Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

KHITBAH ANTARA SYARIAT DAN TRADISI

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fikih Munakahat

Dosen Pengampu

Dr. Munir, M.Hum

Disusun Oleh HES-2B:

KELOMPOK 3

1. Acmad Hamdan Baihaqi Afdal (1860101231039)


2. Dwi Sagita Fajar Ayu (1860101231041)
3. Trisna Nur Shafa (1860101231048)
4. Muhammad Fatkhurrosad (1860101231055)
5. Wakhidatus Zahro (1860101231065)
6. Maharani Zalianty (1860101231068)
7. M. Niko Ardyansyah (1860101231069)

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
UIN SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG
TAHUN 2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas


segala karunianya sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Sholawat dan salam
semoga senantiasa abadi tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. dan umatnya.
Sehubungan dengan selesainya penulisan makalah ini maka penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. H Abd Aziz, M.Pd.I., selaku Rektor Universitas Islam Negeri Sayyid
Ali Rahmatullah Tulungagung.
2. Prof. Dr. H. Ahmad Muhtadi Anshor, M.Ag., selaku Dekan FASIH Universitas
Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.
3. Dr. Dian Fericha, S.H., M.H., selaku Koordinator Program Studi Hukum
Ekonomi Syariah Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.
4. Dr. Munir, M.Hum. selaku Dosen Pengampu dari Mata Kuliah Fikih Munakahat
5. Teman HES serta pihak yang lain, yang telah membantu dalam proses
penyelesaian makalah ini.
Dengan pemuh harap semoga jasa kebaikan mereka diterima Allah SWT dan
tercatat sebagai amal shalih. Akhirnya, makalah ini penulis suguhkan kepada
segenap pembaca, dengan harapan adanya saran dan kritik yang bersifat konstruktif
demi perbaikan. Semoga karya ini bermanfaat dan mendapat ridha Allah SWT.

Tulungagung, 16 Februari 2024


Penulis,

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................ i


DAFTAR ISI .............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 1
C. Tujuan ............................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................... 2
A. Pengertian dan Dasar Hukum Khitbah ........................................................... 2
B. Syarat dan Tata cara Khitbah sesuai Syariat Islam ........................................ 5
C. Tradisi Khitbah di Indonesia......................................................................... 11
BAB III PENUTUP ................................................................................................. 14
A. Kesimpulan..................................................................................................... 14
B. Saran ............................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Khitbah adalah prosesi lamaran atau tunangan dengan syariat Islam. Sebelum
adanya perkawinan, biasanya dalam msyarakat dilakukan lamaran yang
mengharuskan laki-laki untuk meminta pihak wanita untuk menjadi istrinya.
Dengan kata lain, khitbah adalah kegiatan atau upaya ke arah terjadinya
hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita. Tujuan adanya
khitbah adalah agar waktu memasuki perkawinan didasarkan kepada pengetahuan
dan kesadaran masing-masing pihak. Khitbah adalah kegiatan wajib dilakukan oleh
pihak laki-laki kepada pihak wanita. Ketika melakukan khitbah, biasanya pihak
laki-laki juga membawa hantaran untuk diberikan ke pihak wanita. Hal ini juga
menjadi salah satu syarat khitbah menurut Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan dasar hukum khitbah?
2. Sebutkan syarat dan tata cara khitbah sesuai syariat islam?
3. Bagaimana tradisi khitbah di Indonesia?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dan dasar hukum khitbah
2. Mampu menyebutkan syarat dan tata cara khitbah sesuai syariat islam
3. Mengetahui berbagai tradisi khitbah di Indonesia

