Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

PERNIKAHAN DALAM ISLAM

Dibuat Untuk Memenuhi Salah Satu Mata Kuliah Ushul Fiqih

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. Amir Mu'alim,

MIS

Disusun Oleh:

Luluk Makrifatul Madhani (22913049)

PRODI ILMU AGAMA ISLAM

PROGRAM MAGISTER FAKULTAS AGAMA

ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

TAHUN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Pernikahan
dalam Islam.
Makalah tentang “Pernikahan dalam Islam” ini telah saya susun dengan maksimal dan
mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.
Untuk itu saya menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka saya
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar saya dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata saya berharap semoga makalah tentang “Pernikahan dalam Islam” ini dapat
memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Yogyakarta, 15 Oktober 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................2
DAFTAR ISI....................................................................................................................................3
BAB I...............................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...........................................................................................................................4
A. LATAR BELAKANG..........................................................................................................4
B. RUMUSAN MASALAH......................................................................................................4
C. TUJUAN...............................................................................................................................4
BAB II..............................................................................................................................................5
PEMBAHASAN..............................................................................................................................5
A. Pengertian Pernikahan..........................................................................................................5
B. Dasar Hukum Penikahan......................................................................................................7
C. Rukun dan Syarat Pernikahan.............................................................................................11
D. Tujuan Pernikahan..............................................................................................................17
BAB III..........................................................................................................................................22
PENUTUP.....................................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................23
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Telah diketahui bahwa pernikahan adalah merupakan sunatullah, bahwa makhluk


yang bernyawa itu diciptakan berpasang-pasangan, baik laki-laki maupun perempuan
(Q.S.Dzariat :49). “dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu
mengingat akan kebesaran allah”.
Pernikahan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat
manusia. Dengan adanya pernikahan rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai
dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat. Hubungan antara seorang laki - laki
dan perempuan adalah merupakan tuntunan yang telah diciptakan oleh Allah SWT dan
untuk menghalalkan hubungan ini maka disyariatkanlah akad nikah. Pergaulan antara
laki- laki dn perempuan yang diatur dengan pernikahan ini akan membawa
keharmonisan, keberkahan dan kesejahteraan baik bagi laki-laki maupun perempuan,
bagi keturunan diantara keduanya bahkan bagi masyarakat yang berada disekeliling
kedua insan tersebut.
Dalam agama samawi, masalah pernikahan mendapat tempat yang sangat
terhormat dan sangat terjunjung tinggi tata aturan yang telah ditetapkan dalam kitab suci.
Negara Indonesia misalnya, masalah pernikahan merupakan suatu hal yang sangat
penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga pemerintah Indonesia sejak
Proklamasi Kemerdekaan hingga sekarang menaruh perhatian yang sangat serius dalam
hal pernikahan ini.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pengertian pernikahan?
2. Bagaiaman dasar hukum pernikahan?
3. Bagaimana rukun dan syarat pernikahan?
4. Apa saja macam-macam pernikahan terlarang?
5. Apa saja tujuan dari pernikahan?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian pernikahan
2. Untuk mengetahui dasar hukum pernikahan
3. Untuk mengetahui rukun dan syarat pernikahan
4. Untuk mengetahui macam-macam perikahan terlarang
5. Untuk mengetahui tujuan dari pernikahan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pernikahan

Istilah nikah berasal dari bahasa Arab yakni (‫)النكاح‬, menurut fikih pernikahan yang
terdiri dari dua kata yakni nikah dan zawaj.1 Nakaha artinya menghimpun dan zawwaja
artinya pasangan. Secara singkatnya dari segi bahasa pernikahan diartikan sebagai
menghimpun dua orang menjadi satu. Melalui bersatunya dua insan mausia yang
awalmya hidup sendiri, dengan adanya pernikahan dua inisan menjadi satu sebagai
pasangan suami istri yang melengkapi kekurangan masing-masing, yang mana biasa
disebut dengan pasangan (Zauj dan Zaujah).2 Selain pernikahan ada pula yang
mengatakan perkawinan. Dewasa ini kerap dibedakan antara pernikahan dan perkawinan,
akan tetapi pada prinsipnya perkawinan dan pernikahan hanya berbeda dalam menarik
akarnya saja.3

Al-Farisi mengatakan, orang arab membedakan secara halus antara akad nikah
dengan nikah. Apabila dikatakan, seseorang telah menikahi si fulanah, atau anak
perempuan si fulan, maka yang dimaksudkan adalah melakukan akad nikah. Apabila
dikatakan, ia telah menikahi perempuannya, atau ia telah menikahi isterinya, maka yang
dimaksud tidak lain adalah menyetubuhinya.4

Menurut sebagian ulama‟ Hanafiyah, “Nikah adalah akad yang memberikan


faedah (mengakibatkan) kepemilikan untuk bersenang-senang secara sadar (sengaja) bagi
seorang pria dengan seorang wanita, terutama guna mendapatkan kenikmatan biologis.
Sedangkan menurut sebagian madzhab Maliki, nikah adalah sebuah ungkapan (sebutan)
atau titel bagi suatu akad yang dilaksanakan dan dimaksudkan untuk meraih kenikmatan
(seksual) semata-mata.5

Oleh madzhab Syafi‟iah, nikah dirumuskan dengan “akad yang menjamin


kepemilikan (untuk) bersetubuh dengan menggunakan redaksi (lafal) “inkah atau tazwij,

1
Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, hlm 79.
2
Khoirudin Nasution, “Draf UU Perkawainan Indonesia: Basis Filosofis dan Implikasinya dalam Butir-
butir UU”. Jurnal UNISIA Nomor 48/XXVI/II/2003., hal. 129.
3
Sudarsono, Hukum Keluarga Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 1997, hlm 62.
4
Achmad Zaidun dan A. Ma’ruf Asrori, Terjemah Kifayatul Akhyar dari kitab Kifaayatul akhyar fii Alli
Ghayatil Ikhtishaar, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1997, hlm. 337.
5
Muhammad Amin Suma, Op. Cit, hlm.45
atau turunan (makna) dari keduanya”. Sedangkan ulama Hanabilah mendefinisikan nikah
dengan “akad yang dilakukan dengan menggunakan kata inkah atau tazwij guna
mendapatkan kesenangan (bersenang-senang)”.6

Wahbah Az-Zuhaili berpendapat pernikahan secara syari‟at berarti sebuah akad


yang mengandung pembolehan bersenang-senang dengan perempuan, dengan
berhubungan intim, menyentuh, mencium, memeluk dan sebagainya, jika perempuan
tersebut bukan termasuk mahram dari segi nasab, sesusuan, dan keluarga.7

Para ulama fiqih pengikut mazhab yang empat (Syafi’I, Hanafi, Maliki, dan
Hanbali) pada umumnya mereka mendefinisikan perkawinan yakni akad yang membawa
kebolehan (bagi seorang laki-laki untuk berhubungan badan dengan seorang perempuan)
dengan (diawali dalam akad) lafazh nikah atau kawin, atau makna yang seupa dengan
kedua kata tersebut.8

Perkawinan berdasarkan pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ialah


ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan yang Maha Esa.

