Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

“Dasar- dasar Hukum Perkawinan”

Sarah Lisfiza (0203222051)

Salsabila Fitri Anggraini (0203222041)

Kaka Anugrah Miranto (0203222062)

BAB I

PEMBAHASAN

1. Pengertian dan Dasar Hukum Pernikahan

a. Pengertian Pernikahan

Kata nikah berasal dari bahasa Arab ‫ نكاح نكح ينكح‬yang secara etimologi berarti
‫( التزوج‬menikah), ‫( االختالط‬bercampur). Dalam bahasa Arab kata nikah bermakna ‫العقد‬
(berakad), ‫وطء‬AAAA‫( ال‬bersetubuh), ‫تمتاع‬AAAA‫( اإلس‬bersenang-senang).1 Ada juga yang
mengartikan pernikahan artinya menggabungkan dan menjalin, sedangkan menurut
istilah syariat nikah adalah pernikahan (perkawinan).2

Nikah dalam pengertian al-Qur’an adalah “al-jam’u” (berhimpun) dan


“zawwaja” (pasangan).3 Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqih berbahasa
Arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang terpakai

1
Abu Sahla dan Nurul Nazara, Buku Pintar Pernikahan, cet I, (Jakarta: Belanoor,2011), h. 16.
2
Syaikh Husain bin, Audah al-Awaisyah, AL-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah fii Fiqhil Kitab
as-Sunah al-Muthaharah/Ensiklopedi Fiqih Praktis Menurut Al-Quran dan As-Sunah, (Jakarta:
Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2008), Jilid IV, h.1
3
Udi Mufradi Mawardi, Teologi Pernikahan, (Serang: FUDAPress, 2016), h. 5.
dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur‟an
dengan arti kawin, seperti dalam surat an-Nisa ayat 3:4

Artinya: Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain)
yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan
mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan
yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.

Secara etimologi pernikahan berarti persetubuhan, ada pula yang


mengartikannya perjanjian (al-Aqdu). Secara terminologi ada beberapa pengertian
namun secara subtansi sama. Seperti yang dikemukakan oleh imam madzhab yaitu
pernikahan menurut Abu Hanifah adalah akad yang dikukuhkan untuk memperoleh
kenikmatan dari seorang wanita yang dilakukan dengan sengaja. Menurut madzhab
Maliki, pernikahan adalah akad yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan dari
wanita.5

Menurut Mahmud Yunus, nikah adalah akad antara calon suami istri untuk
membolehkan keduanya bergaul dan diatur oleh syariat agama. Menurut ulama usul
fiqih yang dikutip Ibrahim Hoesen, nikah adalah suatu akad yang menyebabkan
antara pria dan wanita halal bersetubuh.6

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,


perkawinan didefinisikan sebagai “Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.Dalam Pasal 2 ayat
(1) bahwa perkawinan dikatankan sah apabila dilakukan nenurut hukum masing-
masing agama dan kepercayaannya itu.

4
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 33.
5
Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Siraja, 2006), h. 11.
6
Udi Mufradi Mawardi, Teologi Pernikahan, …h. 6.
Sedangkan, dalam Kompilasi Hukum Islam, seperti yang terdapat pada Pasal
2 dinyatakan bahwa perkawinan dalam hukum Islam adalah “Pernikahan yaitu akad
yang sangat kuat atau miitsaqan ghalidhan untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah”.

Dari uraian di atas, ada beberapa definisi nikah yang dikemukakan oleh para
ahli fiqih, tetapi pada perinsipnya tidak ada perbedaan yang berarti, kecuali pada
redaksinya:

a) Menurut ulama Hanafiyah, nikah adalah akad yang disengaja dengan tujuan
mendapatkan kesenangan.
b) Menurut ulama Syafiiyah, nikah adalah akad yang mengandung makna wathi‟
(untuk memiliki kesenangan) disertai lafadz nikah, kawin, atau yang semakna.
c) Menurut ulama Malikiyah, nikah adalah akad yang semata-mata untuk
mendapatkan kesenangan dengan sesame manusia.
d) Menurut ulama Hanabilah, nikah adalah akad dengan lafadz nikah atau kawin
untuk mendapatkan manfaat bersenang-senang.7

b. Dasar Hukum Pernikahan

Pernikahan di syariatkan dengan dalil dari Al-Quran, sunah dan ijma. Dalam surat an-
Nisa ayat 3 Allah berfirman:

Hidup berpasangan merupakan ketentuan Allah dalam penciptaan manusia sebagai


makhluk-Nya, termasuk yang ada didalam semesta ini. Hal itu dikerenakan makhluk
Allah tidak dapat berdiri sendiri, lemah, kurang dan terbatas. Fitrah berpasangan
menuntut manusia untuk hidup bersama atau yang dalam filsafat Aristoteles dikenal

7
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih IslamWa Adilatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 40.
dengan “zoon politikan”, di dalamnya saling melengkapi, saling mengisi, saling
memenuhi, saling mengasihi, dan mengembangbiakan populasi. Oleh karena itu
manusia akan selalu membutuhkan manusia yang lainnya terutama lawan jenisnya
untuk memenuhi salah satu kebutuhan manusia itu sendiri.

Untuk memenuhi kebutuhan itu, Islam mensyariatkan pernikahan. Allah menciptakan


manusia dalam bentuk yang paling baik dan sempurna, lalu menciptakan untuknya
pasangan dari jenisnya sendiri sebagai salah satu pemenuhan kebutuhan manusia itu
sendiri. Allah mensyariatkan pernikahan, sebagai cara yang halal untuk mencapai
kebutuhan itu

Dengan melihat kepada hakikat perkawinan itu merupakan akad yang membolehkan
laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dibolehkan.
Perkawinan adalah suatu perbuatan yang disuruh oleh Allah dan juga disuruh oleh
Nabi. Banyak suruhan-suruhan Allah dalam Al-Qur’an untuk melaksanakan
perkawinan, diantaranya firman-Nya dalam surat an-Nur ayat 32:

Dari begitu banyaknya suruhan Allah dan Nabi untuk melaksankan perkawinan itu,
maka perkawinan itu adalah perbuatan yang lebih disenangi Allah dan Nabi untuk
dilakukan. Namun suruhan Allah dan Nabi untuk melangsungkan perkawinan itu
tidaklah berlaku secara mutlak tanpa persyaratan. Persyaratan untiuk melangsungkan
perkawinan itu terdapat dalam hadts nabi dari Abdullah bin Mas‟ud Muttafaq Alaih
yang berbunyi:

” Wahai para pemuda, siapa di antaramu telah mempunyai kemampuan dari segi “al-
baah” hendaklah ia kawin, karena perkawinan itu lebih menutup mata dari
penglihatan yang tidak baik dan lebih menjaga kehormatan. Bila ia tidak mampu
untuk kawin hendaklah ia berpuasa; karena puasa itu baginya pengekang hawa nafsu”
(HR. Mutafaq Alaih)8

8
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum nikah,9ada yang mengatakan
wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.

1) Wajib Sekiranya seseorang sudah merasa mampu membiayai rumah tangga,


ada keinginan untuk berkeluarga dan takut terjerumus kedalam perbuatan
zina, maka kepada orang tersebut diwajibkan nikah. Apabila hasrat untuk
menikah begitu mendesak, sedangkan biaya tidak ada atau dipandang kurang
mencukupi maka bulatkan saja pikiran untuk menikah karna Allah akan
memberi kelapangan. Sebagaimana firman-Nya dalam surat an-Nur ayat 33:
2) Sunah Sekiranya seseorang telah mampu membiayai rumah tangga danada
juga keinginan berumah tangga, tetapi keinginan nikah itu tidak
dikhawatirkan menjurus kepada perbuatan zina (haram), maka sunnah baginya
untuk menikah dan supaya lebih tenang lagi beribadah dan berusaha.
3) Haram Orang yang belum mampu membiayai rumah tangga, atau
diperkirakan tidak dapat memenuhi nafkah lahir dan batin (impoten), maka
haram baginya menikah. Sebab akan menyakiti perasaan wanita yang akan
dinikahinya. Demikian juga diharamkan menikah apabila ada tersirat niat
menipu wnita itu atau menyakitinya.
4) Makruh Orang yang tidak dapat memenuhi nafkah lahir batin, tetapi tidak
sampai menyusahkan wanita itu kalau dia orang berada dan kebutuhan
biologispun tidak begitu menjadi tuntutan, maka terhadap orang itu
dimakruhkan menikah. Sebab, walaupun bagaimana nafkah lahir batin
menjadi kewajiban suami, diminta atau tidak oleh istri.
5) Mubah (Boleh) Pada dasarnya hukum nikah itu adalah mubah (boleh), karena
tidak ada dorongan atau larangan untuk menikah, sebagaimana telah
disinggung diatas.