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Khitbah


a. Pengertian Khitbah
Kata khitbah adalah transliterasi dari bahasa arab yang artinya adalah
meminang atau melamar. Kata peminangan berasal dari kata pinang., menimang
(kata kerja). Menurut etimologi, meminang atau melamar artinya meminta wanita
untuk dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang lain). Menurut terminology,
peminangan ialah kegiatan atau upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan
antara seorang pria dengan wanita. Atau seorang laki-laki meminta kepada seorang
perempuan untuk menjadi istrinya dengan cara-cara yang umum berlaku di tengah-
tengah masyarakat.1
Al-khitbah berasal dari lafadz Khathiba, Yakhthibu, Khithbatun.
Terjemahannya ialah lamaran atau pinangan. Al-khitbah ialah permintaan seorang
laki-laki kepada seorang perempuan untuk dijadikan istri menurut cara-cara yang
berlaku di kalangan masyarakat. Dalam pelaksanaannya khitbah (lamaran) biasanya
masing-masing pihak saling menjelaskan keadaan dirinya dan keluarganya. Al-
khitbah merupakan pendahuluan perkawinan, disyari’atkan sebelum ada ikatan
suami istri dengan tujuan agar waktu memasuki perkawinan didasrkan kepada
penelitian dan pengetahuan serta kesadaran masing-masing pihak. 2
b. Dasar Hukum Khitbah
Memang terdapat dalam Al-Qur’an dan dalam banyak hadis Nabi yang
membicarakan hal peminanagan (khitbah). Namun, tidak ditemukan secara jelas
dan terarah adanya perintah atau larangan melakukan peminangan (khitbah),
sebagaimana perintah untuk mengadakan perkawinan dengan kalimat yang jelas,
baik dalam Al-Qur’an maupun dalam hadis Nabi. Oleh karena itu, dalam
menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama yang mewajibkannya , dalam
arti hukumnya adalah mubah. Namun, Ibnu Rusyd dalam bidayat al-mujahid (

1
M. A. Tihami, Fikih Munakahat, (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), Hal. 24
2
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah Jilid 2, (Beirut : Darul Fikri, 2006), Hal. 16

2
sebagaimana dikutip oleh Amir Syarifuddin ) yang menuliskan pendpat Daud al-
Zhahiry yang mengatakan hukumnya adalah wajib. Ulama ini mendasarkan
pendapatnya kepada perbuatan dan tradisi yang dilakukan Nabi dalam peminangan
itu. (Ibnu Rusyd II,2). 3
Berkenaan dengan landasan hukum dari peminangan, telah diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam (HKI) khususnya terdapat dalam pasal 11, 12 dan 13, yang
menjelaskan bahwa peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang
berkehendak mencari pasangan atau jodoh, tapi dapat pula diwakilkan atau
dilakukan oleh orang perantara yang dapat dipercaya.
Agama islam membenarkan bahwa sebelum terjadi perkawinan boleh
diadakan peminangan (khitbah) dimana calon suami boleh melihat muka dan
telapak tangannya, dengan disaksikan oleh sebagian keluarga dari pihak laki-laki
atau perempuan, dengan tujuan untuk saling mengenak dengan jalan sama-sama
melihat. Sabda Rasulullah SAW :

Artinya : “ apabila salah seorang di antara kamu ingin melamar perempuan, jika
memungkinkan, hendaklah ia melihat apa yang menarik dirinya. “ (Diriwaytakan
Ahmad dan Abu Daud. "4
Pinangan atau lamaran seorang laki-laki kepada seorang perempuan baik
dengan ucapan langsung maupun tertulis, meminang perempuan sebaiknya dengan
sindiran dalam meminang dapat dilakukan dengan tanpa melihat wajahnya, juga
dapat melihat wanita yang dipinangnya.
Dalam hal ini Al-Qur’an menegaskan dalam Surah al-Baqarah ayat 225 :

3
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2009), Hal.50

4
Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram, (Irfan Hakim, Panduan Lengkap Masalah
Fiqh),(Bandung : Mizan Pustaka, 2010). Hal. 400

