Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

FILSAFAT ILMU

Dosen pengampu:
Suhari, M. S. I

Disusun oleh:

Kelompok 12

Sherin Novisyah (102.2019.030)

Suriani (102.2019.031)

Uray Sarmila (102.2019.033)

Ika Fitriana (102.2019.057)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


FAKULTAS TARBIYAH & ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM SULTAN MUHAMMAD SYAFIUDIN SAMBAS
TAHUN AKADEMIK 2019/2020

i
KATA PENGANTAR
Puji Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa Karena berkat limpahan karuniaNya kami
dapat menyelesaikan makalah Filsafat Ilmu ini.
Dalam proses penyusunan makalah ini, tentunya kami mendapatkan bimbingan,
arahan, koreksi, dan saran. Untuk itu rasa terima kasih yang dalam kepada yang
terhormat :
Dosen pengampu mata kuliah Filsafat Ilmu.
Kami menyadari bahwa sebagai manusia biasa tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan. Maka dari itu, Penulis juga sangat mengaharapkan kritik dan saran dari
teman-teman sehingga kami dapat memperbaiki kesalahan-kesalahan dalam penyusunan
makalah selanjutnya.
Demikian makalah ini, semoga bermanfaat bagi kita semua. “Amin”

Penulis

ii
DAFTAR ISI
MAKALAH........................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................3
C. Tujuan.....................................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................4
A. Implikasi Filsafat Ilmu dalam Pengembangan.......................................................4
B. Implementasi Filsafat Ilmu Dalam Pendidikan.....................................................9
C. Implikasi Pendidikan Terhadap Manajemen Pendidikan.....................................11
D. Implikasi dan Implementasi Filsafat Ilmu di Dalam Pengembangan Keilmuan..12
E. Penerapan Filsafat Ilmu dalam Pengembangan Keilmuan...................................14
BAB III PENUTUP.........................................................................................................19
A. Kesimpulan...........................................................................................................19
F. Saran.....................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................21

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perjalanan panjang pendidikan islam yang telah tumbuh berkembang hingga saat
ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran tokohtokoh penggeraknya dalam
melaksanakan sistem pembelajaran yang ada pada lembaga pendidikannya.
Pemikiran tokoh penggerak pendidikan didorong oleh persinggungan antara realitas
social cultural yang dihadapi tokoh tersebut dengan pemikiran agama yang mereka
anut.
Peradapan Islam tidak lain adalah suatu hasil dari akumulasi perjalanan
pergumulan penganut agama Islam ketika berhadapan dengan proses dialektis antara
“normativis” ajaran wahyu yang permanen dan “historitas” pengalaman
kekhalifahan manusia di muka bumi yang selalu berubah-rubah1.
Pendidikan Islam merupakan suatu bidang keilmuan yang sangat memerlukan
upaya penelitian secara continue atau terus-menerus. Penelitian tersebut mencakup
banyak hal, seperti administrasi, kurikulum, kelembagaan, organisasi, kebijakan,
proses belajar mengajar, sampai kepada pelaku pendidikan itu sendiri, yakni guru,
bahkan penelitian terhadap keilmuan yang diajarkan. Pendidikan yang dilaksanakan
berdasarkan penelitian ini dapat dipastikan akan mampu mengidentifikasi potensi
yang dimilikinya serta keluar dari kemelut yang dihadapi dengan sejumlah alternatif
solusi yang diperoleh melalui hasil penelitian (research based knowledge).2
Pendidikan Islam dalam teori dan praktek selalu mengalami perkembangan, hal
ini disebabkan karena pendidikan Islam secara teoritik memiliki dasar dan sumber
rujukan yang tidak hanya berasal dari nalar, melainkan juga wahyu. Kombinasi
nalar dengan wahyu ini adalah ideal, karena memadukan antara potensi akal
manusia dan tuntunan firman Allah SWT, terkait dengan masalah pendidikan.
Kombinasi ini menjadi ciri khas pendidikan Islam yang tidak dimiliki oleh konsep
1
M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 3.
2
Abd. Rachman Assegaf, “Reorientasi Tradisi Keilmuan Pendidikan Islam dalam
Perspektif Hadharah Al-‘Ilm” dalam Ontologi Pendidikan Islam, Nizar Ali (ed.)(Yogyakarta:
Penerbit Idea Press Yogyakarta, 2010), hlm. 20.

