Anda di halaman 1dari 16

TREN PENGEMBANGAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA

MALIK IBRAHIM MALANG BERPARADIGMA INTEGRASI

Mata Kuliah:
Integrasi Agama Dan Sains

Dosen Pengampu:
Dr. Roibin, M.HI.

Oleh:
Amrul Latif
(19780041)

PROGRAM MAGISTER AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAH


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perguruan Tinggi adalah pusat ilmu pengetahuan (centre of knowledge) yang
sekaligus pusat pengembangan sumber daya manusia (human recources). Lembaga
pendidikan ini muncul dan berkembang dalam kehidupan masyarakat sebagai objek
penting dalam upaya memenuhi kebutuhan pendidikan tinggi bagi para masyarakat
melalui kegiatan perkuliahan, dan untuk pengembangan pendidikan masyarakat serta
pengembangan ilmu pengetahuan.1 Diantara suksesnya sebuah usaha Perguruan
Tinggi dapat dibuktikan dengan tingkat produktifitas hasil karya dosen dan
mahasiswanya serta mutu generasi yang dilahirkannya (alumni), berdasarkan
dominasi daya dukung kepemimpinan universitas yang penuh dedikasi, berbobot,
serta professional.2 Selain itu, lembaga akan dapat berkembang secara signfikan,
sebab melalui inovasi yang diawali dari sikap kreatif dan inovatif pemimpinnya.
Pemimpin yang kaya akan impian-impian universal yang dinamis dan inovatif,
sehingga diyakininya memiliki daya makna dalam realitas.3
Namun dewasa ini, keberadaan lembaga pendidikan Perguruan Tinggi
(khususnya berpredikat keislaman), semakin dihadapkan pada berbagai tantangan
terkait permasalahan makro nasional, krisis ekonomi, politik, moral, budaya, dan
sebagainya. Di sisi lain, Islam sebagai agama yang memiliki ajaran dan nilai
universal dihadapkan pada kenyataan sebagian umat Islam dengan pandangan sempit
dan dikotomis terhadap agama (ad-din) dan ilmu agama (al-`ilm). Islam yang
diyakini bersifat dinamis dan universal, ternyata justru dipandang kurang
memberikan kontribusi yang signifikan pada pengembangan peradaban umat
manusia.4
Persoalan inilah yang pada makalah ini, penulis akan mengulas sedikit
tentang model paradigma integrasi terhadap pengembangan keilmuan UIN Malang,

1
Mohammad Muslih, Tren Pengembangan Ilmu Di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang, Jurnal Tasawuf Dan Pemikiran Islam: UNIDA, Vol.6, No.1, 2016, 221.
2
Mohammad Muslih, Tren Pengembangan Ilmu Di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang, Jurnal Tasawuf Dan Pemikiran Islam: UNIDA, Vol.6, No.1, 2016, 222.
3
Roibin, Mitos Dan Etos: Tren Paradigma Pengembangan UIN Maliki Kini Dan Akan Datang,
http://syariah.uin-malang.ac.id/index.php/komunitas/blog-fakultas/entry/mitos-dan-etos-tren-
paradigma-pengembangan-uin-maliki-kini-dan-akan-datang, diakses pada tanggal 15 Oktober 2019.
4
Imam Suprayogo, Universitas Islam Unggul, Malang: UIN Malang Press, 2009, 163.
dengan hasil imajinasi kreatif kepemimpinan Imam Suprayogo dalam
mengembangkan pendekatan integrasi ulul albab dengan metafora pohon ilmu.
Selain daripada hal-hal tersebut, pada pembahasan makalah ini juga akan disinggung
terkait dengan permasalahan mitos. Seperti yang kita telah ketahui bersama, dewasa
ini mitos selalu diidentikkan dengan cerita fiktif, dongeng baheula, atau dongeng-
dongeng buatan nenek moyang pada masa lampau. Namun ternyata para ilmuan,
khususnya antropolog menafikan anggapan tersebut. Hal tersebut didasarkan atas
pandangan bahwa mitos ialah satu manifestasi impian, imajinasi, cita-cita ideal yang
keberadaannya mampu bermanfaat bagi kehidupan reaitas. Tentu hal tersebut akan
berkaitan kemudian dengan halnya sebuah etos kerja mereka. Namun, apakah benar
sebuah mitos yang kebanyakan dianggap sarat dengan sebuah khurafat (khayalan),
cerita fiktif, dongeng buatan tersebut akan mempengaruhi etos pelakunya.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengalaman dalam perkembangan keilmuan Perguruan Tinggi


Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang?

2. Bagaimana eksistensi tradisi mitos (sains lokal) dalam perkembangan keilmuan


Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang?