Bunyi pasal UU perkawinan ini dengan jelas menyebutkan tujuan perkawinan


yaitu membentuk keluarga bahagia dan kekal yang didasarkan pada ajaran agama. Tujuan
yang diungkapkan pasal lain berikut penjelasan undang-undang dan peraturan
pelaksanaannya, dalam penjelasan ini disebutkan bahwa membentuk keluarga yang
bahagia itu erat hubungannya dengan keturunan, yang juga merupakan tujuan
perkawinan.

Oleh karena itu, pengertian perkawinan dalam ajaran Islam mempunyai nilai
ibadah, sehingga pasal 2 Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan adalah
akad yang sangat kuat (mitsaqanghalidhan) untuk menaati perintah Allah, dan
melaksanakannya merupakan ibadah.9

6
Muhammad Amin Suma, Op. Cit, hlm.45
7
Wahbah Az-zuhaili, Al-Fikih Al-Islam Wa Adillatuhu, penerjemah, Hayyie al-Kattani, Abdul, Fikih Islam
9, Jakarta: Gema Insani, 2011, hlm.39
8
Abdurrahman al-Jaziri, al-fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Beirut: Dar al-Fikr, 1986, Jilid IV, hlm. 212.
9
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2007, hlm.7
B. Dasar Hukum Pernikahan
Ayat-ayat Al-Qur‟an dan Hadits-hadits Nabi yang memberi anjuran perkawinan
dan menjadi dasar hukum perkawinan diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Ayat-ayat Al-Qur‟an :
‫ِّت‬ ُ‫َا ْنف‬
‫َا ْز َوا ْ ِّن وحفَ و َر ْ ’من‬ ‫سك ْم ا جا لك ْم‬ ‫و ُّٰلال ج لك ْم‬
’‫َدة َزق م ال ِّي‬ ‫م ْي ن‬ ‫ْز َ و ا و ج ل‬ ‫’من‬ ‫ل‬
‫ٰب‬ ‫ّج ’من‬
‫ط‬ ‫ك‬ ‫ك‬
‫ ُر ْو َن‬%ُ‫لِّٰال ْم ْكف‬ َ ِّ ‫ ْؤ‬%‫طل ُي‬ ‫فَ ِّب ا ْل‬%َ‫ا‬
ّ ‫ ْون ن م‬%ُ‫ِّمن‬ ‫َبا‬
‫ت‬
‫ّ ع‬
‫ب‬

‫و‬

Artinya:
“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau isteri) dari jenis kamu
sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rezeki
yang dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari
nikmat Allah?”. (Q.S. an-Nahl ayat 72).10
‫ ُ واسع‬, ‫من‬ ‫ َق‬%ُ‫ ْوا ف‬%ُ‫ك ْون‬ ‫واَ ْن حوا ا ْْلَ َيا ْ ْ و ِّح ن ع ْ ۤ ا ِۗ ْم‬
‫ِه و ال‬ ‫ُّٰلال‬ ‫َر ۤ ا َ ء ي‬ ‫ان‬ ‫ٰمى ن م ال ْي من َبا م‬
‫ض‬ ‫ّه‬ ‫ِّد‬ ‫ص‬ ‫ّك‬
‫ٕى ك‬
‫ُم‬ ‫م ك‬
‫ِّل‬ ‫ك و‬ ‫َع ِّل‬
‫غ‬
ِّ ‫ّل‬ ‫ْ ي ٌم‬
‫ّن‬ ‫ا‬
‫َم‬

Artinya:
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga
orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan.
Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan
karunianya. Dan Allah Maha luas (pemberiannya), Maha mengetahui”. (Q.S. An-Nur
ayat
32)11
َ‫ ث و ُر ِّ خ ْفتُ ْم ا‬%ُ‫ى ا ْل ي ٰت ٰمى ح وا طاب ’من ۤ ٰنى وث‬ ‫ْم َا‬ ‫و ِّان‬
ْ َ ْ
َ ‫ٰبع ان‬ ‫ك ْم ال ِّن’ ا م ل‬% ‫ل‬ ‫ما‬ ‫فَا ْن ِّك‬ ‫و‬
ّ‫ْل‬ ‫ْث‬ ‫ا‬ ‫ّْل ُت ْقس خ‬
‫ّء‬ ‫ط‬ ُ‫ْفت‬
‫س‬
‫ ْولُ ْو ِۗا‬%ُ‫ع‬%‫ َّْل َت‬%َ‫ ْد ٰن ٰٓى ا‬%َ‫ ْي ك ِ ك ا‬%َ‫ما م ت ا‬ ‫ ْع ِّدل ِّح َدةً ا‬%َ‫ت‬
ّ ‫َلك َمان ْم‬ ‫ْوا ْو َوا‬
‫ل‬

‫ذ‬

Artinya:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku

10
Departemen Agama RI,Mushaf Mufassir, Bandung : Penerbit Jabal, 2010, hlm. 274
11
Ibid, hlm. 354
adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian
itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisa’ ayat 3)
2. Hadist-hadits Rasulullah SAW:

‫ص ن ل ْل ف‬ َ‫ْل ِ وأ‬ %ُ‫ َفإَِّّنه‬،‫َ معشر ال ش ب س ط ْ كم ا ْل َف ْل ََيت َ ج‬


، ‫ْر‬ ‫َب ّ ر ح‬ ‫غ‬%َ‫أ‬ ‫ء َة ّو‬ ‫من ا ت اع ن َبا‬ ‫يا‬
‫َبا‬
‫ض ص‬ ‫ز‬
‫ل‬ ‫م‬
‫ص ْو ِّم وجاء‬ ‫س طع َف ه‬ ‫ومن لَ ْم‬
‫ ه‬%ُ‫فَإِّنَّه‬ ‫ت َعَل ْي ال‬

Artinya:
“Wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian telah mampu serta
berkeinginan untuk menikah, karena sesungguhnya pernikahan itu menundukkan
pandangan mata dan memelihara kemaluan, dan barang siapa yang tidak mampu
hendaklah berpuasa, karena puasa akan menjadi perisai baginya”. (H.R Al-Bukhari dan
Muslim).