3
Artinya : ” Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu
dengan sindiran atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati. Allah
mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut kepada mereka. Tetapi janganlah
kamu membuat perjanjian (untuk menikah) dengan mere secara rahasia, kecuali
sekedar mengucapkan kata-kata yang baik. Dan janganlah kamu menetapkan akad
nikah, sebelum habis masa iddahnya. Ketahuilah bahwa Allah mengetahui siap
yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya. Dan ketahuilah bahwa Allah
Maha Pengampun lagi Mah Penyayang. “ 5
Meskipun melamar atau meminang itu disunnatkan dalam ajaran islam akan
tetapi adakalnya berubah menjadi haram. Hal itu terjadi karena alasan-alasan
sebagai berikut :
1. Melamar kepada wanita yang masih dalam masa iddah dari perceraian dengan laki-
laki lain talak raj’i sama keadaannya dengan wanita yang sedang punya suami
dalam hal ketidakbolehannya untuk dipinang baik dengan terus terang atau dengan
sindiran.6
2. Melamar wanita yang diketahui olehnya telah dilamar oleh laki-laki serta
lamarannya diterima.
Sabda Nabi Muhammad SAW :

Artinya : “ Janganlah salah seorang diantara kamu melamar kepada wanita yang
dilamar oleh saudarannya (orang lain), kecuali jika pelamar yanf sebelum kamu
itu telah meninggalkannya atau mengizinkannya untuk melamarnya “ (Muttafaqun
alaih). 7
Anjuran mengenai adanya pinangan (khitbah) dalam pernikahan memang
sangat dibenarkan dalam ajaran syari’at islam, ini terbukti dengan banyaknya ayat-
ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW yang berkenaaan dengan anjuran
untuk melakukan pinangan.

5
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Hal. 48

6
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Hal.52
7
Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram, (Irfan Hakim, Panduan Lengkap Masalah Fiqh), Hal.
401

4
Sedangkan berkenaan dengan akibat hukum yang ditimbulkan dari adanya
prosesi peminangan telah diatur didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 13,
ayat 1 dan 2 yang berbunyi :
1. pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak berhak memutuskan
hubungan peminangan.
2. kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan tata cara yang baik sesuai
dengan tuntutan adat dan kebiasaan setempat, sehingga terbina kerukunan dan
saling menghargai. 8
Mengenai waktu perkawinan, maka kebanyakan fuquha berpendapat bahwa
waktunya adalah ketika masing-masing dari kedua belah pihak (peminang dan yang
dipinang) sudah cenderung satu dengan lainnya, dan bukan awal waktu
peminangan.
B. Syarat dan Tata cara Khitbah sesuai Syariat Islam
1. Syarat Khitbah
Meminang dimksudkan untuk mendapatkan atau memperoleh calon istri yang
ideal atau memenuhi syarat menurut syari’at Islam. Menurut H.Mohammad Anwar
untuk memiliki calon istri harus memenuhi 4 syarat, ialah:
a. Kosong dari perkawinan atau iddah laki-laki lain.
b. Ditentukan wanitanya.
c. Tidak ada hubungan mahram antara calon suami dengan calon istrinya, baik
mahram senasab (keturunan) maupun mahram sesusuan dan tidak ada hubungan
kemertuaan atau bekasnya sebagaimana yang akan diterangkan nanti.
d. Wanitanya beragama Islam atau kafir kitabi yang asli, bukan kafir watsani
(penyembah berhala atau atheis atau tidak beragama sama sekali. Kecuali kalau
9
wanita kafir itu diislamkan dahulu baru boleh dikawin)
Selain itu untuk syarat-syarat wanita yang boleh dipinang terdapat pada pasal 12
Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang berbunyi:
a. Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau
terhadap janda yang telah habis masa iddahnya.

8
Kompilasi Hukum Islam, (Bandung : Nuansa Aulia, 2009), Hal.5
9
Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta), 216