3. Bagaimana relasionalitas antara mitos dan etos?

C. Tujuan Pembahasan

1. Menggambaran pengalaman dalam perkembangan keilmuan Perguruan Tinggi


Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

2. Menggambarkan eksistensi tradisi mitos (sains lokal) dalam perkembangan


keilmuan Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

3. Mendeskripsikan relasionalitas antara mitos dan etos.


BAB II
PEMBAHASAN
A. Paradigma dalam Perkembangan Keilmuan UIN Malang
Menurut Suryadharma Ali, sebagai upaya untuk mengakhiri paham dikotomi
keilmuan, maka diperlukan peran aktif PTAI (Perguruan Tinggi Agama Islam) dalam
mengembangkan paradigma keilmuannya, diantaranya dengan berani merumuskan
dan mengimplementasikan kembali paradigma keimuan yang integratif
(komprehensif dan holistik), selain juga mengembangkan hal tata kelembagaan dan
sistem manajerial yang baik. Sedang upaya untuk menjadikan PTAI sebagai
perguruan tinggi yang mampu menjawab tuntutan zaman, maka diperlukan sumber
pengetahuan yang integratif, yakni dengan memadukan antara sumber ajaran Islam
(al-Qur`an dan al-Hadits) dan hasil observasi, eksperimen, dan penalaran logis.5
Dalam hal itu, upaya fundamental dan strategis yang telah ditempuh UIN
Malang adalah melakukan rekonstruksi paradigma keilmuan dengan meletakkan
agama sebagai basis ilmu. Upaya ini dipandang fundamental dan strategis bahkan
dalam kerangka pengembangan UIN Malang ke depan. Upaya ini mendapat prioritas,
karena konstruk keilmuan ini sejatinya merupakan nafas atau ruh setiap Perguruan
Tinggi. Meskipun demikian, Imam Suprayogo mengakui bahwa untuk mewujudkan
cita-cita mengembangkan institusi Perguruan Tinggi Islam dengan kajian keilmuan
yang benar-benar integratif, adalah suatu upaya yang tidak mudah.6 Terhadap dua
jenis atau tingkat kebenaran itu (sains dan agama), seharusnya diletakkan secara
terpadu atau terintegrasi. Kendatipun masing-masing masih menempati posisi yang
berbeda, namun tidak boleh diperlakukan secara terpisah.7
Dalam mengintegrasikan ilmu dan agama berdasarkan basis kurikulum
Perguruan Tinggi, Imam Suprayogo mengembangkan paradigma keilmuan UIN
Malang dengan menciptakan konsepsi metafora “Pohon Ilmu” dalam proyeknya:8

5
Suryadharma Ali, Reformasi Paradigma Keilmuan Islam, Malang: UIN Maliki Press, 2013, xii-xiii.
6
Mohammad Muslih, Tren Pengembangan Ilmu Di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang, Jurnal Tasawuf Dan Pemikiran Islam: UNIDA, Vol.6, No.1, 2016, 223.
7
Imam Suprayogo, Membangun Integrasi Ilmu Dan Agama, https://www.uin-
malang.ac.id/r/160901/membangun-itegrasi-ilmu-dan-agama-pengalaman-uin-maulana-malik-
ibrahim-malang.html, diakses pada tanggal 15 Oktober 2019.
8
Imam Suprayogo, Paradigma Pengembangan Keilmuan Islam Perspektif UIN Malang, cet. Pertama.
Malang: UIN Malang Press, 2006, 57.
Gambar. “Pohon Ilmu”

Metafora sebatang pohon besar dan rindang, yang akarnya menghujam ke


bumi, batangnya kokoh dan besar, berdahan dan ranting serta daun yang lebat dan
akhirnya pohon itu berbuah yang sehat dan segar. Akar yang kuat menghujam ke
bumi digunakan untuk menggambarkan kecakapan yang harus dimiliki oleh siapa saja
yang melakukan kajian Islam yang bersumber Al-Qur'an dan al-Hadis, yaitu
kemampuan Berbahasa Arab dan Inggris, logika atau ilmu mantiq, ilmu alam dan
ilmu sosial. Sebagaimana posisinya sebagai alat, idealnya kecakapan itu harus
dikuasai secara penuh sebelum yang bersangkutan memulai melakukan kajian Islam
yang bersumber dari kitab suci.9
Batang dari sebuah pohon itu digunakan untuk suatu penggambaran obyek
kajian Islam, yaitu Al-Qur'an, al-Hadis, pemikiran Islam, dan sirah nabawiyah dan
atau sejarah Islam lainnya yang lebih luas. Mahasiswa UIN Maliki Malang, tanpa
terkecuali, jurusan apapun yang dipilih, wajib mengambil dan menguasai bidang ilmu
ini. Mengikuti ahli fiqh, mendalami Bahasa Arab dan Inggris, ilmu mantiq, ilmu alam
dan ilmu sosial serta sumber ajaran Islam tersebut hukumnya fardhu ain. Sedangkan
dahan yang jumlahnya cukup banyak, ranting dan daun dalam metafora ini untuk
menggambarkan disiplin ilmu yang akan dipilih oleh setiap mahasiswa yang