Syaikh Musthafa al-Adawy berkata, “Secara umum, menikah itu hukumnya


wajib kerena ia merupakan bentuk pelakanaan perintah Allah, penerapan
sunah Rasulullah dan tuntutan para Rosul. Disamping itu menikah juga dapat
9
memecahkan gelombang nafsu syahwat, memeliharapandangan dan kemaluan
serta menjaga kesucian wanita agar di kalangan muslimin tidak tersebar
fenomena kekejian”.

2. Rukun dan Syarat Pernikahan

Diskursus tentang rukun merupakan masalah yang serius di kalangan fuqaha.


Sebagai konsekuensinya terjadi silang pendapat berkenaan dengan apa yang termasuk
rukun dan mana yang tidak. Bahkan perbedaan itu juga terjadi dalam menentukan
mana yang termasuk rukun dan mana yang termasuk syarat.

a. Rukun Perkawinan

Abdurrahman al-Jaziri menyebut yang termasuk rukun adalah al-ijab dan al-
qabul dimana tidak aka nada nikah tanpa keduanya. Sayyid Sabiq juga menyimpulkan
menurut fuqaha, rukun nikah terdiri dari al-ijab dan al-qabul, sedangkan yang lain
termasuk kedalam syarat.10

Rukun menurut para ulama Hanafiyah adalah hal yang menentukan


keberadaan sesuatu, dan menjadi bagian dalam esensinya. Sedangkan syarat menurut
mereka adalah hal yang menentukan keberadaan sesuatu dan bukan merupakan
bagian dari esensinya. Sedangkan rukun menurut jumhur ulama adalah hal yang
menyebabkan berdiri dan keberadaan sesuatu, sesuatu tersebut tidak akan terwujud
melainkan dengannya. Rukun pernikahan menurut para ulama Hanafiyah hanya ijab
dan qabul saja. Sedangkan menurut jumhur ulama ada empat, yaitu sighat (ijab dan
qabul), suami, istri dan wali.11

Menurut pasal 14 KHI rukun perkawinan terdiri atas calon mempelai laki-laki,
calon mempelai perempuan, wali nikah, dua orang saksi laki-laki dan ijab
qabul.12Jadi, jika mengacu pada pasal 14 Kompilasi Hukum Islam ini apabila kelima
10
Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,...,h. 60.
11
Wahbah Az-Zuhaiki, Fiqih Islam,…, h. 45.
12
Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam
unsur atau rukun terpenuhi maka perkawinan adalah sah. Tetapi jika sebaliknya,
apabila kelima unsur atau rukun tersebut tidak terpenuhi maka pernikahan adalah
tidak sah.

Berdasarkan hadis Rasulullah saw, dalam kitab al-bahr dari Nahsir, Syafi‟I
dan Zuhar, sebagaimana dkutip dalam kitab Nailul Authar jilid 5, bahwa: “Setiap
Pernikahan yang tidak dihadiri oleh empat unsur, yaitu mempelai laki-laki, aqid yang
mengakadkan dan dua orang saksi, maka perkawinan itu tidak sah”.13

Menurut jumhur ulama, rukun perkawinan ada lima dan masing-masing rukun
itu memiliki syarat-syarat tertentu yaitu sebagai berikut:14

a. Calon suami, syarat-syaratnya:


1. Beragama Islam;
2. Laki-laki;
3. Jelas orangnya;
4. Dapat memberikan persetujuan;
5. Tidak terdapat halangan perkawinan.