1
pendidikan pada umumnya yang hanya mengandalkan kekuatan akal dan budaya
manusia3.
Kemunculan Islam dalam pentas sejarah telah membebaskan nalar-pikir para
pendidik dan ahli pendidikan dari ragam sekat yang memasung untuk kemudian
kembali pada paradigma Islam. Dengan begitu, euforia pemikiran yang berkembang
menjadi penuh dan saling melengkapi sejak dari wilayah Thus, Nishapur, Qabis,
Qaeruwan, Baghdad, Damaskus hingga Kairo dan wilayah-wilayah lainnya.
Sungguh, orientasi “keislaman" pada saat itu berimplikasi kuat terhadap pendidikan
Islam di kalangan umat Islam. Pemikiran pendidikan kental dengan trend nuansa
agamisnya, sehingga trend lain menjadi tidak dominan. Di saat seseorang dalam
menafsirkan realitas dunia berpangkal pada agama, maka wajar dan logis bila agama
sangat menjiwai pola pikir dan cara pandangnya hingga pendidikan pun
dijadikannya sebagai instrument terencana untuk mencapai tujuan. Jadi, para
pendidik dan ahli pendidikan Muslim, setelah menjadikan tujuan keagamaan sebagai
tujuan pendidikan, menyingsingkan lengan baju untuk mengarahkan segenap
potensi diri menuju ke arah tujuan tersebut4.
Pengetahuan ilmiah diperoleh secara sadar, aktif, sistematis, jelas prosesnya
secara prosedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak, kemudian diakhiri dengan
verifikasi atau diuji kebenaran (validitas) ilmiahnya. Sedangkan pengetahuan yang
prailmiah, walaupun sesungguhnya diperoleh secara sadar dan aktif, namun bersifat
acak, yaitu tanpa metode, apalagi yang berupa intuisi, sehingga tidak dimasukkan
dalam ilmu. Dengan demikian, pengetahuan pra-ilmiah karena tidak diperoleh
secara sistematis-metodologis ada yang cenderung menyebutnya sebagai
pengetahuan “naluriah”. Dalam sejarah perkembangannya, di zaman dahulu yang
lazim disebut tahap-mistik, tidak terdapat perbedaan di antara
pengetahuanpengetahuan yang berlaku juga untuk obyek-obyeknya. Pada tahap
mistik ini, sikap manusia seperti dikepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di
3
Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam: Paradikma Baru Pendidikan Haidhari
Berbasis Integratif-Interkonektif, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 2
4
Muhammad Jawwad Rido, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam, terjemah
Mahmut Arif, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002), hlm. 59, 60

2
sekitarnya, sehingga semua obyek tampil dalam kesemestaan dalam artian satu sama
lain berdifusi menjadi tidak jelas batas-batasnya. Tiadanya perbedaan di antara
pengetahuan-pengetahuan itu mempunyai implikasi sosial terhadap kedudukan
seseorang yang memiliki kelebihan dalam pengetahuan untuk dipandang sebagai
pemimpin yang mengetahui segala-galanya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana implikasi dan implementasi filsafat ilmu dalam pengembangan
keilmuan?
2. Bagaimana implikasi dan implementasi filsafat ilmu dalam pengembangan
pendidikan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui implikasi dan implementasi filsafat ilmu dalam
pengembangan keilmuan.
2. Untuk mengetahui implikasi dan implementasi filsafat ilmu dalam
pengembangan pendidikan.

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Implikasi Filsafat Ilmu dalam Pengembangan
1. Pengertian
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia: Implikasi adalah keterlibatan
Dengan demikian Implikasi filsafat ilmu dalam pendidikan adalah keterlibatan
filsafat imu dalam mengembangkan pendidikan.
Beberapa ajaran filsafat yang  telah mengisi dan tersimpan dalam khasanah
ilmu adalah:
a. Materialisme, yang berpendapat bahwa kenyatan yang sebenarnya adalah
alam semesta badaniah. Aliran ini tidak mengakui adanya kenyataan
spiritual. Aliran materialisme memiliki dua variasi yaitu materialisme
dialektik dan materialisme humanistis.
b. Idealisme yang berpendapat bahwa hakikat kenyataan dunia adalah ide yang
sifatnya rohani atau intelegesi. Variasi aliran ini adalah idealisme subjektif
dan idealisme objektif.
c. Realisme. Aliran ini berpendapat bahwa dunia batin/rohani dan dunia materi
murupakan hakitat yang asli dan abadi.
d. Pragmatisme merupakan aliran paham dalam filsafat yang tidak bersikap
mutlak (absolut) tidak doktriner tetapi relatif tergantung kepada kemampuan
minusia.
2. Konsep Filsafat Umum Idiologis
a. Metafisika
Metafisika adalah cabang filsafat yang mempelajari atau membahas hakikat
realitas (segala sesuatu yang ada) secara menyelurh (komprehensif).
b. Hakikat Realistas
Para filsuf idealis mengklaim bahwa hakikat realitas bersifat spiritual atau
ideal. Bagi penganut idealisme, realitas diturunkan dari suatu substansi
fundamental, adapun substansi fundamental itu sifatnya nonmaterial, yaitu

4
pikiran/spirit/roh. Benda-benda yang bersifat material yang tampak nyata,
sesungguhnya diturunkan dari pikiran/jiwa/roh.
c. Hakikat Manusia
Menurut para filsuf idealisme bahwa manusia hakikatnya bersifat
spiritual/kejiwaan. Menurut Plato, setiap manusia memiliki tiga bagian jiwa,
yaitu nous (akal fikiran) yang merupakan bagian rasional, thumos (semangat
atau keberanian), dan epithumia (keinginan, kebutuhan atau nafsu). Dar
ketiga bagian jiwa tersebut akan muncul salah satunya yang dominan. Jadi,
hakikat manusia bukanlah badannya, melainkan jwa/spiritnya, manusia
adalah makhluk berfikir, mampu memilih atau makhluk yang memiliki
kebebasan, hidup dengan suatu aturan moral yang jelas dan bertujuan.
3. Aliran-Akiran Filsafat Pendidikan
Beberapa aliran filsafat pendidikan:
a. Filsafat pendidikan progresivisme. yang didukung oleh filsafat pragmatisme.
Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman
menurut progresivisme bersifat dinamis dan temporal; menyala. tidak pernah
sampai pada yang paling ekstrem, serta pluralistis. Menurut progresivisme, nilai
berkembang terus karena adanya pengalaman-pengalaman baru antara individu
dengan nilai yang telah disimpan dalam kehudayaan. Belajar berfungsi untuk
:mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks.  Kurikulum yang
baik adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu
dapat disesuaikan dengan kebutuhan.
b. Filsafat pendidikan esensialisme. yang didukung oleh idealisme dan
realisme.
Tokoh aliran idealisme adalah Plato (427-374 SM), murid Sokrates. Aliran
idealisme merupakan suatu aliran ilmu filsafat yang mengagungkan jiwa.
Menurutnya, cita adalah gambaran asli yang semata-mata bersifat rohani dan
jiwa terletak di antara gambaran asli (cita) dengan bayangan dunia yang
ditangkap oleh panca indera. Pertemuan antara jiwa dan cita melahirkan suatu
angan-angan yaitu dunia idea. Aliran ini memandang serta menganggap bahwa