‫ أَل‬%‫ن س ن ي عن ِ يِّ أ َ رنِ ع ْر َوة‬ ‫ه‬ َ ‫حسان‬ ِّ ‫ا ع‬%َ‫ن‬%َ‫ح َّدث‬


‫ّه‬%َ‫ن‬%َ‫أ‬ ‫ا ل ب ي‬%َ‫ َد ال ُّز ّ ق‬%‫ون ْب ِّزي‬%ُ% ‫ي‬ ‫ي‬ ‫ْبن را‬ ‫ِّل ي مع‬
‫ر‬ ‫َم‬ ‫ْب‬
‫خ‬
‫ه‬
%‫ نَ ى‬%ْ‫طاب من ِ مث‬ ‫ا ِّ حوا‬%‫ َت‬%‫ا فِّي ا ْلي‬%‫سطُو‬ َ‫ْم أ‬ ‫ن َق ْو ِّل ِّه ِّإ‬ ‫ َع‬%َ‫ا ِّئشَة‬
‫نِّ’ ّء‬% ‫ُك ْم ال‬% ‫ل‬ ‫ما‬ ‫ ك‬%‫َمى‬ ‫َى { ن‬%‫ال‬%َ‫ع‬%‫َت‬
‫ا‬ ‫ا‬ ُ‫ّْل ُتْق خ ْفت‬ ‫و‬
ْ‫ن‬
‫ َ ت َيا‬%‫ُوا‬%‫ع ول‬%‫ َّْل َت‬%َ‫ى أ‬%َ‫ ْدن‬%َ‫ِّ ك أ‬
%ُ ْ ‫ ْي‬%َ‫ م َلكَ ت أ‬%‫ َوا‬%َ‫ ف‬%‫ُوا‬%‫ ْع ِّدل‬%َ‫ َّْل ت‬%َ‫ ْم أ‬%ُ‫خ ْفت‬ ‫ث إِّن‬ ‫ ََل‬%ُ‫وث‬
‫اْبن‬ ‫} ل‬ ‫ن م ل‬%‫َما‬ ‫ما‬ ‫اع‬%َ‫ورب‬
‫ ْو‬%َ‫ أ‬%ً‫ِّح َدة‬
‫ا‬ ‫ك‬
‫سَّن ِّة‬ ‫ى‬%َ ‫ ْدن‬%َ‫أ‬ ‫ ِّل َها ي َيَت َز ج‬%‫وج َما‬ ‫ي ما‬ ْ ِ’%‫كو ن حج و ِّل ي‬%‫ َت‬%ُ‫ َمة‬%‫تِّي‬%َ‫ختِّي ا ْل ي‬%ُ‫أ‬
‫من‬ ‫ه‬ ‫ ُد أ‬%‫ِّري‬ ‫ ر‬%‫ ِّر َها‬%‫ِّفي‬
%‫ّو ن ا‬ ‫ّل َها ب‬ ‫َي‬
‫اهُ س و ن من‬ ‫كا‬ ‫ ح‬%‫من‬ ‫ب‬ ‫َداق ِّم وأُ ّ روا ّن‬ ‫ص‬ ‫ُي ْك‬ ‫ِّم‬
َ
‫ ال‬%‫ ُوا‬%‫ل‬ ‫ له‬%‫ا‬%‫طو‬ ‫ن إ ن ُي ْقس‬ ‫ أ ُنهو َي ْن‬%‫ص ا‬ ِ‫ق‬%‫َدا‬ ‫َسا ِّء‬ ِ%’‫الن‬
%‫ن‬ ‫َّْل أ‬ ‫ِّكحو ن‬ ‫َ ها‬

Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Ali Ia telah mendengar Hassan bin
Ibrahim dari Yunus bin Yazid dari Az Zuhri ia berkata; Telah mengabarkan
kepadaku Urwah bahwa ia bertanya kepada Aisyah tentang firman Allah Ta'ala: "Dan
jika kalian khawatir tidak bisa berlaku adil terhadap anak yatim, maka nikahilah wanita
yang baik-baik, dua, tiga, atau empat, jika kalian tidak bisa berlaku adil, maka kawinilah
satu saja, atau hamba sahaya kalian, itu lebih dekat agar kalian tidak melanggar batas
(QS. Annisa' 3). Maka Aisyah menjelaskan, "Wahai anak saudaraku, maksudnya adalah
seorang anak perempuan yatim bertempat tinggal di rumah walinya. Lalu ia pun
menginginkan harta dan juga kecantikannya. Ia ingin menikahinya dengan mahar yang
sedikit, maka mereka dilarang untuk menikahinya kecuali mereka dapat berbuat adil
terhadap mereka
dan menyempurnakan mahar. Karena itu, mereka diperintahkan untuk menikahi wanita-
wanita selain mereka" (H.R Bukhari no 4676).
Berdasarkan dalil-dalil yang menjadi asas disyariatkan perkawinan di atas, bahwa
hukum asal perkawinan adalah mubah. Namun asal hukum melakukan nikah
(perkawinan) yang mubah tersebut bisa berubah-ubah mengikuti ‘illat hukumnya. Hukum
perkawinan berdasarkan kaidah fiqih yang disampaikan, dasar kaidah al-ahkam al
khamsa diantaranya yaitu sebagai berikut:12