b. Calon istri, syarat-syaratnya:


1. Beragama, meskipun Yahudi atau Nasrani;
2. Perempuan;
3. Jelas orangnya;
4. Dapat dimintai persetujuan;
5. Tidak terdapat halangan perkawinan.

c. Wali nikah, syarat-syaratnya:

1. Laki-laki;

13
Neng Jubaedah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan tidak di Catat, (Jakarta: Sinar Grafika,
2010), cet.I,h. 107
14
2. Dewasa;
3. Mempunyai hak perwalian;
4. Tidak terdapat halangan perwalian.

d. Saksi nikah

1. Minimal dua orang saksi;


2. Hadir dalam ijab qabul;
3. Dapat mengerti maksud akad;
4. Beragama Islam;
5. Dewasa.

e. Ijab dan Qabul, syarat-syaratnya:

1. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali;


2. Adanya penerimaan dari calon mempelai;
3. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata
tersebut;
4. Antara ijab dan qabul bersambungan;
5. Orang yang terkait dengan ijab qabul tidak sedang ihram haji atau
umrah;
6. Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu
calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua orang
saksi.

b. Syarat-Syarat Perkawinan
Syarat dalam sebuah pernikahan berbeda tentunya dengan rukun, karena
memang rukun itu tidak bisa ditawar. Oleh karena itu, haruslah terpenuhi dan
tercukupi keseluruhannya. Namun dengan syarat, ada beberapa kondisi yang
menjadikannya bisa berubah ataupun bisa dibicarakan secara baik dan musyawarah
kepada pihak kedua calon pengantin.

Salah satu syarat pernikahan adalah harus adanya mahar selain syarat-syarat
yang lain yang telah penulis singgung diatas. Mahar adalah harta yang wajib
diserahkan kepada perempuan oleh laki-laki karena adanya pernikahan atau
persenggamaan. Allah menyebutkan kata mahar dalam alQuran dengan istilah
shadaqah, ajr atau faridhah. Hukum mahar adalah wajib, berdasarkan firman Allah
dalam surat an-Nisa ayat 4:

3. Asas-asas Pernikahan dalam Undang-Undang dan Prinsip-

Hak asasi manusia merupakan prinsip-prinsip kemanusiaan yang tidak boleh


dilanggar demi meletakan derajat manusia pada posisi yang sebenarnya. Kebebasan
dasar dalam hubungannya denga perkawinan dan hubungan keluarga, misalnya
mempunyai hak yang sama untuk melakukan perkawinan, bebas memilih pasangan
dan untuk melangsungkan perkawinan atas dasar persetujuan yang bebas dan
sepenuhnya, serta hak dan kebebasan yang lain. Artinya, siapapun berhak untuk
melakukan pernikahan dengan pasangan pilihannya berikut kerelaan diantara
keduanya tanpa adanya paksaan dan tekanan dari manapun. Karena memaksa
semena-mena kepada seseorang berarti menanggalkan predikat insaniyah yang
melekat pada diri seorang hamba, sebagai konsekuensi logis bahwa hak-hak dasar
inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya dalam kata lain adanya
diskriminasi terhadap eksistensi manusia.

Sebagaimana telah diketahui, bahwa perkawinan menurut Pasal 1 Undang-


undang Perkawinan tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
lelaki dengan seorang perempuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Sahnya perkawinan menurut Pasal 2
ayat (1) Undang-undang Perkawinan adalah apabila perkawinan itu dilakukan
menurut hukum masingmasing agamanya. Dengan demikian, maka sangat jelas
bahwa Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menempatkan
hukum agama sebagai hukum terpenting untuk menentukan sah atau tidak sahnya
perkawinan.

Asas-asas perkawinan dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang


Perkawinan yaitu:15

1. Asas sukarela

Yang dimaksud asas suka rela adalah asas dimana kedua mempelai bebas
memilih calon pasangannya masingmasing tanpa ada unsur paksaan dari siapapun,
selagi sesuai dengan syariat atau norma yang berlaku. Karena sesuai prinsip hak asasi
manusia, kawin paksa benar-benar dilarang oleh undang-undang perkawinan ini.