9
Imam Suprayogo, Membangun Integrasi Ilmu Dan Agama, https://www.uin-
malang.ac.id/r/160901/membangun-itegrasi-ilmu-dan-agama-pengalaman-uin-maulana-malik-
ibrahim-malang.html, diakses pada tanggal 15 Oktober 2019.
dikembangkan oleh UIN Maliki Malang. Masing-masing disiplin ilmu atau fakultas
dengan berbagai jurusan atau program studi tersebut, setiap mahasiswa diberi
kebebasan untuk memilih sesuai dengan minat, bakat dan kemampuannya masing-
masing.10
Selain daripada itu, dalam konsep “pohon ilmu”, sebuah pohon diasumsikan
harus tumbuh di atas tanah yang subur. Tanah subur dimana pohon itu tumbuh,
menggambarkan adanya keharusan untuk menumbuh-kembangkan kultur kehidupan
kampus yang berwajah Islami, seperti kehidupan yang dipenuhi oleh susana iman,
akhlak yang mulia, dan kegiatan spiritual. Sedangkan pohon itu sendiri
menggambarkan bangunan akademik yang akan menghasilkan buah yang sehat dan
segar. Buah yang dihasilkan oleh pohon digunakan untuk menggambarkan produk
pendidikan Islam, yaitu: iman, amal shaleh, dan akhlak mulia.11
Demi terciptanya hasil yang maksimal dalam kompetensi mahasiswa
berbahasa asing, maka perguruan tinggi ini mengembangkannya dengan diadakannya
Program Pengembangan Bahasa Arab (PKPBA), dan Program Khusus
Pengembangan Bahasa Inggris (PKPBI).12 Dalam upaya pengembangan bahasa
tersebut, maka diharapkan kemudian dapat memapu memudahkan proses
pengintegrasian ilmu qur`aniyah dan kawniyyah.13
Sedangkan dalam upaya pengembangan akademik dan untuk meraih cita-cita
luhur kampus, yakni melahirkan ulama` yang intelek dan atau intelek yang ulama`,
maka pendidikan yang dibangun di perguruan tinggi ini diformulasikan dalam wujud
sintes antara tradisi universitas dan tradisi ma`had (ma`had al-jami`ah).14 Secara
etimologis, proses pendidikan Ma`had al-jami`ah merupakan bagian dari
pengintegrasian ilmu secara intensif di perguruan tinggi Islam. Bentuk
penggabungan antara tradisi akademik perguruan tinggi dan ma`had adalah model
alternatif pendidikan tinggi yang sangat ideal. Secara fokus pengembangan
berdasarkan tujuan pendiriannya, ma`had al-jami`ah selain merupakan sarana

10
Imam Suprayogo, Membangun Integrasi Ilmu Dan Agama, https://www.uin-
malang.ac.id/r/160901/membangun-itegrasi-ilmu-dan-agama-pengalaman-uin-maulana-malik-
ibrahim-malang.html, diakses pada tanggal 15 Oktober 2019.
11
Mohammad Muslih, Tren Pengembangan Ilmu Di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang, Jurnal Tasawuf Dan Pemikiran Islam: UNIDA, Vol.6, No.1, 2016, 225.
12
Imam Suprayogo, Universitas Islam Unggul, Malang: UIN Malang Press, 2009, 140.
13
Suryadharma Ali, Reformasi Paradigma Keilmuan Islam, Malang: UIN Maliki Press, 2013, 128.
14
Imam Suprayogo, Universitas Islam Unggul, Malang: UIN Malang Press, 2009, 140.
pengembang kajian ilmu agama, pesantren universitas (ma`had al-jami`ah) juga
merupakan wadah pendidikan yang sarat dengan pengembangan pendidikan karakter
dan spiritual.15
Suprayogo memandang, dengan melalui pengembangan spiritual yang
istiqomah diharapkan seluruh warga kampus berhasil membangun watak, karakter,
dan akhlak yang mulia, seperti pandai bersyukur, selalu berbagi rasa kasih saying
antar sesame, jujur, adil, sabar, ikhlas, selalu menghormati orang lain, tolong
menolong, dan sebagainya. Karena beliau yakin dengan sangat, bahwa seberapapun
banyaknya penghargaan yang telah didapat kampus ini, apabila tanpa adanya rasa
syukur, maka keberkahan adalah hal yang mustahil baginya.16
Berdasarkan paradigma keilmuan yang diformulasikan Supryogo terhadap
UIN Malang tersebut, menurut Maksudin ialah telah sangat relevan dalam
menghindarkan seorang muslim (ulama cendekiawan) atas pemahaman dikotomi dan
menghindarkan dari cara berpikir yang hanya rasionalitas dan spiritualitas atau
sekularitas yang tanpa dibarengi dengan pemahaman berdasarkan petunjuk naqly.
Selain itu, model pemahaman semacam itu, akan mempermudah memahami dalil
naqly berdasarkan temuan ayat kawniyah.17
Nampaknya, konsep “pohon ilmu” yang dijadikan sebagai gambaran
paradigma keilmuan terintegrasi oleh Suprayogo tidak sedikit mendapat kritik, atau
bahkan menolak. Mereka yang tidak menerima, pada umumnya menolak lantaran
persoalan teknis saja. Seperti, pandangan mereka yang tidak setuju apabila al-Qur`an
dan al-Hadits sebagai sumber hukum harus diletakkan pada urutan kedua setelah akar
pohon, yakni kompetensi kebahasaan, ilmu logika/ filsafat, ilmu alamiah dasar, dan
seterusnya. Selain itu, mereka yang menolak konsep ini, dengan alasan tidak setuju
apabila al-Qur`an dan al-Hadits harus disejajarkan dengan observasi, eksperimen,
dan penalaran logis.18
Pandangan-pandangan semacam itu, sebenarnya merupakan tantangan bagi
akademisi umat islam masa kini. Pandangan tersebut, sebenarnya berangkat dari rasa
kekhawatiran atau sifat curiga, yang menutup diri (eksklusif) terhadap model

