Anda di halaman 1dari 24

HUKUM PERNIKAHAN DAN PERNIKAHAN

TERLARANG DALAM ISLAM


ANALISA HOMOSEKS, LESBIAN, ONANI DAN
MENSTRUBASI DALAM ISLAM

Disusun Untuk Menenuhi Tugas Individu Dan Dipresentasikan


Pada Mata Kuliah Fiqih III (Tafsir Ahkam) -3 Di Semester V-B

Oleh :
Khozainil Fauza

Dosen Pengampu :
Ali Mustofa, M.Pd.I.

PRODI S-I MENEJEMEN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
AL URWATUL WUTSQO – JOMBANG
2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Puji dan syukur kita kehadirat Allah SWT. Atas segala limpahan rahmat
dan taufik serta hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas
kelompok dalam mata kuliah Fiqih III (Tafsir Ahkam) -3 Di Semester V-B ,
dengan judul “Hukum Pernikahan Dan Pernikahan Terlarang Dalam Islam.
Analisa Homoseks, Lesbian, Onani Dan Menstrubasi Dalam Islam”
Shalawat beserta salam senantiasa tercurahkan kepada nabi Muhammad
SAW. Kepada keluarganya, sahabatnya, kepada pengikutnya yang senantiasa
mencontoh kemuliaan akhlaknya sebagai tauladan hidup.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu
kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata saya ucapkan terima kasih terutama kepada Dosen pembimbing
Ali Mustofa, M.Pd.I. serta teman-teman sekelas yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT. Senantiasa
meridhoi segala usaha kita. Amiin.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Kediri, 19 Agustus 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan masalah.........................................................................................1
Dari latar belakang diatas timbul permasalahan yang perlu di dibahas sedikit
tentang:.................................................................................................................1
C. Tujuan...........................................................................................................1
BAB II......................................................................................................................3
PEMBAHASAN......................................................................................................3
A. Pengertian Pernikahan Menurut Hukum Islam dan Undang-undang...........3
B. Hukum Nikah................................................................................................5
C. Pernikahan Terlarang Dalam Islam...............................................................8
BAB III..................................................................................................................12
ANALISA..............................................................................................................12
A. Pengertian Homeseksual, Lesbi dan Onani.................................................12
B. Hukum Homeseksual dan lesbi...................................................................12
C. Hukum Onani/Mestrubasi...........................................................................15
BAB IV..................................................................................................................18
PENUTUP..............................................................................................................18
A. Kesimpulan.................................................................................................18
B. Kritik dan Saran..........................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................21

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa terlepas dari
ketergantungan dengan orang lain. Menurut Ibnu Khaldun, manusia itu
(pasti) dilahirkan di tengah-tengah masyarakat, dan tidak mungkin hidup
kecuali di tengah-tengah mereka pula, manusia memiliki naluri untuk hidup
bersama dan melestarikan keturunannya, ini diwujudkan dengan adanya
pernikahan.1
Tujuan pernikahan bisa dicapai dengan adanya prinsip bahwa
penikahan adalah untuk selamanya, bukan hanya dalam waktu tertentu saja.
Karena prinsip perkawinan dalam Islam seperti itu, oleh karenanya dalam
islam ada beberapa nikah yang tidak di perbolehkan sebab tidak sesuai
dengan prinsip awal, juga banyak hal-hal terkait dengan masalah penikahan
yang sudah di tentukan tentang hukum haram atau halalnya dalam Islam.2
B. Rumusan masalah
Dari latar belakang diatas timbul permasalahan yang perlu di dibahas
sedikit tentang:
1. Apa pengertian pernikahan menurut hukum islam dan undang-undang ?
2. Bagaimanakah hukum nikah dalam islam ?
3. Apa saja pernikahan yang terlarang dalam islam ?
4. Bagaimana analisa dari homoseks, lesbian, onani dan menstrubasi
dalam islam
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian pernikahan menurut hukum islam dan undang-
undang.
2. Memahami hukum nikah dalam islam.
1
Muhammad At-Tihami, Merawat Cintah Kasih Menurut Syriat Islam, (Surabaya :
Ampel Mulia, 2004), 9.
2
Ibid.,10.