2. Asas partisipasi keluarga

Meskipun calon mempelai diberi kebebasan memilih pasangan hidupnya


berdasarkan asas sukarela, tetapi karena perkawinan itu merupakan suatu peristiwa
yang sangat 25 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2012), cet.III, h. 6. 45 penting dalak kehidupan seseorang, maka
partisipasi keluarga sangat diharapkan di dalam pelaksanaan akad perkawinan
tersebut.

3. Asas perceraian dipersulit

Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berusaha


semaksimal mungkin adanya perceraian dapat dikendalikan dan menekan angka
perceraian kepada titik yang paling rendah.
15
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2012), cet.III,
h. 6.
4. Asas poligami dibatasi dengan ketat

Dalam pasal 4 dan 5 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang


Perkawinan dijelaskan bahwa seorang suami dengan bermaksud kawin lebih dari satu
orang istri harus ada alasan-alasan yaitu:

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri;

b. Istri mendapat cacat atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

5. Kematangan calon mempelai

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 menerangkah batas usia


diizinkannya untuk menikah bagi laki-laki maupun perempuan yaitu, “Perkawinan
hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita 16 tahun.
Sehubungan dengan hal tersebut, perkawinan dibawah umur sangat dilarang keras
dan harus dicegah pelaksanaannya kecuai ada dispenssi dari pengadilan.

5. Memperbaiki derajat kaum wanita

Sebelum Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan


diberlakukan, kebanyakan kaum wanita sangat menuntut suaminya kepengadilan,
kebanyakan mereka memilih diam dengan menanggung derita yang tidak habis-
habisnya. Kehadiran Undang-undang perkawinan ini diharapkan dapat melindungi
kaum wanita agar dapat hidup sesuai dengan norma-norma hukum dan adat istiadat
yang berlaku. Oleh karena prinsip-prinsip yang terkandung dalam undang-undang ini
sangat positif, maka seluruh warga negara Indonesia harus melaksanakannya secara
konsekuen.

Prinsip-Prinsip Perkawinan
Setiap pasangan suami istri pasti mendambakan mahligai rumah tangga yang
dibangunnya selalu rukun, bahagia, dan penuh ketenangan (sakīnah) hingga maut
memisahkan mereka berdua. Akan tetapi, didalam kehidupan rumah tangga pasti
akan selalu ada masalah dan ujian yang menghampiri keduanya. Tidak jarang
pasangan suami istri harus mengakhiri biduk rumah tangga yang dibina karena
adanya suatu masalah atau ujian yang menimpa keduanya, dan menurut keduanya
tiada jalan keluar lain selain kata perpisahan (perceraian). Namun, masih banyak pula
pasangan suami istri yang mampu bertahan dan menyelesaikan segala ujian dan
masalah yang silih berganti datang, bahkan semakin mengokohkan rumah tangga
yang dibangun bersama pasangan.

Islam mensyariatkan perkawinan dalam rangka terwujudnya rasa sakīnah,


mawaddah, dan raḥmah bagi suami maupun istri. Namun ketiganya, sebagaimana
yang dikatakan M. Quraish Shihab, tidak datang begitu saja, ia harus diusahakan oleh
setiap pasangan untuk kehadirannya dalam biduk rumah tangga. 16 Untuk tercapainya
tujuan perkawinan yang dikehendaki al-Qur'an, Islam menyiapkan sederet prinsip-
prinsip sebagai pegangan setiap pasangan agar tercapainya rasa sakīnah, mawaddah,
dan raḥmah dalam kehidupan rumah tangga yang dibinanya. Sekian banyak prinsip
itu adalah sebagai berikut:

1. Prinsip kebebasan memilih pasangan Memilih pasangan merupakan hak


dasar yang diberikan Islam tidak hanya bagi laki-laki, namun perempuan pun
memiliki hak sama. Menurut Asghar Ali Engineer, bahwa di dalam al-Qur’an
perempuan setara dengan laki-laki dalam kemampuan mental dan moralnya, sehingga
masing-masing memiliki hak independen yang sama dalam menentukan
pasangannya.17Oleh sebab itu, Islam menegaskan bahwa perempuan memiliki hak
mutlak untuk menerima atau menolak pinangan. Hal ini sebagaimana sebuah riwayat
hadiṩ yang diriwayatkan oleh Ibn Majah.