5
yang nyata hanyalah idea. Idea sendiri selalu tetap atau tidak mengalami
perubahan serta penggeseran, yang mengalami gerak tidak dikategorikan idea.
Keberadaan idea tidak tampak dalam wujud lahiriah, tetapi gambaran yang
asli hanya dapat dipotret oleh jiwa murni. Alam dalam pandangan idealisme
adalah gambaran dari dunia idea, sebab posisinya tidak menetap. Sedangkan
yang dimaksud dengan idea adalah hakikat murni dan asli. Keberadaannya
sangat absolut dan kesempurnaannya sangat mutlak, tidak bisa dijangkau oleh
material. Pada kenyataannya, idea digambarkan dengan dunia yang tidak
berbentuk demikian jiwa bertempat di dalam dunia yang tidak bertubuh yang
dikatakan dunia idea.
Plato yang memiliki filsafat beraliran idealisme yang realistis
mengemukakan bahwa jalan untuk membentuk masyarakat menjadi stabil adalah
menentukan kedudukan yang pasti bagi setiap orang dan setiap kelas menurut
kapasitas masin-masing dalam masyarakat sebagai keseluruhan. Mereka yang
memiliki kebajikan dan kebijaksanaan yang cukup dapat menduduki posisi yang
tinggi, selanjutnya berurutan ke bawah. Misalnya, dari atas ke bawah, dimulai
dari raja, filosof, perwira, prajurit sampai kepada pekerja dan budak. Yang
menduduki urutan paling atas adalah mereka yang telah bertahun-tahun
mengalami pendidikan dan latihan serta telah memperlihatkan sifat
superioritasnya dalam melawan berbagai godaan, serta dapat menunjukkan cara
hidup menurut kebenaran tertinggi.
Mengenai kebenaran tertinggi, dengan doktrin yang terkenal dengan istilah
ide, Plato mengemukakan bahwa dunia ini tetap dan jenisnya satu, sedangkan
ide tertinggi adalah kebaikan. Tugas ide adalah memimpin budi manusia dalam
menjadi contoh bagi pengalaman. Siapa saja yang telah menguasai ide, ia akan
mengetahui jalan yang pasti, sehingga dapat menggunakan sebagai alat untuk
mengukur, mengklasifikasikan dan menilai segala sesuatu yang dialami sehari-
hari.
c. Filsafat pendidikan perenialisme yang didukung oleh idealisme.

6
Kadangkala dunia idea adalah pekerjaan rohani yang berupa angan-angan
untuk mewujudkan cita-cita yang arealnya merupakan lapangan metafisis di luar
alam yang nyata. Menurut Berguseon, rohani merupakan sasaran untuk
mewujudkan suatu visi yang lebih jauh jangkauannya, yaitu intuisi dengan
melihat kenyataan bukan sebagai materi yang beku maupun dunia luar yang tak
dapat dikenal, melainkan dunia daya hidup yang kreatif (Peursen, 1978:36).
Aliran idealisme kenyataannya sangat identik dengan alam dan lingkungan
sehingga melahirkan dua macam realita. Pertama, yang tampak yaitu apa yang
dialami oleh kita selaku makhluk hidup dalam lingkungan ini seperti ada yang
datang dan pergi, ada yang hidup dan ada yang demikian seterusnya. Kedua,
adalah realitas sejati, yang merupakan sifat yang kekal dan sempurna (idea),
gagasan dan pikiran yang utuh di dalamnya terdapat nilai-nilai yang murni dan
asli, kemudian kemutlakan dan kesejatian kedudukannya lebih tinggi dari yang
tampak, karena idea merupakan wujud yang hakiki.
Prinsipnya, aliran idealisme mendasari semua yang ada. Yang nyata di alam
ini hanya idea, dunia idea merupakan lapangan rohani dan bentuknya tidak sama
dengan alam nyata seperti yang tampak dan tergambar. Sedangkan ruangannya
tidak mempunyai batas dan tumpuan yang paling akhir dari idea adalah arche
yang merupakan tempat kembali kesempurnaan yang disebut dunia idea dengan
Tuhan, arche, sifatnya kekal dan sedikit pun tidak mengalami perubahan.
Inti yang terpenting dari ajaran ini adalah manusia menganggap roh atau
sukma lebih berharga dan lebih tinggi dibandingkan dengan materi bagi
kehidupan manusia. Roh itu pada dasarnya dianggap suatu hakikat yang
sebenarnya, sehingga benda atau materi disebut sebagai penjelmaan dari roh
atau sukma. Aliran idealisme berusaha menerangkan secara alami pikiran yang
keadaannya secara metafisis yang baru berupa gerakan-gerakan rohaniah dan
dimensi gerakan tersebut untuk menemukan hakikat yang mutlak dan murni
pada kehidupan manusia. Demikian juga hasil adaptasi individu dengan individu
lainnya. Oleh karena itu, adanya hubungan rohani yang akhirnya membentuk
kebudayaan dan peradaban baru (Bakry, 1992:56). Maka apabila kita