[1]
3. Mengetahui pernikahan yang terlarang dalam islam.
4. Memahami analisa homoseks, lesbian, onani dan menstrubasi dalam
islam.

[2]
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Pernikahan Menurut Hukum Islam dan Undang-undang
Istilah nikah berasal dari bahasa Arab yaitu ‫اح‬DD‫النك‬. adapula yang
mengatakan perkawinan menurut istilah fiqh dipakai perkataan nikah dan
perkataan zawaj. Sedangkan perkawinan adalah ;
‫عبارة عن العقد المشهور المشتمل على األركان والشروط‬
Sebuah ungkapan tentang akad yang sangat jelas dan terangkum atas rukun-
rukun dan syarat-syarat. Para ulama fiqh pengikut mazhab yang empat
(Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hanbali) pada umumnya mereka
mendefinisikan perkawinan pada
‫ بلفظ انكاح أو تزويج أو معناهما‬ ‫عقد يتضمن ملك وطء‬
Akad yang membawa kebolehan (bagi seorang laki-laki untuk berhubungan
badan dengan seorang perempuan) dengan (diawali dalam akad) lafazh
nikah atau kawin, atau makna yang serupa dengan kedua kata tersebut.3
Menurut istilah hukum Islam pernikahan adalah:
.‫ال ّزواج شرعا هو عقد وضعه الشارع ليفيد ملك استمتاع ال ّرجل بالمرأة وحل استمتاع المرأة بالرّجل‬
Yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang-senang
antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya
perempuan dengan laki-laki.4
Menurut undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan
yang termuat dalam pasal 1, yang selengkapnya berisi sebagai berikut
“Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pengertian tersebut lebih diperjelas oleh KHI Pasal 2 bahwa pernikahan
menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad sangat kuat atau

3
Ahmad Rafi Baihaqi, Membangun Surga Rumah Tangga (Surabaya: Gita Mediah
Press, 2006), 12.
4
Mahjudin. Masail Fiqhiyah (Jakarta: Kalam Mulia, 2007), 29.

[3]
mitsaqan ghalidzan, untuk perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.5
Islam memandang pernikahan (nikah) adalah salah satu fitrah manusia
dan merupakan perbuatan manusia yang terpuji dalam rangka menyalurkan
nafsu seksualnya agar tidak menimbulkan kerusakan pada dirinya atau pada
masyarakat.
Pernikahan disamping merupakan proses alami tempat bertemunya
antara laki-laki dan perempuan agar diantara mereka mendapatkan
kesejukan jiwa dan raga mereka, juga merupakan ikatan suci antara laki-laki
sebagai suami dan perempuan sebagai istrinya. Firman Allah SAW. Q.S. An
Nisa ayat 21 yang artinya:
“Dan mereka istri-istri telah mengambil dari kamu sekalian
perjanjian yang kuat”.8Dijelaskan bahwa pernikahanmerupakan
ikatan yang paling suci dan paling kokoh diantara suami istri”.
Didalam Q.S. Al-Baqarah: 187 yang artinya:
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur
dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan
kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allahmengetahui bahwasanya
kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allahmengampuni
kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah
mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allahuntukmu, dan
makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang
hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai
(datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang
kamu beri'tikaf, dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah
kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepada manusia, supaya mereka bertakwa”.

Pernikahan juga merupakan media untuk membentuk suatu keluarga


yang tenteram dan penuh kasih sayang (sakinah mawadah warohmah)

5
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Jakarta: CV Haji Masagung, 1988), 21.