5
b. Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj’iyyah, haram
dan dilarang untuk dipinang.
c. dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang orang lain selama
pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.
d. Putusnya pinangan untuk pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya
hubungan pinangan atau secara diam-diam. Pria yang telah meminang telah
menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.
2. Tata cara Peminangan (Khitbah)
1. Syarat-syarat wanita yang boleh dipinang
a. Syarat Mustahsinah
Yang dimaksud dengan syarat mustahsinah ialah syarat yang berupa anjuran
kepada seorang laki-laki yang akan meminang seorang wanita agar meneliti lebih
duhulu wanita yang akan dipinangnya itu, sehingga dapat menjamin kelangsungan
hidup berumah tangga kelak. Syarat mustahsinah ini bukanlah syarat yang wajib
dipenuhi sebelum peminangan dilakukan, tetapi hanya berupa anjuran dan
kebiasaan yang baik saja. Tanpa syarat-syarat ini dipenuhi, peminangan tetap sah.
Adapun yang termasuk syarat-syarat mustahsinah ialah sebagai berikut:
1) Wanita yang dipinang itu hendaklah sejodoh dengan laki-laki yang meminangnya,
seperti sama kedudukannya dalam masyarakat, sama-sama baik bentuknya, sama
dalam tingkat kekayaannya, sama-sama berilmu dan sebagainya. Adanya
keharmonisan dan keserasian dalam kehidupan suami istri di duga perkawinan akan
mencapai tujuannya. 10
2) Wanita yang akan dipinang hendaklah wanita yang mempunyai sifat kasih sayang
dan wanita yang peranak, karna adanya sifat ini sangat menentukan ketentraman
dalam kehidupan rumah tangga, apalagi ketika ditengah-tengah mereka hadir anak-
anak pastilah akan menambah kebahagiaan dan kesakinahan kehidupan rumah
tangga.
3) Wanita yang akan dipinang itu hendaklah wanita yang jauh hubungan darah dengan
laki-laki yang meminangnya. Agama melarang seorang laki-laki mengawini

10
Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan bintang, 1974)
hlm 28-29

6
seorang wanita yang sangat dekat hubungan darahnya. Dalam pada itu saidina
Umar bin Khattab menyatakan bahwa perkawinan antara seorang laki-laki yang
dekat hubungan darahnya akan menurunkan keturunan yang lemah jasmani dan
rohaninya.
4) Hendaklah mengetahui keadaan-keadaan jasmani, budi pekerti dan sebagainya dari
wanita-wanita yang dipinang. Sebaliknya yang dipinang sendiri harus mengetahui
pula keadaan yang meminangnya 11.
Sehubungan dengan itu, maka sebaiknya para pemuda muslim menghindari
pilihan dari wanita yang masih keluarga dekatnya, sekalipun dia tidak termasuk
wanita yang haram dinikahi. Dengan demikian maka keluarga yang akan terbentuk
nanti adalah keluarga yang sakinah dan berkualitas, selain itu akan bertambah pula
jumlah keluarganya menjadi banyak karena menjalin kekeluargaan dengan
keluarga baru.
5) Mereka yang menginginkan kehidupan pernikahan yang lebih baik, maka
sebelumnya hendaklah ia mengetahui identitas calon pendamping hidupnya secara
komprehensif, menyangkut pekerjaan, pendidikan, nasab, keluarga, dan yang lebih
penting lagi adalah kualitas akhlak dan agama 12.
6) Disunatkan agar istri yang diambil masih gadis. Karna gadis pada umumnya masih
segar dan belum pernah mengikat cinta dengan laki-laki lain, sehingga kalau beristri
dengan mereka akan lebih bisa kokoh tali perkawinannya dan cintanya kepada
suami lebih menyentuh jantung hatinya, sebab biasanya cinta itu jatuhnya pada
kekasih pertama13.
Syarat ini hanya merupakan sebuah anjuran, diikuti atau tidak terserah pada
kita sendiri, karna dalam hukum Islam, tidak dijelaskan tentang cara-cara
peminangan. Hal ini memberikan peluang bagi kita untuk melakukan pinangan
sesuai dengan adat istiadat yang ada pada kita 14.

11
Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan bintang, 1974)
hlm 29-30
12
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam. (Bandung: Pustaka Setia, 2000) hlm 43
13
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam. (Bandung: Pustaka Setia, 2000) hlm 43
14
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam. (Bandung: Pustaka Setia, 2000) hlm 47

7
b.Syarat Lazimah
Yang dimaksud dengan ”syarat lazimah” ialah syarat yang wajib dipenuhi
sebelum peminangan dilakukan. Shahnya peminangan tergantung kepada adanya
syarat-syrat lazimah. yang termasuk syarat-syarat lazimah ialah15:
a) Wanita yang dipinang tidak dipinang orang lain.
Hikmah larangan ini adalah untuk menhindari terjadinya permusuhan diantara
sesama muslim, karna muslim satu dengan muslim yang lainnya bersaudara.