15
Suryadharma Ali, Reformasi Paradigma Keilmuan Islam, Malang: UIN Maliki Press, 2013, 128.
16
Imam Suprayogo, Universitas Islam Unggul, Malang: UIN Malang Press, 2009, 149-150.
17
Maksudin, Paradigma Agama dan Sains Nondikotomik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013, 88.
18
Imam Suprayogo, Paradigma Pengembangan Keilmuan Islam Perspektif UIN Malang, cet.
Pertama. UIN Malang Press: Malang, 2006, 59-60.
penafsiran lainnya, dengan pendekatan rasio akal misalnya. Perbedaan sudut pandang
kebenaran antara Islam Normatif dan Islam Sosio Historis-Sosiologis, mengantarkan
mereka kepada perdebatan yang luar biasa. Berdasarkan fenomena inilah, yang pada
akhirnya dapat memperparah kondisi umat islam pasca kehidupannya. Inilah wujud
problem epistimologis sangat rumit, yang memerlukan penyembuhan secara intensif
dan konsisten dengan cara mengendorkan kembali basis epistimologi subjektifnya.19

B. Relasionalitas Antara Mitos Dan Etos dalam Pengalaman Perkembangan


Keilmuan UIN Malang
Dalam makalah ini, pada dasarnya penulis tidak akan secara detil
menjelaskan apa saja program yang diwacanakan oleh UIN Malang dalam
mengembangkan keilmuannya. Namun, lebih kepada bagaimana relasi antara mitos
dan etos berdasarkan pada pengalaman perkembangan UIN Malang, baik dalam segi
pengembangan keilmuan, etos kerja, maupun segi kelembagaannya.
Dalam perjalanannya, perkembangan signifikan yang dialami UIN Malang
pada dasarnya disamping terdapat nilai tradisi-tradisi keilmuan, tidak terlepas pula
oleh intensifitasnya terhadap aktifitas tradisi-tradisi ritus keagamaan. UIN Malang
sebagai perguruan tinggi Islam tentu menghadirkan segala macam ritus keagamaan
yang diwajibkan berdasarkan ajaran keagamaannya, layaknya agama lain. Selain
daripada itu, pesatnya perkembangan keilmuan yang dimiliki UIN Malang, tidak
dapat mengabaikan atas dasar hasil kreatifitas imajinasi dan inovasi sang pemimpin
sekaligus pencetus paradigma metafora “pohon ilmu”, yakni Prof. Imam Suprayogo.
Dalam jurnal Fakultas Syariah UIN Malang yang ditulis oleh Dr. Roibin,
beliau menyebutkan bahwa dalam perkembangan keilmuan UIN Malang merupakan
satu wujud hasil karya profesionalitas manusia (etos) yang bersumber dari mitos
yang diolah dan diyakini sebelumnya. Beliau mendasari hal itu, berdasarkan apa
yang telah ia kaji terhadap Imam Suprayogo, yang dalam setiap keprofesionalitasan
beliau tidak pernah lepas dari hasil ide, gagasan, nilai, norma, imajinasi filosofis
yang diyakininya bernilai manfaat secara universal bagi realitas, yang selalu dikawal
penuh dengan komitmen dan berulang-ulang (disosialisasikan), sehingga menjadi
sebuah paradigma. Hal ini bagi Roibin adalah bukti adanya produksi/penciptaan

19
Zainuddin, Roibin, dan Muhammad In`am Esha, Memadu Sains Dan Agama: Menuju Universitas
Islam Masa Depan, Malang: Bayumedia Publishing, Cetakan Kedua, 2004, 41-42.
tradisi mitos yang terkandung pada diri Prof. Imam terhadap perkembangan
keilmuan UIN Malang, apabila benar bahwa mitos merupakan suatu proses
konkretisasi dari sesuatu yang abstrak (imajinasi, cita-cita).20
Pada dasarnya, secara bahasa Mitos berasal dari “muthos” (bahasa Yunani)
yang berarti suatu cerita atau pitutur seseorang. Dalam artian yang lebih luas
bermakna sebuah pernyataan, sebuah cerita atau alur suatu drama. Dalam
pengertiannya yang demikian itu, mitos hari ini hanya dianggap sebagai sebuah
“fable, invectin, fiction”, yaitu dongeng, khayalan, cerita yang dibua-buat dan bukan
hal yang realistis.21 Tentu hal tersebut menjadi sorotan bagi kalangan antropolog
untuk mengkritisi dan memperdebatkannya.
Seperti diantaranya ialah M. Arkoun. Bagi Arkoun, mitos merupakan kata
kiasan yang indah dan memiliki inti makna penting terhadap realitas.22 Jika dilihat
dari segi fungsinya, bagi Arkoun mitos berperan dalam kehidupan layaknya sebuah
agama, namun tidak menggantikannya secara substantif. Hal tersebut ia katakan,
dengan berdasar pada pandangannya bahwa, pada hakikatnya mitos merupakan
sebuah impian kebajikan universal yang berisikan sumber nilai, yang adanya
dijadikan sebagai pedoman bagi kehidupan. Sedang konsep-konsep dalam sebuah
agama yang bersumber dari teks/wahyu pun demikian. Teks suci keagamaan juga
memuat prihal impian-impian ideal yang indah, seperti misalnya tentang gambaran
surga beserta gambaran keindahan isinya. Bagi Arkoun, perbedaan kedua substansi
tersebut hanya berada pada sisi subjektif pengkonstruk konsep impian ideal itu.
Subjek konstruksi mitos adalah manusia, sedangkan subjek konstruksi agama ialah
berasal dari dua kekuatan kompromistik antara Tuhan dan manusia (Nabi). Tuhan
sebagai representasi wahyu, sedang manusia sebagai representasi hasil
penafsirannya.23
Selain itu, Arkoun berpendapat bahwa mitos dan mitologi memiliki
perbedaan mendasar. Baginya ketika mitos telah mengalami penurunan kualitas bagi