[4]
berdasarkan nilai-nilai Agama yang menuntut adanya interaksi saling asah,
asih dan asuh diantara suami istri.6
Pengertian penikahan terdiri dari beberapa devinisi, yaitu sebagai
berikut:
1. Ulama Hanafiah mendefinisikan pernikahan atau perkawinan sebagai
suatu akad yang berguna untuk memiliki mut’ah dengan sengaja.
Artinya, seorang laki-laki dapat menguasai perempuan dengan seluruh
anggota badannya untuk mendapatkan kesenangan dan kepuasan.
2. Ulama Syafi‟iyah mengatakan bahwa pernikahan adalah suatu akad
dengan menggunakan lafaz “nikah” atau “zauj”, yang menyimpan arti
memiliki. Artinya dengan pernikahan, seseorang dapat memiliki atau
mendapatkan kesenangan dari pasangannya.
3. Ulama Malikiyah menyebutkan bahwa pernikahanadalah suatu akad
yang mengandung arti mut’ahuntuk mencapai kepuasan dengan tidak
mewajibkan adanya harga.
4. Ulama Hanabilah mengatakan bahwa pernikahan adalah akad dengan
menggunakan akad “nikah” atau “tazwij”untuk mendapatkan kepuasan,
artinya seorang laki-laki dapat memperoleh kepuasan dari seorang
perempuan dan sebaliknya.7
B. Hukum Nikah
Nikah merupakan sunnatullah yang dasarnya terdapat dalam
kitabullah dan sunnatullah. Firman AllahSWT. Q.S:An-nisa yang artinya:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya
Allahmenciptakan istrinya; dan dari pada keduanya
Allahmemperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak. Dan bertakwalah kepada Allahyang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama

6
Zuhdi, Masail, 38.
7
At-Tihami, Merawat Cintah, 18.

[5]
lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah
selalu menjaga dan mengawasi kamu”.
Allah SWT. Berfirman Q.S. Yasin: 36 yang artinya:

“Maha Suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-pasangan


semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan
dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”.

Allah SWT. Menciptakan makhluknya tak terkecuali termasuk


manusia adalah saling berpasangan, agar dijadikan renungan manusia,
bahwa pada dasarnya keberadaan manusia yang oleh Allahdi berikan
pasangan hidup, bagi suami mendapatkan istri dan istri mendapatkan
suami. Demikian ini bukanlah suatu kejadian kebetulan saja namun
merupakan bahan renungan agar manusia saling menyadari bahwa
pertemuan suami dan istri mengandung tuntutan agar kehidupan
keduanya dapat melangsungkan kehidupan serta mengembangkan
keturunan. Firman Allah SWT. Q.S. An-Nuur yang artinya:

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu,


dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba
sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. jika mereka miskin Allahakan memampukan mereka
dengan kurnia-Nya. dan AllahMaha luas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui”.

Berdasarkan ijma para ulama sepakat bahwa nikah adalah


perbuatan yang mulia dan banyak memberikan kemanfaatan, bahkan
dengan nikah dapat mengurangi jumlah pelanggaran dibidang
perzinahan yang akan mengakibatkan kerusakan, bukan saja pada
dirinya sabagai penzina tetapi pada masyarakat bahkan bangsa.8

8
Syaikh Kamil Muhammad ‘uwaidah, Fiqih Wanita (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
1998), 48.

[6]
Asal hukum melakukan perkwinan itu menurut pendapat sebagian
besar para fuqoha adalah mubah atau ibadah (halal dan dibolehkan). Dengan
demikian, dapat diketahui secara jelas tingkatan maslahat taklif perintah
(thalabal fiil) taklif takhir, dan taqlif larangan (thalabal kaff). Dalam taqlif
larangan, kemaslahatanya adalah menolak kemafsadatan dan mencegah
kemudharatan. Disini perbedaan tingkat larangan sesuai dengan kadar
kemampuan merusak dan dampak negatif yang ditimbulkan. Oleh karena
itu, meskipun pernikahan itu asalnya adalah mubah, namun dapat merubah
menurut ahkamal-khasanah menurut perubahan keadaan, yaitu:

1. Pernikahan yang dihukumi sunnah


Hukum menikah akan berubah menjadi sunnah apabila orang yang
ingin melakukan pernikahan tersebut mampu menikah dalam hal
kesiapan jasmani, rohani, mental maupun meteriil dan mampu menahan
perbuatan zina walaupun dia tidak segera menikah. Sebagaimana sabda
Rasullullah SAW :
“Wahai para pemuda, jika diantara kalian sudah memiliki
kemampuan untuk menikah, maka hendaklah dia menikah, karena
pernikahan itu dapat menjaga pandangan mata dan lebih dapat
memelihara kelamin (kehormatan); dan barang siapa tidak
mampu menikah, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu
menjadi penjaga baginya.” (HR. Bukhari Muslim)
2. Pernikahan yang dihukumi wajib
Hukum menikah akan berubah menjadi wajib apabila orang yang
ingin melakukan pernikahan tersebut ingin menikah, mampu menikah
dalam hal kesiapan jasmani, rohani, mental maupun meteriil dan ia
khawatir apabila ia tidak segera menikah ia khawatir akan berbuat zina.
Maka wajib baginya untuk segera menikah
3. Pernikahan yang dihukumi makruh
Hukum menikah akan berubah menjadi makruh apabila orang
yang ingin melakukan pernikahan tersebut belum mampu dalam salah

[7]
satu hal jasmani, rohani, mental maupun meteriil dalam menafkahi
keluarganya kelak
4. Pernikahan yang dihukumi haram
Hukum menikah akan berubah menjadi haram apabila orang yang
ingin melakukan pernikahan tersebut bermaksud untuk menyakiti salah
satu pihak dalam pernikahan tersebut, baik menyakiti jasmani, rohani
maupun menyakiti secara materiil.
Dari uraian di atas menggambarkan bahwa dasar pernikahan menurut
Islam, pada dasarnya bisa menjadi wajib, haram, sunnah, dan mubah
tergantung dengan keadaan maslahat atau mafsadatnya.9
C. Pernikahan Terlarang Dalam Islam
Pernikahan adalah sunnah yang sangat dianjurkan oleh Islam.
Halalnya hubungan antara seorang pria dan wanita bahkan menjadi
penggenap setengah kesempurnaan agama, bunyi salah satu hadits Nabi
Muhammad SAW. Bahkan misi Iblis terbesar adalah memisahkan ikatan
kaum muslimin terutama pasangan suami istri. Bercerai adalah halal namun
sangat dibenci.
Namun meski menikah adalah amalan utama, ada enam jenis
pernikahan yang justru di larang oleh syariat. Dikutip dari buku Fiqih
Wanita, karangan Syeikh Muhammad Mutawwali Sya'rawi, enam bentuk
pernikahan yang terlarang itu adalah sebagai berikut:
1. Nikah Mut'ah
Nikah mut'ah adalah pernikahan yang dibatasi dengan waktu
tertentu, misal menikahi istri untuk setahun, sebulan bahkan sehari.
Setelahnya usai atau bercerai. Hukumnya adalah haram.
Kalangan syiah membolehkan bahkan menganjurkan nikah model
ini. Pernikahan harus didasari atas kehendak tulus untuk menjalani hidup
berkeluarga dengan segala resikonya. Lelaki yang melakukan nikah
mut'ah tidak menginginkan apapun dari kehidupan berkeluarga kecuali
menikmati tubuh istrinya :

9
Mahjudin. Fiqhiyah . 48.

[8]
"Dan diantara tanda-tanda (kebesaran-Nya) adalah Dia
menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri,
agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia
menjadikan di antaramu rasa kasih sayang. Sungguh pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah)
bagi kaum yang berpikir," (QS Ar-Rum: 21).
Rasulullah SAW memang pernah menghalalkan nikah mut'ah,
namun hal itu dilakukan pada saat berperang, ketika para pasukan
meninggalkan keluarganya dalam jangka waktu yang lama. Beliau
kemudian mengharamkan dengan bersabda yang artinya :
"Wahai manusia! Aku pernah mengizinkan kalian untuk melakukan
nikah mut'ah. Sejak hari ini, Allah telah mengharamkannya hingga
hari kiamat. Barang siapa yang masihuang ar memiliki istri dari
nikah mut'ah itu hendaklah melepaskannya tanpa memungut kembali
apa yang telah diberikannya," (HR Muslim, Nasa'i, Abu Daud, Ibnu
Majah, Ahmad, Darimi)
2. Nikah Syighar
Nikah syighar terjadi ketika seorang lelaki menikahi saudari
temannya dengan syarat temannya itu bisa menikahi saudarinya juga.
Nikah syighar identik dengan tukar menukar saudara perempuan. Pada
konteks yang lebih luas, nikah syighar itu bisa juga dilakukan antara dua
orang ayah dengan dua anak perempuannya.
Hukum nikah syighar adalah haram. Rasulullah SAW bersabda
yang artinya ;
"Tidak ada nikah syighar dalam Islam," (HR Muslim, Tirmidzi,
Nasa'i, Ibnu Majah dan Ahmad)

