Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

Khitbah (Peminangan)

Dosen Pengampu : Sucipto, MA

Mata kuliah : Fiqh II

kelompok 10

Afif Abdul Muhaimin 021190927

RovikaYuherman 021190920

Fauziah Siregar 021190903

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM BAHRIYATUL ULUM


PANDAN

KH.ZAINUL ARIFIN PANDAN

TA. 2022/2023
PENDAHULUAN

Fiqih merupakan sebuah cabang ilmu, yang tentunya bersifat ilmiyah,


logis dan memiliki obyek dan kaidah tertentu. Fiqih tidak seperti tasawuf yang
lebih merupakan gerakan hati dan perasaan. Juga bukan seperti tarekat yang
merupakan pelaksanaan ritual-ritual.Pembekalan materi yang baik dalam lingkup
sekolah, akan membentuk pribadi yang mandiri, bertanggung jawab, dan memiliki
budi pekerti yang luhur. Sehingga memudahkan peserta didik dalam
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi di zaman modern
sekarang semakin banyak masalah-masalah muncul yang membutuhkan kajian
fiqih dan syari’at. Oleh karena itu, peserta didik membutuhkan dasar ilmu dan
hukum Islam untuk menanggapi permasalahan di masyarakat sekitar.

Tujuan pembelajaran Fiqih adalah untuk membekali peserta didik agar


dapat mengetahui dan memahami pokok-pokok hukum Islam secara terperinci dan
menyeluruh, baik berupa dalil naqli dan dalil aqli melaksanakan dan
mengamalkan ketentuan hukum Islam dengan benar.

Fiqih merupakan sebuah cabang ilmu, yang tentunya bersifat ilmiyah,logis dan
memiliki obyek dan kaidah tertentu. Fiqih tidak seperti tasawuf yang lebih
merupakan gerakan hati dan perasaan. Juga bukan seperti tarekat yang merupakan
pelaksanaan ritual-ritual.Pembekalan materi yang baik dalam lingkup

I
KHITBAH

A. Pengertian dan Dasar Hukum

1. Pengertian Khitbah

Al-Khitbah berasal dari lafadz Khathiba, yakhthibu, khithbatun.


Terjemahannya ialah lamaran atau pinangan. Al-Khithbah ialah permintaan
seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk dijadikan istri menurut cara-
cara yang berlaku di kalangan masyarakat. Dalam pelaksanaan khithbah (lamaran)
biasanya masing-masing pihak saling menjelaskan keadaan dirinya dan
keluarganya. Khithbah merupakan pendahuluan perkawinan, disyari‟atkan
sebelum ada ikatan suami istri dengan tujuan agar waktu memasuki perkawinan
didasarkan kepada penelitian dan pengetahuan serta kesadaran masingmasing
pihak.1

Peminangan mengakar pada kata pinang-meminang yang artinya melamar,


meminta, mempersunting, dan menanyakan.2

Kata khitbah merupakan bentuk masdar dari kata khataba yang diartikan
sebagai meminang atau melamar. Kata khitbah dalam istilah bahasa Arab
merupakan akar dari kata al- khitbah dan al- khatbu. Al- khitab berarti
pembicaraan. Jika al- khitab (pembicaraan) ada kaitannya dengan perempuan,
maka makna eksplisit yang bisa kita tangkap adalah pembicaraan yang
menyinggung ihwal pernikahan. Sehingga, makna meminang bila ditinjau dari
akar katanya adalah pembicaraan yang berhubungan dengan lamaran atau
permohonan untuk menikah.

1
____________________________________________

1
Dahlan Idhamy, Azas-azas Fiqh Munakahat Hukum Keluarga Islam, (Surabaya: AlIkhlas, 2008), h. 15
2
Eko Endarmoko, Kamus Tesaurus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2006), h. 477.