7
menganalisa pelbagai macam pendapat tentang isi aliran idealisme, yang pada
dasarnya membicarakan tentang alam pikiran rohani yang berupa angan-angan
untuk mewujudkan cita-cita, di mana manusia berpikir bahwa sumber
pengetahuan terletak pada kenyataan rohani sehingga kepuasaan hanya bisa
dicapai dan dirasakan dengan memiliki nilai-nilai kerohanian yang dalam
idealisme disebut dengan idea.
Memang para filosof ideal memulai sistematika berpikir mereka dengan
pandangan yang fundamental bahwa realitas yang tertinggi adalah alam pikiran
(Ali, 1991:63). Sehingga, rohani dan sukma merupakan tumpuan bagi
pelaksanaan dari paham ini. Karena itu alam nyata tidak mutlak bagi aliran
idealisme. Namun pada porsinya, para filosof idealisme mengetengahkan
berbagai macam pandangan tentang hakikat alam yang sebenarnya adalah idea.
Idea ini digali dari bentuk-bentuk di luar benda yang nyata sehingga yang
kelihatan apa di balik nyata dan usaha-usaha yang dilakukan pada dasarnya
adalah untuk mengenal alam raya. Walaupun katakanlah idealisme dipandang
lebih luas dari aliran yang lain karena pada prinsipnya aliran ini dapat
menjangkau hal-ihwal yang sangat pelik yang kadang-kadang tidak mungkin
dapat atau diubah oleh materi, Sebagaimana Phidom mengetengahkan, dua
prinsip pengenalan dengan memungkinkan alat-alat inderawi yang difungsikan
di sini adalah jiwa atau sukma. Dengan demikian, dunia pun terbagi dua yaitu
dunia nyata dengan dunia tidak nyata, dunia kelihatan (boraton genos) dan dunia
yang tidak kelihatan (cosmos neotos). Bagian ini menjadi sasaran studi bagi
aliran filsafat idealisme (Van der Viej, 2988:19).
Plato dalam mencari jalan melalui teori aplikasi di mana pengenalan
terhadap idea bisa diterapkan pada alam nyata seperti yang ada di hadapan
manusia. Sedangkan pengenalan alam nyata belum tentu bisa mengetahui apa di
balik alam nyata. Memang kenyataannya sukar membatasi unsur-unsur yang ada
dalam ajaran idealisme khususnya dengan Plato. Ini disebabkan aliran
Platonisme ini bersifat lebih banyak membahas tentang hakikat sesuatu daripada
menampilkannya dan mencari dalil dan keterangan hakikat itu sendiri. Oleh

8
karena itu dapat kita katakan bahwa pikiran Plato itu bersifat dinamis dan tetap
berlanjut tanpa akhir. Tetapi betapa pun adanya buah pikiran Plato itu maka ahli
sejarah filsafat tetap memberikan tempat terhormat bagi sebagian pendapat dan
buah pikirannya yang pokok dan utama.
Antara lain Betran Russel berkata: Adapun buah pikiran penting yang
dibicarakan oleh filsafat Plato adalah: kota utama yang merupakan idea yang belum
pernah dikenal dan dikemukakan orang sebelumnya. Yang kedua, pendapatnya
tentang idea yang merupakan buah pikiran utama yang mencoba memecahkan
persoalan-persoalan menyeluruh persoalan itu yang sampai sekarang belum
terpecahkan. Yang ketiga, pembahasan dan dalil yang dikemukakannya tentang
keabadian. Yang keempat, buah pikiran tentang alam/cosmos, yang kelima,
pandangannya tentang ilmu pengetahuan (Ali, 1990:28).
Plato adalah generasi awal yang telah membangun prinsip-prinsip filosofi aliran
idealis. George WE Hegel kemudian merumuskan aliran idealisme ini secara
komprehensif ditinjau secara filosofi maupun sejarah. Tokoh-tokoh lain yang juga
mendukung aliran idealisme antara lain Plotinus, George Berkeley, Leinbiz, Fichte,
dan Schelling serta Kant. Ilmuan Islam yang sejalan dengan idealisme adalah Imam
Al Ghozali.
Konsep dasar Aliran Idealisme
Menurut paham Idealisme bahwa yang sesungguhnya nyata adalah ruh, mental
atau jiwa. Alam semesta ini tidak akan berarti apa-apa jika tidak ada manusia yang
punya kecerdasan dan kesadaran atas keberadaannya. Materi apapun ada karena
diindra dan dipersepsikan oleh otak manusia. Waktu dan sejarah baru ada karena
adanya gambaran mental hasil pemikiran manusia. Dahulu, sekarang atau nanti
adalah gambaran mental manusia. Ludwig Noiré berpendapat "The only space or
place of the world is the soul," and "Time must not be assumed to exist outside the
soul”.
B. Implementasi Filsafat Ilmu Dalam Pendidikan
1. Pengertian