16
M. Quraish Shihab, Perempuan:Dari cinta Sampai Seks, Dari Nikah Mut‟ah sampai Nikah Sunnah,
Dari Bias Lama sampai Bias Baru, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), 141
17
Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi, (Bandung, LSPPA,
1994), hlm. 137
“Telah menceritakan kepada kami Hannad bin As Sarri berkata, telah
menceritakan kepada kami Waqi' dari Kahmas bin Al Hasan dari Ibnu Buraidah dari
Bapaknya ia berkata: "Ada seorang gadis datang kepada Nabi Saw., dan berkata,
"Sesungguhnya ayahku menikahkan aku dengan keponakannya dengan tujuan agar
mengangkatnya dari kehinaan." Buraidah berkata, "Maka Beliau menyerahkan urusan
itu kepada gadis tersebut. Lalu ia berkata, "Aku telah menerima putusan bapakku,
hanya saja aku ingin agar kaum wanita mengetahui, bahwa keputusan bukan ada pada
bapak-bapak mereka." (HR.Ibnu Majah).18

Dalam konteks ini, kebebasan perempuan dalam memilih pasangan sesuai


dengan yang diharapkannya, tidak dimaknai tanpa harus seizin dan ridho wali. Sebab
tidak dapat dipungkiri bahwa perkawinan akan lebih sempurna jika kebebasan
tersebut dalam waktu yang bersamaan juga diharapkan “memuaskan” (baca: diridhoi
dan direstui) oleh orang tua (wali) sebagai pihak yang mengakadkan dirinya dengan
calon suami.19

2. Prinsip Kesetaraan

Perkawinan merupakan sebuah akad antara dua orang pasangan yang terdiri
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam posisi yang setara. Karena
hubungan antara suami dan isteri adalah hubungan horizontal bukan hubungan
vertikal, sehingga tidak terdapat kondisi yang mendominasi dan didominasi. Semua
pihak setara dan sederajat untuk saling bekerja sama dalam sebuah ikatan cinta dan
kasih sayang.

Menurut M. Quraish Shihab, kesetaraan suami dan istri pun dapat dilihat dari
segi kejadian keduanya yang tidak memiliki perbedaan apapun. Oleh sebab itu al-
Qur'an menegaskan bahwa “sebagian kamu dari sebagian yang lain [ba‟ḍukum min
ba‟ḍ]”. Istilah ini digunakan untuk menunjukkan kesetaraan/ kebersamaan, dan

18
Muḥammad bin Yazīd Abu Abdillah, Sunan Ibn Mājah, (Bairūt: Dār al-Fikr, tt), 602.
19
Rustam Dahar Karnadi AḤ, “Kesetaraan Laki-Laki Dan Perempuan Dalam Hukum Perkawinan
Islam”, SAWWA 8: 2 (April 2013), 361- 386
kemitraan sekaligus menunjukkan bahwa lelaki sendiri atau suami sendiri belumlah
sempurna, demikian juga perempuan, sebelum menyatu dengan pasangannya yang
juga sebagian. Baik laki-laki maupun perempuan, lahir dari sebagian keduanya, yaitu
perpaduan antara sperma laki-laki dan sel telur perempuan.20

Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam konteks perkawinan juga


dapat dilihat dengan adanya hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan dan dipenuhi
oleh masing-masing pihak. Pemenuhan hak oleh masing-masing pihak suami maupun
istri setara dengan beban kewajiban yang harus ditunaikan oleh masing-masing pihak
(suami-istri). Tidak ada yang saling mendominasi dan menguasai pasangannya,
namun sebagai mitra sejajar yang saling menghargai, saling menghormati, saling
mengisi dan menyempurnakan satu sama lainnya.