.
Beberapa ahli Fiqih berbeda pendapat dalam pendefinisian peminangan.
Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:

Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa pinangan (khitbah) adalah pernyataan


seorang lelaki kepada seorang perempuan bahwasanya ia ingin menikahinya, baik
langsung kepada perempuan tersebut maupun kepada walinya. Penyampaian
maksud ini boleh secara langsung ataupun dengan perwakilan wali.

Adapun Sayyid Sabiq, dengan ringkas mendefinisikan pinangan (khitbah) sebagai


permintaan untuk mengadakan pernikahan oleh dua orang dengan perantaraan
yang jelas. Pinangan ini merupakan syariat Allah SWT yang harus dilakukan
sebelum mengadakan pernikahan agar kedua calon pengantin saling mengetahui.

Amir Syarifuddin mendefinisikan pinangan sebagai penyampaian kehendak untuk


melangsungkan ikatan perkawinan. Peminangan disyariatkan dalam suatu
perkawinan yang waktu pelaksanaannya diadakan sebelum berlangsungnya akad
nikah

Al-Hamdani berpendapat bahwa pinangan artinya permintaan seseorang


laki-laki kepada anak perempuan orang lain atau seseorang perempuan yang ada
di bawah perwalian seseorang untuk dikawini, sebagai pendahuluan nikah.

Sedangkan makna al- khatbu adalah persoalan, kepentingan dan keadaan.


Sehingga makna peminangan dalam hal ini adalah permohonan oleh seorang
kepada perempuan tentang suatu persoalan atau kepentingan yang berada di
tangan pihak wanita. Al- hasil, asosiasi makna yang kali pertama dapat ditangkap
dan dipahami oleh wanita itu adalah persoalan atau kepentingan yang
berhubungan dengan pernikahan.3

2
____________________________________________

3
al- Athar, Saat Anda Meminang, h. 15-16. 10 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang
Perkawinan, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1995), h. 59.
Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa pinangan
(khitbah) adalah proses permintaan atau pernyataan untuk mengadakan
pernikahan yang dilakukan oleh dua orang, lelaki dan perempuan, baik secara
langsung ataupun dengan perwalian. Pinangan (khitbah) ini dilakukan sebelum
acara pernikahan dilangsungkan.

Sedangkan menurut ilmu fiqh, peminangan artinya “permintaan”. Secara


terminologi adalah pernyataan atau permintaan dari seorang laki-laki kepada
pihak seorang wanita untuk mengawininya, baik dilakukan oleh lakilaki itu secara
langsung atau lewat perantara pihak lain yang dipercayainya sesuai dengan
ketentuan agama Tentu hal itu dilakukan berdasar pada kaidah-kaidah umum yang
telah berlaku di masyarakat. Prosesi peminangan merupakan langkah awal untuk
menuju ke jenjang serius pernikahan. Allah SWT menggariskan agar masing-
masing pasangan yang hendak menikah lebih awal saling mengenal sebelum
dilakukan akad nikahnya sehingga pelaksanaan perkawinan benar-benar
berdasarkan pada pandangan dan penilaian yang jelas 4

2.Dasar Hukum

Telah di atas mengandung pemahaman bahwa, peminangan menjadi


landasan awal untuk menuju ke jenjang perkawinan. Memang, peminangan bukan
merupakan sesuatu yang wajib, namun hal ini sudah menjadi suatu tradisi yang
berkembang di tengah-tengah masyarakat.

3
____________________________________________

4
Muhammad Thalib, 40 Petujunk Menuju Perkawinan Islam, (Bandung: Irsyad
Baitus Salam, 1995), h. 60.
Mengenai peminangan ini telah diatur oleh hukum Islam, baik dalam al-
Qur‟an maupun al- Hadiś. Dalam al- Qur‟an surat al- Baqarah ayat 235 menjadi
dasar dari peminangan, yang berbunyi:

“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran
atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah
mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu
janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali
sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'rufdan janganlah
kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan
ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka
takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyantun”.

