafal
talak dansejenisnya.

2. Fasakh
Fasakh berasal dari bahasa arab dari kata fa-sa-kha yang secara etimologi
berarti membatalkan. Bila dihubungkan kata ini dengan perkawinan berarti
membatalkan perkawinan atau merusak perkawinan.Dalam arti terminologis
ditemukan beberapa rumusan yang hamper bersamaan maksudnya, diantaranya
yang terdapat dalam KBBI, yakni pembatalan ikatan pernikahan oleh Pengadilan
Agama berdasarkan tuntutan istri maupun suami yang dapat dibenarkan oleh
Pengadilan Agama karena pernikahan yang telah terlanjur dan menyalahi aturan
hukum sebuah pernikahan.Fasakh dapat juga diartikan “mencabut” atau
“menghapus” yang maksudnya ialah perceraian yang disebabkan oleh timbulnya
hal-hal yang dianggap berat oleh suami atau istri ataupun keduanya sehingga
mereka tidak sanggup untuk melaksanakan kehidupan suami-istri dalam
mencaai tujuan rumah tangga.

3. Khulu’
Pengertian khulu’ menurut bahasa, kata khulu’ dibaca dhammah huruf
kha yang bertitik dan sukun lam dari kata khila’ dengan dibacafathah artinya
naza’ (mencabut). Sedangkan menurut syarak adalah sebagaimana yang
dikemukakan As-Syarbini dan Al-Khatib adalahpemisah antara suami istri
dengan pengganti yang dimaksud (iwadh)yang kembali ke arah suami dengan
lafal talak atau khulu’.
Sedangkan dalam bukunya Muhammad Jawad Mughniyah, khulu’ ialah
penyerahan harta yang dilakukan oleh istriuntuk menebus dirinya dari ikatan
suaminya. Sedangkan menurutistilah khulu’ berarti talak yang diucapkan oleh
istri denganmengembalikan mahar yang pernah dibayarkan oleh suaminya.
Artinya, tebusan itu dibayarkan oleh seorang istri kepada suaminya
yangdibencinya, agar suaminya itu dapat menceraikannya.

Jika seorang wanita membenci suaminya karena keburukanakhlaknya,


ketaatannya terhadap agama, atau karena kesombonganatau karena yang lain-
lain dan ia sendiri khawatir tidak dapatmenunaikan hak-hak Allah Swt, Maka
5
diperbolehkan baginyamengkhuluk dengan cara memberikan ganti berupa
tebusan untukmenebus dirinya dari suaminya.

‫ََي ُّلَل ُكمَأنََت ُخ ُذ ن‬


َ‫واَِمَّا‬ ‫اك نَِبعروفَأوَتس نريحَِبننحسانََۗوَل ن‬ ‫ن ن‬ َّ
ٌ ُ ٌ ‫الطَل ُقَم َّرَتنََۖفإمس‬
‫ن‬
‫َخفتمَأ ََّلَي نقيماَح ُدود َّن‬ ‫آت ي تموه َّنَشي ئًاَإنََّلَأنََيافاَأ ََّلَي نقيماَح ُدود َّن‬
َ‫َجناح‬
َُ ‫َاَّللََفَل‬ ُ ُ ُ ‫َاَّللََۖفنإن‬ ُ ُ ُ ُُ
َٰ ‫َاَّللَفَلَت عت ُدوهاََۚومنَي ت عدََّح ُدود َّن‬
‫ود َّن‬ ‫ن ن‬ ‫ن‬
ُ ‫َاَّللَفَأُولئنك‬
َ‫َه ُم‬ ُ ُ ‫علي نهماَفيماََاف تدتَبنهََۗتلك‬
ُ ‫َح ُد‬
َ﴾٢٢٩َ﴿َ‫الظَّالن ُمون‬

Artinya : “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuklagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang
baik.tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah
kamuberikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak
akandapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir
bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-
hukum Allah,Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran
yang diberikanoleh isteri untuk menebus dirinya itulah hukum-hukum
Allah, Makajanganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang
melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang
zalim”. (Qs. Al-Baqarah:229).