Larangan diatas juga terdapat dalam pasal 12 ayat 3 KHI


“dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama
pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita” 16.
Meminang pinangan orang lain yang dilarang itu bilamana wanita itu telah
menerima pinangan pertama dan walinya telah dengan jelas mengijinkannya.
Tetapi kalau pinangan semula ditolak oleh pihak yang dipinang, atau karena
peminang pertama telah memberi ijin pada peminang yang kedua, maka yang
demikian tidak dilarang.
Al-Tirmidzi meriwayatkan dari Al-Syafi’I tentang makna hadist di atas
sebagai berikut: “bilamana wanita yang dipinang merasa ridho dan senang, maka
tidak ada seorangpun boleh meminangnya lagi, tetapi kalau belum diketahui ridho
dan senangnya, maka tidaklah berdosa meminangnya.” . Tentang hal ini Ibnu
Qasim berpendapat bahwa yang dimaksud larangan tersebut adalah jika seorang
yang baik (saleh) meminang di atas pinangan orang saleh pula. Sedangkan apabila
peminang pertama tidak baik, sedang peminang kedua adalah baik, maka pinangan
semacam itu dibolehkan.

15
Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan bintang, 1974)
hlm 30
16
Imam Bukhari, Shoheh Bukhari, (Terjemah, Beirut: Dar Al-Ihya’ Al-Kutub, tt) hlm 251

8
b) Wanita yang dipinang adalah perempuan yang tidak bersuami dan tidak dalam
keadaan iddah, boleh, baik dengan terang-terangan atau sindiran. Apabila ia dalam
keadaan bersuami, tidak boleh, baik terang-terangan maupun sindiran, jika sedang
iddah, ada beberapa kemungkinan:
a. Tidak boleh dengan terang-terangan.
b. Kalau iddahnya raj’iyyah (ada kemungkinan untuk rujuk kembali) tidak boleh
dipinang meskipun dengan sindiran. 17

c. Apabila iddah karna mati atau talak batin, boleh dipinang dengan sindiran 18.
d. Tidak boleh meminang wanita yang sedang iddah ditinggal mati suaminya dengan
terang-terangan, hal ini untuk menjaga perasaan wanita dan ahli waris lainnya yang
sedang berkabung tetapi tidak dilarang meminang dengan sindiran.
e. Wanita yang dipinang haruslah wanita yang boleh dinikahi, artinya wanita yang
bukan mahrom dari pria yang akan meminangnya.
Dalam pendapat lain mengemukakan bahwa perempuan yang boleh dipinang
adalah yang memenuhi syarat sebagai berikut:
1) Tidak dalam pinangan orang lain.
2) Pada waktu dipinang tidak ada penghalang syar’i yang melarang dilangsungkannya
pernikahan.
3) Perempuan itu tidak dalam masa iddah karna talak raj’i.
4) Apabila perempuan dalam masa iddah karna talak ba’in, hendaklah meminang
dengan cara sirry (tidak terang-terangan) 19

17
Selamet Abidin Dan Aminuddin, Fiqih Munakahat I, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999) hlm
45
18
Abdul Fatah Idris, Abu Ahmadi, Terjemah Ringkas Fiqih Islam Lengkap, (Jakarta : Rineka
Cipta, 1988) hlm 209

