Anda di halaman 1dari 69

BAB I

PENDAHULUAN
A. Konteks Penelitian

Allah menciptakan manusia hidup di dunia dengan berpasang-pasangan

begitu juga dengan makhluk hidup lainnya. Hal ini bertujuan agar satu sama

lain bisa hidup bersama dengan melakukan sebuah perkawinan untuk

mendapatkan keturunan dan ketenangan hidup serta menumbuhkan rasa kasih

sayang diantara keduanya.

Perkawinan merupakan salah satu dimensi kehidupan yang sangat

Penting dalam kehidupan manusia. Begitu pentingnya perkawinan maka,

tidak mengherankan jika agama-agama di dunia mengatur masalah

perkawinan bahkan tradisi atau adat masyarakat dan juga institusi negara

tidak ketinggalan mengatur perkawinan yang berlaku di kalangan

masyarakatnya (Aibak, 2009:39).

Perkawinan dalam bahasa Arab disebut dengan al-nikah yang bermakna

al-wathi’ dan al-dhammu wal al-tadakhul. Terkadang juga disebut dengan al-

dhammu wa al-jam’u yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad.

Beranjak dari makna etimologis inilah para ulama fikih mendefinisikan

perkawinan dalam konteks hubungan biologis (Djubaedah, 2012:38).

Sedangkan dalam Undang-Undang perkawinan yang berlaku dalam

Indonesia merumuskannya dengan “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kalau dianalisa lebih jauh, penggunaan redaksi

1
“seorang pria dengan seorang wanita” mengandung arti bahwa perkawinan itu

hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal tersebut menolak

perkawinan sesama jenis. Kata “sebagai suami istri” mengandung arti bahwa

perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam

suatu rumah tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama”. Dan

penyebutan ungkapan berdasarkan “Ketuhanan Yang Maha Esa”

menunjukkan bahwa perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan

dilakukan untuk memenuhi perintah agama (Syarifuddin, 2005: 76).

Dalam Kompilasi Hukum islam Pasal 2 menyatakan bahwa

“Perkawinan menurut Hukum Islam merupakan akad yang sangat kuat untuk

mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.

Sedangkan dalam Pasal 3 menyebutkan bahwa “perkawinan bertujuan untuk

mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah”.

Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh as-sunnah (1990: 121) menyatakan

bahwa perkawinan merupakan suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan

bagi manusia untuk beranak, berkembang biak dan kelestarian hidupnya

etelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif

dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Allah SWT berfirman dalam surat an

Nisā’ ayat 1:

‫ياايهاالناس اتقواربكم الذي خلقكم من نفس واحدةوخلق منهازوجهاوبث‬


‫منهمارج ًالكثي ًراونسا ًءۚ واتقوهللاا الذي تساءلون به والرحامۚ ان هللاا كان‬
۩‫عليكم رقيبًا‬
Artinya: “Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya keduanya
Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan

2
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-
Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)
hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu.”(QS.Al Nisa’:1), (Kementerian Agama RI,
2010:110).
Unsur-unsur pokok dalam suatu Perkawinan adalah :

1. Calon mempelai laki-laki

2. Calon mempelai perempuan

3. Wali dari mempelai perempuan yang mengakadkan perkawinan

4. Dua orang saksi

5. Ijab yang dilakukan oleh wali dan qabul yang dilakukan oleh suami

(Syarifuddin, 2006: 61).

Apabila unsur-unsur pokok tersebut terpenuhi, maka pernikahan

dikatakan sah secara agama Islam. Adanya beberapa unsur pokok tersebut

yang harus dipenuhi dalam melaksanakan akad nikah merupakan usaha untuk

mencegah manusia dari perbuatan yang dilarang oleh agama (Syarifuddin,

2006: 62).

Adapun syarat-syarat wali yang harus dipenuhi dalam perkawinan

menurut imam Syafi’i yang dikutip dalam buku al-fiqh al-islam wa Adillatuh

(1989: 327) adalah :

1. Atas kemauan sendiri (bukan paksaan dari orang lain)

2. Berjenis kelamin laki-laki

3. Masih berstatus mahram dengan mempelai perempuan

4. Baligh

5. Berakal

6. Adil

3
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

Pasal 2 ayat 1 dijelaskan bahwa “Perkawinan adalah sah , apabila dilakukan

menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.” Dan pada

Pasal 2 ayat 2 dijelaskan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku.” Jadi, pernikahan harus dilaksanakan

sesuai dengan peraturan pemerintah yang sudah ditetapkan. Hal tersebut

dilakukan untuk menghindari pernikahan siri atau pernikahan yang tidak sah

menurut Undang-undang yang berlaku.

Secara kebahasaan perkataan sirri berarti rahasia, jadi secara

kebahasaan nikah sirri adalah nikah rahasia. Maksudnya adalah nikah secara

rahasia tanpa melaporkannya ke Kantor Urusan Agama bagi yang beragama

Islam atau ke Kantor Catatan Sipil bagi yang bukan Muslim. Nikah sirri yang

demikian adalah pernikahan yang hanya memenuhi prosedur keagamaan saja.

Nikah sirri adalah pernikahan yang memenuhi rukun perkawinan yang diatur

dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum

Islam di Indonesia Bab IV Pasal 14 yakni adanya:

a. calon suami

b. calon istri

c. wali nikah

d. dua orang saksi

e. ijab dan kabul

Nikah sirri adalah salah satu bentuk permasalahan yang sampai saat

ini masih banyak terjadi di Indonesia. Memang masalah nikah sirri sangat

sulit untuk dipantau oleh oihak yang berwenang, karena mereka menikah

4
tanpa sepengetahuan pihak berwenang. Biasanya, nikah sirri dilakukan

hanya di hadapan seorang ustadz atau tokoh masyarakat saja yang dijadikan

sebagai penghulu, atau dilakukan berdasarkan adat istiadat saja. Pernikahan

ini kemudian tidak dilaporkan kepada pihak yang berwenang yaitu Kantor

Urusan Agama.

Dalam kehidupan masyarakat mengenal adanya tradisi yang berkaitan

antara masa lalu dengan masa yang sekarang dan menunjukkan sesuatu yang

diwariskan dari genersi ke generasi setelahnya.Dan tradisi tersebut masih

berlaku sampai sekarang. Adat istiadat yang diciptakan oleh kreativitas

alamiah manusia tersebut tidak harus dihilangkan tetapi dilestarikan.

Berkaitan dengan adat istiadat, setiap masyarakat pasti memiliki sebuah

adat istiadat dan budaya masing-masing, salah satunya adalah adat istiadat

dalam sebuah perkawinan. Seperti dalam proses pelaksanaan perkawinan

yang terdiri dari beberapa aturan yang harus dilaksanakan. Akan tetapi dalam

perkembangannya, pelaksanaan prosesi perkawinan adat banyak

menimbulkan berbagai macam persoalan. Salah satu contohnya adalah tradisi

akad nikah yang dilakukan di depan jenazah.

Fenomenaakad nikah yang dilaksanakan di depan jenazah keluarga

merupakan kejadian yang sebagian orang tidak mengetahuinya, bahkan

terlihat sangat aneh. Akan tetapi fenomena tersebut banyak dilakukan oleh

kalangan masyarakat. Bahkan, ada sebagian masyarakat yang menjadikannya

sebagai suatu tradisi yang harus dipertahankan dan dilestarikan.

Pernikahan yang dilaksanakan di depan jenazah keluarga atau disebut

sebagai Pernikahan mayit adalah sebuah tradisi pernikahan adat dalam suatu

5
masyarakat tertentu yang pelaksanannya dilakukan sebelum mayat

dikebumikan dan prosesnya dilakukan di dekat jenazah.

Menurut ahli Fiqh hukum yang dikutip dalam buku Fiqh as-Sunnah

(1990: 201) menguburkan jenazah adalah fardlu kifayah sebagaimana halnya

memandikan, mengafani, menshalatkan. Kewajiban tersebut ditetapkan dalam

Alquran surat ‘abasa ayat 21:

۩‫ثم اماته فأقبره‬

Artinya: kemudian Ia mematikannya lalu dan memasukannya kedalam kubur.


(Kementerian Agama RI, 2010: 548).

Nabi Muhammad SAW memerintahkan untuk menyegerakan

menguburkan jenazah sebagaimana sabda beliau:

‫عن ابي هريرة رضي هللاا عنه عن النبي صلى هللاا عليه وسلم قال‬
‫أسرعوا بالجنازة فان تك صالحة فخير تقدمو نها اليه وان تك غير ذلك فشر‬
‫تضعونه عن رقابكم‬

Artinya: Dari Abi Hurairah ra, dari Nabi SAW bersabda : “bersegeralah di
dalam mengurus jenazah. Jika ia orang shalih maka kebaikanlah yang kalian
persembahkan kepadanya, tetapi jika ia tidak seperti itu maka keburukanlah
yang kalian letakkan dari atas pundak kalian (HR.Muttafaqun’ alaih).

Pelaksanaan akad nikah di depan jenazah keluarga terjadi apabila

seorang laki-laki yang sudah meminang seorang perempuan yang sudah

ditentukan hari dan tanggal pernikahannya namun sebelum hari dan tanggal

tersebut tiba, salah satu keluarga dari pihak laki-laki atau perempuan

meninggal dunia.

Akad nikah yang dilakukan di depan jenazah ini bertujuan salah

satunya adalah sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada keluarga yang

sudah meninggal dunia sebelum dimakamkan, selain itu juga karena alasan

6
pernikahannya akan ditunda selama satu tahun apabila pernikahan tersebut

bertepatan dengan meninggalnya salah satu keluarga. Artinya, jika tidak

segera untuk melaksanakan akad nikah pada saat jenazah masih belum

dikuburkan maka akan menunggu selama satu tahun berikutnya untuk bisa

melaksanakan pernikahan.

Fenomena akad nikah di depan jenazah sampai sekarang masih

dilakukan oleh masyarakat di desa Bocek kecamatan Karangploso yang masih

memegang kuat tradisi tersebut. Masyarakat di desa Bocek mayoritas

beragama Islam sehingga sistem pernikahan seharusnya juga sesuai dengan

syari’at Islam. Namun, dalam kenyataannya masih banyak yang tidak

melakukan pernikahan yang sesuai dengan syari’at islam, dan masih banyak

yang mengikuti sistem pernikahan adat.

Tradisi akad nikah yang dilakukan di depan jenazah menimbulkan

kontradiksi dalam pelaksanaannya dengan hukum perkawinan Islam, jenazah

yang identik dengan kematian dan berkaitan dengan kesedihan. Sedangkan

pernikahan identik menggambarkan sebuah kebahagiaan. Sebagaimana Nabi

Muhammad memposisikan pernikahan itu dengan kebahagiaan. Nabi

Muhammad memerintahkan agar dihidangkan makanan ketika

berlangsungnya walimatul ursy. Hal tersebut memberi isyarat bahwa

pernikahan itu adalah kebahagiaan bukan kesedihan (Ghazaly, t.th: 167)

Selain itu, apakah tradisi melakukan akad nikah di depan jenazah

bertentangan dengan perintah agama tentang kematian? Bukankah agama

menganjurkan ketika ada seseorang yang telah meninggal dunia hendaknya

menyegerakan untuk mengurus dan menguburkan jenazah.

7
Tradisi nikah mayit tersebut juga termasuk dalam kategori nikah siri

karena nikah mayit tersebut dilakukan hanya sah menurut agama saja dan

tidak sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Akad nikah

di depan jenazah tersebut tidak menghadirkan pejabat yang berwenang untuk

menikahkan secara sah menurut aturan pemerintah, dalam hal ini yaitu

penghulu dari Kantor Urusan Agama. Jadi yang menikahkan adalah tokoh

agama yang berada di desa Bocek tersebut tanpa adanya penghulu dari Kantor

Urusan Agama.

Melihat adanya kontradiksi dari pelaksanaan akad nikah di depan

jenazah tersebut, maka tradisi tersebut perlu ditelaah kembali dengan

menggunakan kaidah Al’adatun Al Muhakkamatun dan sumber hukum islam

yang tidak disepakati yaitu al-‘Urf. Agar tradisi tersebut dapat dikategorikan

sebagai adat yang shohih yang perlu dilestarikan keberadaannya dan

dijadikan sebuah pertimbangan hukum atau adat yang Fasid yang perlu

dihilangkan karena kemafsadatannya.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini difokuskan pada

masyarakat desa Bocek kecamatan Karangploso kabupaten Malang yang

masih melakuan tradisi tersebut dengan judul “Pandangan Hukum Islam

Terhadap Tradisi Masyarakat Tentang Pernikahan di Depan Jenazah

Keluarga (Studi kasus di Desa Bocek Kecamatan Karangploso

Kabupaten Malang)”

B. Fokus Penelitian

Dengan memperhatikan konteks penelitian yang telah diuraikan di atas,

maka yang menjadi pokok permasalahan yaitu:

8
1. Apa sebab yang menjadikan Masyarakat di desa Bocek kecamatan

Karangploso kabupaten Malang masih melakukan tradisi pernikahan di depan

jenazah keluarga?