ada dasarnya hukum khulu’ itu adalah boleh, tetapi makruhseperti talak
karena adanya pemutusan talak yang diperintahkan syarak.Khulu’
diperbolehkan jika ada sebab yang menuntut, seperti suamicacat fisik atau cacat
sedikit pada fisik atau suami tidak dapatmelaksanakan hak istri atau wanita
khawatir tidak dapat melaksanakankewajiban hukum-hukum Allah Swt.8

C. Alasan Perceraian
Pasal 39 ayat 2 menyatakan, bahwa untuk melakukan perceraian harus ada
cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami
istri. Hal tersebut bahwa perceraian harus dengan alasan yang jelas dan rasional.
Menurut Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975, yang menjadi alasan perceraian disebabkan
karena alasan tertentu, yaitu:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan
lainnya penyakit yang sukar disembuhkan

8
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat,
(Jakarta:Amzah, 2011), hal. 297
6
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lainnya selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuan.
3. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.
6. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Alasan perceraian menurut Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai
berikut:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluat
kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
6. Antara suami dan istri terus menerus menjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga
7. Suami melanggar talik talak. Taklik talak adalah perjanjian yang diucapkan
calon mempelai pria setelah akan nikah yang dicantumkan dalam akta nikah
berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang
mungkin terjadi dimasa yang akan datang.
8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan
dalam rumah tangga.

D. Macam-Macam Perceraian
1. Cerai Talak
Berdasarkan pasal 129 dan 130 Kompilasi Hukum Islam, dijelaskan bahwa
seseorang yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan
permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang
mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan alasan serta meminta agar
diadakan sidang untuk keperluan itu. Dalam hal ini Pengadilan Agama dapat
7
mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, apabila ditolak pemohon
dapat menggunakan upaya hukum banding dan kasasi.
2. Cerai Gugat
Cerai gugat ialah suatu gugatan yang diajukan oleh isteri terhadap suami
kepada pengadilan dengan alasan-alasan tertentu. Perceraian atas dasar cerai
gugat ini terjadi karena adanya suatu putusan pengadilan. Adapun prosedur cerai
gugat telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 pasal 20 sampai
pasal 36 jo. Pasal 73 sampai pasal 83 Undang-undang No. 7 tahun 1989. Dalam
hukum Islam cerai gugat disebut dengan khulu’.
Khulu’ berasal dari kata khal’u as-saub, artinya melepas pakaian, karena
wanita adalah pakaian laki-laki dan sebaliknya laki-laki adalah pelindung
wanita. Para ahli fikih memberikan pengertian khulu’ yaitu perceraian dari
pihak perempuan dengan tebusan yang diberikan oleh isteri kepada suami.
Adapun yang termasuk dalam cerai gugat dalam lingkungan Pengadilan
Agama itu ada beberapa macam, yaitu :
a. Fasakh;
b. Syiqaq;
c. Khulu’;
d. Ta'liq Talaq.
e. Akibat Perceraian9

E. Tata Cara Perceraian


Prosedur perceraian diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 129
sampai pasal 148. Pasal tersebut memuat prosedur perceraian berdasarkan dua
bentuk perceraian yang juga diatur dalam hukum acara pengadilan agama yaitu
cerai talak dan cerai gugat.
1. Cerai Talak yaitu sebagaimana pengertian talak dalam hukum Islam yaitu talak
yang dijatuhkan oleh suami kepada istri.
2. Cerai Gugat yaitu suatu gugatan yang diajukan oleh istri terhadap suami kepada
pengadilan dengan alasan-alasan tertentu. Pasal 129-131 Kompilasi Hukum
Islam mengatur tentang prosedur cerai talak di Pengadilan Agama.