Nikah syighar ini bisa memperluas konflik suami istri menjadi


konflik keluarga besar. Dan Islam melarang kita mengikat suatu
hubungan pernikahan dengan hubungan pernikahan lainnya.

3. Nikah Muhallil

[9]
Seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita untuk
menghalalkannya bagi suaminya yang lama, disebut muhallil. Hukum
pernikahan semacam itu adalah haram, sesuai sabda Rasulullah SAW
yang artinya ;
"Allah melaknat seorang laki-laki yang menjadi muhallil dan
suami yang memintanya menikahi istrinya," (HR Tirmidzi, Nasa'i,
Abu Daud, Ibnu Majah dan Ahmad)
4. Nikah ketika Ihram
Tidak boleh melakukan pernikahan di saat sedang ihram haji atau
umrah. Rasulullah SAW bersabda yang artinya ;
"Orang yang sedang dalam keadaan ihram tidak boleh menikah
atau dinikahi," (HR Tirmidzi, Nasa'i, Abu Daud, Ibnu Majah dan
Ahmad)
5. Nikah dengan Pezina
Allah SWT berfirman yang artinya ;
"Laki-laki pezina tidak boleh menikah kecuali dengan perempuan
pezina atau perempuan musyrik. Dan perempuan pezina tidak
boleh menikah kecuali dengan laki-laki pezina atau laki-laki
musyrik. Dan yang demikian diharamkan bagi kaum mukminin,"
(QS An-Nur: 3)
Ayat ini mengharamkan pezina menikah dengan orang mukmin
baik-baik. Akan tetapi, tidak semua pezina haram dinikahi. Pezina yang
haram dinikahi adalah mereka yang kemungkinan besar akan melakukan
perbuatan zina lagi.
Dengan demikian, orang yang pernah melakukan zina kemudian
bertobat dan tidak mengulanginya lagi, boleh dinikahi. Rasulullah SAW
bersabda yang artinya:
"Orang yang bertobat bertobat dari dosa-dosanya sama seperti
orang yang tidak berdosa," (HR Ibnu Majah)
6. Nikah Sirri

[10]
Nikah sirri yang dilarang di sini adalah nikah yang tidak legkap
syarat-syaratnya, seperti nikah yang dilakukan tanpa wali dan saksi.10

10
Syaikh Kamil. Wanita, 60-63.

[11]
BAB III

ANALISA
A. Pengertian Homeseksual, Lesbi dan Onani
1. Homeseksual
Adalah hubungan seksual antara dua orang yang berkelamin sama
(pria dengan pria). Homosek (liwatt) dilakukan dengan cara memasuka
penis kedalam anus.
a. Lesbi
Adalah hubungan seksual antara dua orang yang sama jenis
kelaminya (wanita dengan wanita), lesbian dilakukan dengan cara
mastubasi dengan berbagai cara untuk mendapatkan puncak kenikmatan
(Climax of sex at).
2. Onani/masturbasi
Adalah seks yang dilakukan dengan tangan sendiri. Islam
memandangnya sebagai perbuatan yang kurang etis dan tidak praktis
dan tidak patut untuk dilakukan.11
B. Hukum Homeseksual dan lesbi
Menurut UUD Perbuatan kaum homo, baik scara sexs sesama pria
(homosex) maupun sesama kaum wanita (lesbian) merupakan salah satu
tindak kejahatan (jarimah/jinayah) yang dapat diancam dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun menurut hukum pidana perundang-
undangan RI Vide pasal 292 kitab UU hukum pidana. Bahwa pelaku
homeseksual dan lesbian akan dijerat hukuman penjara paling lama lima
tahun.12
Menuirut fiqih jinayah (hukum pidana islam), homoseks (liwatt)
termasuk dosa besar sebab sudah termasuk zina dan haram beradasarkan
kesepakatan para ahli fiqih yang mengharamkan dan berdasarkan hadits