2. Bagaimana gambaran pelaksanaan tradisi pernikahan di depan jenazah yang

dilakukan oleh masyarakat desa Bocek kecamatan Karangploso kabupaten

Malang ?

3. Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap tradisi pernikahan di depan

jenazah yang dilakukan oleh masyarakat desa Bocek kecamatan Karangploso

kabupaten Malang ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mendeskripsikan sebab masyarakat desa Bocek kecamatan

Karangploso kabupaten Malang yang masih melakukan tradisi pernikahan di

depan jenazah keluarga

2. Untuk mendeskripsikan bagaimana gambaran pelaksanaan tradisi pernikahan

di depan jenazah yang dilakukan oleh masyarakat desa Bocek kecamatan

Karangploso kabupaten Malang

3. Untuk mendeskripsikan bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap tradisi

pernikahan di depan jenazah yang dilakukan oleh masyarakat desa Bocek

kecamatan Karangploso kabupaten Malang.

D. Manfaat Penelitian

Adapun kegunaan Penelitian ini adalah:

9
1. Kegunaan secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan kontribusi dalam

rangka memperkaya khazanah ilmu pengetahuan tentang tradisi pernikahan

yang dilakukan di depan jenazah keluarga, dan dapat menjadi bahan

referensi ataupun bahan diskusi bagi para mahasiswa program Studi Ahwal

Al-Syakhisyah maupun masyarakat serta berguna bagi perkembangan ilmu

pengetahuan khususnya berkaitan dengan Hukum Islam.

2. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:

1). Bagi masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan kepada masyarakat agar mengetahui

hukum melaksanakan tradisi pernikahan di depan jenazah keluarga menurut

pandangan Hukum Islam.

2). Bagi Akademis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan

dalam proses pembelajaran mahasiswa mengenai hukum tentang tradisi

pernikahan di depan jenazah.

3). Bagi Peneliti

Sebagai bahan untuk menambah wawasan pengetahuan tentang tradisi

pernikahan di depan jenazah keluarga menurut pandangan Hukum Islam.

E. Batasan Masalah

Batasan Masalah adalah ruang lingkup masalah atau upaya membatasi

ruang lingkup masalah yang terlalu luas atau lebar sehingga penelitian itu lebih

bisa fokus untuk dilakukan yang bertujuan untuk mengidentifikasi faktor mana

10
saja yang termasuk dalam ruang lingkup masalah penelitian dan faktor mana

saja yang tidak termasuk dalam ruang lingkup masalah penelitian (Usman &

Purnomo, 2008: 45)

Dalam penelitian ini, peneliti hanya membatasi masalah yang terjadi

yaitu tentang adanya tradisi pernikahan di depan jenazah di desa Bocek pada

tahun 2018 saja. Jadi, peneliti mengidentifikasi berapa keluarga yang

melaksanakan pernikahan di depan jenazah pada tahun 2018 di desa Bocek.

F. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah deretan pengertian yang dipaparkan secara

gamblang untuk memudahkan pemahaman dalam skripsi ini agar tidak terjadi

kesalah fahaman terhadap judul skripsi ini yaitu pandangan hukun Islam

terhadap tradisi masyarakat tentang pernikahan di depan jenazah keluarga di

desa Bocek kecamatan Karangploso kabupaten Malang, maka dijelaskan

definisi operasional berupa istilah-istilah sebagai berikut:

1. Hukum Islam adalah Peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang

berkenan dengan kehidupan berdasarkan Alquran dan As-sunnah atau

disebut juga dengan hukum syara’ (Ash-Shiddieqy, 1975:105). Dalam

penulisan skripsi ini peneliti menggunakan hukum islam sebagai patokan

untuk mengetahui bagaimana pandangan islam terhadap TradisiPernikahan

di depan jenazah keluarga.

2. Tradisi, kata tradisi berasal dari bahasa latin, tradition yang artinya

kabar/penerus. Disini tradisi diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan

dengan masa lampau (sejarah), kebudayan, pelestarian sebuah kebudayaan,

11
cara dan proses penerusan suatu kebudayaan dari generasi terdahulu hingga

generasi selanjutnya (Sztompka, 2007: 69).

3. Pernikahan adalah pernyatan sepakat dari pihak calon suami dan pihak

calon istri untuk mengikatkan diri mereka dalam ikatan perkawinan. Dalam

penulisan skripsi ini yang dimaksud pernikahan oleh peneliti adalah

pelaksanaan Akad Nikah, dimana yang dimaksud akad nikah adalah

perjanjian suci untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang

wanita dengan seorang pria membentuk keluarga bahagia dan kekal

(Ramulyo, 2004:1).

4. Pernikahan di depan jenazah merupakan tradisi pernikahan

atau akad nikah yang dilakukan di dekat jenazah salah satu keluarga dari

calon pengantin dan pernikahan ini biasanya dilakukan sebelum mayat

dikebumikan.

5. Jenazah adalah seseorang yang telah meninggal dunia yang diletakkan di

dalam tanduan (usungan) ketika ia meninggal dunia. Dalam penulisan

skripsi ini yang dimaksud jenazah oleh peneliti merupakan jenazah yang

masih ada hubungan saudara dengan pihak yang akan melakukan sebuah

pernikahan. Orang yang meninggal dunia tersebut yang dimaksud peneliti

adalah salah satu dari angota keluarga yaitu, orang tua, nenek, kakek,

saudara perempuan, saudara laki-laki.

F. Sistematika Penulisan

Agar pembahasan karya ilmiah ini sitematis, maka penulis menyajikan

sistematika pembahasan. Adapun sistematika pembahasan dalam penulisan

skripsi ini dibagi menjadi enam bab dengan rincian sebagai berikut:

12
BAB I PENDAHULUAN : merupakan pendahuluan yang didalamnya

terdiri dari beberapa sub bab yaitu, Konteks penelitian, Fokus penelitian,

Tujuan penelitian,manfaat penelitian yang berfungsi untuk menjealaskan

permasalahan yang diteliti dan signifikannya, Definisi Operasional untuk

menjelaskan pengertian-pengertin yang berhubungan dengan permasalahan,

dan Sistematika penulisan untuk menjelaskan sistematika pembahasan yang

digunakan dalam penulisan skripsi.

BAB II KERANGKA TEORI:merupakan Bab mengenai kajian

pustaka yang didalmnya terdapat dua sub bab yaitu kerangka Teori yang akan

dijadikan sebagai alat analisa dalam menjelaskan dan mendeskripsikan obyek

peneitian sehingga setelah diketahui teorinya maka akan diketahui apakah

realitasnya itu merupakan suatu masalah atau tidak.

BAB III METODE PENELITIAN : merupakan uraian metode dan

langkah-langkah penelitian secara operasional yang terdiri dari beberapa sub

bab yaitu jenis penelitian, pendekatan penelitian, kehadiran peneliti, lokasi

penelitian, sumber data yang digunakan oleh peneliti, teknik pengumpulan

data, teknis analisis data, dan pengecekan keabsahan data.

BAB IV PEMBAHASAN: merupakan uraian tentang paparan data

yang diperoleh dari lapangan dan analisis data dari penelitin dengan

menggunakan alat analisa atau kajian teori yang telah dipaparkan dalam Bab II.

Selain itu dalam bab ini juga menjawab pertanyaan yang ada dalam fokus

penelitian.pada bab ini peneliti menggunakan pandangan hukum islam dalam

13
menganalisis tradisi Pernikahan di depan jenazah keluarga yang dilakukan oleh

masyarakat Desa Bocek Kecamatan Karangploso Kabupaten Malang.

BAB V PENUTUP:merupakan bab akhir dalam sebuah penelitian,pada

bab ini terdiri dari kesimpulan dari seluruh isi skripsi. Selain itu pada bab ini

diberikan sub bab juga tentang saran-saran yang membangun.

Diakhir skripsi ini juga dicantumkan daftar pustaka sebagai rujukan

dalam penyusunan skripsidan lampiran-lampiran untuk menguji validitas data.

14
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pernikahan

1. Definisi Pernikahan

Nikah menurut bahasa berasal dari kata al-jam’u dan al-adhamu

yang artinya kumpul. Makna nikah (zawaj) bisa diartikan dengan

aqdu-al tazwij yang artinya akad nikah. Juga bisa diartikan wath’u al

zaujah bermakna menyetubuhi istri. Definisi yang hampir sama

dengan di atas juga dikemukakan oleh Rahmat Hakim yang dikutip

dalam bukunya Hukum perkawinan Islam (2000: 11) bahwa “kata

nikah berasal dari bahasa Arab “Nikahun” yang merupakan masdar

atau asal kata dari kata kerja (fi’il madhi) “Nakaha”, sinonimnya

“tazawwaja” kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai

perkawinan”. Kata nikah sering juga dipergunakan sebab telah masuk

dalam bahasa Indonesia (Tihami, 2002: 7).

Definisi lain yang diberikan Wahbah al-Zuhaily adalah “Akad

yang telah ditetapkan oleh syari’at bahwa seoranglaki-laki dapat

mengambil manfaat untuk melakukan istimta’ dengan seorang wanita

atau sebaliknya” (Djubaedah, 2012: 38).

Menurut Muhammad Abu Zahroh dalam bukunya Al-Ahwalul al-

Syakhsiyah (1987: 19) nikah adalah “akad yang menimbulkan akibat

hukum berupa halalnya melakukan persetubuhan antara laki-laki

dengan perempuan, saling tolong-menolong serta menimbulkan hak

dan kewajiban di antara keduanya”.

15
Para ulama fiqh pengikut madzhab (Syafi’i, Hanafi, Maliki,

Hanbali) pada umunya mereka mendifinisikan perkawinan dengan

“Akad yang membawa kebolehan (bagi seorang laki-laki untuk

berhubungan badan dengan seorang perempuan) dengan (diawali

dalam akad) lafadz nikah atau kawin, atau makna yang serupa dengan

kedua kata tersebut” (wibisana, 2016: 186).

Pendapat lain terkadang juga menyebut pernikahan dengan kata

perkawinan. Istilah “kawin” digunakan secara umum, untuk tumbuhan,

hewan, dan manusia. Sedangkan istilah nikah hanya digunakan untuk

karena mengandung keabsahan secara hukum nasional, adat istiadat,

dan Agama. Tetapi pada prinsipnya perkawinan dan pernikahan hanya

berbeda dalam menarik akar katanya saja (Tihami & Sahran, 2010: 7).

Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 dinyatakan bahwa

pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalidhan

untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan

ibadah. Dan pada Pasal 3 disebutkan bahwa perkawinan bertujuan

untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah,

dan rahmah.

Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa. Oleh karena itu pengertian Perkawinan dalam ajaran Islam

mempunyai nilai ibadah (Ali, 2007:7).

16
2. Dasar Hukum Pernikahan

Dari beberapa terminologi yang telah dikemukakan, jelas sekali

terlihat bahwa perkawinan adalah fitrah ilahi Sebagaimana yang telah

ditegaskan dalam Alquran surat Ar-Ruum ayat 21:

‫ومن اياته أن خلق لكم من أنفسكم أزوا ًجا لتسكنوا ٳليها وجعل بينكم‬
۩‫مودة ً ورحمةًۚٳن في ذلك ليات لقوم يتفكرون‬
Artinya: “dan diantara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, suapaya
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (Kementerian RI, 2014:
196)

Dalam surat Al-Nuur ayat 32:

‫وانكحوااليامى منكم والصالحين من عباد كم وامائكم‬


Artinya: “Nikahilah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan
orang-orang yang layak kawin (nikah) dari hamba-hamba
sahaya kamu baik di laki-laki maupun
peempuan”)Kementerian RI, 2014: 264).

3. Hukum Pernikahan

Berdasarkan Alquran dan As-sunnah, Islam sangat menganjurkan

kepada kaum muslimin yang mampu untuk melangsungkan

pernikahan. Namun demikian kalau dilihat dari segi kondisi orang

yang melaksanakan pernikahan serta tujuan dari pernikahan, maka

melaksanakan suatu pernikahan itu dapat dikenakan hukum Wajib,

Sunnah, Haram, makruh ataupun Mubah (SayyidSabiq, 1996 :22).

a. Wajib, bagi orang yang sudah mampu untuk melangsungkan

perkawinan, namun nafsunya sudah mendesak dan takut

terjerumus dalam perzinaan wajiblah bagi dia untuk kawin.