Pada pasal berikutnya dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan tentang


prosedur cerai gugat sebagai berikut:

1. Istri atau kuasanya mengajukan cerai gugat pada pengadilan agama yang
mewilayahi daerah hukum penggugat. Jika tergugat berada di luar negeri maka
pengadilan agama menyampaikannya melalui perwakilan RI setempat.
2. Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim selambat lambatnya 30
hari.

9
Hamdani, Risalah Nikah, Jakarta, Pustaka Amani, 2002. hal. 261
8
3. Pada sidang pemeriksaan gugatan, suami istri datang sendiri atau diwakili oleh
kuasa hukumnya. Namun untuk kepentingan pemeriksaan, hakim dapat
memanggil yang bersangkutan hadir sendiri.
4. Mediasi yang dilakukan oleh hakim dan selama perkara belum diputuskan maka
usaha perdamaian dapat dilakukan setiap kali sidang.
5. Putusan mengenai gugatan perceraian dilakukan dalam sidang terbuka.
Perceraian dianggap terjadi beserta akibat-akibatnya terhitung sejak jatuhnya
putusan Pengadilan Agama yang berkekuatan hukum tetap.
6. Setelah diputus perceraian maka pengadilan agama menyampaikan salinan
putusan kepada suami istri atau kuasanya dengan menarik kutipan akta nikah
dari keduanya.

Untuk selanjutnya panitera pengadilan agama mengirimkan: satu helai salinan


putusan kepada pegawai pencatat nikah yang mewilayahi tempat kediaman istri
untuk dicatatkan dan surat keterangan bahwa putusan perceraian berkekuatan
hukum tetap kepada suami istri atau kuasanya.

Tata cara perceraian diatur dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 41 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan juga diatur dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal
36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. khusus mereka yang beragama
Islam diatur dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal 31 Peraturan Menteri Agama
Nomor 3 Tahun 1975 dan Pasal 66 sampai dengan Pasal 88 Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.10

Cerai gugat yaitu gugatan yang diajukan oleh pihak istri atau kuasanya pada
Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat,
kecuali istri meninggalkan tempat kediaman tanpa izin suami. Adapun tata cara
gugatan perceraian diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yaitu:

1. Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
2. Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak mempunyai tempat
kediaman yang tetap, maka gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan
setempat kediaman penggugat.
3. Apabila penggugat bertempat tinggal di luar negeri gugatan perceraian diajukan
ditempat kediaman penggugat.
4. Dalam hal gugatan perceraian dengan salah satu alasan meninggalkan pihak lain
selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain atau tanpa alasan yang
sah atau karena hal lain di luar kemampuannya, diajukan kepada Pengadilan
setempat kediaman penggugat.

10
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 129-131.
9
F. Akibat Putusnya Perkawinan
Putusnya perkawinan tidak hanya adanya perubahan hak dan kewajiban
terhadap suami isteri, Tetapi juga tanggung jawab orang tua terhadap
anak.Tanggung jawab orang tua terhadap anak akibat perceraian adalah lebih
mengutamakan kepentingan si anak yaitu diantaranya anak berhak atas
pemeliharaan, pendidikan, dan biaya-biaya kehidupan secara keseluruhan dari
orang tuanya.
Pasal 45 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan :
“Dalam hal terjadi perceraian,kedua orang tua tetap berkewajiban memelihara dan
mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya sampai anak itu kawin atau dapat
berdiri sendiri”.
Mengenai pihak mana yang memiliki tanggung jawab terhadap hak asuh anak,
Pasal 41 huru a UU 1/ 1974 mengatakan bahwa Akibat putusnya perkawinan karena
perceraian ialah :
1. Baik itu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan
mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat
memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibut ikut
memikul biaya tersebut;
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/ atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.11