a. Wajib
Wajib bagi orang yang telah sanggup untuk kawin, baik lahir maupun batin.
Apabila ia tidak kawin dikhawatirkan bisa terjerumus ke dalam kemaksiatan
(berzina), sebab kebutuhan biologis, kasih sayang, cinta, adalah fitrah insaniah, tidak
bisa ditolak. Perkawinan memiliki tujuan untuk melindungi kehormatan pria dan
Wanita tersebut. Dalam hal ini para ualama sependapat dan tidak ada perbedaan
pendapat diantara mereka. Adapun hal sebaliknya dijelaskan dala Al-Qur’an An-Nur
ayat 33.13
b. Sunnah
Hukumnya sunnah bagi orang yang memiliki kesanggupan materiil maupun
immaterial tapi belum memiliki niat untuk menikah dan dapat mengendalian nafsunya
dengan kata lain ia tidak khawatir terjerumus dalam perbuatan zina.14
Kecuali Imam Syafi’i, Jumhur Ulama berpendapat jika terdapat orang yang demikian
maka baiknya ia diberikan pengertian untuk segera melakukan perkawinan, karena
perkawinan lebih baik dari pada ibadah sunnah lainnya. Karena perkawinan adalah
penyempurnaan setengah agama. Sesuai dabda Nabi Muhammad, yaitu:
“Apabila sesorang telah menikah, sungguh ia telah menyempurnakan setengah dari
agamanya. Hendaklah ia pun selalu bertaqwa kepada Allah dalam menjaganya.”15
c. Mubah
Mubah merupakan kaidah hukum yang bersifat netral yang mengatur suatu
perbuatan boleh dilakukan. Mubah bukanlah suatu perkara yang diperintahkan,

12
Indah Purbasari, Hukum Islam sebgai Hukum
13
Syeck Zainuddin ‘abdul Aziz Al-Malibary, Fathul Muin bi Syahril Qurrotil Aini di terjemahkan oleh Aliy
As’ad, (Kudus: Menara Kudus, 1980), Jilid 3, hal.2.
14
Sayyid Sabiq, Op. Cit, hal. 207.
15
H. R. Tha Thabrani. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam ash Shahihah Juz 2. 625.
dianjurkan ataupun dilarang. Dengan kata lain, perkara mubah memungkinkan
seorang memilih antara melakukan dan meninggalkan. Mubah dalam bahasa hukum
adalah sesuatu yang diizinkan.
Untuk seseorang yang dapat melakukan perkawinan tapi ia tidak melakukan
perkawinan sebab tidak khawatir akan berbuat zina dan jika ia melakukan perkawinan
ia tidak menyianyiakan istri. Perkawinan itu hanya ia lakukan atas dasar memenuhi
nafsuya saja bukan bertujuan menjaga kehormatan agama dan menciptakan rumah
tangga yang sejahtera.
d. Makruh
Makruh pada dasarnya adalah kebalikan dari sunnah. Jika sunnah adalah sesuatu
yang dianjurkan, makruh adalah sesuatu yang dibenci Allah sehingga perbuatan yang
bersifat makruh patut untuk dihindari. 16 Bagi orang yang bisa melakukan perkawinan
dan dapat menahan hawa nafsunya sehingga ia tidak dikhawatirkan melakukan
perbuatan zina meskipun ia tidak kawin. Tetapi ia tidak memiliki keinginan yang kuat
untuk memenuhi kewajiban seorang suami istri yang baik. Dalam pengertian lain bagi
mereka yang kurang memiliki kesanggupan untuk kawin, secara hukum dibenarkan
mereka menikah, hanya dikhawatirkan tak mampu membina rumah tangga secara arif
dan bijaksana.
e. Haram
Haram merupakan suatu bentuk larangan yang bersifat mutlak. Jika orang yang
beragama islam menaati aturan hukum islam maka ia kan memperoleh ganjaran
berupa pahala, jika melanggaranya makai a akan berdosa. Perkara haram ini adalah
kebalikan halal (jaiz/mubah/boleh). Menyatakan sesuatu haram adalah hak-Nya yang
telah jelas terdapat pada al-qur’an dan sunnah. Karenanya, seorang mujtahid wajib
berhati-hati ketika menafsirkan dan menetapkan suatu yang haram terhadap hal yang
bersifat kontemporer.17 Hukum haram disini bagi pernikahan yakni bagi mereka yang
mempunyai niat yang jahat untuk membuat pasangan baik istri maupun suami
menderita.

16
Muhammad Dawud Ali, Loc Cit., hal. 147
17
Yusuf Qardhawi. Loc Cit., hal. 18.
C. Rukun dan Syarat Pernikahan
Rukun dalam bahasa arab ialah rukn, jamaknya arkan, secara harfiyah antara lain
berarti tiang, penopang dan sandaran, kekuatan, perkara besar, bagian, unsur dan elemen.
Sedangkan syarat, dalam bahasa arab ialah syarath, jamaknya syara‟ith, secara literatur
berarti pertanda, indikasi dan memastikan. Dalam istilah ahli hukum Islam, rukun
diartikan sebagai suatu yang terbentuk (menjadi eksis) sesuatu yang lain dari
keberadaannya, mengingat eksisnya sesuatu itu dengan rukun (unsurnya) itu sendiri,
bukan karena tegaknya. Adapun syarat menurut terminologi para fuqaha seperti
diformulasikan Muhammad Al-Khudlari Bek, ialah sesuatu yang ketidak adaannya
mengharuskan (mengakibatkan) tidak adanya hukum itu sendiri.18

Rukun dan syarat memiliki kedudukan yang sangat penting dalam setiap akad
(transaksi) apa pun, termasuk dalam akad nikah. Bedanya, rukun berada di dalam sesuatu
(akad nikah) itu sendiri, sedangkan syarat berada di luarnya. Dikatakan ruknus-sya‟i ma-
yatimmu bihi, rukun adalah sesuatu yang dengannya (sesuatu itu) akan menjadi
sempurna, yang mana rukun itu sendiri merupakan bagian yang ada di dalamnya, berbeda
dengan syarat yang ada di luar dari pada sesuatu itu sendiri.

1. Rukun Nikah

Rukun paling pokok dalam perkawinan ialah adanya kesediaan kedua belah pihak, antar
calon suami dan calon isteri. Keridhaan ini sifatnya kejiwaan (hati), karena itu agar
terlihat secara dzahir bahwa kedua belah pihak ridha untuk menikah, maka harus ada
bentuk dzahirnya, yaitu dalam bentuk Ijab dan Qabul.