11
Mahjudin. Fiqhiyah , 109.
12
Mulyanto. KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) (Jakarta: Bina Aksara,
1985), 54.

[12]
Nabi yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, Muslim dan Al-tirmidzi
yang artinya:
“Janganlah pria melihat aurat pria lain, dan janganlah seorang
wanita melihat aurat wanita lain dan janganlah bersentuhan pria
dengan pria lain dibawah sehelai selimut/kain, dan janganlah pula
seorang wanita bersentuhan dengan wanita lain dibawah sehelai
selimut/kai”.
Berkaitan dengan usul fiqh, perbuatan ini merupakan suatu larangan
yang harus meninggalkan suatu perbuatan dari yang lebih tinggi pada yang
lebih rendah (nahy/larangan). Berdasarkan usul fiqh (nahyu) itupun berdasar
kaidah kedua yaitu larangan mutlak.
‫االصل فى انهي المطلق يقتضي على الدوام‬
Yakni pada dasarnya larangan yang mutlak itu menuntut
(ditinggalkannya perbuatan yang dilarang) untuk selamanya.
Perbuatan homoseksual dan lesbian ini harus ditinggalkan untuk
selama-lamanya, sebab bertentangan dengan norma agama, norma susila
dan bertentangan pula dengan sunnatullah dan fitrah manusia. Karena Allah
menjadikan manusia terdiri dari pria dan wanita adalah agar berpasang-
pasangan sebagai suami istri untuk mendapatkan keturunan yang sah dan
memmperoleh ketenangan dan kasih sayang sebagaimana tersebut dalam
Al-Qur’an surat An Nahl ayat 72 yang artinya ;
“Allah menjadikan bagimu istri dari jenis kamu sendiri (manusia) dan
menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu anak-anak, cucu-cucu dan
memberikan rizki dari yang baik-baik. Mengapa mereka percaya yang
batil dan mengingkari nikmat Allah”.
Untuk itu perbuatan ini adalah suatu perbuatan yang terlaranga dan
mutlak yang harus ditinggalkan untuk selama-lamanya, agar tidak merusak
kelangsungan tujuan hidup semua manusia yang beragama islam,
sebagaimana firman Allah SWT yang artinya;
“Dan apa yang dilarangNya bagimu, maka tinggalkanlah (Al Hasyr:
7)

[13]
Para ahli fiqh telah sepakat untuk mengharamkan homoseksual dan
lesbian, akan tetapi mereka saling berbeda pendapat mengenai hukumnya.
Beberapa pendapat ulama tersebut diantaranya adalah:
1. Imam Syafi’i
Bahwa pasangan homoseks itu harus dihuku mati, berdasarkan
hadits Nabi yang artinya:
“Barang siapa menjumpai orang yang berbuat seks seperti
praktek kaum Luth, maka bunuhlah si pelaku dan yang
diberlakukan (pasangannya)”.
Menurut Al Mundairi, khalifah Abu Bakar dan Ali pernah
menghukum mati terhadap pasangan homoseks.
2. Al Auza’I Abi yusuf, dkk
Bahwa hukumnya disamakan dengan hukuman zina yakni
hukuman dera dan pengasingan bagi yang belu menikah dan dirajam
(Stoning to dealt) bagi yang sudah menikah, berdasarkan hadits Nabi
yang artinya;
“Apabila seorang pria melakukan hubungan seks dengan pria
lain, maka kedua-duanya adalah berbuat zina.
Pendapat ini sebenarnya memakai qiyas didalam menetapkan
hukumnya.
3. Abu Hanifah
Bahwa pelaku homosex itu dihukum ta’zir, sejenis hukuman yang
bersifat edukatif dan besar ringannya ta’zir diserahkan kepada
pengadilan (hakim). Hukuman ta’zir dijatuhkan terhadap kejahatan atau
pelanggaran yang tidak ditentukan macam kadar hukumannya dalam Al
Qur’an dan Hadits.
Dari ketiga pendapat diatas, Al Syaukhani berpendapat bahwa
yang pertama adalah pendapat yang terkuat, karena menggunakan Nas
hadits yang jelas maknanya, pendapat dasar yang kedua dianggap lemah
karena memakai qiyas, dan karena hadits yang dipakai berkualitas
lemah dan yang ketiga juga dipandang lemah, karena bertentangan