G. Waktu Tunggu (Iddah) & Rujuk Beserta Tata Caranya


1. Waktu Tunggu (Iddah)
Iddah di dalam agama Islam adalah sebuah di mana seorang perempuan
yang telah diceraikan oleh suaminya, baik diceraikan karena suaminya mati
atau karena dicerai ketika suaminya hidup, untuk menunggu dan menahan diri
dari menikahi laki-laki lain. Tujuannya adalah untuk menjaga hubungan darah
suaminya.
Hukum Islam memberikan kemudahan bagi suami-istri yang sudah
bercerai untuk rujuk kembali dengan diaturnya masa iddah bagi istri. Setelah
dilakukannya perceraian, istri harus melewati masa iddah-nya terlebih dahulu
sebelum akhirnya dapat menikah kembali dengan laki-laki lain. Masa iddah
diatur dalam Al-Quran, Surah Al-Baqarah (2:228).

11
Ahmad Azhar Basyir, 2007. Hukum Perkawinan Islam.Yogyakarta : UII Press, hal. 2
10
َ‫َفَارح نام نه َّنَانن‬ َٰ ‫ََي ُّلََلُ َّنَانَيَّكتُمنَماَخلق‬
ْٓ‫َاَّللُ ن‬ ‫تَيَتبَّصنَ نِبن ُف نس نه َّنَث َٰلثةَقُ ر ْۤو ۗءَوَل ن‬ ُ ‫وال ُمطلَّ َٰق‬
ُ
َ‫ادوْٓاَانصَل ًحاَۗوَلُ َّن نَمثَ ُل‬ ‫َاَل نخ ۗنرَوب عولت ه َّنَاحقَُّبنرند نه َّن نَف َٰ ن‬ ‫ن‬ ‫ن‬
ُ ‫َذلنكَانَار‬ ‫ن‬
ُ ُ ُ ُ َٰ ‫ُك َّنَيُؤم َّنَ نَِب ََّٰللَوالي وم‬
َࣖ ‫اَّللَُع نزي ٌزَحكني ٌم‬
َٰ ‫الَعلي نه َّنَدرجةٌََۗو‬ ‫لرج ن‬ ‫فَولن ن‬ ‫الَّ نذيَعلي نه َّنَ نِبلَمعرو ۖن‬
ُ
Artinya : Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka
(menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh bagi mereka
menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka,
jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan para suami
mereka lebih berhak kembali kepada mereka dalam (masa) itu, jika
mereka menghendaki perbaikan. Dan mereka (para perempuan)
mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara
yang patut. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas
mereka. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksan. (Al-Baqarah : 228)

Dalam hukum positif di Indonesia, ketentuan iddah atau masa tunggu diatur
dalam Pasal 150 sampai dengan Pasal 155 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”).
Kemudian, bolehnya rujuk pada masa iddah diatur dalam Pasal 163 KHI
sebagai berikut:

a. Seorang suami dapat merujuk istrinya yang dalam masa iddah.


b. Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal:
1) putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah terjatuh
tiga kali atau talak yang dijatuhkan qabla ad-dukhul;
2) putusnya perkawinan berdasar putusan pengadilan dengan alasan atau
alasan-alasan selain zina dan khuluk.
2. Rujuk
Rujuk berasal dari bahasa arab yaitu“raja’a – yarji’u – ruju’an yang
berarti kembali atau mengembalikan. Rujuk menurut istilah adalah
mengembalikan status hukum perkawinan secara penuh setelah terjadi thalak
raj’i yang dilakukan”oleh bekas suami terhadap bekas istrinya dalam masa
iddahnya dengan ucapan tertentu.12
“Rujuk ialah mengembalikan istri yang telah dithalak pada pernikahan
yang asal sebelum diceraikan. Sedangkan rujuk menurut para ulama madzhab
adalah sebagai berikut”: 13
a. Hanafiyah, rujuk adalah tetapnya hak milik suami dengan tanpa adanya
penggantian dalam masa iddah, akan tetapi tetapnya hak milik tersebut
akan hilang bila masa iddah.”
b. Malikiyah, rujuk adalah kembalinya istri yang dijatuhi talak, karena takut
berbuat dosa tanpa akad yang baru, kecuali bila kembalinya tersebut dari
talak ba’in, maka”harus dengan akad baru, akan tetapi hal tersebut tidak
bisa dikatakan rujuk.”