17
b. Sunnah, bagi orang yang nafsunya sudah mendesak dan mampu

menikah tetapi masih mampu menahan dirinya dari berbuat zina

maka, hukum menikah baginya adalah sunnah.

c. Haram, bagi seseorang yang yakin tidak akan mampu memenuhi

nafkah lahir dan batin pasangannya, atau kalau menikahakan

membahayakan pasangannya, dan nafsunya pun masih bisa

dikendalikan, maka hukumnya haram untuk menikah.

d. Makruh, bagi seseorang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan

lahir batin, namun istrinya mau menerima kenyataan tersebut,

maka hukum perkawinannya adalah makruh.

e. Mubah, bagi laki-laki yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang

mewajibkan segera kawin atau karena alasan-alasan yang

mengharamkan untuk kawin, maka hukumnya mubah.

B. Akad Nikah

1. Pengertian Akad Nikah

Akad nikah berasal dari dua kata, yaitu aqdun dan nikahun yang

lazim dalam bahasa Indonesia disebut Akad Nikah. Kata Akad artinya

janji, perjanjian, kontrak. Sedang kata nikah yaitu ikatan (akad)

perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan

ajaran agama (Syarifuddin, 2007: 35)

Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak

yang melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul

(Syarifuddin, 2003: 87). Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama,

sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak

18
wali calon mempelai perempuan dengan ucapannya, misalnya : saya

nikahkan anak saya bernama si A dengan mahar uang senilai satu juta

Rupiah.” Qabul dari pihak calon mempelai laki-laki dengan

ucapannya, misalnya: “saya terima nikahnya si A dengan mahar uang

senilai satu juta Rupiah dibayar tunai.” (Tihami & Sahrani, 2002: 17).

Sedangkan definisi akad nikah dalam Kompilasi Hukum Islam

yang termuat dalam Bab I pasal 1 (c) yang berbunyi: Akad nikah

adalah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan qabul yang

diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua

orang saksi (Abdurrahman, 1995:113).

2. Dasar hukum pelaksanaan Akad Nikah

Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa akad nikah adalah

salah satu bentuk perjanjian yang menuntut untuk dipenuhi. Allah

SWT berfirman dalam Alquran surat Al-Maidah ayat1:

‫يا ايها الذين امنوا أوفوا بالعقود احلت لكم بهيمة النعامٳلمايتلى‬
۩‫عليكم غيرمحلي الصيد وأنتم حرمۚٳن هللاا يحكم مايريد‬
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.
Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan
dibacakan kepadamu (yang demikian itu) dengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan
haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum- hukum
menurut yang dikehendaki-Nya”(Kementerian Agama RI,
1994:156).
Dalam Tafsir Ibnu Katsir pada ayat tersebut yang dimaksud

dengan aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada

Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan

sesamanya.

19
3. Syarat dan Rukun Nikah

Rukun adalah unsur yang melekat pada peristiwa hukum atau

perbuatan hukum seperti akad perkawinan, baik dari segi para subjek

hukum maupun objek hukum yang merupakan bagian dari perbuatan

hukum atau peristiwa hukum ketika peristiwa hukum tersebut

berlangsung (Djubaedah, 2012: 90)

Rukun menentukan sah atau tidak sahnya suatu perbuatan atau

peristiwa hukum. Jika salah satu rukun dalam peristiwa atau

perbuatan hukum itu tidak terpenuhi berakibat perbuatan hukum atau

peristiwa hukum tersebut adalah tidak sah dan statusnya “batal demi

humum” (Djubaedah, 2012:91).

Menurut Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam rukun perkawinan

terdiri atas calon mempelai lelaki, calon mempelai perempuan, wali

nikah, dua orang saksi, dan ijab kabul.

Syarat adalah hal-hal yang melekat pada masing-masing unsur

yang menjadi bagian dari suatu perbuatan hukum atau peristiwa

hukum. Akibat tidak terpenuhinya syarat adalah tidak dengan

sendirinya membatalkan perbuatan hukum atau peristiwa hukum,

namun perbuatan atau peristiwa hukum tersebutdapat dibatalkan (Ali,

2007: 12).

Adapun syarat yang harus dipenuhi oleh kedua mempelai

tersebut adalah:

20
1) Syarat bagi calon mempelai pria antara lain beragama Islam, laki-

laki, jelas orangnya, cakap bertindak hukum untuk hidup berumah

tangga, tidak terdapat halangan perkawinan.

2) Bagi calon mempelai wanita antara lain beragama Islam,

perempuan, jelas orangnya, dapat dimintai persetujuan, tidak

terdapat halangan perkawinan.

3) Bagi wali dari calon mempelai wanita antara lain: laki-laki,

beragama Islam, mempunyai hak perwaliannya, tidak

terdapat halangan untuk menjadi wali.

4) Syarat saksi nikah antara lain minimal dua orang saksi, menghadiri

ijab qabul, dapat mengerti maksud akad, beragama Islam dan

dewasa.

5) Syarat-syarat ijab qabul yaitu:

a) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali;

b) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria;

c) Memakai kata-kata nikah atau semacamnya;

d) Antara ijab dan qabul bersambungan;

e) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya;

f) Orang yang terkait dengan ijab tidak sedang melaksanakan

ihram haji atau umrah;

g) Majlis ijab dan qabul harus dihadiri oleh minimal empat orang,

yaitu calon mempelai pria atau yang mewakilinya, wali mempelai

wanita atau yang mewakilinya, dan dua orang saksi (Ali, 2007:12)

21
4. Pelaksanaan Akad Nikah menurut Kompilasi Hukum Islam

1. Ijab dan qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas

beruntun dan tidak berselang waktu.

2. Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang

bersangkutan dan wali nikah dapat mewakilkan kepada orang lain.

3. Yang berhak mengucapkan qabul ialah calon mempelai pria secara

pribadi.

4. Dalam hal-hal tertentu ucapan qabul nikah dapat diwakilkan kepada

pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa

yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah

itu adalah untuk mempelai pria.

5. Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon

mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan

(Ramulyo, 2004: 76).

B. Pernikahan Sirri

1. Pengertian nikah sirri

Nikah sirri adalah nikah yang masih dirahasiakan, artinya belum

diberitahukan kepada umum. Biasanya dilakukan ijab dalam kalangan

terbatas, di hadapan pak kyai atau tokoh agama, tanpa kehadiran petugas

KUA, dantentu saja tidak memiliki surat nikah yang resmi. Dalam Pasal 2

ayat 2 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ditegaskan

bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan Perundang-

undangan yang berlaku. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa

22
perkawinan yang tidak tercatat tidak sah. Dengan demikian karena

pernikahan sirri tidak tercatat maka nikah sirri dalam hukum positif

dianggap tidak sah karena tidak diakui negara.

Menurut Jaih Mubarok yang dikutip dalam bukunya Modernisasi

Hukum Perkawinan di Indonesia (2005: 87) yang dimaksud perkawinan

tidak tercatat adalah perkawinan yang tidak dicatat oleh PPN (Pegawai

Pencatat Nikah) atau perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang Islam

di Indonesia, yang memenuhi rukun dan syarat pernikahan. Perkawinan

yang tidak berada di bawah pengawasan PPN, dianggap sah secara agama

tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum karena tidak memiliki bukti-

bukti perkawinan yang sah menurut Peraturan Perundang-undangan yang

berlaku.

Pengertian lain yang dikemukakan oleh Mukhlisin Muzarie dalam

bukunya Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil (2002: 110) yang

dimaksud perkawinan tidak tercatat ialah perkawinan yang secara

material telah memenuhi ketentuan syari’at sesuai dengan maksud Pasal 2

ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 (Undang-undang tentang

Perkawinan) tetapi tidak memenuhi Pasal 10 ayat 3 PP (Peraturan

Pemerintah) Nomor 9 Tahun 1975 (Tentang pelaksanaan Undang-undang

No. 1 Tahun 1974).

Menurut Hukum Islam, suatu perkawinan dianggap sah apabila

sudah memenuhi rukun perkawinan, seperti wali, ijab kabul, ada 2 saksi,

dan tidak ada halangan menurut agama seperti bukan muhrim atau

23
lainnya. Akan tetapi, karena pernikahan tersebut tidak disaksikan oleh

petugas pemerintah atau pegawai KUA, maka pernikahan tersebut

melanggar Undang-undang perkawinan. Baik yang menikahkan atau yang

menikah dapat dituntut ke muka Pengadilan atas pelanggarannya, dan

diancam hukuman denda setinggi-tingginya Rp 7500,- sesuai yang sudah

ada dalam Pasal 45 Ayat (1) huruf a, peraturan pemerintahan No. 9 Tahun

1975) (Mashuri & Bakri: 1994: 128).

C. Tradisi

1. Pengertian Tradisi

Tradisi dalam Bahasa latin adalah “traditio” yang artinya

“diteruskan” atau kebiasaaan dan bisa diartikan dengan sesuatu yang telah

dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok

masyarakat. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya

informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun

lisan, karena tanpa adanya hal tersebut suatu tradisi dapat punah (Fatah,

2006: 294).

Tradisi dalam pengertian lain adalah adat istiadat atau kebiasaan yang

turun temurun yang masih dijalankan di masyarakat. Suatu masyarakat

biasanya akan muncul semacam penilaian bahwa cara-cara yang sudah

ada merupakan cara yang terbaik untuk menyelesaikan persoalan. Sebuah

tradisi biasanya tetap saja dianggap sebagai cara atau model terbaik selagi

belum ada alternatif lain (Fatah,2006: 296).

Kondisi kehidupan keagamaan di Indonesia saat ini diwarnai oleh

adanya perbedaan-perbedaan dalam pemelukan agama sekaligus

24
praktiknya, yang akhirnya membangun pengelompokan masyarakat

berdasarkan pemelukan agama itu.

Nashr Hamid Abu Zaid mengelompokkan penelitian terhadap

agama (dalam hal ini adalah Islam) ke dalam tiga wilayah. Pertama,

wilayah teks asli Islam, yaitu Alquran dan As-Sunnah. Kedua, pemikiran

Islam yang merupakan ragam cara menafsirkan teks asli Islam yang dapat

ditemukan dalam empat pokok cabang, yaitu : hukum, teologi, filsafat,

dan tasawuf. Ketiga, praktek yang dilakukan kaum muslim dalam

berbagai macam latar belakang sosial (Nasution, 2004:4).

Ulama-ulama Ahlussunnah wal jama’ah dalam mengapresiasi

tradisi menggunakan beberapa alasan atau dalil, antara lain yaitu yang ada

dalam ayat Al quran surat Al-A’raf ayat 199 :

‫خذ العفو وأمر بالعرف واعرض عن الجاهلين‬

Artinya:“jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan


kebaikan, serta berpalinglah dari orang-orang yang
bodoh”.(Departemen RI, 2016:87)

Dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir, imam Bukhori telah mengatakan

sehubungan dengan makna yang terkandung dalam surat Al-A’raf ayat

199 yang dimaksud dengan kata al’urf adalah perkara yang makruf atau

bajik. Ia menukilnya dari nash yang dikatakan oleh Urwah ibnu Zubair,

As-Saddt, Qatadah, Ibnu Jarir, dan yang lainnya yang bukan hanya

seorang.

Ibnu Jarir telah meriwayatkan bahwa apabila dikatakan aulaituhu

ma’rufan, ‘arifan, ‘arifatan, semuanya bermakna makruf, yakni saya

mengulurkan kebajikan kepadanya. Ibnu jarir juga mengatakan, Allah

25
telah memerintahkan kepada Nabi-Nya agar menagnjurkan semua

hambanya untuk berbuat kebajikan, dan termasuk ke dalam kebajikan

ialah mengerjakan ketaatan dan berpaling dari orang-orang bodoh.

Meskipun hal tersebut merupakan perintah kepada Nabi-Nya,

sesungguhnya hal tersebut juga merupakan pelajaran bagi semua hamba-

Nya untuk bersikapsabar dalam menghadapigangguan orang-orang yang

berbuat aniaya kepada mereka dan memusuhi mereka. Tetapi

pengertiannya bukan berarti berpaling dari orang-orang yang tidak

mengerti perkara yang hak dan wajib yang termasuk hak Allah, tidak pula

bersikap toleransi terhadap orang-orang yang ingkar kepada Allah, tidak

mengetahui keesaan-Nya, maka hal tersebut harus diperangi oleh kaum

muslim.

