BAB I
PEMBAHASAN
a. Pengertian Pernikahan
Kata nikah berasal dari bahasa Arab نكاح نكح ينكحyang secara etimologi berarti
( التزوجmenikah), ( االختالطbercampur). Dalam bahasa Arab kata nikah bermakna العقد
(berakad), وطءAAAA( الbersetubuh), تمتاعAAAA( اإلسbersenang-senang).1 Ada juga yang
mengartikan pernikahan artinya menggabungkan dan menjalin, sedangkan menurut
istilah syariat nikah adalah pernikahan (perkawinan).2
1
Abu Sahla dan Nurul Nazara, Buku Pintar Pernikahan, cet I, (Jakarta: Belanoor,2011), h. 16.
2
Syaikh Husain bin, Audah al-Awaisyah, AL-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah fii Fiqhil Kitab
as-Sunah al-Muthaharah/Ensiklopedi Fiqih Praktis Menurut Al-Quran dan As-Sunah, (Jakarta:
Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2008), Jilid IV, h.1
3
Udi Mufradi Mawardi, Teologi Pernikahan, (Serang: FUDAPress, 2016), h. 5.
dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur‟an
dengan arti kawin, seperti dalam surat an-Nisa ayat 3:4
Artinya: Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain)
yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan
mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan
yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.
Menurut Mahmud Yunus, nikah adalah akad antara calon suami istri untuk
membolehkan keduanya bergaul dan diatur oleh syariat agama. Menurut ulama usul
fiqih yang dikutip Ibrahim Hoesen, nikah adalah suatu akad yang menyebabkan
antara pria dan wanita halal bersetubuh.6
4
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 33.
5
Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Siraja, 2006), h. 11.
6
Udi Mufradi Mawardi, Teologi Pernikahan, …h. 6.
Sedangkan, dalam Kompilasi Hukum Islam, seperti yang terdapat pada Pasal
2 dinyatakan bahwa perkawinan dalam hukum Islam adalah “Pernikahan yaitu akad
yang sangat kuat atau miitsaqan ghalidhan untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah”.
Dari uraian di atas, ada beberapa definisi nikah yang dikemukakan oleh para
ahli fiqih, tetapi pada perinsipnya tidak ada perbedaan yang berarti, kecuali pada
redaksinya:
a) Menurut ulama Hanafiyah, nikah adalah akad yang disengaja dengan tujuan
mendapatkan kesenangan.
b) Menurut ulama Syafiiyah, nikah adalah akad yang mengandung makna wathi‟
(untuk memiliki kesenangan) disertai lafadz nikah, kawin, atau yang semakna.
c) Menurut ulama Malikiyah, nikah adalah akad yang semata-mata untuk
mendapatkan kesenangan dengan sesame manusia.
d) Menurut ulama Hanabilah, nikah adalah akad dengan lafadz nikah atau kawin
untuk mendapatkan manfaat bersenang-senang.7
Pernikahan di syariatkan dengan dalil dari Al-Quran, sunah dan ijma. Dalam surat an-
Nisa ayat 3 Allah berfirman:
7
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih IslamWa Adilatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 40.
dengan “zoon politikan”, di dalamnya saling melengkapi, saling mengisi, saling
memenuhi, saling mengasihi, dan mengembangbiakan populasi. Oleh karena itu
manusia akan selalu membutuhkan manusia yang lainnya terutama lawan jenisnya
untuk memenuhi salah satu kebutuhan manusia itu sendiri.
Dengan melihat kepada hakikat perkawinan itu merupakan akad yang membolehkan
laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dibolehkan.
Perkawinan adalah suatu perbuatan yang disuruh oleh Allah dan juga disuruh oleh
Nabi. Banyak suruhan-suruhan Allah dalam Al-Qur’an untuk melaksanakan
perkawinan, diantaranya firman-Nya dalam surat an-Nur ayat 32:
Dari begitu banyaknya suruhan Allah dan Nabi untuk melaksankan perkawinan itu,
maka perkawinan itu adalah perbuatan yang lebih disenangi Allah dan Nabi untuk
dilakukan. Namun suruhan Allah dan Nabi untuk melangsungkan perkawinan itu
tidaklah berlaku secara mutlak tanpa persyaratan. Persyaratan untiuk melangsungkan
perkawinan itu terdapat dalam hadts nabi dari Abdullah bin Mas‟ud Muttafaq Alaih
yang berbunyi:
” Wahai para pemuda, siapa di antaramu telah mempunyai kemampuan dari segi “al-
baah” hendaklah ia kawin, karena perkawinan itu lebih menutup mata dari
penglihatan yang tidak baik dan lebih menjaga kehormatan. Bila ia tidak mampu
untuk kawin hendaklah ia berpuasa; karena puasa itu baginya pengekang hawa nafsu”
(HR. Mutafaq Alaih)8
8
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum nikah,9ada yang mengatakan
wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.