12
Djaman Nur, Fiqih Munakahat, (Bengkulu: Dina Utama Semarang, 1993), h.174
13
Abdurrahman Al-jaziri, Al-fiqh ala Mazahib al-Arba’ah, (Mesir: Al-Maktab AtTijariyati Al
Kubro), hlm. 377

11
c. Syafi’iyah, rujuk adalah kembalinya istri ke dalam ikatan pernikahan
setelah dijatuhi talak satu atau dua dalam masa iddah. Menurut golongan
ini bahwa istri diharamkan berhubungan dengan suaminya sebagaimana
berhubungan dengan orang lain, meskipun sumi berhak merujuknya
dengan tanpa kerelaan. Oleh karena itu rujuk menurut golongan”syafI’iyah
adalah mengembalikan hubungan suami istri kedalam ikatan pernikahan
yang sempurna.”
d. Hanabilah, rujuk adalah kembalinya istri yang dijtuhi talak selain”talak
ba’in kepada suaminya dengan tanpa akad. Baik dengan perkataan atau
perbuatan (bersetubuh) dengan niat ataupun tidak.”
Adapun Pasangan mantan suami istri yang akan melakukan rujuk setelah
perceraian suami istri harus datang menghadap PPN(Pegawai Pencatat Nikah)
atau Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) yang mewilayahitempat tinggal istri
dengan membawa surat keterangan untuk rujuk setelahperceraian suami istri
dari Kepala Desa/ Lurah serta Kutipan dari BukuPendaftaran Talak/ Cerai atau
Akta Talak/ Cerai.
Adapun prosedurnya adalah sebagai berikut :
a. Di hadapan PPn suami mengikrarkan rujuk setelah perceraian suami
istrinya kepada istri disaksikan minimal dua orang saksi
b. PPN mencatatnya dalam Buku Pendaftaran Rujuk setelah perceraian suami
istri, kemudian membacanya dihadapan suami-istri tersebut terhadap saksi-
saksi, dan selanjutnya masing-masing membubuhkan tanda tangan.
c. PPN membuatkan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk setelah perceraian
suami istri rangkap dua dengan nomor dan kode yang sama
d. Kutipan diberikan kepada suami-istri yang rujuk setelah perceraian suami
istri
e. PPN membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk setelah perceraian
suami istri dan mengirimnya ke Pengadilan Agama yang mengeluarkan
akta talak yang bersangkutan
f. Suami-istri dengan membawa Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk setelah
perceraian suami istri datang ke Pengadilan Agama tempat terjadinya talak
untuk mendapatkan kembali Akta Nikahnya masing-masing
g. Pengadilan Agama memberikan Kutipan Akta Nikah yang bersangkutan
dengan menahan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk setelah perceraian
suami istri.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Perkawinan merupakan ikatan suami isteri antara perempuan dan laki-laki secara
berpasang-pasangan untuk menghalalkan hubungan antara kedua belah pihak untuk
mewujudkan hidup berkeluarga yang bahagia, serta melanjutkan keturunan.
Perkawinan merupakan tujuan syariat yang dibawa Rasulullah SAW, yaitu
penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrowi.
Putusnya perkawinan adalah berakhirnya hubungan dan ikatan antara suami
istri. Sebab-sebab putusnya perkawinan menurut hukum Islam antara lain:
- Talak
Talak berasal dari kata bahsa arab “ithlaq” yang berartimelepaskan atau
meninggalkan. Dalam istilah Fikih berarti pelepasan ikatan perkawinan yaitu
perceraian anatara suami istri.
- Fasakh
Fasakh berasal dari bahasa arab dari kata fa-sa-kha yang secara etimologi berarti
membatalkan. Bila dihubungkan kata ini dengan perkawinan berarti
membatalkan perkawinan atau merusak perkawinan.
- Khulu’
Pengertian khulu’ menurut bahasa, kata khulu’ dibaca dhammah huruf kha yang
bertitik dan sukun lam dari kata khila’ dengan dibacafathah artinya naza’
(mencabut).
Pasal 39 ayat 2 menyatakan, bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup
alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami istri. Hal
tersebut bahwa perceraian harus dengan alasan yang jelas dan rasional.
Dalam perceraian ada dua macam perceraian yaitu perceraian talak dan juga
perceraian gugat.
Tata cara perceraian diatur dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 41 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan juga diatur dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal
36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. khusus mereka yang beragama
Islam diatur dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal 31 Peraturan Menteri Agama
Nomor 3 Tahun 1975 dan Pasal 66 sampai dengan Pasal 88 Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Putusnya perkawinan tidak hanya adanya perubahan hak dan kewajiban
terhadap suami isteri, Tetapi juga tanggung jawab orang tua terhadap
anak.Tanggung jawab orang tua terhadap anak akibat perceraian adalah lebih
mengutamakan kepentingan si anak yaitu diantaranya anak berhak atas
pemeliharaan, pendidikan, dan biaya-biaya kehidupan secara keseluruhan dari
orang tuanya.