Mengerjakan kebaikan yang dimaksud tersebut mengandung arti

“hal-hal yang diakui dan diterima sebagai kebaikan dalam kehidupan

masyarakat” (Hasan, 2007: 140)

Disamping ayat tersebut para ulama juga mendasarkan pendapat

pada hadis :

‫ماراه المسلمون حسنًا فهو عند هللاا حسن‬

Artinya:“Apa yang dipandang baik oleh umumnya orang muslim, maka


bagi Allah hal itu juga baik”. (HR. Imam Ahmad bin Hambal)

Hadis tersebut menurut Imam As-Suyuthi menjadi sumber dari

lahirnya kaidah fiqhiyah yaitu:

‫العادة محكمة‬

“Adat atau tradisi(yang baik) dapat dijadikan acuan hukum”

26
Maksud kaidah tersebut adalah suatu tradisi yang berkembang di

masyarakat menjadi landasan dan sumber penentuan hukum. Tradisi suatu

masyarakat dapat berkembang, berbeda dan berubah sesuai dengan

tingkat peningkatan ekonomi, sosial, pendidikan dan politik warganya

(Raudli, 2015:202).

Yang menjadi masalah dalam kaidah ini adalah, apabila tradisi yang

berkembang di masyarakat tersebut bertentangan dengan ajaran prinsip

agama, misalnya tradisi animisme dan dinamisme yang menyebabkan

kekufuran dan kemusyrikan, maka jelas kaidah tersebut tidak termasuk.

Kapanpun islam menentang segala bentuk kemaksiatan dan kemungkaran

karena tradisi yang menimpang adalah sasaran utama islam.

Imam As-Syatibi membagi tradisi itu dalam dua macam yaitu :

1. Tradisi yang berdasarkan syara’, yakni tradisi yang dikuatkan dalil

syar’i atau dinafikannya, seperti apa bila syara’ memerintahkannya,

baik dalam wujud kewajiban, atau kesunnatan atau melarangnya dalam

wujud keharaman atau mkemakruhan atau mengizinkan untuk

melakukan atau meninggalkan.

2. Tradisi yang berlaku dalam kehidupan masyarakat tapi syara’ tidak

membuat ketetapan apapun, tidak melarang dan tidak menyuruh.

Seorang ulama besar yaitu K.H. Abdurrahman Wahid(Gus Dur)

pernah mengungkapkan istilah “Pribumisasi Islam”, yaitu islam yang

dapat memberikan tempat tradisi dan budaya lokal yang tidak sama sekali

bertentangan dengan prinsipagama islam, karena dimaklumi bahwa islam

27
hadir di Indonesia tidak ditempat yang hampa nilai atau tradisi dan

budaya, dan islam datang ke Indonesiapun sudah dengan membawa citra

budaya tertentu disamping aqidah dan syari’ahnya sendiri.

Peringatan hari-hari besar islam, tradisi tata cara pernikahan,

kehamilan, serta kelahiran, kematian dan kain-lain yang sebagiannya

berasal dari tradisi lama (pra-islam) yang dipandang baik oleh masyarakat

setempat, atas dasar sosiologis (kemasyarakatan), psikologis (kejiwaan)

atau kultural (budaya), dan dinilai tidak bertentangan dengan dasar-dasar

syari’ah, dalam artian tidak terdapat nash atau dalil yang melarangnya.

Tujuan dakwan islam bukan semata-mata mengislamkan

manusianya, tetapi juga mengislamkan tradisi, budaya, politik, ekonomi,

kesenian baik melalui cara adopsi (pencangkokan), adaptasi

(penyesuaian) tanpa mengingkari dasar-dasar aqidah dan syari’ah yang

muttafaq ‘alaih (disepakati bersama) bukan pendapat-pendapat kelompok

yang sifatnya masih mukhtalaf fih (diperselisihkan).

a. Pengertian Adat

Definisi adat adalah:

‫ماتعرف عليه الناس أواعتادوه كلهم اوفئة منهم أو هو خاصببلد‬


‫دون اخر أو جيل دون جيل‬
“sesuatu yang telah populer atau biasa dilakukan oleh manusia(baik
sesuatu tadi berlaku di antara manusia) secara keseluruhan, sekelompok
dari mereka, atau hanya dikhususkan terhadap satu negeri (dan tidak
berlaku) di negeri yang lain, atau satu generasi (dan tidak berlaku) bagi
generasi yang lain”.

Ada juga ulama’ yang mendefinisikan adat dengan:

28
‫عبارة عما يستقر فى النفوس من المور المتكررة عند الطباع‬

‫السليمة‬

“Ungkapan dari segala sesuatu yang telah menetap dalam jiwa,


yang meliputi hal-hal yang telah terjadi berulang-ulang menurut tabiat
yang normal”
Macam-macam adat yaitu:

1. Adat yang berkaitan dengan mu’amalah dan hak-hak individu.

2. Adat yang berkaitan dengan akhlak, suluk dan adab.

3. Adat yang berhubungan dengan potret kehidupan sosial serta

hal-hal lain yang bermacam-macam.

4. Adat yang berkaitan dengan pakaian, makanan dan minuman

(Raudli, 2015:204).

Adat tidaklah memiliki sifat jumud (stagnan), tetapi adat dapat

berubah-ubah seiring dengan dinamika kehidupan, tempat serta situasi

dan kondisi sosial.

b. Proses Timbulnya Adat

Proses pembentukan adat adalah akumulasi dari pengulangan

aktivitas yang berlangsung terus-menerusdan ketika pengulangan aktivitas

tersebut bisa tertanam dalam hati seseorang dan dapat diterima, diikuti

dan dijalankan oleh kalangan masyarakat setempat dengan berulang-ulang

sehingga menjadi sesuatu ketetapan, maka lahirlah apa yang disebut adat.

Adat memainkan peranan penting dalam sejarah perkembangan

umat manusia, baik dalam kehidupan sosial, perilaku maupun

lingkungannya, penyebarluasan adat sangat tergantung kepada dua faktor

pokok yaitu:

29
1. Tabi’at (perangai, watak, kelakuan) suatu daerah yang menjadi

tempat menyebarluaskan suatu adat.

2. Jiwa kebangsaan yang dimiliki oleh penduduk suatu bangsa,

serta faktor-faktor yang mendorong penyebarluasan suatu adat.

Tidak semua adat yang tak terhitung jumlahnya mempunyai

tujuan atau pendorong yang sama. Akan tetapi kebanyakan timbul dari

sebab-sebab yang berbeda tergantung kondisi dan dinamika yang terjadi.

Sedangkan sebagian besarnya kembali pada faktor hajat. Adakalanya,

adat yang berjalan dalam satu kalangan tidak berdasarkan kebutuhan,

mereka melakukannya lebih karena warisan dan generasi sebelumnya,

seperti apa yang berlaku dalam keyakinan umat jahiliyah dahulu (Raudli,

2015:222).

c. Kekuatan Adat

Adat yang telah mengakar dalam suatu komunitas akan

senantiasa dimuliakan, dianggap sebagai kebutuhan primer dalam

kehidupan dan bahkan dianggap sebagai “agama” yang harus disucikan

dan tidak boleh disentuh. Mereka mengatakan bahwa “Adat adalah tabiat

manusia yang kedua” maksudnya adalah, adat mempunyai kekuatan yang

hampir sama dengan kekuatan pembawaan asal manusia, sehingga sangat

sulit untuk dialihkan, ataupun dihilangkan, lebih-lebih menjadi tuntutan

kebutuhan.

d. Adat sebagai dasar penetapan hukum

30
Sebagai agama yang universal, Islam sangat menaruh perhatian

terhadap segala budaya dan adat yang berlaku di kalangan umat manusia

dalam setiap waktu dan kondisi, baik yang bersifat umum atau hanya

berlaku dalam satu komunitas tertentu. Hal tersebut dpat dibuktikan

dengan banyaknya ketetapan-ketetapan hukum dalam islam yang

berdasarkan adat yang berlaku. Seperti dari sebagian sunnah taqririyah,

bahwa Rasulullah mendiamkan sebagian adat orang-orang Arab yang

dianggap baik, dengan demikian hal itu menjadi bagian dari adat islami

yang dibangun di atas pondasi sunnah. Selain itu juga yang dilakukan

oleh Imam Malik bahwa beliau menjadikan ‘amalu ahli madinah

(perbuatan penduduk Madinah) sebagai ijma’ yang dianggap cukup, serta

dalil syar’i ketika tidak ditemukannya nash. Dan tidaklah perbuatan

penduduk Madinah secara global kecuali hanyalah ‘urf dan adat (Raudli,

2015:225).

Meskipun demikian, menurut para fuqaha’ adat tidak bisa

dijadikan sebagai sumber hukum yang bersifat khusus untuk menetapkan

suatu hukum. Karena definisi dari adat adalah suatu praktek yang timbul

dari dorongan akal pikiran, kemudian diikuti oleh orang lain yang pada

akhirnya menjadi suatu ketetapan tersendiri. Dari defini tersebut, dapat

diketahui bahwa timbulnya suatu adat bersumber dari akal pikiran

(ibid:226).

Ulama’ Ahlussunnah sepakat bahwa akal tidak dapat dijadikan

suatu petunjuk dari adanya hukum Allah dalam suatu perkara. Mereka

menyatakan, “Akal pikiran pada hakikatnya tidak bisa menentukan antara

31
baik, buruk, maslahah dan mafsadah, karena tidak pernah ada jaminan

bahwa akal sejernih apapun akan selalu benar, jaminan itu hanya ada pada

agama dan syari’at yang diturunkan Allah SWT saja”.

Demikian pula halnya dengan adat yang timbul dari akal pikiran, ia

tidak mungkin dijadikan petunjuk dari suatu kebenaran atau kemaslahatan

yang merupakan dasar dari hukum-hukum agama. Adat dengan

sendirinya tidak dapat dijadikan standart untuk menentukan baik dan

buruk, dantidak bisa dijadikan sumber dalam mengambil ketetapan

hukum selama tidak didukung oleh salah satu dasar dari beberapa dasar

pengambilan hukum yang telah ditetapkan, baik didukung oleh as-sunnah,

yaitu adat yang berlaku di masa Rasulullah dengan tanpa adanya

pengingkaran (sunnah taqririyah) atau ijma’, baik ijma’ fi’ly atau sukuty,

dan atau adat tersebut dikembalikan pada hukum asal manafi’ dan

madlarat, yaitu sebagaimana disebutkan oleh ulama’ ushul, hukum asal

dari setiap yang membawa kemanfaatan sekiranya tidak ada dalil adalah

diperbolehkan. Dan perkara yang bisa membawa kemudlaratan itu

dilarang. Sabda Rasulullah SAW:

‫لضرر ول ضرار‬

“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain”.(HR.Malik

dan Ibnu Majah)

Dan ketika suatu hukum ditetapkan dengan alasan adat, seperti

pernyataan ulama “perkara ini diperbolehkan berdasarkan kebiasaan yang

berlaku”, maka tidak lain hal itu karena melihat apa yang ada di balik adat

tersebut dan bukan memberi pengertian bahwa adat bisa dengan

32
sendirinya dijadikan sumber hukum. Adat yang diperkuat oleh dasar-

dasar baik dai Alquran maupun As sunnah akan dijaga dan dilestarikan

menurut kesepakatan para ulama’.

D. Al-‘Urf
Dalam syariat Islam, terdapat landasan hukum yang dinamakan ‘urf.

‘urf adalah sesuatu yang menjadi kebiasaan dan dijalankan oleh manusia,

baik berupa perbuatan yang terlakoni diantara mereka atau lafadz yang

biasa mereka ucapkan untuk makna khusus yang tidak dipakai.

Perbedaan istilah ‘urf dan adat dilihat dari aspek yang berbeda,

yaitu istilah ‘urf hanya menekankan pada adanya aspek pengulangan

pekerjaan dan harus dilakukan oleh kelompok, sedangkan obyeknya lebih

menekankan pada sisi pelakunya. Adat hanya melihat sisi pelakunya, dan

boleh dilakukan secara pribadi atau kelompok, serta obyeknya hanya

melihat pada sisi pekerjaan.

Dalam kajian ushul Fiqih, masalah ‘urf mendapat perhatian cukup

besar. Diantara empat madzhab fiqih yang populer (Hanafi, Maliki,

Syafi’i dan Hambali) dua diantaranya, yaitu madzhab Hanafi dan Maliki

yang luas sekali menggunakan tradisi sebagai landasan atau dalil istinbath

dan memandangnya sebagai prinsip dasar pijakan berijtihad, selama

tradisi tersebut tidak bertentangan dengan nash yang pasti. Dalam

madzhab Syafi’i, ‘urf juga diperhatikan apa bila tidak terdapat nash atau

dasar-dasar lain berupa Ijma’ atau Qiyas yang dapat dijadikan pijakan

dalam melakukan ijtihad.

a. Pengertian ‘Urf

33
Secara etimologi, ‘Urf berarti “yang baik”. ‘Urf menurut ulama

ushul fiqh adalah :

‫عادة جمهور قوم فى قول او فعل‬

“Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan.”