[14]
dengan nash yang telah menetapka hukuman mati (had), bukan
hukuman ta’zir.13
Mengenai lesbian (female homosexsual) atau sahaq, para ahli fiqh
juga mengharamkannya, yang didasarka dengan hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh Ahmad Abu daud Muslimin dan Al-Tirmidzi yang
artinya;
“Janganlah pria melihat aurat pria lain, dan janganlah seorang
wanita melihat aurat wanita lain dan janganlah bersentuhan pria
dengan pria lain dibawah sehelai selimut/kain, dan janganlah
pula seorang wanita bersentuhan dengan wanita lain dibawah
sehelai selimut/kain”.
Menurut Sayid lesbian itu hukumannya adalah di ta’zir sebab
bahaya/resikonya lebih ringan dibanding dengan bahayanya
homoseksual, karena lesbian itu bersentuhan langsung tanpa
memasukan alat kelaminnya, seperti halnya seorang bersentuhan
langsung. Perbuatan ini haram hukumnya dan juga bertentangan dengan
norma agama, susila bahkan sunnatullah fitrah manusia. Oleh sebab itu
islam melarangnya agar pelakunya mau menghentikan perbuatan yang
tercela itu.14
C. Hukum Onani/Mestrubasi
Mengenai onani atau istimna’ bil yadi yaitu masturbasi dengan tangan
sendiri islam memandangnya sebagai perbuatan yang tidak etis dan tidak
pantas untuk dilakukan. Akan tetapi ada perbedaan pada pendapat para ahli
hukum fiqih terhadap hukuman bagi pelaku onani, diantaranya sebagai
berikut:
1. Ulama Maliki, Syafi’I dan Zaidi
Bahwa perbuatan onani itu diharamkan secara mutlak,
berdasarkan Al Qur’an surat Al Mu’minun ayat 5-7: yang artinya;

13
Zuhdi, Masail, 71-72.
14
Syaikh Kamil. Wanita, 83.

[15]
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap
istri-istrinya atau budak-budak yang mereka miliki, maka
sesunggguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela, barangsiapa
yang mencari dibalik semua itu (berbuat zina, homosek, lesbiann
onani dsb), mereka itulah yang melampaui bata”.
Ayat tersebut diatas menegaskan bahwa manusia diperintahkan
untuk menjaga kehormatannya (alat kelamin) kecuali terhadap istri dan
budaknya.
2. Ulama Hanafi
Secara prinsip mengharamkan onani, tetapi dalam keadaan gawat,
yakni ketika seseorang memuncak nafsu seksnya dan khawatir berbuat
zina, maka ia diperbolehkan nahkan wajib berbuat onani demi
menyelamatkan dirinya dari berbuat zina yang jauh lebih besar dosa dan
bahayanya dibandingkan onani. Hal ini sejalan dengan kaidah usul fiqih
yang artinya :
“Wajib menempuh bahaya yang lebih ringan diantara dua
bahaya”.
3. Ulama Hambali
Yakni megharamkan onani, kecuali bagi orang-orang yang takut
berbuat zina sedangkan ia tidak mempunyai istri atau budak, dan ia
tidak mampu kawin, maka ia tidak berdosa dalam melakukan onani.
Menurut pendapat dari yang kedua dan ketiga diatas, onani
diperbolehkan jika dalam keadaan terpaksa (darurat), tetapi dibatasi
seminimal mungkin penggunaannya. Hal ini sesuai dengan kaidah usul
fiqih yang artinya;
“Sesuatu yang diperbolehkan karena darurat hanya sekedarnya
saja”.
4. Ibnu Hasan
Secara pandang onani itu hukumnya makruh, tidak berdosa tetapi
tidak etis.
5. Ibnu Abbas, Al Hasan dkk