4
Mayoritas fuqahā berpendapat bahwa orang yang meminang boleh
memandang pinangannya. imam malik, imam syafi‟i dan imam ahmad
memberikan batasan pada telapak tangan dan wajah saja. Karena wajah cukup
untuk bukti kecantikannya dan dua tangan cukup untuk bukti keindahan dan
kehalusan kulit badannya. Adapun yang lebih jauh dari itu kalau dimungkinkan,
maka hendaknya orang yang meminang mengutus ibunya atau saudara
perempuannya untuk mengetahuinya, seperti bau mulutnya, bau ketiaknya dan
badannya, serta keindahan rambutnya. Sebagaimana Nabi SAW pernah mengutus
seseorang untuk mendatangi perempuan dengan sabdanya:

Lihatlah urat kentirnya dan ciumlah kuduknya” dan dalam riwayat lain: “dan
ciumlah gigi depannya”. (HR. Ahmad, Hakim, Tabrani dan Baihaqi)

Ibnu Rusyd dengan menukil pendapat imam Daud Al-Zhahiriy,


mengatakan bahwa hukum pinangan adalah wajib. Ulama ini mendasarkan
pendapatnya pada hadis-hadis nabi yang menggambarkan bahwa pinangan
(khitbah) ini merupakan perbuatan dan tradisi yang dilakukan nabi dalam
peminangan itu 5

____________________________________________

5
Al- Asqolani, Ibn Hajr, Bulugh al-Maram, (Semarang: Karya Toha Putrah, 1378 H), h. 209
B. Melihat Perempuan yang di pinang

 Apabila seorang laiki-laki telah bulat tekadnya untuk menikah dengan


pasangannya, maka antara kedua belah pihak harus sama-sama menjaga
pandangannya kecuali apabila telah terjalin hubungan yang suci yaitu setelah
terjadi akad nikah. Sebelum menikah, dianjurkan untuk melihat terlebih dahulu
calon pasangan tersebut. Di dalam Islam, hal ini disebut khitbah.

Para ulama sepakat bahwa laki-laki yang hendak menikahi seorang wanita,
maka terlebih dahulu ia harus melihat wanita tersebut. Di antara dalilnya
sebagaimana yang diceritakan oleh al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu,
bahwa beliau hendak melamar seorang wanita. Kemudian Nabi SAW memberi
saran kepadanya

Lihat dulu calon istrimu, karena itu akan lebih bisa membuat kalian saling
mencintai.” (Ahmad 18154, Turmudzi 1110 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth)

a) Wanita yang dipinang tidak dipinang orang lain.

Hikmah larangan ini adalah untuk menhindari terjadinya permusuhan


diantara sesama muslim, karna muslim satu dengan muslim yang lainnya
bersaudara.

Meminang pinangan orang lain yang dilarang itu bilamana wanita itu telah
menerima pinangan pertama dan walinya telah dengan jelas mengijinkannya.
Tetapi kalau pinangan semula ditolak oleh pihak yang dipinang, atau karena
peminang pertama telah memberi ijin pada peminang yang kedua, maka yang
demikian tidak dilarang.

6
Tentang hal ini Ibnu Qasim berpendapat bahwa yang dimaksud larangan
tersebut adalah jika seorang yang baik (saleh) meminang di atas pinangan orang
saleh pula. Sedangkan apabila peminang pertama tidak baik, sedang peminang
kedua adalah baik, maka pinangan semacam itu dibolehkan.

b) Wanita yang dipinang adalah perempuan yang tidak bersuami dan tidak dalam
keadaan iddah, boleh, baik dengan terang-terangan atau sindiran. Apabila ia dalam
keadaan bersuami, tidak boleh, baik terang-terangan maupun sindiran, jika sedang
iddah, ada beberapa kemungkinan:

Tentang hal ini Ibnu Qasim berpendapat bahwa yang dimaksud larangan
tersebut adalah jika seorang yang baik (saleh) meminang di atas pinangan orang
saleh pula. Sedangkan apabila peminang pertama tidak baik, sedang peminang
kedua adalah baik, maka pinangan semacam itu dibolehkan.

c. Apabila iddah karna mati atau talak batin, boleh dipinang dengan sindiran.

d. Tidak boleh meminang wanita yang sedang iddah ditinggal mati suaminya
dengan terang-terangan, hal ini untuk menjaga perasaan wanita dan ahli waris
lainnya yang sedang berkabung tetapi tidak dilarang meminang dengan sindiran.

e. Wanita yang dipinang haruslah wanita yang boleh dinikahi, artinya wanita
yang bukan mahrom dari pria yang akan meminangnya. Dalam pendapat lain
mengemukakan bahwa perempuan yang boleh dipinang adalah yang memenuhi
syarat sebagai berikut:

a) Tidak dalam pinangan orang lain.


b) Pada waktu dipinang tidak ada penghalang syar’i yang melarang
dilangsungkannya pernikahan.
c) Perempuan itu tidak dalam masa iddah karna talak raj’i.
d) Apabila perempuan dalam masa iddah karna talak ba’in, hendaklah
meminang dengan cara sirry (tidak terang-terangan).7

7____________________________________________

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm 74
C. Tujuan dan Hikmah Peminangan

yang menjadi landasan orang melakukan peminangan tidak sama di semua


daerah, lazimnya adalah

a. Karena ingin menjamin perkawinan yang dikehendaki itu sudah dapat


dilangsungkan dalam waktu dekat.

b. Khususnya di daerah-daerah yang pergaulannya sangat bebas antara pergaulan


muda-mudi maka dibatasi dengan pertunangan.

c. Suatu pemberian kesempatan bagi kedua belah pihak untuk mengenal lebih jauh
lagi calon suami, agar nantinya menjadi pasangan yang harmonis.

Dalam bukunya al-Ahwal al-Syakhsiyyah, Abu Zahrah menyatakan bahwa


tujuan peminangan tidak lain adalah sebagai ajang, bahwasanya pasangan yang
hendak melangsungkan pernikahan dapat saling melihat antara pihak perempuan
dengan pihak laki-laki agar tidak terjadi suatu penyesalan, karena dikatakan
bahwa melihat merupakan cara terbaik untuk mengetahui akan suatu hal.

Yang terpenting dari tujuan peminangan bila ditinjau secara umum adalah:

Pertama: Lebih mempermudah dan memperlancar jalannya masa


perkenalan antara pihak peminang dan yang dipinang beserta dengan kelurga
masing-masing. Hal ini dikarenakan tidak jarang bagi pihak peminang atau yang
dipinang sering salah atau kurang dewasa dalam menjalani proses pengenalan
kepada calon pendampingnya.

9
Kedua: Supaya di antara keduanya rasa cinta dan kasih lebih cepat
tumbuh.

Ketiga: Menimbulkan efek ketentraman jiwa dan kemantapan hati bagi


pihak yang akan menikahi atau yang akan dinikahi, dan tanpa adanya pihak-pihak
yang mendahului.36

10
DAFTAR PUSTAKA

Dahlan Idhamy, Azas-azas Fiqh Munakahat Hukum Keluarga Islam, (Surabaya:


AlIkhlas, 2008), h. 15
Eko Endarmoko, Kamus Tesaurus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2006),
h. 477.
al- Athar, Saat Anda Meminang, h. 15-16. 10 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum
Islam tentang Perkawinan, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1995), h. 59.
Muhammad Thalib, 40 Petujunk Menuju Perkawinan Islam, (Bandung: Irsyad
Baitus Salam, 1995), h. 60.

Al- Asqolani, Ibn Hajr, Bulugh al-Maram, (Semarang: Karya Toha Putrah, 1378
H), h. 209

Anda mungkin juga menyukai