Pernyataan pertama disebut Ijab, datang dari pihak wali wanita. Sedangkan pernyataan
kedua, datangnya dari pihak laki-laki, sebagai penerimaan. Dari sinilah kemudian, istilah
Ijab Qabul di ketahui sangat familier dalam pelaksanaan perkawinan.

Agar akad nikah terlaksana, ada rukun dan syarat yang harus dipatuhi bersama. Sebelum
membahas soal syarat terlebih dahulu harus ada rukunnya, di antaranya yaitu:19

18
Muhamad Amin Suma, Op.Cit, hlm.95
19
Abu Qurroh, Pandangan Islam Terhadap Pernikahan melalui internet, Jakarta: PT Golden Terayon
Press,1997, hlm. 58.
a. Calon Istri
Calon mempelai wanita, yang dalam hal ini istri tersebut boleh dinikahi dan sah
secara syar’i karena tidak ada penyebab-penyebab tertentu yang menjadikan
pernikahan terlarang atau dilarang.
b. Calon Suami
Calon mempelai pria yang dalam hal ini harus memenuhi syarat-syarat calon suami.
c. Wali
Wali ialah ayah dari mempelai wanita. Mengenai wali bagi calon mempelai wanita ini
terbagi menjadi dua, yaitu wali aqrab (dekat) dan wali ab’ad (jauh). Karena
perkawinan itu tidak sah tanpa ada izin dari walinya. Hal ini dikarenakan ada hadis
yang diriwayatkan oleh Abu Dawud.
“Telah menceritakan Muhammad bin Katsir, telah mengkabarkan kepada kita
sufyan, telah menceritakan kepada kita ibn Juraij dari Sulaiman bin Musa dari
Azzuhri dari Urwah dari Aisyah, Aisyah berkata: Rasulullah telah bersabda
“Siapapun wanita yang menikah tanpa izin dari walinya, maka nikahnya itu batal
(diucapkan tiga kali).
Menurut Imam Nawawi seperti yang telah dinukil oleh imam Mawardi apabila
seorang wanita tersebut tidak mempunyai wali dan orang yang dapat menjadi hakim
maka ada tiga cara:
1) Dia tetap tidak dapat menikahkan dirinya tanpa adanya wali.
2) Ia boleh menikahkan dirinya sendiri karena darurat.
3) Dia menyuruh kepada seorang untuk menjadi wali bagi dirinya, dan diceritakan
dari Imam Asyayis bagi mereka yang tidak ada wali baginya harus mengangkat
seorang wali (hakim) yang ahli dan mujtahid.

Imam Syafi’i pernah menyatakan, “Apabila dalam suatu rombongan (dalam


perjalanan jauh) ada seorang perempuan yang tidak ada walinya, lalu ia
memperwalikan seseorang laki-laki untuk menikahkannya, maka yang demikian itu
diperbolehkan. Hal ini dapat disamakan dengan memperwalikan seseorang hakim
(penguasa Negara atau pejabat yang mewakilinya) dikala tidak terdapat seorang wali
nikah yang sah.”

Dan apabila terjadi perpisahan antara wali nasab dengan wanita yang akan
dinikahinya, izin wali nasab itu dapat diganti dengan izin wali hakim. Wali menurut
hukum Islam terbagi menjadi dua. Wali nasab yaitu anggota keluarga laki-laki
calon pengantin
perempuan yang mempunyai hubungan darah dengan calon pengantin wanita. Wali
nasab ini digolongkan menjadi dua yaitu wali mujbir (wali yang berhak
menikahkan orang yang diwalikan tanpa meminta izin pendapat wanita) dan wali
nasab biasa (wali yang tidak memiliki kewenangan untuk memaksa menikahkan
tanpa persetujuan wanita). Wali hakim adalah penguasa atau wakil penguasa dalam
bidang perkawinan. Secara garis bersar ada 4 jenis wali dalam pernikahan:

1) Wali Nasab (yang berhubungan darah), memiliki arti bahwa orang yang
memegang hak wali adalah kerabat, hal ini biasa disebut juga tali kekeluargaan. 20
Kerabat yang bisa menjadi wali yaitu; bapak, paman dari jalur bapak, kakek dari
jalur bapak, saudara lelaki kandung, saudara lelaki sebapak, dan anak lelaki
paman dari jalur bapak. Jika wali ini tidak beragam islam, belum balig, atau sakit
pikiran (tubuh bisu atau tuli), wali berpindah ke wali berikutnya.21
2) Wali Hakim, digunakan jika semua wali diatas tidak ada, berpergian jauh, hak
walinya hilang, sedang haji/umroh, wali menolak, dan lain sebagainya.22
3) Wali Muhakkam, merupakan wali yang dipilih dan diangkat calon mempelai
ketika kedua jenis wali diatas tidak ada oleh karena sebab tertentu.23
4) Wali Adhal, yaitu seorang wali yang menolak menikahkan si wanita atau
anaknya.24 Disini hakim berhak menjadi wali apabila kedua mempelai diketahui
sekufu, wali sudah diberi nasihat namun tetap menolak. Ini perlu dilakukan agar
dapat terhindar dari apa-apa yang tidak diinginkan, misalnya kawin lari. Untuk
mendapatkan wali adhal, seorang Wanita yang akan menikah terlebih dahulu
harus membuat pengajuan ke pengadilan agama, lalu pengadilan melakukan
pemeriksaan dan memberikan ketetapan. Jika wali adhal sudah ada, wali hakim
baru bisa menjalankan tugasnya sebagai wali dalam perkawinan.
d. Dua orang saksi.
Menurut juhur ulama’ perkawinan yang tidak dihadiri oleh para saksi yang
menyaksikan, sekalipun diumumkan kepada orang ramai dengan cara lain,