9
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia: Implementasi adalah penerapan
Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta
didik baik potensi fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu
menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan
adalah cita-cita kemanusiaan universal. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang
digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan.
Jadi implementasi filsafat ilmu dalam pendidikan adalah penerapan filsafat
ilmu dalam upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik
baik potensi fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi
nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya.
2. Implementasi Terhadap Pendidikan
Aliran filsafat idealisme terbukti cukup banyak memperhatikan masalah-
masalah pendidikan, sehingga cukup berpengaruh terhadap pemikiran dan
praktik pendidikan. William T. Harris adalah tokoh aliran pendidikan idealisme
yang sangat berpengaruh di Amerika Serikat. Bahkan, jumlah tokoh filosof
Amerika kontemporer tidak sebanyak seperti tokoh-tokoh idealisme yang
seangkatan dengan Herman Harrell Horne (1874-1946). Herman Harrell Horne
adalah filosof yang mengajar filsafat beraliran idealisme lebih dari 33 tahun di
Universitas New York.
Belakangan, muncul pula Michael Demiashkevitch, yang menulis tentang
idealisme dalam pendidikan dengan efek khusus. Demikian pula B.B.
Bogoslovski, dan William E. Hocking. Kemudian muncul pula Rupert C. Lodge
(1888-1961), profesor di bidang logika dan sejarah filsafat di Universitas
Maitoba. Dua bukunya yang mencerminkan kecemerlangan pemikiran Rupert
dalam filsafat pendidikan adalah Philosophy of Education dan studi mengenai
pemikirian Plato di bidang teori pendidikan. Di Italia, Giovanni Gentile Menteri
bidang Instruksi Publik pada Kabinet Mussolini pertama, keluar dari reformasi
pendidikan karena berpegang pada prinsip-prinsip filsafat idealisme sebagai
perlawanan terhadap dua aliran yang hidup di negara itu sebelumnya, yaitu
positivisme dan naturalisme.

10
Idealisme sangat concern tentang keberadaan sekolah. Aliran inilah satu-
satunya yang melakukan oposisi secara fundamental terhadap naturalisme.
Pendidikan harus terus eksis sebagai lembaga untuk proses pemasyarakatan
manusia sebagai kebutuhan spiritual, dan tidak sekadar kebutuhan alam semata.
Gerakan filsafat idealisme pada abad ke-19 secara khusus mengajarkan tentang
kebudayaan manusia dan lembaga kemanuisaan sebagai ekspresi realitas
spiritual.
Para murid yang menikmati pendidikan di masa aliran idealisme sedang
gencar-gencarnya diajarkan, memperoleh pendidikan dengan mendapatkan
pendekatan (approach) secara khusus. Sebab, pendekatan dipandang sebagai
cara yang sangat penting. Giovanni Gentile pernah mengemukakan, “Para guru
tidak boleh berhenti hanya di tengah pengkelasan murid, atau tidak mengawasi
satu persatu muridnya atau tingkah lakunya. Seorang guru mesti masuk ke
dalam pemikiran terdalam dari anak didik, sehingga kalau perlu ia berkumpul
hidup bersama para anak didik. Guru jangan hanya membaca beberapa kali
spontanitas anak yang muncul atau sekadar ledakan kecil yang tidak banyak
bermakna.
Bagi aliran idealisme, anak didik merupakan seorang pribadi tersendiri,
sebagai makhluk spiritual. Mereka yang menganut paham idealisme senantiasa
memperlihatkan bahwa apa yang mereka lakukan merupakan ekspresi dari
keyakinannya, sebagai pusat utama pengalaman pribadinya sebagai makhluk
spiritual. Tentu saja, model pemikiran filsafat idealisme ini dapat dengan mudah
ditransfer ke dalam sistem pengajaran dalam kelas. Guru yang menganut paham
idealisme biasanya berkeyakinan bahwa spiritual merupakan suatu kenyataan,
mereka tidak melihat murid sebagai apa adanya, tanpa adanya spiritual.
C. Implikasi Pendidikan Terhadap Manajemen Pendidikan
Pembahasan mengenai manajemen pendidikan tidak bisa dipisahkan dari
bahasan yang terkait dengan pengertian manajemen dan pendidikan di satu sisi dan
pembahasan administrasi dan pendidikan pada sisi yang lain. Sedangkan Para pakar
yang mendefinisikan manajemen yang berakar dari manajemen bisnis menyatakan

11
bahwa manajemen pendidikan pada dasarnya adalah pengelolaan fungsi-fungsi atau
langkah-langkah manajemen yang diaplikasikan pada lembaga pendidikan. Dalam
pengertian, manajemen merupakan sebuah seni dan ilmu mengelola sumber daya
pendidikan guna mencapai tujuan yang telah ditentukan secara efektif dan efesien.
Para ahli pendidikan Muslim menyadari sepenuhnya bahwa pembelajaran
merupakan hal yang sangat unik dan kompleks, sebagaimana profesi-profesi lain,
yang menuntut dimilikinya persyaratan tertentu oleh orang yang menekuninya. Ibnu
Abdun berkata, “Sesungguhnya pengajaran itu merupakan profesi yang
membutuhkan pengetahuan, ketrampilan dan kecermatan, karena ia sama halnya
dengan pelatihan kecakapan yang memerlukan kiat, strategi dan ketelatenan,
sehingga menjadi cakap dan profesional5. Pada kontek manajemen pendidikan maka
hal sebagaimana disebutkan di atas sangat terkait dengan perencanaan.
Pembelajaran membutuhkan perencanaan yang matang mualai dari menganalis
tujuan pembelajaran, penyiapan strategi, metode, media, materi dan cara evaluasi
pembelajaran. Segenap langkah tersebut akan dapat dilakukan secara optimal
apabila didukung dengan kompetensi dan kualifikasi guru yang memadahi.
D. Implikasi dan Implementasi Filsafat Ilmu di Dalam Pengembangan Keilmuan
Filsafat ilmu merupakan sebuah disiplin ilmu pengetahuan, dalam hal ini filsafat
ilmu berperan sebagai pengkaji berbagai hakikat keilmuan. Banyak cabang-cabang
ilmu pengetahuan yang menjadi sebuah bahan kajian oleh filsafat ilmu, dalam
mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan filsafat ilmu mempunyai beberapa
macam cara diantaranya yaitu ontologi, terminologi dan aksiologi.
Dari beberapa cara tersebut masing-masing mempunyai peran dan fungsi yang
berbeda, ontologi berfungsi untuk mengetahui apa yang dikaji dalam ilmu
pengetahuan tersebut, sedangkan terminologi berfungsi untuk mengetahui
bagaimana kita memperoleh ilmu pengetahuan tersebut, dan yang terakhir yaitu
aksiologi berfungsi untuk mengetahui bagaimana hakikat ilmu pengetahuan
tersebut. Manusia dengan segenap kemampuan kemanusiannya seperti perasaan,