19
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm 74

9
c. Melihat wanita yang dipinang.
Salah satu hal yang dapat membawa kesegaran bagi kehidupan rumah
tangga sakinah yang akan diliputi rasa kasih sayang dan kebahagiaan ialah
terbukanya kesempatan bagi pria untuk melihat calon istrinya pada waktu
peminangan. Sehingga dapat diketahui kecantikannya. yang bisa jadi factor
menggalakkan dia untuk mempersuntingnya, atau untuk mengetahui cacat-celanya
yang bisa jadi penyebab kegagalannya sehingga berganti mengambil orang lain.
Orang yang bijaksana tidak akan mau memasuki sesuatu sebelum ia tahu betul baik
buruknya. Al A’masy pernah berkata,” Tiap-tiap perkawinan yang sebelumnya
tidak saling mengetahui, biasanya berakhir dengan penyesalan dan gerutu. 20”.
Melihat wanita yang dipinang itu dianjurkan oleh agama. Tujuannya adalah supaya
laki-laki itu dapat mengetahui keadaan wanita itu sebetulnya, tidak hanya
mendengar dari orang lain.
Mengenai bagian tubuh mana saja yang boleh dilihat oleh peminang pada
saat peminangan tidak diterangkan secara jelas, baik dalam Al-Qur’an maupun
dalam hadits, oleh karma itu ada beberapa pendapat yang berbeda dikalangan para
ulama fiqh:
a) Sebagian besar ulama fuqoha berpendapat bahwa laki-laki yang meminang seorang
wanita hanya boleh melihat muka dan telapak tangannya saja. Karma dengan
melihat muka dapat dilihat cantik tidaknya orang itu, sedang dari telapak tangannya
dapat diketahui subur atau tidaknya wanita itu.
b) Imam Dawud dan para ulama dari mazhab dhahiri berpendapat bahwa laki-laki
yang meminang seorang wanita boleh melihat seluruh bagian tubuhnya 21. Namun
dalam melihat seluruh tubuhnya mazhab dhahiri berpendapat dengan melihat
seluruh tubuhnya harus satu muhrim atau melalui perantara.
Selama pertunangan dan menunggu saat pernikahan tiba, masing-masing
pihak dianjurkan untuk lebih memperkuat tali kekeluargaaan yang baru. Seringkali
diikuti dengan memberikan pembayaran maskawin seluruh atau sebagiannya dan

20
Sayyid Sabiq, Fikih Sunah 6, (Bandung: Al-Ma’arif, 1990) hlm 40
21
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan UU Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1992) hlm 27

10
memberikan macam-macam hadiah serta pemberian-pemberian guna
memperkokoh pertalian dan hubungan yang masih baru itu 22. Namun semua itu
belum berarti sudah mengijinkan kepada calon untuk berduaan selama belum
dilangsungkan akad nikah. Pinangan hanyalah langkah pendahuluan bagi
pernikahan. Pertunangan belum menghalalkan seseorang bergaul secara bebas, dan
silaki-laki belum wajib memberikan nafkah kepada calon isterinya. Oleh karna itu
jangan keliru, mentang-mentang telah memakai cincin pertunangan, lantas berbuat
seenaknya, sementara ada orang yang merasa dirinya bebas berbuat semaunya,
berduaan dengan tunangannya dan lain-lain. Padahal perbuatan ini sangat
bertentangan dengan ajaran Islam.
Islam melarang perbuatan-perbuatan tersebut karna berakibat buruk bagi si
gadis. Yaitu apabila si pelamar membatalkan lamarannya tersebut, maka berakibat
merusak kehormatan dan nama baik serta harga diri pihak wanita, sehingga ia bisa
kehilangan hasrat untuk menikah. Oleh karna itu kita kita harus melaksanakan tata
cara peminangan yang telah diajarkan oleh islam.

C. Tradisi Khitbah di Indonesia


1. Bugis
perkawinan masyarakat suku Bugis tidak jauh berbeda dengan pernikahan
yang dijalankan atau dikerjakan oleh suku-suku lain. Namun, masyarakat
Bugismempunyai tata cara yang berbeda. Proses perkawinan masyarakat suku
bugis adalah sebagai berikut :
A. Mappese-pese atau Mabbaja Laleng
Mappese-pese atau Mabbaja Laleng yaitu langkah pertama yang dijalankan
pihak laki-laki yaitu mengadakan penjajakan atau suatu cara untuk mengetahui
apakah gadis yang akan dipinang tersebut telah memiliki tunangan atau belum.
Selain itu, tradisi ini pula dilakukan untuk mengetahui diterima atau tidaknya
pinangan nanti 23. Dalam tradisi ini dimulai dengan cara laki-laki yang ingin
menikah atau utusannya menanyakan kepada keluarga perempuan apakah

22
Sayyid Sabiq, Fikih Sunah 6, (Bandung: Al-Ma’arif, 1990) hlm 45
23
Nonci, Upacara Adat Istiadat Masyarakat Bugis, (Makassar: CV. Aksara, 2002), 8-9.