[16]
Yakni membolehkan onani, kata Al Hasan “Orang-orang islam
dahulu melakukannya dalam waktu perang (karena jauh dari istri dan
keluarga), dan kata mujahid seorang ahli tafsir murid dari Ibnu Abbas
“Orang islam dahulu (sahabat Nabi) mentoleransikan para
remaja/pemudanya melakukan onani dan hukumnya adalah mubah, baik
untuk pria ataupun wanita.
Dapat disimpulkan dari pendapat-pendapat para ulama, secara tegas
menyatakan bahwa sesungguhnya onani itu adalah sama dengan zina. Dan
para ulama menegaskan bahwa onani termasuk kedalam muqodimah
perbuatan zina sebagaimana firman Allah SWT yang artinya:
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (Al Isra’ : 32)15

15
Mulyanto, KUHP. 87-88.

[17]
BAB IV

PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut istilah hukum Islam pernikahan adalah akad yang ditetapkan
syara’ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan
perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan
laki-laki. Hukum asal pernikahan menurut Islam, pada dasarnya bisa
menjadi wajib, haram, sunnah, dan mubah tergantung dengan keadaan
maslahat atau mafsadatnya.
Enam bentuk pernikahan yang terlarang itu adalah nikah mut’ah, nikah
syighar, nikah muhallil, nikah saat ihram, nikah dengan pezina, nikah sirri.
Perbuatan homoseksual dan lesbian ini harus ditinggalkan untuk selama-
lamanya, sebab bertentangan dengan norma agama, norma susila dan
bertentangan pula dengan sunnatullah dan fitrah manusia. Mengenai onani
atau istimna’ bil yadi yaitu masturbasi dengan tangan sendiri islam
memandangnya sebagai perbuatan yang tidak etis dan tidak pantas untuk
dilakukan.
B. Kritik dan Saran
1. Kritik
Makalah ini tentunya memiliki banyak kekurangan, baik dalam hal
isi, maupun dalam sistematika dan teknik penulisannya.
2. Saran
a. Bagi para pembaca dihrapkan mencari sumber-sumber yang lebih
lengkap mengenai topik ini supaya pengetahuan pembaca sekalian
dapat lebih luas.
b. Pembaca juga tentunya diharapkan mampu termotivasi dan
mempraktekan apa yang dibahas dalam makalah ini.
c. Bagi para pembaca yang beragama Islam hendaknya benar-benar
menjadikan pedoman tentang hukum seputar pernikahan sesuai

[18]
yang telah di tentukan oleh para ulama, di jelaskan Al-Quran dan
Hadits.
d. Bagi penulis berikutnya yang akan mengangkat tema yang sama
dianjurkan untuk mencari sumber yang lebih banyak supaya karya
tulis yang dihasilkan dapat lebih berkualitas.

[19]
[20]
DAFTAR PUSTAKA

At-Tihami, Muhammad. Merawat Cintah Kasih Menurut Syriat Islam, Surabaya


: Ampel Mulia, 2004.
Mahjudin. Masail Fiqhiyah. Jakarta: Kalam Mulia, 2007.
Mulyanto. KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Jakarta: Bina
Aksara, 1985.

Muhammad ‘uwaidah, Syaikh Kamil. Fiqih Wanita. Jakarta: Pustaka Al-


Kautsar, 1998.
Rafi Baihaqi, Ahmad. Membangun Surga Rumah Tangga. Surabaya: Gita
Mediah Press, 2006.
Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah. Jakarta: CV Haji Masagung, 1988.

[21]

Anda mungkin juga menyukai