20
Amir Syarifuddin. Op.Cit., hal 75.
21
BKMP, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, (Jakarta: BKMP, 1992), hal. 29-30.
22
Ibid., hal.31.
23
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: Perpustakaan FH UII, 1996), hal. 42.
24
Ahrum Haeruin, Pengadilam Agama, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 47.
perkawinannya tetap tidak sah. Karena saksi merupakana syarat sahnya pernikahan,
bahwa Imam Syafi’i menyatakan bahwa saksi dalam akad nikah itu termasuk rukun.
Rasulullah bersabda: Telah menceritakan Muhammad bin Qadamah bin “Ayun,
menceritakan Abu ‘Ubaidah al-Haddad dari Yunus dan Israil dari Abi Ishaq dari Abi
Bardah dari Abi Musa, sesungguhnya Rasulullah telah bersabda “Tidak sah perkawinan
kecuali dengan wali”
e. Sighat (Ijab Qobul)
Pengucapan: sigat (yakni pengucapan “ijab” yang mengandung menyerahkan dari
pihak wali si perempuan, dan “qabul” yang mengandung penerimaan dari pihak wali
calon suami). Sighat dalam ijab qabul hendaknya dilakukan dengan bahasa yang
dapat dimengerti oleh orang yang melakukan akad, penerima akad, dan saksi. Masing-
masing dari ijab dan qabul terkadang berbentuk ucapan, terkadang juga berupa tulisan
atau isyarat. Lafal-lafal ijab qabul diantaranya ada yang disepakati sah untuk
menikah, ada yang disepakati tidak sah, dan ada juga yang masih diperselisihkan.
Adapun lafal-lafal yang telah disepakati oleh para ahli fikih akan keabsahannya dalam
menikah, seperti lafal aku nikahkan dan aku kawinkan. Itu karena keduanya telah
termaktub di dalam teks Al-Qur‟an surat al-Ahzab ayat 37 yang artinya, “Dan kami
telah mengawinkan dia” dan dalam surat an-Nisa ayat 22, “dan janganlah kalian
nikahi perempuan yang telah dinikahi oleh ayah-ayah kalian”25
Sedangkan lafal-lafal yang telah disepakati akan ketidak absahannya oleh para ahli
fikih adalah lafal-lafal yang tidak menunjukkan akan pemberian hak milik sesuatu
dalam masa sekarang, juga tidak menunjukkan akan langgengnya hak milik sepanjang
hidup, seperti membolehkan, meminjamkan, menyewakan, bersenang-senang
sementara, wasiat, menggadaikan, menitipkan, dan sebagainya.
2. Syarat-syarat Pernikahan
Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Apabila syarat-
syarat tersebut dipenuhi, maka sah perkawinan tersebut dan dalam perkawinan ini
akan menimbulkan kewajiban dan hak bagi suami isteri. Dan mereka akan dapat
meraih kehidupan dengan bahagia dalam jalinan kehidupan rumah tangga.
Perkawinan dalam ajaran Islam ada aturan yang perlu dipatuhi oleh calon mempelai
serta keluarganya agar

25
Wahbah Az-zuhaili, op.cit,hlm 46
perkawinan yang dilakukan sah secara agama sehinga mendapatkan rida dari Allah
SWT.
1) Syarat calon suami
a) Islam
b) Baligh
c) Bukan mahram dari calon istri
d) Tidak terpaksa, tetapi atas kemauan sendiri. Artinya kedua calon pengantin
adalah orang yang bukan haram dinikahi, baik karena haram untuk sementara
maupun untuk selama-lamanya.
e) Tidak sedang menjalankan ihram (haji)
f) Bukan seorang khunsa (diragukan jenis kelaminnya/ mempunyai kelamin
ganda)
2) Syarat calon Istri
a) Islam
b) Baligh
c) Tidak terpaksa, tetapi atas kemauan sendiri
d) Bukan perempuan mahram dengna calon suami.
Seperti yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ 23
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang
perempuan,saudara- saudara bapakmu yang perempuan, saudara saudara
ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-
ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara sesusuan, ibu-ibu isterimu
(mertua) ank-anak isterimu yang ada dalam pemeliharaanmu, dari isteri yang
telah kamu campuri, tetapi bila kamu belum menyampuri isterimu itu (dan
sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan
diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan
menghimpunkan (dalam perkawina) dua perempuan yang bersaudara, kecuali
yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”. Dari ayat tersebut kita dapat memilih bahwa pada ayat
tersebut terbagi menjadi tiga hal: karena ada hubungan nasab (larangan ini
untuk selama lamanya), larangan
perkawinan karena ada hubungan musaharah (perkawinan), larangan
perkawinan karena susuan.
e) Bukan seorang khunsa (diragukan jenis kelaminnya/ mempunyai kelamin
ganda)
f) Bukan dalam ihram haji atau umrah
g) Tidak dalam iddah
h) Bukan istri orang
3) Syarat Wali
a) Islam
b) Laki-laki
c) Baligh
d) Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
e) Bukan dalam ihram haji atau umrah
f) Tidak fasik
g) Tidak cacat akal pikiran
h) Merdeka
i) Adil
4) Syarat Saksi
a) Sekurang-kurangya dua orang saksi
b) Islam
c) Berakal
d) Baligh
e) Laki-laki
f) Memahami kandungan lafal ijab dan kabul
g) Dapat melihat, mendengar dan berbicara
h) Adil
i) Merdeka
5) Syarat Ijab qabul26
a) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
b) Adanya pernyataan menerima dari calon mempelai

26
Madani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, Yogyakarta: Graha Ilmu,2011, hlm.10
c) Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut
d) Antara ijab dan qabul bersambung
e) Orang yang terkait ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umrah
f) Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimal empat orang yaitu calon
mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita, dan dua orang saksi.

D. Macam-Macam Pernikahan Terlarang


Pernikahan terlarang yaitu pernikahan yang dilakukan bagi orang yang
tidakmempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan sertatanggungjawab untuk
melaksanakan kewajiban-kewajiban dalamrumah tangga sehingga apabila
melangsungkan pernikahan akanterlantarlah dirinya dan istrinya, maka hukum
melakukanpernikahan bagi oran tersebut adalah haram. Keharaman nikah inikarena nikah
dijadikan alat untuk mencapai yang haram secarapasti, sesuatu yang menyampaikan
kepada yang haram secarapasti, maka ia haram juga. Jika seseorang menikahi wanita
pastiakan terjadi penganiayaan dan menyakiti sebab kenakalan laki-laki itu, seperti
melarang hak-hak istri, berkelahi dan menahannya untukdisakiti, maka menikah menjadi
haram untuknya.27
Sesungguhnya keharaman nikah pada kondisi tersebut, karena nikah disyari’atkan
dalam Islam untuk mencapai kemaslahatan dunia dan akhirat. Hikmah kemaslahatan ini
tidak tercapai jika nikah dijadikan sarana mencapai bahaya, kerusakan,dan penganiayaan.
Disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 195 juga telah melarang orang
melakukan hal yang akan mendatangkan kerusakan.
Sedangkan macam-macam nikah yang diharamkan menurut syari’atadalah antara
lain sebagai berikut:
1. Nikah syighar
Yang dimaksud nikah syighar yaitu seorang ayah (wali) Menikahkan
putrinya/saudarinya dengan seorang pria dengan syarat agar pria tersebut
menikahkan ayah/ wali calon istrinya dengan putri atau saudari perempuan tersebut
dan tanpa menggunakan mahar. Pernikahan semacam ini diharamkan dalam islam,
sebagaimana sabda rasulullah saw. “Tidak ada nikah syighar dalam islam.” (HR
muslim dari Ibnu Abas, Ibnu Majah, dan Anas bin Malik)