20
Roibin, Di Balik Misteri Mitos Dan Etos Sang Pemimpi, http://syariah.uin-
malang.ac.id/index.php/komunitas/blog-fakultas/entry/di-balik-misteri-mitos-dan-etos-sang-pemimpi,
diakses pada tanggal 15 Oktober 2019.
21
Roibin, Relasi Agama Dan Budaya Masyarakat Kontemporer, Malang: UIN Malang Press, 2009,
86.
22
Roibin, Relasi Agama Dan Budaya Masyarakat Kontemporer, Malang: UIN Malang Press, 2009,
89.
23
Roibin, Agama dan Mitos: Dari Imajinasi Kreatif Menuju Realitas Yang Dinamis, jurnal El-Harkah
Vol. 12, No.2 Tahun 2010, 86-87.
realita, maka mitos telah berubah menjadi sebuah mitologi (khurafat), meskipun ia
tetap tertanam kuat dalam diri masyarakatnya. Dari pandangan inilah bagi Arkoun
mitos memiliki fungsi nilai positif, dengan menguatkan tekad untuk mencapai sebuah
impian ideal dalam kehidupan.24
Tentu saja, pendapat Arkoun tersebut pun mendapat sorotan tajam dari tokoh
ilmuan lain, Kuntowijoyo contohnya. Bagi Kuntowijoyo, mitos merupakan hal yang
negatif, maka mustahil bermanfaat bagi realitas. Menurutnya, mitos merupakan hasil
abstraksi dari sebuah realitas. Dengan demikian, mitos harus dihindari akan
keberadaannya yang tidak kongkrit tersebut.25 Menurut Endraswara, Kuntowijoyo
berpandangan demikian atas dasar kekhawatirannya terhadap masyarakat yang
terlalu meyakini adanya mitos tersebut. Nalar ilmu keagamaan yang dimilikinya,
lumrah apabila kemudian ia harus menentukan positif atau negatif, boleh atau tidak
boleh, atau apakah bahaya dan tidaknya jika meyakini mitos tersebut, tanpa melihat
secara ilmiah dan alamiah bagaimana mitos tersebut berkembang.26
Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa atas dasar fungsi keberadaannya
mitos dan agama mendapat bagian penting bagi kehidupan manusia, tidak lain
sebagai hal yang sama-sama berperan sebagai pedoman atau petunjuk bagi manusia.
Terlepas dari sisi subjektifitas konstruk konsep tersebut, maka tingkat kebenaran
mitos pun lokalistik (partikular), sedang agama bersifat universal (general).
Menurut Dr. Roibin, mitos pada satu sudut keberadaannya muncul sebagai
sebuah ungkapan psikis manusia yang berkeinginan mendapat suatu keteraturan,
kebahagiaan, atau kesejahteraan (cosmos). Namun, pada sudut yang lain mitos
muncul atas dasar kekhawatiran atau ketakutannya terhadap ketidak teraturan,
musibah, atau kekuatan murka alam semesta (chaos). Bagi mereka yang meyakini
hal tersebut, agar apa yang diharapkan dapat terwujud, maka mereka kemudian
mengkonstruk keyakinan itu dengan menghadirkan kekuatan adikodrati (myth), yaitu
hubungan relasional antara diri dengan Tuhannya dengan membuat renungan
filosofis atas makna kehidupan, kematian, takdir, dan lain sebagainya. Proses

24
Roibin, Roibin, Relasi Agama Dan Budaya Masyarakat Kontemporer, Malang: UIN Malang Press,
2009, 93.
25
Roibin, Agama dan Mitos: Dari Imajinasi Kreatif Menuju Realitas Yang Dinamis, jurnal El-Harkah
Vol. 12, No.2 Tahun 2010, 90.
26
Roibin, Relasi Agama Dan Budaya Masyarakat Kontemporer, Malang: UIN Malang Press, 2009,
93.
tersebut kemudian dibangun dengan mengadakan upacara (ritual) yang merupakan
artikulasi intuitif, magis, dan mistis terhadap hakikat simbol tersebut secara intens.
Dengan begitu, ritual berfungsi untuk menghidupkan dan memperkuat kembali
keyakinannya terhadap mitos tersebut.27
Bertolak dari apa yang telah dikemukakan terkait dengan fungsi dan urgensi
mitos di atas, selanjutnya akan ditampakkan apakah benar ternyata mitos memiliki
peran penting terhadap etos kerja SDM (Sumber Daya Manusia) dalam
perkembangan, baik keilmuan maupun kelembagaan UIN Malang. Mengingat,
bahwa apa yang telah diraih oleh UIN Malang ini merupakan sebuah hal yang bisa
dikatakan tidak masuk di akal sebelumnya. Sebenarnya, kajian mitos terhadap
perkembangan UIN Malang ini telah banyak dibahas oleh Dr. Roibin dalam setiap
karya-karya beliau. Dalam kajiannya tersebut, secara garis besar memiliki
kesimpulan bahwa etos kerja dan keberhasilan yang dimiliki UIN Malang tidak
terlepas dari yang namanya unsur mitos.
Sebelumnya dikatakan oleh Roibin, bahwa lembaga manapun yang
mengalami kemajuan signifikan, di antaranya pasti diawali dari sikap kreatif dan
inovatif pemimpinnya. Tentu keyakinan itu diwujudkan dalam bentuk pengawalan
secara berulang-ulang dan istiqamah hingga menjadikannya sebuah kekuatan mitos.
Bagi beliau mitos bukanlah hanya sebuah cerita atau legenda yang sarat dengan
unsur khayalan itu saja. Namun mitos juga termasuk kreasi inovatif-konstruktif dari
seseorang yang diinspirasi oleh realitas dengan cara tilawatu al-ayat, baik tilawah
terhadap realitas teks (wahyu) maupun tilawah konteks (alam). Dengan begitu,
mereka telah menjadikan realitas sebagai objek inspiratif untuk melahirkan gagasan-
gagasan baru, impian-impian baru, cita-cita baru. Demikian itulah yang kemudian
Roibin sebut sebagai “model of reality” (konsepsi impian berdasarkan realitas).
Sebaliknya, ketika hasil gagasan baru yang diperoleh kemudian disosialisasikan
secara berulang-ulang, ia akan memanifestasi menjadi mitos/ model/ contoh
paradigmatik bagi realitas ”model for reality. Argumentasi inilah yang kemudian