13
Iddah di dalam agama Islam adalah sebuah di mana seorang perempuan yang
telah diceraikan oleh suaminya, baik diceraikan karena suaminya mati atau karena
dicerai ketika suaminya hidup, untuk menunggu dan menahan diri dari menikahi
laki-laki lain. Tujuannya adalah untuk menjaga hubungan darah suaminya.
Rujuk berasal dari bahasa arab yaitu“raja’a – yarji’u – ruju’an yang berarti
kembali atau mengembalikan. Rujuk menurut istilah adalah mengembalikan status
hukum perkawinan secara penuh setelah terjadi thalak raj’i yang dilakukan”oleh
bekas suami terhadap bekas istrinya dalam masa iddahnya dengan ucapan tertentu.
“Rujuk ialah mengembalikan istri yang telah dithalak pada pernikahan yang asal
sebelum diceraikan.

B. Saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan
yang menyebabkan makalh ini jauh dari kesempurnaan yang diharapkan. Oleh
karena itu penulis berharap sumbang kritik dan saran yang membangun yang
nantinya bermanfaat bagi penulis sendiri maupun seluruh pembaca.

14
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum

Islam di Indonesia, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Direktorat

Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000) hal. 14.

Rofiq Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet,

I,1995. hal. 56

Sahlany Mualifah, Perkawinan dan Peroblematikanya, Yogyakarta: Sumbangsi

Offset,1991. cet. Ke-1, hal.1.

Sahla Abu, Nazara Nurul, Buku Pintar Pernikahan, Jakarta : PT. Niaga Swadaya, 2011.

hal.16.

Siska Lis Sulistiani, Kedudukan Hukum Anak, Bandung : PT Refika Aditama, 2015.

hal.9

Syamsudin bin Abidin Zainal, Romantika Kawin Muda, Jakarta Timur :Pustaka Imam

Bonjol,2005. h. 61.

Departemen Agama RI,Al-Qur’an dan Terjemahan, Bandung: Cv Penerbit JART,2005.

h. 407

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat,

Jakarta:Amzah, 2011. hal. 297

Hamdani, Risalah Nikah, Jakarta, Pustaka Amani, 2002. hal. 261

Kompilasi Hukum Islam, Pasal 129-131.

Basyir Azhar Ahmad, 2007. Hukum Perkawinan Islam.Yogyakarta : UII Press, hal. 2

Nur Djaman, Fiqih Munakahat, Bengkulu: Dina Utama Semarang, 1993. h.174

Al-jaziri Abdurrahman, Al-fiqh ala Mazahib al-Arba’ah, Mesir: Al-Maktab AtTijariyati

Al Kubro, hlm. 377

15

Anda mungkin juga menyukai