4. Prinsip Mu’asyarah bi al-Ma’rūf Prinsip ini didasarkan kepada firman Allah


Swt.,:

“Wahai orang-orang beriman! Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan


dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak
mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya,
kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah
dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka,
(maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal
Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.” (QS. An-Nisā'/4:19)

KH. Husein Muhammad mendefinisikan mu‟āsyarah bi al-ma‟rūf sebagai


“pergaulan, pertemanan, persahabatan, kekeluargaan, dan kekerabatan yang di-
bangun bersama (antara suami isteri) dengan cara-cara yang baik, yang sesuai
dengan tradisi dan situasi masyarakatnya masing-masing, namun tidak
bertentangan dengan norma agama, akal sehat, maupun fitrah manusia.21

20
2 Lihat, M. Quraish Shihab, Perempuan… 149
21
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, (Yogyakarta: LkiS, 2007 ), 146
Walaupun dalam konteks ayat di atas, perintah tersebut ditujukan kepada seorang
suami untuk mempergauli istrinya secara baik, maka apabila menggunakan
metodologi mubādalah maka ketentuan tersebut juga berlaku kepada seorang istri,
untuk mempergauli suami secara baik pula.

Pergaulan yang baik menurut Syaikh Nawawi adalah baik menurut syara‟, yakni
perbuatan sikap dan tutur kata. Suami diperintahkan untuk bersikap lemah
lembut, tidak mudah marah, menyenangkan istrinya dan menuruti kehendak
istrinya dalam hal kebaikan.22 Pun demikian, seorang istri juga harus bersikap
yang sama kepada suaminya.

Mengenai Mu’āsyarah bi al-Ma‟rūf, selain diartikan dengan sikap lemah lembut


dan tutur kata yang baik, Syaikh Nawawi mengartikan lafaẓ ma‟rūf dengan kata
adil dalam hal menginap (pembagian waktu giliran bagi yang berpoligami),
nafkah, dan termasuk bertutur kata yang baik.23

Senada dengan Syaikh Nawawi, Faqihuddin mengatakan bahwa mu‟āsyarah bi


al-ma‟rūf tidak semuanya demikian. Memang dalam bergaul antara suami dan
istri diharuskan untuk bersikap adil, berperilaku baik, bersikap lemah lembut,
saling menyenangkan satu sama lain dan tidak saling menyakiti. Pergaulan yang
baik dalam hubungan suami istri adalah hubungan yang dilandasi ketakwaan dan
kemaslahatan.24

Pernikahan yang melahirkan mawaddah dan raḥmah adalah pernikahan yang


didalamnya kedua pasangan mampu berdiskusi menyangkut segala persoalan
yang mereka hadapi, sekaligus keluwesan untuk menerima pendapat
pasangannya. Penilaian yang tulus dan tidak menilainya sebagai mengurangi
kehormatan yang menerimanya47. Hal itulah yang senantiasa dilakukan dan

22
Muhammad Nawawi Al-Bantani, Murāh Labīdz, (Beirut: Dār Ma‟rifat al-„Ilmiyyah, Tt), 135.
23
Muhammad Nawawi Al-Bantani, Murāh Labīdz, 135.
24
Faqihuddin Abdul Kodir, Manba‟asSa‟ādah, (Cirebon:Fahmina Institute, 2013), 23.
dicontohkan Rasulullah Saw dalam kehidupan rumah tangganya. Hal ini
sebagaimana sebuah riwayat yang dituturkan oleh Imam Bukhari:

“Telah berkata Umar bin Khaṭṭab, “Di masa Jahiliyah, kami tidak pernah
mengikut sertakan wanita dalam suatu urusan, sehingga telah tiba waktunya Allah
Swt., menentukan kedudukan dan peranan mereka, dia (Umar) melanjutkan:
“Tatkala saya sedang memikirkan suatu urusan, tiba-tiba istriku berkata;
Bagaimana kalau kamu buat seperti ini dan seperti itu? Lalu kukatakan padanya;
Mana mungkin kamu tahu? Kamu tidak usah ikut campur dan susah-susah
memikirkan urusanku. Maka dia berkata kepadaku; Sungguh aneh kamu wahai
Ibnul Khaththab, kamu tidak mau bertukar pikiran denganku! Padahal putrimu
selalu bertukar pikiran dengan Rasulullah Saw.”25

Dengan bermusyawarah bersama pasangan (suami/istri) dalam setiap masalah dan


keinginan dapat memperkaya paradigma dari sudut pandang yang berbeda,
sehingga setiap keputusan yang diambil dilakukan dengan penuh kesadaran
dengan berbagai manfaat dan akibat yang ditimbulkan dari keputusan tersebut.