27
Roibin, Relasi Agama Dan Budaya Masyarakat Kontemporer, Malang: UIN Malang Press, 2009,
105.
menjadi argument dasar Roibin untuk mengatakan bahwa mitos dan realitas dalam
kenyataannya tidak bisa dipisahkan.28
Apabila kita bandingkan dengan pandangan Roland Barthes (ahli semiologi)
dalam bukunya yang berjudul Mythologies ia mengatakan, bahwa mitos ialah suatu
bentuk pesan atau tuturan yang harus diyakini kebenarannya tetapi tidak dapat
dibuktikan.29 Mitos merupakan suatu objek komunikasi yang digunakan untuk
menyampaikan suatu pesan makna secara tersirat (konotasi), bukan tersurat
(denotasi). Dalam artian bahwa dari sebuah tuturan yang disampaikan tersebut,
dalam menanggapinya, yang paling penting dari mitos adalah maknanya, bukan
konsepnya, dan tak penting pula kenyataannya (denotasi). Dari sebuah simbol pohon,
yang paling penting bukanlah gambaran pohonnya, namun lebih pada makna apa
yang terkandung dari sebuah pohon tersebut, seperti pemaknaan konservasi alam
atau lingkungan atau bahkan sebuah kultur budaya yang sebenarnya ingin
disampaikannya misalnya. 30
Dalam konstruk mitos, tidak hanya terkandung dalam sebuah system verbal
(oral), namun juga pada gambar/lukisan, patung, fotografi, tulisan, ataupun dalam
sebuah iklan.31 Dengan begitu, dalam hal ini mitos tidak dapat dikatakan hanya
sebagai suatu objek, konsep, atau ide yang stagnan tetapi sebagai suatu modus
signifikasi (denotasi menuju konotasi). Maka bagi Barthes, mitos tergolong dalam
suatu bidang pengetahuan ilmiah, yakni semiologi (bidang semiotik). 32
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan di atas, apabila kita telusuri kepada
pengalaman perkembangan keilmuan UIN Malang, ternyata banyak sekali mitos-
mitos yang tercipta dan berkembang. Seperti tuturan seorang Prof. Imam Supraygo

28
Roibin, Mitos Dan Etos: Tren Paradigma Pengembangan UIN Maliki Kini Dan Akan Datang,
http://syariah.uin-malang.ac.id/index.php/komunitas/blog-fakultas/entry/mitos-dan-etos-tren-
paradigma-pengembangan-uin-maliki-kini-dan-akan-datang, diakses pada tanggal 15 Oktober 2019.
29
Sri Iswidayati, Roland Barthes Dan Mithologi,
https://www.academia.edu/33516518/ROLAND_BARTHES_DAN_MITHOLOGI, jurnal, diakses
pada tanggal 16 Oktober 2019, 4.
30
Isnaini Rahmawati, Semiotik Teks Roland Barthes Dalam Kehidupan Kontemporer Umat Beragama
Mengenai Fenomena Padu Padan Kebaya, Tamaddun: Jurnal Kebudayaan dan Sastra Islam Vol.17,
No. 2, 2017, 4.
31
Isnaini Rahmawati, Semiotik Teks Roland Barthes Dalam Kehidupan Kontemporer Umat Beragama
Mengenai Fenomena Padu Padan Kebaya, Tamaddun: Jurnal Kebudayaan dan Sastra Islam Vol.17,
No. 2, 2017, 3-4.
32
Sri Iswidayati, Roland Barthes Dan Mithologi,
https://www.academia.edu/33516518/ROLAND_BARTHES_DAN_MITHOLOGI, jurnal, diakses
pada tanggal 16 Oktober 2019, 5.
misalnya. Dalam bahasan sebelumnya, dikatakan bahwa Suprayogo meyakini atas
tuturannya “seberapapun banyaknya penghargaan yang telah didapat kampus ini,
apabila tanpa adanya rasa syukur, maka keberkahan adalah hal yang mustahil
baginya”.33
Apabila kita telaah kembali atas kata/tuturan ini secara denotasi (tersurat),
maka tak kan menampakkan makna secara mendalam. Bagaimana bisa sebuah
keberkahan atau kesuksesan seseorang/lembaga digantungkan dengan hanya sebuah
rasa syukur? Tentu, hal ini akan bisa dijawab dengan materi keagamaan. Namun,
bagi kalangan yang tak mengenal berkah, apakah ia bisa memahami perkataan
tersebut? Lain halnya ketika tuturan itu kemudian dimaknai dengan makna keduanya
(konotasi). Maka, akan bermakna bahwa bagi orang-orang yang tak mengenal rasa
syukur, rasa puas, rasa berterimakasih terhadap orang-orang yang membantu
kesuksesannya, niscaya ia tidak akan mendapatkan sebuah nilai tambah, nilai
kebajikan, yang sifatnya moral, akhlak atau keberadaban sebagai manusia. Atau
begitupun dengan makna konotasi-konotasi yang berkaitan lainnya.
Tradisi mitos lainnya di UIN Malang yang dapat dicontohkan ialah
sebagaimana yang telah dikaji oleh Dr. Roibin dalam jurnalnya. Beliau menilai
bahwa “paradigma pohon ilmu” dengan lambang Ulul Albabnya pada dasarnya
merupakan satu dari banyaknya impian imajinatif yang telah termanifestasi dan
dikonsep secara sistematis-filosofis oleh Prof. Imam Sprayogo. Dengan
keyakinannya dalam menilai bahwa paradigma itu akan membawa makna bagi
realitas, maka “paradigma pohon ilmu” itu selalu dikawal oleh Suprayogo secara
istiqamah (konsisten), dan dijelaskan secara berulang-ulang kepada khalayak ramai,
baik di lingkungan internal maupun eksternal UIN Malang.34
Menurut Roibin, hal tersebut telah merupakan sebagian dari adanya
konstruktif mitos berikut dengan pendekatan-pendekatannya, mulai dari bagaimana
proses imajinasinya hingga konsistensi cara pengawalan produk imajinasi tersebut.
Hingga pada akhirnya, “pohon ilmu” ini menjadi sebuah model paradigmatik, yang
kemudian menguatkan nilai unsur mitos, seiring dengan banyaknya lembaga