Sedangkan pengertian al ‘urf itu sendiri dalam bahasan ushul fiqh

maupun fiqh adalah “sesuatu yang telah mantap diterima secara nalar,

dan dinilai baik oleh perasaan yang sehat”. Dalam defini lain yang

dikemukakan oleh Prof. Musthafa Az-Zarqa’ yaitu “al’urf itu adalah

tradisi mayoritas masyarakat (qaum), dalam bentuk ucapan maupun

perbuatan”. Selanjutnya dijelaskan, bahwa tidak mungkin terjadi suatu

tradisi dalam masalah apapun, kecuali apabila hal tersebut berlaku

secara berturut-turut dalam suatu komunitas di suatu tempat, dimana

mayoritas mereka menjaga dan menerima berlakunya hal tersebut.

2. Dasar Hukum ‘Urf

a. Alquran

‫خذ العفو وأمر بالعرف واعرض عن الجاهلين‬

Artinya: “dan suruhlah orang untuk mengerjakan yang ma’ruf dan


berpalinglah dari orang-orang yang bodoh (QS. Al-‘A’rof :199)

b. Hadis

Dalam hadits Rasulullah SAW yang artinya “pemilik kebun itu

harus merawat kebunnya di siang hari dan pemilik ternak piaraan itu

harus menjaga ternaknya di malam hari”

34
Substansi yang terkandung di dalam makna hadis tersebut adalah

bahwa ajaran islam benar-benar sangat memperhatikan keberadaan

unsur-unsur budaya, sehingga islam tidak mempunyai maksud untuk

menghapusnya, melainkan mengajak bekerjasama secara sinergi untuk

memahami kebutuhan-kebutuhan masyarakat, problem-problemnya

serta tantangan-tantangannya ke depan (Setiyawan, 2012:217).

3. Macam-macam ‘Urf

Para ulama Ushul fiqh membagi ‘urf menjadi tiga macam (Haroen,

1997: 139) :

1. Dari segi objeknya, ‘urf dibagi menjadi dua macam :

a. Al-‘urf al-lafdzi, yaitu kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan

lafal atau ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga

makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran

masyarakat.

b. Al-‘urf al-‘amali, yaitu kebiasaan masyarakat yang berkaitan denagn

perbuatan biasa atau mu’amalah keperdataan.

2. Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi menjadi dua macam :

a. Al-‘urf al-‘am, yaitu kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di

seluruh masyarakat dan di seluruh daerah.

b. Al-‘urf al-khash, yaitu kebiasaan yang berlaku di daerah dan

masyarakat tertentu.

35
3. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi menjadi dua

yaitu:

a. Al-‘urf al shahih, yaitu kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah

masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadis),

tidak menghilangkan kemaslahatan bagi mereka, dan tidak pula

membawa mudarat kepada mereka.

b. Al-urf al fasid, yaitu kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil

syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’.

Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf al-shohih, yaitu ‘urf

yang tidak bertentangan dengan syara’, baik yang menyangkut ‘urf al-

‘am dan ‘urf al-khash, maupun yang berkaitan dengan ‘urf al-lafdzi

dan al-‘amali dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’

(Haroen, 1997: 142).

3. Syarat-syarat ‘Urf

Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa suatu ‘urf dapat

dijadikan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’

apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. ‘Urf berlaku secara umum baik yang bersifat khusus dan umum

maupun yang bersifat perbuatan dan ucapan. Artinya, ‘urf itu

berlaku dalam mayoritas kasus yang terjadi di tengah-tengah

masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat

tersebut.

36
2. ‘ Urf itu telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan

hukumnya itu muncul. Artinya, ‘urf yang akan dijadikan sandaran

hukum itu lebih dahulu ada sebelum kasus yang akan ditetapkan

hukumnya.

3. ‘Urf itu tidak bertentangan dengan nash, sehingga menyebabkan

hukum yang dikandung nash itu tidak bisa diterapkan.

‘Urf yang memenuhi syarat-syarat di atas digunakan oleh para

ulama yaitu Imam Malik misalnya mendasarkan hukum kepada ‘urf

ahli madina. Abu Hanifah mempunyai perbedaan-perbedaan pendapat

dengan pengikutnya karena perbedaan ‘urf. Imam Syafi’i mempunyai

qaul qadim dan qaul jadid antara lain disebabkan karena ‘Urf yang

berbeda. Perbedaan pendapat tersebut adalah disebabkan perbedan

tempat dan zaman bukan karena perbedaan argumentasi dan alasan

(Djazuli, 2006:90).

37
BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah suatu cara yang digunakan oleh seorang

peneliti dalam mengumpulkan data yang diperoleh dalam penelitiannya.

Dalam hal ini peneliti menggunakan beberapa metode penelitian yang

meliputi :

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis

penelitian kualitatif (field research) atau penelitian lapangan, yakni penelitian

yang dilakukan secara intensif, terinci dan memberikan gambaran mendalam

terhadap seseorang, kelompok, suatu organisasi atau lembaga terhadap

fenomena-fenomena tertentu yang bertujuan untuk memberikan pandangan

yang lengkap dan mendalam mengenai subyek yang diteliti misalnya perilaku

atau tindakan(Moleong, 2007:6)

B. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis pendekatan normatif

dan pendekatan deskriptif sosiologis atau empiris. Pendekatan normatif yaitu

cara mendekati masalah yang sedang diteliti apakah sesuatu itu

baik/buruk,benar/salah berdasarkan norma yang berlaku. Pendekatan

deskriptif sosiologis yaitu penelitian yang datanya diperoleh langsung dari

masyarakat yang didasarkan pada kenyataan di lapangan melalui observasi

atau mengamati fenomena masyarakat atau peristiwa sosial, politik dan

budaya untukmemahami hukum yang berlaku di masyarakat (Soekanto, 1988:

4-5).

38
C. Kehadiran Peneliti

Dalam penelitian tentang pernikahan di depan jenazah keluarga di desa

Bocek kecamatan Karangploso imi dibutuhkan kurang lebih satu minggu

dengan jangka waktu dua hari untuk menyiapkan penelitian dan tiga hari

untuk mengunjungi tempat penelitian di Desa Bocek Kecamatan

Karangploso Kabupaten Malang. Adapun waktu yang akan dilakukan

untuk penelitian sebagai berikut :

1. Hari pertama peneliti mengantarkan surat pengantar penelitian ke

Balai Desa Bocek kecamatan Karangploso kabupaten Malang untuk

mendapatkan izin melakukan penelitian.

2. Hari kedua peneliti mengujungi kantor Balai Desa Bocek

kecamatan Karangploso kabupaten Malang untuk mencari informasi

melalui informan dalam hal ini para staff yang ada di kantor Balai

Desa tersebut.

3. Hari ketiga sampai dengan Hari Kelima peneliti melakukan

penelitian dengan menemui secara langsung narasumber (informan)

untuk melakukan wawancara.

D. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang dijadikan oleh peneliti adalah desa Bocek

kecamatan Karangploso kabupaten Malang dengan obyek penelitian yaitu

Bapak Modin desa Bocek, masyarakat setempat, keluarga yang pernah

melakukan tradisi Pernikahan di depan jenazah dan tokoh masyarakat desa

Bocek. Peneliti memilih untuk melakuka penelitian di desa Bocek

39
dikarenakan di desa tersebut terdapat tradisi pernikahan di depan jenazah

yang masih dilakukan oleh masyarakat desa Bocek.

E. Sumber Data

Sumber data merupakan sebuah sumber yang memungkinkan seseorang

untuk mendapatkan informasi atau data yang dibutuhkan dalam penelitian

baik data utama maupun data pendukung (Usman & Purnomo, 2008: 75)

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Sumber data primer

Sumber data primer yaitu data utama yang digunakan dalam

sebuah penelitian.Data primer adalah data yang diperoleh dari responden

langsung dari sumber pertama, yang berupa pernyataan dari tokoh

agama setempat. Maka sumber data primer dalam penelitian ini

diperoleh dari hasil wawancara dengan Bapak Modin desa Bocekm,

masyarakat, keluarga yang pernah melakukan pernikahan di depan

jenazah, dan tokoh agama di desa Bocek kecamatan Karangploso

kabupaten Malang tentang tradisi pernikahan di depan jenazah keluarga.

2. Sumber data sekunder

Data sekunder adalah data yang terlebih dahulu dikumpulkan dan

dilaporkan oleh orang di luar diri penyelidik sendiri, meskipun yang

dikumpulkan itu sesungguhnya adalah data yang asli. Data sekunder

umumnya berupa bukti, catatan atau laporan historis yang telah tursusun

dari arsip (dokumen) yang sudah dipublikasikan. Dalam hal ini peneliti

berusaha mengumpulkan data-data yang berupa kepustakaan yang

berhubungan dengan pokok pembahasan, termasuk juga studi dokumen

40
berupa perundang-undangan, buku-buku, majalah dan sebagainya.

Adapun sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku Hukum

Perkawinan di Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, Fiqh Munakahat,

Ushul Fiqh, Tafsir Ibnu Katsir, kitab Ahwal Al-Syakhsiyah, dan buku-

buku lain yang erat kaitannya dengan permasalahan.

F. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini, ada

berbagai macam metode dan teknik pengumpulan data antara lain :

1. Observasi

Observasi atau pengamatan dapat didefinisikan sebagai

perhatian yang terfokus terhadap kejadian, gejala, atau sesuatu

(Emzir, 2011: 37).

Metode Observasi adalah metode pengumpulan data dengan

jalan melalui pengamatan secara sistematis terhadap objek yang

diteliti. Informasi yang diteliti antara lain adalah masyarakat di Desa

Bocek Kecamatan Karangploso Kabupaten Malang.

Adapun pihak-pihak yang akan diteliti adalah Bapak Modin

desa Bocek, masyarakat desa Bocek yaitu keluarga yang pernah

melakukan pernikahan di depan jenazah, dan tokoh masyarakat desa

Bocek.

2. Wawancara

wawancara adalah situasi berhadap-hadapan antara

pewawancara dan responden yang dimaksud untuk menggali

informasi yang diharapkan, dan bertujuan mendapatkan data tentang

41
responden. Sementara steward dan cash yang dikutip dalam buku

Metode Penelitian Kualitatif (Herdiansyah, 2012: 40)

mendefinisakan wawancara sebagai sebuah proses komunikasi dyad

(interpersonal), dengan tujuan yang telah ditentukan sebelumnya,

bersifat serius, yang dirancang agar tercipta interaksi yang

melibatkan aktivitas bertanya dan menjawab pertanyaan.

Teknik wawancara yang digunakan oleh peneliti ini adalah

menggunakan jenis wawancara mendalam (Indepth-interview) atau

wawancara dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara

pewawancara dengan informan. Adapun yang menjadi narasumber

dalam wawancara ini adalah Bapak Modin desa Bocek yang juga

termasuk pegawai Kantor Urusan Agama di kecamatan Karangploso,

salah satu masyarakat di desa Bocek yaitu keluarga dari Bapak

Anshori yang pernah menikahkan anaknya di depan jenazah, dan

tokoh masyarakat desa Bocek yaitu Ibu Hj. Asmaul Azizah.

3. Dokumentasi

Dokumentasi adalah informasi yang berasal dari catatan

penting baik dari lembaga atau organisasi maupun dari perorangan.

Dokumentasi penelitian ini merupakan pengambilan gambar oleh

peneliti untuk memperkuat hasil penelitian (Hamidi, 2004: 72).

Adapun jenis dokumentasi yang akan dikumpulkan oleh

peneliti adalah hasil foto, rekaman (video), rekaman suara dan juga

berkas-berkas dengan tujuan mendapatkan data-data yang otentik.

42
G. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses sistematis pencarian data dan

pengaturan transkripsi wawancara, catatan lapangan dan materi-materi

lain yang telah dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman mengenai

materi-materi tersebut untuk memungkinkan menyajikan apa yang sudah

ditemukan kepada orang lain (Emzir, 2011: 85).

Dalam rangka mempermudah memahami data yang diperoleh

dan agar data tersebut terstruktur secara baik, rapi, dan sistematis. Maka,

metode analisi data yang dapat digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Reduksi Data

Reduksi data merupakan proses pemulihan, pemusatan perhatian

pengabstraksian dan pentransformasian data kasar dari lapangan. Proses

ini berlangsung selama penelitian dilakukan, dari awal sampai akhir

penelitian. Pada awal, misalnya melalui kerangka konseptual,

permasalahan, pendekatan pengumpulan data yang diperoleh. Selama

pengumpulan data, mialnya membuat ringkasan kode, mencari tema-

tema, menulis memo, dan lain-lain. Reduksi merupakan bagian dari

analisis, bukan terpisah. Fungsinya untuk menajamkan, menggolongkan

mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi

sehingga interpretasi bisa ditarik. Dalam proses reduksi ini peneliti

benar-benar mencari data yang valid.