11
perempuan yang ingin dinikahinya tersebut telah memiliki calon atau belum,
biasanya masyarakat Bugis memakai bahasa kiasan yang indah untuk menyatakan
itu. Dalam tradisi inilah masyarakat suku Bugis yang ingin menikah mengetahui
calon yang ingin menikah dapat menjatuhkan pilihannya kepada seorang
perempuan.
B. Madduta
Pada pase madduta ini merupakan lanjutan dari pase sebelumnya, yaitu
dengan cara mengiriman utusan untuk mengajukan lamaran dari seorang laki-laki
terhadap perempuan yang sudah disepakati oleh pihak keluarga laki-laki. Utusan
itu sepatutnya orang yang dituakan dan tahu prosesi madduta. dia seharusnya
piawai memposisikan dirinya supaya keluarga perempuan tidak merasa
tersinggung. Dalam tradisi madduta sama dengan khitbah dalam Islam, mengapa
digunakan kata madduta sebab madduta dalam bahasa Indonesia dapat diartikan
pengiriman perwakilan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan dengan
maksud menyampaikan hajatnya atau curahan hatinya. Selain itu, dalam prosesi ini
pula akan dibahas mengenai pernikahan, mahar, Sompa, dan uang panai.
C. Mappettu Ada
Mappetu Ada merupakan memastikan dan mengesahkan semua hasil
diskusi yang sudah didiskusikan ketika Madduta atau dalam literasi Bugis disebut
“Mappasiarekkeng” seperti jumlah maharnya, berapa besaran uang panai’nya,
kapan penyerahan uang panai’nya danpenentuan pelaksanaan resepsi
pernikahannya
1. Lamongan
A. Sejarah Perempuan Meminang Laki-laki
Khitbah atau peminangan merupakan sebuah tradisi yang pada umumnya
dilakukan oleh seorang kepada wanita. Namun berbeda dengan masyarakat
lamongan, tradisi khitbah atau peminangan dilakukan oleh wanita kepada seorang
pria. Tradisi seperti ini tentu saja tidak serta merta adanya, tradisi ini sudah ada
sejak zaman nenek moyang.

12
B. Praktik Peminangan yang Dilakukan Perempuan Kepada Laki-laki
Acara peminangan merupakan acara yang istimewa menurut seluruh
masyarakat tidak terkecuali masyarakat Lamongan, khususnya bagi laki-laki dan
perepuan yang telah saling mencintai. Sehingga segala sesuatu yang berkaitan
dengan acara akan dipersiapkan, diantaranya adalah adanya kerelaan antara laki-
laki dan perempuan, adanya kesepakatan diantara orang tua ataupun keluarga dari
kedua belah pihak, dan adanya kesepakatan terkait hari untuk dilangsungkan
peminangan. Pada masyarakat Lamongan segala persiapan dilakukan dengan cara
musyawarah dengan keluarga, yang selanjutnya dilakukan prosespeminangan.
Peminangan pada masyarakat Lamongan ini dilakukan oleh perempuan yang
memulai langkah awal untuk melamar laki-laki, karena atas dasar budaya ataupun
tradisi, terlepas dari penilaian baik secara materil maupun non materil, ataupun atas
dasar suka sama suka. Tradisi perempuan melamar laki-laki ini, secara praktik
menurut masyarakat Lamongan hanya berlaku bagi calon laki-laki yang sama-sama
berasal dari daerah Lamongan. Sehingga ketika calon laki-laki berasal dari luar
daerah Lamongan maka proses khitbah atau peminangan seperti pada umumnya
akan dilakukan oleh pihak laki-laki terlebih dahulu.
Terkait tentang barang bawaan dalam khitbah atau peminangan, bagi
masyarakat Lamongan tidak sekalipun ketentuan mengenai barang-barang yang
harus dibawa pada saat pelaksanaan peminangan, akan tetapi sudah menjadi hal
yang wajar membawa barang bawaan ketika khitbah atau peminangan.