a. Rukun Perkawinan
Abdurrahman al-Jaziri menyebut yang termasuk rukun adalah al-ijab dan al-
qabul dimana tidak aka nada nikah tanpa keduanya. Sayyid Sabiq juga menyimpulkan
menurut fuqaha, rukun nikah terdiri dari al-ijab dan al-qabul, sedangkan yang lain
termasuk kedalam syarat.10
Menurut pasal 14 KHI rukun perkawinan terdiri atas calon mempelai laki-laki,
calon mempelai perempuan, wali nikah, dua orang saksi laki-laki dan ijab
qabul.12Jadi, jika mengacu pada pasal 14 Kompilasi Hukum Islam ini apabila kelima
10
Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,...,h. 60.
11
Wahbah Az-Zuhaiki, Fiqih Islam,…, h. 45.
12
Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam
unsur atau rukun terpenuhi maka perkawinan adalah sah. Tetapi jika sebaliknya,
apabila kelima unsur atau rukun tersebut tidak terpenuhi maka pernikahan adalah
tidak sah.
Berdasarkan hadis Rasulullah saw, dalam kitab al-bahr dari Nahsir, Syafi‟I
dan Zuhar, sebagaimana dkutip dalam kitab Nailul Authar jilid 5, bahwa: “Setiap
Pernikahan yang tidak dihadiri oleh empat unsur, yaitu mempelai laki-laki, aqid yang
mengakadkan dan dua orang saksi, maka perkawinan itu tidak sah”.13
Menurut jumhur ulama, rukun perkawinan ada lima dan masing-masing rukun
itu memiliki syarat-syarat tertentu yaitu sebagai berikut:14
1. Laki-laki;
13
Neng Jubaedah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan tidak di Catat, (Jakarta: Sinar Grafika,
2010), cet.I,h. 107
14
2. Dewasa;
3. Mempunyai hak perwalian;
4. Tidak terdapat halangan perwalian.
d. Saksi nikah
b. Syarat-Syarat Perkawinan
Syarat dalam sebuah pernikahan berbeda tentunya dengan rukun, karena
memang rukun itu tidak bisa ditawar. Oleh karena itu, haruslah terpenuhi dan
tercukupi keseluruhannya. Namun dengan syarat, ada beberapa kondisi yang
menjadikannya bisa berubah ataupun bisa dibicarakan secara baik dan musyawarah
kepada pihak kedua calon pengantin.
Salah satu syarat pernikahan adalah harus adanya mahar selain syarat-syarat
yang lain yang telah penulis singgung diatas. Mahar adalah harta yang wajib
diserahkan kepada perempuan oleh laki-laki karena adanya pernikahan atau
persenggamaan. Allah menyebutkan kata mahar dalam alQuran dengan istilah
shadaqah, ajr atau faridhah. Hukum mahar adalah wajib, berdasarkan firman Allah
dalam surat an-Nisa ayat 4:
1. Asas sukarela
Yang dimaksud asas suka rela adalah asas dimana kedua mempelai bebas
memilih calon pasangannya masingmasing tanpa ada unsur paksaan dari siapapun,
selagi sesuai dengan syariat atau norma yang berlaku. Karena sesuai prinsip hak asasi
manusia, kawin paksa benar-benar dilarang oleh undang-undang perkawinan ini.
Prinsip-Prinsip Perkawinan
Setiap pasangan suami istri pasti mendambakan mahligai rumah tangga yang
dibangunnya selalu rukun, bahagia, dan penuh ketenangan (sakīnah) hingga maut
memisahkan mereka berdua. Akan tetapi, didalam kehidupan rumah tangga pasti
akan selalu ada masalah dan ujian yang menghampiri keduanya. Tidak jarang
pasangan suami istri harus mengakhiri biduk rumah tangga yang dibina karena
adanya suatu masalah atau ujian yang menimpa keduanya, dan menurut keduanya
tiada jalan keluar lain selain kata perpisahan (perceraian). Namun, masih banyak pula
pasangan suami istri yang mampu bertahan dan menyelesaikan segala ujian dan
masalah yang silih berganti datang, bahkan semakin mengokohkan rumah tangga
yang dibangun bersama pasangan.