5
Ahmad al-Syalabi, Tarikh al-Tarbiyah al-Islamiyah, cet. II, (Kairo: tnp., 19610, hlm.
174.

12
pengalaman, panca indra dan intuisi mempu menangkap alam kehidupannya
mengabtraksikan tangkapan tersebut dalam dirinya dalam berbagai bentuk Ilmu
pengetahuan seperti kebiasaan, akal sehat, seni, sejarah dan filsafat.
Terminology ilmu pngetahuan ini adalah terminology artificial yang bersifat
sementara sebagai alat analisis yang pada pokoknya diartikan sebagai keseleruhan
bentuk dari produk kegiatan manusia dalam usaha untuk mengetahui sesuatu. Dalam
bahasa inggris cara memperoleh pengetahuan ini dinamakan dengan Knowledge.
Ilmu pengetahuan atau Knowledge ini merupakan terminologi generik yang
mencakup segenap bentuk yang kita ketahui seperti filsafat, sosial, seni, beladiri,
dan ilmu sains itu sendiri. Jadi sains termasuk kedalam ilmu pengetahuan seperti
juga sosial science.
Untuk membedakan tiap-tiap bentuk dari anggota kelompok pengetahuan ini
terdapat tiga kriteria yakni:
1. Apakah obyek yang telah ditelaah dapat membuahkan ilmu pengetahuan, kriteria
ini disebut obyek ontologis, kita dapat mengambil contoh sosial yang menelaah
hubungan antara manusia dengan benda atau jasa dalam hal memenuhi
kebutuhan hidupnya. Secara ontologis maka dapat ditetapkan obyek penelaah
masing-masing permasalahan.
2. Bagaimana cara yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan tersebut,
kriteria ini disebut dengan landasan epistemologis. Contohnya landasan
epistemologis matematika adalah logika deduktif dan landasan epistemologis
kebiasaan adalah pengalaman dan akal sehat.
3. Untuk apa kita mempelajari ilmu pengetahuan tersebut, atau apa manfaat dari
kita mempelajari ilmu pengetahuan tersebut, kriteria ini disebut dengan landasan
aksiologis yang juga dapat dibedakan untuk setiap jenis ilmu pengetahuan.
Contohnya, nilai kegunaan sains pasti berbeda dengan nilai kegunaan ilmu
sosial.
Jadi seluruh bentuk ilmu pengetahuan dapat digolongkan kedalam kategori ilmu
pengetahuan dimana masing-masing bentuk dapat dicirikan oleh karakterristik

13
obyek ontologis, landasan epistemologis, dan landasan aksiologis. Salah satu dari
bentuk ilmu pengetahuan ditandai dengan :
1. Obyek Ontologis : yaitu pengalaman manusia yakni segenap wujud yang dapat
dijangkau lewat panca indra atau alat yang membantu kemampuan panca indra.
2. Landasan Epistemologis : metode ilmiah yang berupa gabungan logika deduktif
dengan pengajuan hipotesis atau yang disebut logico hypotetico verifikasi.
3. Landasan Aksiologis : kemaslahatan umat manusia artinya segenap wujud ilmu
pengetahuan itu secara moral ditujukan untuk kebaikan hidup manusia.
E. Penerapan Filsafat Ilmu dalam Pengembangan Keilmuan
Filsafat ilmu adalah bagian dari filsafat pengetahuan atau sering juga disebut
epistimologi. Epistimologi berasal dari bahasa Yunani yakni episcmc yang berarti
knowledge, pengetahuan dan logos yang berarti teori. Istilah ini pertama kali
dipopulerkan oleh J.F. Ferier tahun 1854yang membuat dua cabang filsafat yakni
epistemology dan ontology (on = being, wujud, apa + logos = teori ), ontology
( teori tentang apa).
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang
menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Ini
berarti bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tak-ilmiah. Adapun yang
tergolong ilmiah ialah yang disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja,
yaitu akumulasi pengetahuanyang telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian
rupa; sehingga memenuhi asas pengaturan secara prosedural, metologis, teknis, dan
normatif akademis.
Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya sehingga memenuhi kesahihan
atau validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Sedang
pengetahuan tak-ilmiah adalah yang masih tergolong prailmiah. Dalam hal ini
berupa pengetahuan hasil serapan inderawi yang secara sadar diperoleh, baik yang
telah lama maupun baru didapat. Di samping itu termasuk yang diperoleh secara
pasif atau di luar kesadaranseperti ilham, intuisi, wangsit, atau wahyu (oleh nabi).
Pengetahuan ilmiah diperoleh secara sadar, aktif, sistematis, jelas prosesnya
secara prosedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak, kemudian diakhiri dengan