27
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat (Khitbah,Nikah,
dan Talak),(Jakarta: Amzah, 2009) hlm. 4
Dalam riwayat ibnu majah dari ibnu umar di jelaskan”rasulullah saw. Melarang
nikah syighar, dan contoh kawin syighar yaitu seorang laki-
laki berkata pada temannya,kawinkanlah putrimu atau saudarimu
dengan saya, nanti saya kawinkan putrimu dengan putriku atau saudariku dengan
syarat kedua-duanya bebas mahar.” Nikah syighar diharamkan oleh ajaran islam
karena:
a. Dalam nikah syighar tidak ada mahar.
b. Dalam nikah syighar, istri tidak mendapat manfaat apa-apa,sebab pemberian
oleh suami dimanfaatkan oleh ayah atau walinya.
c. Pemberian anak perempuan tidak berfungsi sebagai mahar
d. Pelaksanaan nikah syighar bersyarat kalau calon suami memberikan putrinya
atau saudarinya kepada calon mertua28
2. Nikah Tahlil

Nikah tahlil ialah nikah yang dilakukan seorang pria dengan seorang wanita yang
ditalak tiga dan telah habis masa idahnya,kemudian lelaki tersebut menalaknya juga
dengan maksud agar suami pertamanya tersebut dapat mengawininya kembali.
Hukum nikah tahlil adalah dosa besar dan mungkar karena diharamkan oleh allah
serta diancam mendapat laknat. Hal ini dijelaskan dalam hadist riwayat Ahmad dari
Abu Hurairah, “allah melaknat muhallil (yang kawin/pria suruhan bekas suami
pertama wanita yang ditalak tiga) dan muhalallnya (bekas suami pertama yang
menyuruh orang menjadi muhallil). ”Dalam riwayat Tirmidzi dari Abdullah Ibnu
Mas’ud dijelaskan juga, “ rasulullah saw. melaknat muhallil dan muhallal-nya”29

3. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah yaitu nikah yang di tentukan lama nya (jangka waktu pernikahannya),
misaalnya, tiga hari, satu bulan, dan sebagainya. Artinya, nikah mut’ah adalah
menikahi wanita dengan batas waktu tertentu. Dalam nikah mut’ah tidak ada talak
sebab pernikahan itu berakhir dengan sendirinya pada saat berakhirnya pernikahan
tersebut. Pelaksanaan nikah mut’ah pun berbeda dengan pernikahan biasa. Demikian

28
DRS. KH. Miftah Faridl, 150 masalah nikah keluarga (Jakarta: Gema Insani,1999) hal.53
29
Ibid., hal 56.
juga perceraian setelah pernikahan tersebut berakhir, wanita tidak mempunyai hak
apa-apa, seperti nafkah, warisan, soal nasab, dan lain-lain.
4. Menikah dengan Wanita yang sedang dalam masa Iddah
Yang dimaksud ‘iddah adalah masa menunggu bagi wanita dengan tujuan untuk
mengetahui kosongnya rahim, atau dilakukan dalam rangka ibadah, atau dalam
rangka berkabung atas meninggalnya suami.
Nikah dengan wanita yang masih dalam masa idah adalah tidak sah, kalau yang
bersangkutan (pria atau wanita yang menikah tersebut) tahu bahwa wanita tersebut
dalam masa idah dan yang bersangkutan juga tahu bahwa nikah dengan wanita dalam
masa idah itu tidak boleh maka mereka berdosa.
Kalau pernikahan itu dilakukan karena tidak tahu (tidak tahu bahwa wanita yang
dinikahi sedang dalam masa idah atau tidak tahu bahwa wanita yang sedang dalam
masa idah tidak boleh nikah) maka begitu mereka tahu mereka harus pisah karena
pada dasarna mereka bukan suami-istri yang sah, dan wanita yang masih dalam masa
idah adalah hak suami yang menceraikan untuk sewaktu waktu rujuk kembali dalam
masa idah tersebut. Apabila mereka hendak melanjutkan pernikahan hendaknya
mereka melakuka akad nikah lagi setelah selesai masa idah sesuai dengan ketentuan
syariat. Akan tetapi, Imam Malik berpendapat sebagaimana dikutip dari buku al-
fiqhu ‘ala madzahib al-khamsah, manakah laki-laki itu kemudian mencampurinya
(disaat Wanita yang dinikahinya masih dalam masa iddah) maka Wanita itu menjadi
haram selama- lammanya, tetapi bila tidak maka dia (Wanita) tersebut tidak haram
untuk dinikahi.
Peraturan pencatatan nikah dan sekaligus pencatatan perceraian sebagaimana yang
berlaku di negara republic indonesia ini sangat penting untuk menghindari adanya
kemungkinan peristiwa seperti itu.
5. Nikah Badal
Suatu pernikahan dengan tukar menukar istri misalnya seorang yang telah beristri
menukarkan istrinya dengan istri orang lain dengan menambah sesuatu sesuai
kesepakatan dengan kedua belah pihak.
6. Nikah Istibdlo’
Yaitu suatu pernikahan dengan sifat sementara yang dilakukan oleh seorang wanita
yang sudah bersuami dengan laki-laki lain dengan tujuan mendapat benih keturunan
laki-laki tersebut, setelah jelas diketahui kehamilannya dari laki-laki tersebut maka
diambil lagi oleh suami pertama.
7. Nikah Righot
Yaitu suatu pernikahan yang dilakukan oleh laki-laki secara bergantian menyetubuhi
seorang wanita, setelah wanita tersebut hamil dan melahirkan maka wanita tersebut
menunjuk satu diantara laki-laki yang turut menyetubuhinya untuk berlaku sebagai
bapak dari anak yang dilahirkan kemudian antara keduanya berlaku kehidupan
pernikahan sebagai suami istri.
8. Nikah Baghoya
Artinya nikah yang di tandai dengan adanya hubungan seksual antara beberapa
wanita tuna susila dengan beberapa laki-laki tuna susila, setelah terjadi kehamilan
diantara wanita tersebut maka dipanggilah seorang dokter untuk menentukan satu
diantara laki- laki tersebut sebagai ayahnya berdasarkan tingkat kemiripanantara anak
dengan laki- laki yang menghamili ibu dari anak yang lahir tersebut.30