2. Penyajian Data

Penyajian data adalah sekumpulan informasi tersusun yang

memberi kemungkinan untuk menarik kesimpulan dan pengambilan

43
tindakan. Bentuk penyajiannya yaitu teks naratif agar memudahkan

pembaca dan menarik kesimpulan (Hakim, 2013: 167).

Dalam tahap ini peneliti melakukan penyajian data secara

sistematik, agar lebih mudah untuk dipahami interaksi antar bagian-

bagiannya dalam konteks yang utuh. Dalam proses ini data

diklasifikasikan berdasarkan tema-tema inti.

3. Menarik kesimpulan atau verifikasi

Penarikan kesimpulan hanyalah sebagian dari suatu kegiatan dari

konfigurasi yang utuh. Kesimpulan-kesimpulan juga diverifikasi selama

penelitian berlangsung. Makna-makna yang muncul dari data harus

selalu diuji kebenaran dan kesesuaiannya sehingga validitasnya

terjamin.

Dalam tahap ini peneliti membuat rumusan proposisi yang terkait

dengan prinsip logika, mengagkatnya sebagai temuan penelitian,

kemudian dilanjutkan dengan mengkaji secara berulang-ulang terhadap

data yang ada, pengelompokkan data yang telah terbentuk, dan

proposisi yang telah dirumuskan (Suwandi, 2008: 209).

H. Pengecekan Keabsahan Data

Di dalam penelitian kualitatif sebuah data dinyatakan absah atau

valid apabila dilakukannya pengecekan kebsahan data meliputi :

1. Kredibilitas (Credibility), yaitu kepercayaan data hasil penelitian

dalam strategi untuk meningkatkan kredibilitas data dilakukan

dengan perpanjangan pengamatan, ketekunan penelitian,

triangulasi, diskusi dengan teman, member check.

44
a. Perpanjangan pengamatan

Dengan perpanjangan pengamatan berarti peneliti kembali

ke lapangan, melakukan pengamatan, wawancara lagi dengan

sumber data yang pernah ditemui maupun yang baru. Dalam

perpanjangan pengamatan untuk menguji kredibilitas data

penelitian ini, difokuskan pada pengujian terhadap data yang telah

diperoleh, apakah data yang diperoleh setelah dicek kembali ke

lapangan benar atau tidak. Bila setelah dicek kembali ke lapangan

data sudah benar, berarti kredibel.

2. Triangulasi

Triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini diartikan

sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai

cara dan berbagai waktu. Adapun teknik yang digunakan dalam

penelitian ini adalah dengan menggunakan triangulasi sumber dan

triangulasi metode diantaranya:

a. Traingulasi Sumber, yaitu data dikatakan valid apabila jika

mendapatkan informasi dari informan perlu dilakukan pengecekan

ulang terhadap informan yang berbeda dalam hal ini pada keluarga

yang melakukan Tradisi Pernikahan di depan jenazah.

b. Triangulasi Metode, yaitu jika informasi atau data diperoleh

dengan hasil wawancara perlu diuji dengan observasi.

3. Diskusi Dengan Teman

Mendiskusikan dengan teman berarti mengkonsultasikan

data yang diperoleh dengan berbagai pihak yang berkompeten.

45
4. Member check

Merupakan proses pengecekan data yang diperoleh

peneliti kepada pemberi data. Tujuan member check adalah untuk

mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa

yang diberikan oleh pemberi data.

46
BAB IV

PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

Pada bab ini peneliti akan memaparkan data yang telah diperoleh dan

menguraikan temuan penelitian tentang tradisi pernikahan di depan jenazah

keluarga di desa Bocek kecamatan Karangploso kabupaten Malang.

Hasil penelitian ini diperoleh dengan teknik wawancara dengan informan

dalam bentuk observasi secara langsung dan apabila datanya sudah terkumpul

peneliti menganalisis data tersebut. Analisis tersebut fokus pada tradisi pernikahan

di depan jenazah keluarga yang dilakukan oleh masyarakat desa Bocek dan

dikaitkan pada beberapa unsur dan identifikasi masalah agar penelitian ini lebih

objektif dan akurat. Selain itu peneliti juga mencari informasi-informasi tambahan

dengan melakukan wawancara secara langsung dengan informan yang melakukan

tradisi pernikahan di depan jenazah keluarga.

Peneliti juga menggunakan metode kualitatif dalam mengumpulkan data

yang diperlukan. Penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang

menghasilkan data-data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau ucapan secara

lisan yang didasari oleh orang atau perilaku yang diamati.

Peneliti juga melakukan observasi secara langsung selama 2 minggu,

yaitu pada tanggal 3 Mei 2019 sampai 17 Mei 2019. Tempat yang diamati oleh

peneliti selama melakukan observasi yaitu di desa Bocek kecamatan Karangploso

kabupaten Malang.

Untuk tahap analisis, yang dilakukan oleh peneliti adalah membuat daftar

pertanyaan untuk wawancara, pengumpulan data, dan analisis data yang dilakukan

47
sendiri oleh peneliti. Untuk mengetahui sejauh mana informasi yang diberikan

oleh informan, peneliti menggunakan beberapa tahap :

1. Menyusun daftar pertanyaan wawancara berdasarkan dari unsur-unsur

kredibilitas yang akan ditanyakan pada narasumber atau informan.

2. Melakukan wawancara dengan informan yang pernah melaksanakan tradisi

pernikahan di depan jenazah keluarga atau nikah mayat.

3. Melakukan dokumentasi langsung di lapangan untuk melengkapi data-data

yang berhubungan dengan penelitian.

4. Menganalisis hasil data wawancara yang telah dilakukan.

A. Gambaran Umum Desa Bocek

1. Letak Geografis Desa Bocek

Secara administratif, desa Bocek terletak dalam wilayah kecamatan

Karangploso kabupaten Malang di Provinsi Jawa Timur dengan susunan

sebagai berikut :

1. Luas Wilayah : 1.478.741 Ha.

2. Jumlah Dusun : 3 Dusun

3. Nama Dusun :

a. Bocek krajan

b. Manggisari

c. Supiturang

4. Batas Wilayah

Batas wilayah desa Bocek dapat digambarkan dalam tabel di

bawah ini :

48
Tabel 1.1

Batas wilayah desa atau kelurahan

Letak Kecamatan
No. Desa/ Kelurahan

1 Barat Donowarih Karangploso

2 Selatan Girimoyo Karangploso

Lowokwaru

3 Utara Perhutani Karangploso

4 Timur Girimoyo/Ngenep Karangploso

5. Jarak dan arah dari kota kabupaten : utara kota kabupaten , 52

Km

6. Ketinggian : 715 DPL

7. Topografi : Daerah Berbukit .

2. DEMOGRAFI

Tabel 2.2

Perkembangan penduduk Desa Bocek

No Status Keterangan

1 Penduduk Laki-laki 3936

49
2 Penduduk Perempuan 3938

3 Kepala Keluarga 2155 KK

Jumlah 7874 orang

3. Jumlah KK Miskin : 461 KK

4. Potensi Desa

a. Potensi Sumber daya alam di desa Bocek sebagai berikut :

Tabel 2.2

Potensi Sumber Daya Alam Desa Bocek

No Jenis Sumber Daya Keterangan

Alam

1 Pertanian/Perkebunan Padi, Palawija, Sayur-sayuran, Tebu,

Buah

2 Material/Bahan Alam Batu belah

3 Peternakan Sapi, Kambing, Ayam, dan Itik

b. Potensi Ekonomi di desa Bocek sebagai berikut :

Tabel 2.3

Potensi Ekonomi Desa Bocek

No Jenis Potensi Ekonomi Keterangan

1 Industri kerajinan Mebel

2 Lembaga keuangan BRI, Pegadaian, BPD Jatim

50
3 Koperasi wanita Muslimat

4 Perusahaan Swasta UD. Sari Bumi 2, Pabrik Rokok

5 Home industry Krepek tempe, Pabrik tahu

5. Struktur Mata Pencaharian :

Penduduk di desa Bocek rata-rata bermata pencaharian

sebagai petani, perdagangan dan industri.

Tabel 2.4

Mata Pencaharian

No Jenis Potensi Ekonomi Keterangan

1 Petani 2.439 Orang

2 Pekerja di sektor 1.241 Orang

jasa/perdagangan

3 Pekerja di sektor industri 371 Orang

3. KARAKTERISTIK DESA

a. Kondisi Sosial Budaya

Keadaan penduduk desa Bocek menurut kepercayaan agamanya

Tabel 3.1

Kepercayaan agama

No Agama Jumlah

1 Islam 7867 Orang

51
2 Kristen 4 Orang

3 Katolik 3 Orang

4 Hindu -

5 Budha -

a. Prasarana Pendidikan di desa Bocek sebagai berikut:

Tabel 3.2

Prasarana Pendidikan

No Jenis Prasarana Keterangan

1 SMU/SMK 1 Buah

2 SLTP 2 Buah

3 SD/MI 4 Buah

4 TK/RA/PAUD 5 Buah

5 Pesantren 2 Buah

b. Tingkat pendidikan masyarakat desa Bocek sebagai berikut:

Tabel 3.3

Prasarana Pendidikan

No Keterangan Jumlah

1 Penduduk usia 10 th ke atas yang buta huruf 6.867 Orang

2 Penduduk tidak tamat SD/Sederajat 146 Orang

3 Penduduk tamat SLTP/Sederajat 3.982 Orang

4 Penduduk tamat SLTA/Sederajat 574 Orang

52
5 Penduduk tamat SD/Sederajat 224 Orang

6 Penduduk tamat S-3 15 Orang

7 Penduduk tamat S-2 29 Orang

8 penduduk tamat S-1 63 Orang

c. Prasarana Kesehatan

Tabel 3.4

Prasarana Kesehatan

No Jenis Prasarana Jumlah

1 Puskesmas -

2 Polindes 1 Unit

3 Posyandu 3 Unit

d. Nama pejabat di lingkungan kantor desa

Tabel 3.4

Nama Pejabat di lingkungan Kantor Desa

No Jabatan Nama

1 Kepala Desa Ali Budiono

2 Sekretaris Desa 146 Orang

3 Kaur Umum Hariyanto

4 Kaur Keuangan Ardiguno

5 Kebayan Muhaimin

6 Kepetengan Muhammad Kholip

7 Kuwowo Harjito

53
8 Modin Abdul Rohmat

9 Kamituwo Bocek Abdul Kodim

10 Kamituwo Manggisari Zakariyah

11 Kamituwo Supiturang Sukari

B. Temuan Penelitian

1. Tradisi masyarakat desa Bocek tentang Pernikahan di depan Jenazah

keluarga dan sebab masyarakat desa Bocek masih melakukan tradisi

tersebut

Tradisi pernikahan di depan jenazah yang dilakukan oleh

masyarakat desa Bocek sudah menjadi suatu tradisi turun temurun yang

diwariskan oleh orang-orang yang terdahulu. Tradisi tersebut dilakukan

karena ada salah satu keluarga mempelai laki-laki ataupun perempuan yang

meninggal dunia sebelum tanggal pernikahan tiba. Tradisi tersebut

dilakukan bertujuan untuk menghormati keluarga dalam lingkup yaitu orang

tua, nenek atau kakek yang meninggal dunia. Selain itu masyarakat desa

Bocek melakukan tradisi tersebut untuk menghindari keraguan atas dasar

takut akan datangnya kematian yang sewaktu-waktu bisa terjadi pada kedua

mempelai pengantin.

Berdasarkan temuan penelitian yang dilakukan oleh peneliti di

lapangan bahwa masyarakat desa bocek masih melakukan tradisi tersebut

dikarenakan memang meneruskan tradisi yang sudah ada sejak dahulu.

Mereka mengaggap bahwa tradisi tersebut harus dijaga dan dilestarikan.

Selain itu, masyarakat desa Bocek melakukan tradisi tersebut untuk

54
menghindari keraguan atas dasar takut akan datangnya kematian yang

sewaktu-waktu bisa terjadi pada kedua mempelai pengantin.

Pernikahan di depan jenazah tersebut menurut masyarakat desa

Bocek dilakukan karena ketika tanggal pernikahan sudah ditentukan dan

sebelum tanggal pernikahan itu tiba, salah satu dari anggota keluarga

mempelai laki-laki atau perempuan meninggal dunia maka harus

dilaksanakan pernikahan sirri terlebih dahulu yaitu dengan nikah mayit. Hal

tersebut dilakukan agar tidak menunda waktu 1 tahun lagi untuk

melaksanakan akad nikah, karena jika tidak melakukan nikah mayit maka

pernikahan harus ditunda selama 1 tahun. Menurut mereka jika ditunda

selama 1 tahun dikhawatirkan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan

yang dilakukan oleh kedua calon pengantin seperti: melakukan perbuatan

zina, dan akibatnya hamil sebelum menikah.