33
Baca halaman 6.
34
Roibin, Mitos Dan Etos: Tren Paradigma Pengembangan UIN Maliki Kini Dan Akan Datang,
http://syariah.uin-malang.ac.id/index.php/komunitas/blog-fakultas/entry/mitos-dan-etos-tren-
paradigma-pengembangan-uin-maliki-kini-dan-akan-datang, diakses pada tanggal 15 Oktober 2019.
pendidikan yang berkiblat padanya. Tentu, seperti yang telah dijelaskan Roibin
sebelumnya pula, dalam konstruksi mitos tidaklah afdhol jika keyakinan itu tidak
dibarengi dengan sebuah ritual-ritual sebagai bahan bakarnya. Dengan begitu
menurutnya, untuk mengefektifkan keberlanjutan serta menguatkan keyakinan mitos
dalam batin setiap individu masyarakatnya, maka perlu didukung dengan nilai
spiritual dan supranatural lainnya. Seperti di UIN Malang contohnya, diadakannya
kegiatan rutinan istighatsah, khotmul Qur`an, begitupun juga dengan diadakannya
penyediaan sarana kebudayaan mitis, pembangunan prasasti Wali Songo misalnya.35
Selain daripada itu, hal yang menurut Roibin juga termasuk mitos adalah
Visi-Misi kelembagaan. Baginya Visi-Misi yang merupakan produk imajinasi
tersebut, meskipun sifat keberadaannya ialah abstrak, tentu pengonstruk visi-misi
meyakini bahwa ia akan membawa nilai idealitas yang luhur dan mulia bagi realitas.
Hal inilah, yang akan menjadikan spirit etos kerja bagi pelakunya untuk kemudian
bertekad menjadikannya sebagai hal (motivasi) kongkrit bagi relalitas. Yang
kemudian tidak menjadikan pelaku semata-mata berorientasi pada ranah-ranah
pragmatis-materialistik dan matematis.36
Dengan berdasarkan apa yang telah dikaji di atas, pada dasarnya mitos yang
diyakini dalam keberhidupan manusia akan menjadikan spirit etos menjadi
maksimal. Baik berwujud tuturan (pesan), maupun konstrusi imajinasi yang dikonsep
begitu intens, ketika ia dijalankan dengan spirit untuk mewujudkannya menjadi
sebuah hal yang kongkrit (realitas), maka mitos sesungguhnya telah terkonstruksi.
Pun sebaliknya, ketika impian-impian imajinasi yang telah dikonstruksi itu tidak
berhasil menjadi sebuah hal yang kongkrit, maka ia akan mengakibatkannya berubah
menjadi sebuah mitologi yang sarat dengan khayalan, angan-angan, atau semacam
fiktif belaka.