14
verifikasi atau diuji kebenaran (validitas) ilmiahnya. Sedangkan pengetahuan yang
prailmiah, walaupun sesungguhnya diperoleh secara sadar dan aktif, namun bersifat
acak, yaitu tanpa metode, apalagi yang berupa intuisi, sehingga tidak dimasukkan
dalam ilmu.
Dengan demikian, pengetahuan pra-ilmiah karena tidak diperoleh secara
sistematis-metodologis ada yang cenderung menyebutnya sebagai pengetahuan
“naluriah”. Dalam sejarah perkembangannya, di zaman dahulu yang lazim disebut
tahap-mistik, tidak terdapat perbedaan di antara pengetahuanpengetahuan yang
berlaku juga untuk obyek-obyeknya. Pada tahap mistik ini, sikap manusia seperti
dikepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya, sehingga semua obyek tampil
dalam kesemestaan dalam artian satu sama lain berdifusi menjadi tidak jelas batas-
batasnya. Tiadanya perbedaan di antara pengetahuan-pengetahuan itu mempunyai
implikasi sosial terhadap kedudukan seseorang yang memiliki kelebihan dalam
pengetahuan untuk dipandang sebagai pemimpin yang mengetahui segala-galanya.
Fenomena tersebut sejalan dengan tingkat kebudayaan primitif yang belum
mengenal berbagai organisasi kemasyarakatan, sebagai implikasi belum adanya
diversifikasi pekerjaan. Seorang pemimpin dipersepsikan dapat merangkap fungsi
apa saja, antara lain sebagai kepala pemerintahan, hakim, guru, panglima perang,
pejabat pernikahan, dan sebagainya. Ini berarti pula bahwa pemimpin itu mampu
menyelesaikan segala masalah, sesuai dengan keanekaragaman fungsional yang
dicanangkan kepadanya.
Tahap berikutnya adalah tahap-ontologis, yang membuat manusia telah terbebas
dari kepungan kekuatan-kekuatan gaib, sehingga mampu mengambil jarak dari
obyek di sekitarnya, dan dapat menelaahnya. Orang-orang yang tidak mengakui
status ontologis obyek-obyek metafisika pasti tidak akan mengakui status-status
ilmiah dari ilmu tersebut. Itulah mengapa tahap ontologis dianggap merupakan
tonggak ciri awal pengembangan ilmu. Dalam hal ini subyek menelaah obyek
dengan pendekatan awal pemecahan masalah, semata-mata mengandalkan logika
berpikir secara nalar. Hal ini merupakan salah satu ciri pendekatan ilmiah yang

15
kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi metode ilmiah yang makin mantap
berupa proses berpikir secara analisis dan sintesis.
Dalam proses tersebut berlangsung logika berpikir secara deduktif, yaitu
menarik kesimpulan khusus dari yang umum. Hal ini mengikuti teori koherensi,
yaitu perihal melekatnya sifat yang terdapat pada sumbernya yang disebut premis-
premis yang telah teruji kebenarannya, dengan kesimpulan yang pada gilirannya
otomatis mempunyai kepastian kebenaran. Dengan lain perkataan kesimpulan
tersebut praktis sudah diarahkan oleh kebenaran premis-premis yang bersangkutan.
Walaupun kesimpulan tersebut sudah memiliki kepastian kebenaran, namun
mengingat bahwa prosesnya dipandang masih bersifat rasional–abstrak, maka harus
dilanjutkan dengan logika berpikir secara induktif. Hal ini mengikuti teori
korespondensi, yaitu kesesuaian antara hasil pemikiran rasional dengan dukungan
data empiris melalui penelitian, dalam rangka menarik kesimpulan umum dari yang
khusus. Sesudah melalui tahap ontologis, maka dimasukan tahap akhir yaitu tahap
fungsional. Pada tahap fungsional, sikap manusia bukan saja bebas dari kepungan
kekuatan-kekuatan gaib, dan tidak semata-mata memiliki pengetahuan ilmiah secara
empiris, melainkan lebih daripada itu. Sebagaimana diketahui, ilmu tersebut secara
fungsionaldikaitkan dengan kegunaan langsung bagi kebutuhan manusia dalam
kehidupannya.
Tahap fungsional pengetahuan sesungguhnya memasuki proses aspel aksiologi
filsafat ilmu, yaitu yang membahas amal ilmiah serta profesionalisme terkait dengan
kaidah moral. Sementara itu, ketika kita membicarakan tahap-tahap perkembangan
pengetahuan dalam satu nafas tercakup pula telaahan filsafat yang menyangkut
pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Pertama, dari segi ontologis, yaitu tentang apa
dan sampai di mana yang hendak dicapai ilmu.
Ini berarti sejak awal kita sudah ada pegangan dan gejala sosial. Dalam hal ini
menyangkut yang mempunyai eksistensi dalam dimensi ruang dan waktu, dan
terjangkau oleh pengalaman inderawi. Dengan demikian, meliputi fenomena yang
dapat diobservasi, dapat diukur, sehingga datanya dapat diolah, diinterpretasi,
diverifikasi, dan ditarik kesimpulan. Dengan lain perkataan, tidak menggarap hal-hal