2. Gambaran pelaksanaan tradisi pernikahan di depan jenazah

Berdasarkan hasil temuan penelitian yang dilakukan oleh peneliti

di desa Bocek, gambaran pelaksanaan pernikahan di depan jenazah

dilakukan sebelum jenazah dikebumikan. Tradisi tersebut dilaksanakan di

dalam satu ruangan dengan jenazah dan dihadiri oleh para pentakziah.

Pernikahan di depan jenazah termasuk dalam kategori nikah sirri. Oleh

karena itu, pada saat pelaksanaan akad nikah berlangsung tidak ada

penghulu atau pejabat pemerintah yang hadir untuk menikahkan kedua

mempelai.

55
Seorang modin atau orang yang di beri wewenang oleh Kantor

Urusan Agama setempat untuk menikahkan, tidak dibolehkan untuk

menikahkan kedua mempelai apabila pernikahan tersebut hanya pernikahan

sirri saja. Jadi, dalam pelaksanaan akad nikah di depan jenazah tersebut

dilakukan tanpa adanya penghulu dari pemerintahan, tetapi yang melakukan

atau yang menikahkan adalah orang tua mempelai perempuan jika masih

hidup, atau siapapun orang yang hadir dalam pelaksanaan nikah mayit

tersebut, atau tokoh masyarakat setempat. Pelaksanaan akad nikah di depan

mayit tersebut juga di hadiri oleh beberapa saksi. Jadi, syarat dan rukun

untuk melaksanakan akad nikah di depan jenazah sama seperti syarat dan

rukun pernikahan pada umunya.

56
BAB V
PEMBAHASAN

A. Sebab yang menjadikan Masyarakat di desa Bocek kecamatan

Karangploso kabupaten Malang masih melakukan tradisi pernikahan

di depan jenazah keluarga

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti di desa

Bocek maka peneliti dapat memaparkannya sebagai berikut:

a. Wawancara dengan narasumber yaitu Modin desa Bocek Bapak

Abdul Rohmat pada Hari Sabtu, 27 April 2019. Menurut penjelasan

narasaumber bahwa yang menjadi sebab masyarakat di desa Bocek masih

melakukan tradisi pernikahan di depan mayat keluarga adalah:

“Orang jawa melakukan tradisi itu karena turun temurun dari orang-
orang sebelumnya karena disitukan ada hukumnya sendiri. Jadi,
melakukan tradisi tersebut karena atas dasar toleransi dan
menghormati kalau ada orang tuanya meninggal dunia kan tidak
boleh melakukan akad nikah waktu hari meninggalnya orang tuanya
itu. Dan harus cari hari lain selain hari pada saat meninggalnya orang
tua atau salah satu keluarga yang meninggal itu selama satu tahun”.
(27 April 2019)
Dari paparan yang telah dijelaskan oleh Modin desa tersebut bahwa

tradisi nikah mayat dilakukan apabila ada seorang yang akan

melangsungkan pernikahan dan tanggalnya sudah ditentukan tetapi sebelum

tiba tanggal yang telah ditentukan tersebut ada salah satu keluarganya yaitu

orang tuanya atau kakek, neneknya meninggal dunia harus menunda

pernikahannya selama satu tahun. Namun, jika tidak mau menunggu waktu

terlalu lama maka dilakukanlah nikah mayat, dan jika tidak mau melakukan

nikah mayat, maka harus menunda pernikahan tersebut selama satu tahun.

57
Dalam hal tersebut yang dimaksud adalah harus “ganti tahun”, antara tahun

pada saat keluarganya meninggal dan tahun pernikahannya harus berbeda.

Modin desa tersebut menambahkan bahwa pelaksanaan pernikahan di depan

jenazah tersebut bertujuan untuk toleransi sesama manusia, sesama

masyarakat dan menghormati keluarga.

Selain itu yang menjadi sebab adalah tradisi tersebut pada awalnya

berasal dari pemahaman masyarakat bahwa sebenarnya salah satu kewajiban

anak terhadap orang tuanya adalah menghormati keduanya meskipun

mereka sudah meninggal dunia, baik salah satu ataupun keduanya.

Kenudian dari pemahaman tersebut, masyarakat menghubungkan dengan

ajaran jawa. Dan menurut informasi yang diterima oleh peneliti apabila

tidak melakukan nikah mayat tersebut maka dianggap sebagai anak durhaka

yang tidak berbakti kepada orang tuanya. Pada dasarnya tradisi itu muncul

karena lebih disebsabkan i’tikad baik masyarakat setempat untuk

menghormati orang tua.

b. Hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti pada narasumber

yaitu Bapak Anshori selaku orang tua yang menikahkan anaknya dengan

nikah mayat adalah:

“Tradisi tersebut menurut orang jawa tidak boleh dihilangkan bagi


orang-orang tua yang jaman dulu, asal usulnya tidak terlalu jelas
karena adat itu sifatnya turun temurun dari nenek moyang dan tidak
berani melanggar, apabila melanggar dalam hukum islam tidak
apa-apa, tetapi do’a- doa’a orang kampung itu seperti “diloken
engkok lek ngelanggar” atau “lihat nanti, lihat nanti kalau berani
melanggar” sehingga semua doa itu berkumpul dan diijabahi oleh
Allah akhirnya terjadilah sesuatu hal buruk yang tidak diinginkan.
Mosok ono wong mati enak-enak an itu gak etis, dan dilakukan itu
karena nututi supoyo gak ditunda setahun. Jadi, sebab masyarakat

58
desa Bocek masih melakukan tradisi tersebut karena takut
melanggar aturan dari dalil tersebut yaitu al’adatul muhakamah
bagi yang mempercayainya. Tujuan dilaksanakannya tradisi nikah
mayat tersebut adalah untuk menghindari fitnah, menghindari
omongane wong seng dungo elek”. (4 Mei 2019).
Dari paparan yang telah dijelaskan oleh narasumber tersebut bahwa

tradisi nikah mayat menurut orang-orang tua jaman dulu tidak boleh

dihilangkan karena apabila melanggar masyarakat sekitar yang

mempercayai tradisi tersebut akan mendoakan yang buruk dan ditakutkan

jika banyak dari masyarakat yang mendoakannya maka akan terjadi sesuatu

hal buruk yang tidak diinginkan. Dilakukannya tradisi nikah mayat tersebut

agar pernikahan tidak ditunda selama satu tahun. Dan yang menjadi sebab

masyarakat desa Bocek masih melakukan tradisi tersebut karena untuk

menghindari fitnah dan menghindari ucapan atau ungkapan yang jelek dari

masyarakat sekitar yang mempercayai tradisi nikah mayat tersebut.

Selain itu, informan juga menjelaskan bahwa orang-orang yang tidak

mempercayai tradisi tersebut rata-rata kurang hablum min an-nash nya atau

kurangnya hubungan sesama manusia dan hubungan sesama manusia itu

tidak seperti masyarakat di desa.

B. Gambaran pelaksanaan tradisi pernikahan di depan jenazah yang

dilakukan oleh masyarakat desa Bocek kecamatan Karangploso

kabupaten Malang

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti di desa

Bocek maka peneliti dapat memaparkannya sebagai berikut:

59
a. Wawancara dengan narasumber yaitu Modin desa Bocek Bapak Abdul

Rohmat pada Hari Sabtu, 27 April 2019. Menurut penjelasan narasumber

bahwa praktek pelaksanaan pernikahan di depan jenazah keluarga sebagai

berikut:

“Pernikahan di depan mayat itu gak harus di depan mayite bukan,


tapi di satu tempat itu termasuk sudah nikah di depan mayat, tidak
harus mayatnya ditengah-tengah, di depan mayat, hanya ucapan aja.
Dan pelaksanaan akad nikahnya dilakukan sebelum mayit berangkat,
jadi gak ada nikah didepan mayit masak mayitnya berangkat moro
nikah berarti kan gak nikah di depan mayit. Jadi di sekitar mayit
bukan didepan mayitnya” (27 April 2019)
Selain itu peneliti juga menanyakan tentang syarat dan rukun yang

harus ada dalam pelaksanaan nikah mayat pada saat proses akad nikah. Hal

ini dilakukan peneliti karena dimungkinkan adanya perbedaan syarat dan

rukun yang ada dalam proses akad nikah pada umunya. Dan Bapak Modin

desa itu menjelaskan sebagai berikut:

“Pelaksanaannya ya sesuai dengan nikah sah, memang nikah siri,


nikah di depan mayit itu juga termasuk nikah sah menurut agama,
jadi persyaratannya ya sesuai dengan persyaratan agama ada wali,
ada mas kawin, ada saksi, ada ijab qabul, ada manten sekalian, ada
maharnya juga”. (27 April 2019)
Setelah peneliti mengetahui tentang praktek pelaksanaan nikah di

depan mayit, peneliti juga menanyakan apakah tradisi pernikahan mayit

tersebut hanya berlaku pada keluarga dari pihak pengantin perempuan saja

ketika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti salah satu keluarga dari

mempelai perempuan ada yang meninggal dunia sebelum tiba hari dan

tanggal pernikahan yang sudah ditentukan. Apakah tradisi tersebut hanya

berlaku khusus untuk keluarga pengantin perempuan saja atau berlaku untuk

semua pihak yang akan melaksanakan pernikahan?

60
Bapak Rahmat selaku modin desa Bocek itu menerangkan
“berlakunya untuk dua-duanya entah itu perempuan yang orang
tuanya meninggal keluarga perempuan entah keluarga yang laki-laki
itu tetap dua-duanya dilaksanakan, jadi berlaku untuk semuanya
entah itu bukan orang tuanya atau sanak kerabat atau disebut
keluarga yang paling dekat seperti orang tua, mbah” (27 April 2019)
Lalu peneliti juga menanyakan apakah seluruh masyarakat desa

Bocek melaksanakan tradisi pernikahan di depan mayit atau ada sebagian

masyarakat yang tidak mempercayai adanya tradisi tersebut yang akhirnya

sebagian masyarakat itu tidak melaksanakan tradisi nikah mayit ketika ada

salah satu keluarga yang meninggal dunia sebelum tiba hari dan tanggal

pernikahan yang sudah ditentukan. Dan peneliti menyimpulkan dari apa

yang disampaikan oleh bapak rahmat bahwa 90% masyarakat desa Bocek

meyakini dan melaksanakan tradisi adat jawa seperti pernikahan di depan

jenazah keluarga, perhitungan jawa atau weton, tetapi kalau orang yang

fanatik terhadap agama tidak semuanya melaksanakan tradisi tersebut

karena mereka menganggap bahwa semua hari itu adalah baik, jadi bisa

dilaksanakan kapanpun. Menurutnya, orang yang fanatik dengan hukum

jawa tidak berani untuk meninggalkan tradisi tersebut, dan orang yang

berani meninggalkan atau tidak melakukan tradisi tersebut adalah orang-

orang tertentu yang tidak paham terhadap tradisi nikah mayat dan juga yang

memang tidak mau mengikuti ajaran hukum jawa atau hukum adat.