16
M. Quraish Shihab, Perempuan:Dari cinta Sampai Seks, Dari Nikah Mut‟ah sampai Nikah Sunnah,
Dari Bias Lama sampai Bias Baru, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), 141
17
Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi, (Bandung, LSPPA,
1994), hlm. 137
“Telah menceritakan kepada kami Hannad bin As Sarri berkata, telah
menceritakan kepada kami Waqi' dari Kahmas bin Al Hasan dari Ibnu Buraidah dari
Bapaknya ia berkata: "Ada seorang gadis datang kepada Nabi Saw., dan berkata,
"Sesungguhnya ayahku menikahkan aku dengan keponakannya dengan tujuan agar
mengangkatnya dari kehinaan." Buraidah berkata, "Maka Beliau menyerahkan urusan
itu kepada gadis tersebut. Lalu ia berkata, "Aku telah menerima putusan bapakku,
hanya saja aku ingin agar kaum wanita mengetahui, bahwa keputusan bukan ada pada
bapak-bapak mereka." (HR.Ibnu Majah).18
2. Prinsip Kesetaraan
Perkawinan merupakan sebuah akad antara dua orang pasangan yang terdiri
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam posisi yang setara. Karena
hubungan antara suami dan isteri adalah hubungan horizontal bukan hubungan
vertikal, sehingga tidak terdapat kondisi yang mendominasi dan didominasi. Semua
pihak setara dan sederajat untuk saling bekerja sama dalam sebuah ikatan cinta dan
kasih sayang.
Menurut M. Quraish Shihab, kesetaraan suami dan istri pun dapat dilihat dari
segi kejadian keduanya yang tidak memiliki perbedaan apapun. Oleh sebab itu al-
Qur'an menegaskan bahwa “sebagian kamu dari sebagian yang lain [ba‟ḍukum min
ba‟ḍ]”. Istilah ini digunakan untuk menunjukkan kesetaraan/ kebersamaan, dan
18
Muḥammad bin Yazīd Abu Abdillah, Sunan Ibn Mājah, (Bairūt: Dār al-Fikr, tt), 602.
19
Rustam Dahar Karnadi AḤ, “Kesetaraan Laki-Laki Dan Perempuan Dalam Hukum Perkawinan
Islam”, SAWWA 8: 2 (April 2013), 361- 386
kemitraan sekaligus menunjukkan bahwa lelaki sendiri atau suami sendiri belumlah
sempurna, demikian juga perempuan, sebelum menyatu dengan pasangannya yang
juga sebagian. Baik laki-laki maupun perempuan, lahir dari sebagian keduanya, yaitu
perpaduan antara sperma laki-laki dan sel telur perempuan.20
20
2 Lihat, M. Quraish Shihab, Perempuan… 149
21
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, (Yogyakarta: LkiS, 2007 ), 146
Walaupun dalam konteks ayat di atas, perintah tersebut ditujukan kepada seorang
suami untuk mempergauli istrinya secara baik, maka apabila menggunakan
metodologi mubādalah maka ketentuan tersebut juga berlaku kepada seorang istri,
untuk mempergauli suami secara baik pula.
Pergaulan yang baik menurut Syaikh Nawawi adalah baik menurut syara‟, yakni
perbuatan sikap dan tutur kata. Suami diperintahkan untuk bersikap lemah
lembut, tidak mudah marah, menyenangkan istrinya dan menuruti kehendak
istrinya dalam hal kebaikan.22 Pun demikian, seorang istri juga harus bersikap
yang sama kepada suaminya.
22
Muhammad Nawawi Al-Bantani, Murāh Labīdz, (Beirut: Dār Ma‟rifat al-„Ilmiyyah, Tt), 135.
23
Muhammad Nawawi Al-Bantani, Murāh Labīdz, 135.
24
Faqihuddin Abdul Kodir, Manba‟asSa‟ādah, (Cirebon:Fahmina Institute, 2013), 23.
dicontohkan Rasulullah Saw dalam kehidupan rumah tangganya. Hal ini
sebagaimana sebuah riwayat yang dituturkan oleh Imam Bukhari:
“Telah berkata Umar bin Khaṭṭab, “Di masa Jahiliyah, kami tidak pernah
mengikut sertakan wanita dalam suatu urusan, sehingga telah tiba waktunya Allah
Swt., menentukan kedudukan dan peranan mereka, dia (Umar) melanjutkan:
“Tatkala saya sedang memikirkan suatu urusan, tiba-tiba istriku berkata;
Bagaimana kalau kamu buat seperti ini dan seperti itu? Lalu kukatakan padanya;
Mana mungkin kamu tahu? Kamu tidak usah ikut campur dan susah-susah
memikirkan urusanku. Maka dia berkata kepadaku; Sungguh aneh kamu wahai
Ibnul Khaththab, kamu tidak mau bertukar pikiran denganku! Padahal putrimu
selalu bertukar pikiran dengan Rasulullah Saw.”25
25
Muhammad bin Ismail Abu „Abdillah alBukhari, Al-Jāmi‟ al-Ṣahīh, 4532.
Kalau pakaian berfungsi menutup aurat dan kekurangan jasmani manusia,
demikian pula pasangan suami dan istri, keduanya saling melengkapi dan
menutupi pasangannya masing-masing. Kalau pakaian merupakan hiasan bagi
pemakainya, suami adalah hiasan bagi istrinya, demikian pula sebaliknya.