16
yang gaib seperti soal surga atau neraka yang menjadi garapan ilmu keagamaan.
Telaahan kedua adalah dari segi epistimologi, yaitu meliputi aspek normatif
mencapai kesahihan perolehan pengetahuan secara ilmiah, di samping aspek
prosedural, metode dan teknik memperoleh data empiris. Kesemuanya itu lazim
disebut metode ilmiah, meliputi langkah langkah pokok dan urutannya, termasuk
proses logika berpikir yang berlangsung di dalamnya dan sarana berpikir ilmiah
yang digunakannya. Telaahan ketiga ialah dari segi aksiologi, yang sebagaimana
telah disinggung di atas terkait dengan kaidah moral pengembangan penggunaan
ilmu yang diperoleh.
1. Epistimologi
Epistimologi meliputi sumber, sarana, dan tatacara mengunakan sarana
tersebut untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenal pilihan
landasan ontologik akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam
menentukan sarana yang akan kita pilih. Akal (Verstand), akal budi (Vernunft)
pengalaman, atau komunikasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan
sarana yang dimaksud dalam epistemologik, sehingga dikenal adanya model-
model epistemologik seperti: rasionalisme, empirisme, kritisisme atau
rasionalisme kritis, positivisme, fenomenologi dengan berbagai variasinya.
Ditunjukkan pula bagaimana kelebihan dan kelemahan sesuatu model
epistemologik beserta tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah) itu seperti teori
koherensi, korespondesi, pragmatis, dan teori intersubjektif.
2. Ontologi
Ontologiilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan
kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari
persepsi filsafat tentang apa dan bagaimana (yang) “Ada” itu (being Sein, het
zijn). Paham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme,
Paham dualisme, pluralisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham
ontologik yang pada akhimya menentukan pendapat bahkan keyakinan kita
masing- masing mengenai apa dan bagaimana (yang) ada sebagaimana
manifestasi kebenaran yang kita cari.

17
3. Oksiologi
Akslologi llmu meliputi nilal-nilal (values) yang bersifat normatif dalam
pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana kita jumpai
dalam kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan
sosial, kawasan simbolik atau pun fisik-material. Lebih dari itu nilai-nilai juga
ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatu conditio sine qua non yang wajib
dipatuhi dalam kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam
menerapkan ilmu. Dalam perkembangannya Filsafat llmu juga mengarahkan
pandangannya pada Strategi Pengembangan ilmu, yang menyangkut etik dan
heuristik. Bahkan sampal pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja
kegunaan atau kemanfaatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan.

18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Idealisme sangat concern tentang keberadaan sekolah. Aliran inilah satu-satunya
yang melakukan oposisi secara fundamental terhadap naturalisme. Pendidikan harus
terus eksis sebagai lembaga untuk proses pemasyarakatan manusia sebagai
kebutuhan spiritual, dan tidak sekadar kebutuhan alam semata. Gerakan filsafat
idealisme pada abad ke-19 secara khusus mengajarkan tentang kebudayaan manusia
dan lembaga kemanuisaan sebagai ekspresi realitas spiritual.
Para murid yang menikmati pendidikan di masa aliran idealisme sedang gencar-
gencarnya diajarkan, memperoleh pendidikan dengan mendapatkan pendekatan
(approach) secara khusus. Sebab, pendekatan dipandang sebagai cara yang sangat
penting. Giovanni Gentile pernah mengemukakan, “Para guru tidak boleh berhenti
hanya di tengah pengkelasan murid, atau tidak mengawasi satu persatu muridnya
atau tingkah lakunya. Seorang guru mesti masuk ke dalam pemikiran terdalam dari
anak didik, sehingga kalau perlu ia berkumpul hidup bersama para anak didik. Guru
jangan hanya membaca beberapa kali spontanitas anak yang muncul atau sekadar
ledakan kecil yang tidak banyak bermakna.
Filsafat ilmu merupakan sebuah disiplin ilmu pengetahuan, dalam hal ini filsafat
ilmu berperan sebagai pengkaji berbagai hakikat keilmuan. Banyak cabang-cabang
ilmu pengetahuan yang menjadi sebuah bahan kajian oleh filsafat ilmu, dalam
mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan filsafat ilmu mempunyai beberapa
macam cara diantaranya yaitu ontologi, terminologi dan aksiologi.
Dari beberapa cara tersebut masing-masing mempunyai peran dan fungsi yang
berbeda, ontologi berfungsi untuk mengetahui apa yang dikaji dalam ilmu
pengetahuan tersebut, sedangkan terminologi berfungsi untuk mengetahui
bagaimana kita memperoleh ilmu pengetahuan tersebut, dan yang terakhir yaitu
aksiologi berfungsi untuk mengetahui bagaimana hakikat ilmu pengetahuan
tersebut. Manusia dengan segenap kemampuan kemanusiannya seperti perasaan,
pengalaman, panca indra dan intuisi mempu menangkap alam kehidupannya

19
mengabtraksikan tangkapan tersebut dalam dirinya dalam berbagai bentuk Ilmu
pengetahuan seperti kebiasaan, akal sehat, seni, sejarah dan filsafat.
F. Saran
Demikianlah makalah tentang Filsafat Ilmu. Kami menyadari bahwa makalah
yang kami buat jauh dari pada sempurna dan juga masih banyak kesalahan, untuk itu
kami harapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca agar dalam
pembuatan makalah selanjutnya menjadi lebih baik, semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat kepada kita.

20
DAFTAR PUSTAKA
http://almaata.ac.id/ejournal1532/index.php/LITERASI/article/download/402/317
https://www.kompasiana.com/muncis/penerapan-filsafat-ilmu-dalam-pengembangan-
keilmuan_550ec6c9813311b72cbc6530
http://suhermantp1.blogspot.com/2014/01/v-behaviorurldefaultvmlo.html?m=1
https://www.academia.edu/8267900/penerapan_filsafat_ilmu?auto=download

21

Anda mungkin juga menyukai