Berbeda hal dengan apa yang didapatkan peneliti dari modin desa

Bocek, peneliti juga menanyakan hal tersebut kepada narasumber lain yaitu

Bapak Anshori yang menjelaskan bahwa:

“Rata-rata masyarakat desa bocek tidak semuanya melakukan tradisi


nikah mayat tersebut, yang melakukan tradisi tersebut adalah orang-

61
orang dulu, dan yang tidak melakukan adalah orang-orang yang sudah
jamannya modern dan berpendidikan. Tokoh masyarakatpun hanya
sebagian kecil mempercayai tradisi tersebut”. (4 Mei 2019)
Setelah peneliti mengetahui informasi dari informan bahwa ada

sebagian masyarakat tidak melakukan tradisi nikah mayat, maka peneliti

juga menanyakan apakah ada mudlarat nya bagi kedua pengantin jika tidak

melakukan tradisi nikah mayat tersebut. Informan mengungkapkan sebagai

berikut:

Ya mungkin kalau dulu ada mudlarat nya, ya masak ada orang


tuanya atau nenek nya meninggal mau nikah, mau berpesta, mau
selametan sedangkan keluarganya meninggal. Jadi, itu semua
tujuannya untuk menghormati orang tuanya atau keluarganya yang
meninggal dunia. Sebenarnya kalau tidak melaksanakan nikah di
depan mayit juga tidak apa-apa, tapi menurut orang jawa itu harus
menunggu satu tahun harus ganti tahun lagi untuk menikah nah itu
kalau tidak dilaksanakan, kalau tidak mau ditunda satu tahun
makannya dinikahkan secara agama dalam arti nikah mayit. Dan
itukan tradisi, jadi akibatnya kalau tidak melaksanakan nikah mayit
mungkin karena menunda terlalu lama nanti dalam perjalanan satu
tahun dikhawatirkan ada hal yang tidak diinginkan seperti putus
akhirnya gak jadi nikah, kemudian ada godaan-godaan yang
akhirnya tidak jadi atau pernikahannya batal, selain itu ditakutkan
hamil duluan karena pergaulan bebas dan terlalu lama menunggu
hingga satu tahun, jadi dinikahkan secara siri dulu atau nikah mayit
itu. (27 April 2019)
Selain informasi yang didapatkan dari modin desa Bocek tersebut,

narasumber lain yaitu Bapak Anshori juga menjelaskan bahwa:

“Manfaatnya jika melakukan nikah mayat maka tidak menunda


pernikahan selama satu tahun dan mudlorotnya jika tidak melakukan
nikah mayat maka pernikahan tersebut ditunda selama satu tahun. Jika
tidak ditunda satu tahun pun tidak apa-apa asalkan berani melanggar
tradisi tersebut. Karena adat itu bisa menjadi hukum bagi yang
menjalankan bukan berlaku untuk umum, jadi bagi dia sendiri yang
menjalankan dalam artian dia sendiri yang mempercayainya atau tidak
mempercayainya, karena yang percaya dia yang dihukum juga dia
sendiri begitupun sebaliknya”. (4 Mei 2019)

62
Peneliti juga menanyaka kepada informan tentang jarak antara nikah

mayat atau nikah sirrri berapa lama. Menurut informasi yang telah diberikan

oleh informan kepada peneliti bahwa jarak antara nikah sirri ke nikah sah

nya tidak ada jarak minimal, tetapi menurut adat jawa disarankan agar

mencari hari lagi yang baik dan tidak menunggu satu tahun tetapi mencari

hari baik.

Modin desa Bocek yang juga termasuk pegawai KUA di kecamatan

Karangploso tersebut memberikan keterangan bahwa yang menikahkan

calon kedua mempelai dalam pelaksanaan nikah mayit tersebut menurut

Undang-Undang pernikahan, bahwa Modin tidak diperbolehkan

menikahkan siri atau menikahkan sah secara agama saja meskipun itu

dalam agama diperbolehkan. Karena nikah mayat atau nikah tersebut di luar

wewenang pemerintahan, pak modin juga memegang hukum dan terikat

dengan peraturan pemerintah, jadi yang berhak menikahkan adalah orang

lain atau orang tuanya yang mampu menikahkan, tokoh agama atau tokoh

masyarakat.

Setelah peneliti mengetahui bahwa Modin desa yang juga termasuk

pegawai di Kontor Urusan Agama tidak diperbolehkan untuk menikahkan

pengantin yang akan melaksanakan nikah mayit tersebut peneliti

menanyakan kepada narasumber bagaiamana upaya modin desa untuk

menanggulangi adanya tradisi nikah mayit yang termasuk dalam kategori

pernikahan siri tersebut?

Menurutnya “karena itu adalah tradisi, ya pak modin hanya


menghimbau saja ya kalau sudah terjadi nikah mayit kalau sudah selesai ya

63
segera dilaksanakan nikah sah menurut pemerintah. Nantinya masalah
memiliki anak mengenai urusan akta, kartu keluarga itu menjadi mudah,
lancer tidak ada masalah apa-apa. Tetapi kalau ditunda-tunda sampai
mempunyai anak nantinya kesulitan sendiri untuk mengurusnya oleh pihak
yang bersangkutan.” (27 April 2019)
Peneliti juga mendapatkan informasi dari narasumber bahwa ketika

kedua pasangan calon pengantin melangsungkan akad nikah di depan mayat

atau nikah siri tidak ada berkas-berkas seperti buku akta nikah dan surat-

surat lainnya. Dijelaskan oleh bapak modin bahwa nikah secara agama saja

atau bisa disebut nikah siri yang dalam hal ini juga termasuk nikah mayit

tidak ada bukti berupa buku nikah, tanda tangan para pihak dan lain-lain.

b. Hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti pada narasumber

yaitu Bapak Anshori selaku orang tua yang menikahkan anaknya dengan

nikah mayat. Bapak Anshori menjelaskan kronologinya sebagai berikut:

“Perkawinannya belum ditentukan sebelum oarang tua meninggal,


tetapi sudah lamaran. Karena pernikahan kurang sekian bulan. Di
tentukan harinya nikahnya dulu. Meninggalnya orang tua pada bulan
ramadlan dan nikahnya besar jdi sekitar jarak 3-4 bulanan. Yang
menikahkan waktu itu orang tua sendiri yaitu wali dari pihak
perempuan karena disuruh yaitu H. Agung, jika tidak mau
menikahkan sendiri maka yang menikahkan adalah tokoh masyarakat.
Dan waktu itu modin desa juga ada di tempat. Lalu kenapa moden
desa tidak melarang adanya nikah mayat yang kategorinya sama
seperti nikah sirri ? karena ya adat tadi masak sekarang bilang oh gak
oleh, gak oleh mungkin orang sak bocek akan rame, nah maka dari itu
tujuannya yaitu menghindari fitnah dan juga toleransi terhadap tradisi
di lingkungan masyarakat yang belum mengerti dalam artian kaum
mukallaf”.(4 Mei 2019)
Bapak anshori sendiri tidak mempercayai adanya tradisi nikah mayat

tersebut, tetapi alasan bapak anshori melakukan tradisi nikah mayat karena

hanya menghindari fitnah masyarakat saja ditakutkannya masyarakat

beranggapan jelek dan mendoakan yang jelek kepada anak bapak anshori

selaku caloon pengantin yang melaksanakan nikah mayat tersebut karena

64
bapak anshori hidup di lingkungan masyarakat yang kental dengan tradisi-

tradisi termasuk tradisi nikah mayat, jadi bapak anshori bermaksud untuk

toleransi terhadap tradisi yang dianut dan dipercayai oleh masyarakat tempat

dimana ia tinggal, tetapi bapak anhsori tetap yakin kepada Allah bukan

yakin terhadap tradisi nikah mayat tersebut.

Bapak anshori menganggap jika memang ada kejadian orang yang

melanggar tradisi tersebut yang akhirnya meninggal dunia dan lain

sebagainya menurutnya itu adalah takdir dari Allah bukan karena akibat

melanggar tradisi tersebut. Informan juga menambahkan jika ingin

menghilangkan sebuah tradisi di lingkungan masyarakat maka harus dirubah

secara pelan-pelan, tetapi juga jangan terlalu ditentang dan dilarang.

C. Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap tradisi pernikahan di

depan jenazah yang dilakukan oleh masyarakat desa Bocek kecamatan

Karangploso kabupaten Malang

Pernikahan di depan jenazah boleh dilakukan asalkan syarat dan rukun

nikah terpenuhi. Sepanjang adanya kedua mempelai, wali, saksi, dan ijab qabul.

Kehadiran jenazah dalam pernikahan hanya dimaksudkan untuk sekedar

disandingkan dengan anaknya yang menikah. Pernikahan yang dilangsungkan

tetap sah. Hanya saja kembalikan pokok persoalan pada sejauh mana jenazah

memberi manfaat apabila dikembalikan pada aturan agama yang memerintahkan

ahli waris untuk segera menguburkannya.

Pelaksanaan akad nikah di depan jenazah satu sisi, mereka tetap

berpegang teguh pada aturan syari’at dalam artian mereka tidak meninggalkan

65
syarat-syarat dan rukun nikah yang ditentukan ooleh syari’at Islam. Hal tersebut

terlihat dengan adanya ijab qabul yang tetap dilaksanakan oleh masyarakat. Selain

itu, pernikahan tersebut tidak menemukan adanya penyimpangan syar’i yang

terjadi dalam pelaksanaan akad nikah di depan jenazah, karena yang mereka

lakukan hanya sebuah tradisi yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat dan

bukan merupakan syarat ataupun bagian dari rukun nikah itu sendiri. Apabila

dilihat dari kedudukan jenazah itu sendiri, tidak ditemukan adanya penyimpangan

terhadap syariat sebab jenazah dalam pelaksanaan akad nikah tidak memiliki

peran sama sekali baik sebagai wali ataupun saksi.

Dalam agama Islam diajarkan, bahwa syarat akad nikah adalah adanya

calo istri dan calon suami, masing-masing bukan termasuk mawani’un nikah,

antara keduanya merupakan kafa’ah (Ahmad, 1990: 102-103)

Oleh karena itu, hukum pelaksanaan akad nikah di depan jenazah

bukanlah satu kewajiban syar’i yang harus dilaksanakan, namun itu sebuah

kewajiban yang dikatakan hanya melaksanakan amanat atau warisan dari nenek

moyamg yang terdahulu yang jika tidak dilakukanpun juga tidak akan

mengakibatkan konsekuensi hukum agama. Dalam ushul fiqh pun juga dijelaskan

tentang Urf, dan tradisi nikah di depan jenazah ini termasuk dalam kategori Urf

Shohih karena tradisi ini dapat diterima dan dijalankan oleh masyarakat dan tidak

bertentangan oleh syariat.

Selain itu, implikasi dari pelaksanaan tradisi ini bagi masyarakat

adalah terciptanya sikap toleransi antara mereka yang mau melaksanakan dengan

mereka yang tidak mau melaksanakan.

66
Pendapat Abdul Haq dalam bukunya “Formulasi nalar fiqh telaah

kaidah fiqh konseptual” (2006: 292) menyatakan bahwa sy;arat-syarat adat secara

umum sebuah tradisi dapat dijadikan pijakan hukum, yaitu:

1. Adat tidak bertentangan dengan syari’at

2. Adat tersebut bersifat menyeluruh artinya diterima dan dilakukan oleh kalangan

mayoritas masyarakat.

Jadi, status hukum pernikahan di depan jenazah adalah mubah karena

tidak adanya pertentangan dengan ketentuan dari pernikahan Islam.

67
BAB VI

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan paparan yang telah diuraikan diatas, maka peneliti

menyimpulkan sebagai berikut:

1. Tradisi pernikahan di depan jenazah keluarga masih di lakukan oleh masyarakat

desa Bocek kecamatan Karangploso kabupaten Malang karena sebagai wujud

bakti seorang anak kepada orang tuanya yang sudah meninggal dunia. Selain itu

juga untuk menghindari fitnah dari masyarakat yang mempercayai tradisi tersebut,

dan sebagai wujud toleransi terhadap masyarakat yang masih mempercayai tradisi

nikah mayat.

2. Pelaksanaan tradisi pernikahan di depan jenazah keluarga yang dilakukan oleh

masyarakat desa Bocek kecamatan Karangploso kabupaten Malang tidak

bertentangan dengan syari’at, karena mereka tidak meninggalkan syarat-syarat

dan rukun yang telah ditentukan oleh syariat Islam. Hal tersebut terlihat dengan

adanya ijab qabul yang tetap dilakukan oleh masyarakat serta terpenuhinya syarat

dan rukun nikah. Dan dari keduduka jenazah itu sendiri tidak ditemukan adanya

penyimpangan terhadap syariat, karena jenazah dalam pelaksanaan akad nikah

tidak memiliki peran sama sekali, baik sebagai wali ataupun saksi.

3. Pandangan hukum Islam terhadap tradisi pernikahan di depan jenazah adalah

syariat Islam yaitu terpenuhinya syarat dan rukun pernikahan, dan tradisi

pernikahan di depan jenazah tersebut adalah termasuk dalam kategori Urf shohi

68
karena tidak bertentangan dengan syariat Islamdan tradisi tersebut daoat diterima

dan dilakukan oleh kalangan mayoritas masyarakat.

B. SARAN

Penulisan skripsi ini, penulis mengakui bahwa kendala utama yang

penulis hadapi adalah minimnya referensi literatur Islam tentang budaya ataupun

tradisi lokal yang ada di Indonesia. Oleh karena itu penulis menyarankan:

1. Kepada para peneliti untuk mempertimbangkan referensi literatus Islam seputar

adat istiadat atau tradisi lokal suatu daerah apabila suatu saat akan mengadakan

penelitian yang serupa.

2. Kepada semua masyarakat agar sering ataupun bertanya kepada tokoh

masyarakat tentang hukum-hukum Islam terutama tentang tradisi yang bermacam-

macam yang ada di lingkungan masyarakat apakah bertentangan dengan ajaran

Islam atau tidak.

69

Anda mungkin juga menyukai