E. Tujuan Pernikahan
Laki-laki dan perempuan adalah jiwa yang satu. Satu dalam karakteristik
penciptaannya, walaupun ada perbedaan dalam hal fungsi dan tugasnya, akan tetapi
perbedaan tersebut mengandung makna yang mendalam. Salah satunya yaitu agar salah
satu pihak merasa tentram dan nyaman berada di samping pasangannya. Adapun
beberapa tujuan dari pernikahan adalah sebagai berikut:

1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi


Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan.
Pernikahan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan yaitu
dengan aqad nikah (melalui jenjang pernikahan), bukan dengan cara yang di larang oleh
agama seperti berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya
yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.
2. Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur
Sasaran utama dari disyari’atkannya pernikahan dalam Islam di antaranya ialah
untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah

30
https://ml.scribd.com/doc/17222298/Pernikahan-Yang-Dilarang-Dalam-Islam
menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang
pernikahan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara
pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Artinya : Wahai para pemuda!
Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah
itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan
barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu
dapat membentengi dirinya”.
3. Untuk membentuk rumah tangga yang Sakinah, mawaddah, dan rahmah (keluarga
yang tentram, penuh cinta kasih, dan kasih sayang) sebagaimana yang dijelaskan
dalam AlQur‟an surat Ar-Ruum ayat 21:
‫َف َّك‬%َ‫ ْز ل سكُنُ ْٰٓوا ِّال وج َع َل َو َ ح ن ذ ٰ ت ل’َق ْو ٍم َّيت‬%‫سُك ْم َا‬ َ‫و ٰٓه ا خل كُ ْن ا‬
‫ُر ْو َن‬ ‫َب ْي نَ ُك ْم َّدةً م ر َمةً ِۗا ِّفي ِّلك ْل‬ ’ ُ ْ ‫ْن ا ٰي ق ْم‬
‫نف ’م‬
‫ْي َها‬ ‫َواجا‬
‫ٰي‬ ‫ت‬ ‫ّم ْن‬
‫و‬ , ‫ّت‬
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”
4. Ikatan perkawinan sebagai mitsaqan ghalizan sekaligus mentaati perintah Allah SWT
bertujuan untuk membentuk dan membina tercapainya ikatan lahir batin antara
seorang pria dan wanita sebagai suami isteri dalam kehidupan rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan syariat hukum Islam.
5. Untuk menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang halal, serta
memperbesar rasa tanggung jawab.
6. Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Nikah ialah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikat diri antara
seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk menghalalkan suatu hubungan kelamin
antara keduanya sebagai dasar suka rela atau keridhaan hidup keluarga yang diliputi rasa
kasih sayang dan ketentraman dengan cara yang diridhai Allah SWT. Dasar hukum
pernikahan banyak tercantum dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits, dan pernikahan
merupakan Sunnah Rasulullah. Hikmah dalam pernikahan yaitu mampu menjaga
kelangsungan hidup manusia dengan jalan berkembang biak dan berketurunan, mampu
menjaga suami istri terjerumus dalam perbuatan nista dan mampu mengekang syahwat
serta menahan pandangan dari sesuatu yang diharamkan, mampu menenangkan dan
menentramkan jiwa, serta mampu membuat wanita melaksanakan tugasnya sesuai dengan
tabiat kewanitaan yang diciptakan.
B. Saran
Dari beberapa uraian diatas jelas banyaklah kesalahan serta kekeliruan, baik
disengaja maupun tidak, maka dari itu penulis harapkan kritik dan sarannya untuk
memperbaiki segala keterbatasan yang penulis punya, sebab manusia adalah tempatnya
salah dan lupa.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. 2009. Fiqh
Munakahat (Khitbah,Nikah, dan Talak),Jakarta: Amzah.
Abu Qurroh. 1997. Pandangan Islam Terhadap Pernikahan melalui internet, Jakarta: PT
Golden Terayon Press.
Ali, Zainudin. 2007. Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Al-Jaziri, Abdurrahman. 1986. Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah. Beirut: Dar al-Fikr
Amin Suma, Muhammad Op. Cit,
Az-zuhaili, Wahbah. 2011. Al-Fikih Al-Islam Wa Adillatuhu, penerjemah, Hayyie al-
Kattani, Abdul, Fikih Islam 9, Jakarta: Gema Insani.
Departemen Agama RI. 2010. Mushaf Mufassir, Bandung: Penerbit Jabal.
H. R. Tha Thabrani. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam ash Shahihah
Juz 2. 625.
Kamal, Mukhtar. 1974. Asas-asa Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan
Bintang
Madani. 2011. Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Miftah Faridl, 150 masalah nikah keluarga (Jakarta: Gema Insani,1999) hal.53
Nasution, Khoirudin. 2003. Draf UU Perkawainan Indonesia: Basis Filosofis dan
Implikasinya dalam Butir-butir UU. Jurnal UNISIA Nomor 48/XXVI/II/2003
Sudarsono. 1997. Hukum Keluarga Nasional. Jakarta: Rineka Cipta
Zaidun, Achmad dan Asrori, A. Ma’ruf. 1997. Terjemah Kifayatul Akhyar dari kitab
Kifaayatul akhyar fii Alli Ghayatil Ikhtishaar, Surabaya: PT Bina Ilmu.
Zainuddin ‘abdul Aziz Al-Malibary, 1980. Fathul Muin bi Syahril Qurrotil Aini di
terjemahkan oleh Aliy As’ad, (Kudus: Menara Kudus.

Anda mungkin juga menyukai