35
Roibin, Mitos Dan Etos: Tren Paradigma Pengembangan UIN Maliki Kini Dan Akan Datang,
http://syariah.uin-malang.ac.id/index.php/komunitas/blog-fakultas/entry/mitos-dan-etos-tren-
paradigma-pengembangan-uin-maliki-kini-dan-akan-datang, diakses pada tanggal 15 Oktober 2019.
36
Roibin, Mitos Dan Etos: Tren Paradigma Pengembangan UIN Maliki Kini Dan Akan Datang,
http://syariah.uin-malang.ac.id/index.php/komunitas/blog-fakultas/entry/mitos-dan-etos-tren-
paradigma-pengembangan-uin-maliki-kini-dan-akan-datang, diakses pada tanggal 15 Oktober 2019.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam mengintegrasikan ilmu dan agama berdasarkan basis kurikulum
Perguruan Tinggi, Imam Suprayogo mengembangkan paradigma keilmuan UIN
Malang dengan menciptakan konsepsi metafora “Pohon Ilmu” dalam proyeknya. Hal
tersebut dikonstruksikan sebagai upaya untuk mengakhiri paham dikotomi keilmuan,
sehingga menjadikan sebuah pengintegrasian ilmu secara komprehensif dan holistik,
serta sebagai upaya untuk menghadapi tuntutan perkembangan zaman yang semakin
masif.
Dalam perjalanan pengalaman perkembangan keilmuan UIN Malang ternyata
disamping terdapat nilai tradisi-tradisi keilmuan, tidak terlepas pula oleh
intensifitasnya terhadap aktifitas tradisi-tradisi ritus keagamaan. UIN Malang sebagai
Perguruan Tinggi Islam tentu menghadirkan segala macam ritus keagamaan yang
diwajibkan berdasarkan ajaran keagamaannya, layaknya agama lain. Selain daripada
itu, pesatnya perkembangan keilmuan yang dimiliki UIN Malang, tidak dapat
mengabaikan atas dasar hasil kreatifitas imajinasi dan inovasi sang pemimpin. Selain
itu pula, dalam pengalamannya, UIN Malang ternyata memiliki begitu banyak mitos
yang berkembang dan sangat berperan penting dalam perkembangan keilmuan,
begitu pula perkembangan kelembagaannya.
Mitos yang pada hakikatnya merupakan sebuah tuturan (perkataan) yang
berisikan pesan (message), sebenarnya memiliki nilai positif bagi kehidupan.
Konstruksi mitos yang bermula dari imajinasi, impian, cita-cita ideal manusia tentu
diharapkan mampu menjadi hal yang kongkrit dan bermanfaat bagi realitas. Hal
tersebut telah menunjukkan kepada kita, bahwa impian, imajinasi ideal yang telah
dikonstruksi tersebut, kemudian akan menjadi sebuah nilai spirit (motivasi) dalam
etos kerja seorang pelaku, agar kemudian dapat terwujud menjadi pencapaian yang
kongkrit bagi realitas (mitos). Pun sebaliknya, ketika impian-impian imajinasi yang
telah dikonstruksi itu tidak berhasil menjadi sebuah hal yang kongkrit, maka ia akan
mengakibatkannya berubah menjadi sebuah mitologi yang sarat dengan khayalan,
angan-angan, atau semacam fiktif belaka. Dengan begitu, relasionalitas antara mitos
dan etos dalam berkehidupan sangat begitu kuat sifatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Imam Suprayogo, Membangun Integrasi Ilmu Dan Agama, https://www.uin-
malang.ac.id/r/160901/membangun-itegrasi-ilmu-dan-agama-pengalaman-uin-
maulana-malik-ibrahim-malang.html, diakses pada tanggal 15 Oktober 2019.

Imam Suprayogo, Paradigma Pengembangan Keilmuan Islam Perspektif UIN


Malang, cet. Pertama. Malang: UIN Malang Press, 2006.

Imam Suprayogo, Universitas Islam Unggul, Malang: UIN Malang Press, 2009.

Isnaini Rahmawati, Semiotik Teks Roland Barthes Dalam Kehidupan Kontemporer


Umat Beragama Mengenai Fenomena Padu Padan Kebaya, Tamaddun: Jurnal
Kebudayaan dan Sastra Islam Vol.17, No. 2, 2017.

Maksudin, Paradigma Agama dan Sains Nondikotomik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


2013.

Mohammad Muslih, Tren Pengembangan Ilmu Di Universitas Islam Negeri Maulana


Malik Ibrahim Malang, Jurnal Tasawuf Dan Pemikiran Islam: UNIDA, Vol.6,
No.1, Juni 2016.

Roibin, Agama dan Mitos: Dari Imajinasi Kreatif Menuju Realitas Yang Dinamis,
jurnal El-Harkah Vol. 12, No.2 Tahun 2010.

Roibin, Di Balik Misteri Mitos Dan Etos Sang Pemimpi, http://syariah.uin-


malang.ac.id/index.php/komunitas/blog-fakultas/entry/di-balik-misteri-mitos-
dan-etos-sang-pemimpi, diakses pada tanggal 15 Oktober 2019.

Roibin, Mitos Dan Etos: Tren Paradigma Pengembangan UIN Maliki Kini Dan Akan
Datang,http://syariah.uin-malang.ac.id/index.php/komunitas/blog-
fakultas/entry/mitos-dan-etos-tren-paradigma-pengembangan-uin-maliki-kini-
dan-akan-datang, diakses pada tanggal 15 Oktober 2019.

Roibin, Relasi Agama Dan Budaya Masyarakat Kontemporer, Malang: UIN Malang
Press, 2009.

Sri Iswidayati, Roland Barthes Dan Mithologi,


https://www.academia.edu/33516518/ROLAND_BARTHES_DAN_MITHOL
OGI, jurnal, diakses pada tanggal 16 Oktober 2019.

Suryadharma Ali, Reformasi Paradigma Keilmuan Islam, Malang: UIN Maliki Press,
2013.

Zainuddin, Roibin, dan Muhammad In`am Esha, Memadu Sains Dan Agama:
Menuju Universitas Islam Masa Depan, Malang: Bayumedia Publishing,
Cetakan Kedua, 2004.

Anda mungkin juga menyukai