5. Prinsip Saling Menerima Didalam al-Qur‟an prinsip tersebut dengan istilah


penerimaan/ kerelaan diantara dua pihak (suami dan istri). Masing-masing
pasangan saling menerima tidak hanya dari segi kelebihan pasangannya,
namun juga segala kekurangan pasangannya dan juga menyadari kekurangan
dan kelebihan yang dimilikinya sendiri. Dengan prinsip ini maka masing-
masing pihak tidak ada yang merasa sempurna, sehingga tidak memunculkan
rasa gumede (sombong) atas pasangannya. Dan dengan prinsip ini pula
memunculkan kesadaran bahwa keduanya saling menyempurnakan
kekurangan pasangannya dengan kelebihan yang dimilikinya. Hal ini
sebagaimana firman Allah Swt.,: ُ
Mereka (istri-istri kamu) adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian
bagi mereka. (QS. AlBaqarah/2:187)

25
Muhammad bin Ismail Abu „Abdillah alBukhari, Al-Jāmi‟ al-Ṣahīh, 4532.
Kalau pakaian berfungsi menutup aurat dan kekurangan jasmani manusia,
demikian pula pasangan suami dan istri, keduanya saling melengkapi dan
menutupi pasangannya masing-masing. Kalau pakaian merupakan hiasan bagi
pemakainya, suami adalah hiasan bagi istrinya, demikian pula sebaliknya.

Abdillah, M. b. (n.d.). Sunan Ibn Mājah. Bairūt: Dār al-Fikr.


Abu Sahla dan Nurul Nazara. (2011). Buku Pintar Pernikahan cet I. Jakarta :
Belanoor.
Al-Bantani, M. N. (n.d.). Murāh Labīdz. Beirut: Dār Ma'rifat al-Ilmiyyah.
Al-Mashri, S. M. (2010). Bekal Pernikahan. Jakarta: Qisthi Press.
Amir Nurudddin dan Azhari Akmal Tarigan. (2004). Hukum Perdata Islam
di Indonesia. Jakarta: Kencana.
An-Nawawi, I. (2011). Syarah Shahih Muslim, diterjemahkan oleh Ahmad
Khotib, Hadis Nomor 1400. Jakarta: Pustaka Azzam.
Az-Zuhaili, W. (2011). Fiqih IslamWa Adilatuhu. Jakarta: Gema Insani.
Engineer, A. A. (1994). Hak-hak Perempuan dalam Islam. Bandung: LSPPA.
Hasan, A. (2006). Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam. Jakarta:
Siraja.
Hasan, M. A. (2006). Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam.
Jakarta: Prenada Media Grup.
Jubaedah, N. (2010). Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan tidak di
Catat. Jakarta: Sinar Grafika.
Kodir, F. A. (2013). Manba’ as Sa’ādah. Cirebon: Fahmina Institute.
Mawardi, U. M. (2016). Teologi Pernikahan. Serang: FUDAPress.
Muhammad, H. (2007). Fiqh Perempuan. Yogyakarta: Lkis.
Shihab, M. Q. (2007). Perempuan: Dari cinta Sampai Seks, Dari Nikah
Mut'ah sampai Nikah Sunnah, Dari Bias Lama sampai Bias Baru,.
Jakarta: Lentera Hati.
Syaikh Husain bin, A. a.-A. (2008). AL-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah al-
Muyassarah fii Fiqhil Kitab as-Sunah al-Muthaharah/Ensiklopedi
Fiqih Praktis Menurut Al-Quran dan As-Sunah. Jakarta: Pustaka Imam
Asy-Syafi'i.
Syarifuddin, A. (2011). Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta:
Kencana.

Anda mungkin juga menyukai