13
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Khitbah adalah prosesi lamaran atau tunangan dengan syariat Islam. Sebelum
adanya perkawinan, biasanya dalam msyarakat dilakukan lamaran yang
mengharuskan laki-laki untuk meminta pihak wanita untuk menjadi istrinya.
Memang terdapat dalam Al-Qur’an dan dalam banyak hadis Nabi yang
membicarakan hal peminanagan (khitbah). Namun, tidak ditemukan secara jelas
dan terarah adanya perintah atau larangan melakukan peminangan (khitbah),
sebagaimana perintah untuk mengadakan perkawinan dengan kalimat yang jelas,
baik dalam Al-Qur’an maupun dalam hadis Nabi.
Khitbah diizinkan di dalam Islam karena bertujuan untuk mengetahui kerelaan
dari pihak perempuan yang akan dipinang. Sekaligus sebagai proses janji bahwa
pihak laki-laki serius akan mempersunting perempuan tersebut sebagai istri.
Dikutip dari sebuah Jurnal Ilmiah Syariah yang memperoleh hasil penelitian dan
menunjukkan bahwa konsep ta’aruf di dalam Al Quran mengacu pada pengenalan
terhadap latar belakang sosial, kepribadian, budaya, pendidikan, agama,
dan juga keluarga.
Kesepakatan kedua belah pihak: Tradisi khitbah harus dilakukan dengan
persetujuan kedua belah pihak, baik dari pihak laki-laki maupun perempuan.
Respek terhadap adat dan budaya: Tradisi khitbah harus dilakukan dengan
menghormati adat dan budaya setempat.
Kesederhanaan: Tradisi khitbah tidak harus mewah dan mahal.

B. Saran
Demikianlah makalah ini kami buat. Kami sadar makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan
dari berbagai pihak demi kebaikan pemakalah yang akan datang.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Selamet Dan Aminuddin. (1999). Fiqih Munakahat I. (Bandung : CV


Pustaka Setia).
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. (2012). Bulughul Maram. (Irfan Hakim, Panduan
Lengkap Masalah Fiqh).

Amir, Syarifuddin. (2009). Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. (Jakarta :


Kencana).

Bukhari, Imam, Shoheh Bukhari, (Terjemah, Beirut: Dar Al-Ihya’ Al-Kutub, tt).

Ghazaly, Abd. Rahman. (2003). Fiqih Munakahat. (Jakarta: Prenada Media,).

Hakim, Rahmad. (2000). Hukum Perkawinan Islam. (Bandung: Pustaka Setia).

Idris, Fatah Abdul dan Abu Ahmadi. (1988). Terjemah Ringkas Fiqih Islam
Lengkap. (Jakarta : Rineka Cipta).

Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya

Kompilasi Hukum Islam. (2009). (Bandung : Nuansa Aulia).


Muchtar, Kamal. (1974). Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. (Jakarta:
Bulan bintang).
Nonci. (2002). Upacara Adat Istiadat Masyarakat Bugis. (Makassar: CV.
Aksara).
Sudarsono. (2001). Pokok-pokok Hukum Islam. (Jakarta: Rineka Cipta)
Sabiq, Sayyid. (2006). Fiqhus Sunnah Jilid 2. (Beirut : Darul Fikri).

Sayyid, Sabiq. (1990). Fikih Sunah 6. (Bandung: Al-Ma’arif)


Soemiyati. (1992). Hukum Perkawinan Islam Dan UU Perkawinan. (Yogyakarta:
Liberty)
Tihami, M. A. (2010). Fikih Munakaha. (Jakarta : Rajawali Pers).

15
16
17

Anda mungkin juga menyukai