Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pembelajaran merupakan inti dan muara segenap proses pengelolaan
pendidikan. Kualitas sebuah lembaga pendidikan hakikatnya diukur dari kualitas
proses pembelajarannya, disamping output dan outcome yang dihasilkan. Oleh
karena itu kriteria mutu dan keberhasilan pembelajaran seharusnya dibuat secara
rinci, sehingga benar-benar measurable and observable (dapat diukur dan
diamati). Namun kenyataannya, membuat kriteria dan indikator keberhasilan
pembelajaran tidaklah semudah mengukur produktivitas dan kualitas pada
bidang pekerjaan lain. Pembelajaran melibatkan unsur siswa dengan segala
karakteristiknya, mulai dari latar belakang keluarga, lingkungan, ekonomi,
kemampuan, motivasi, dan sebagainya. Selain itu perubahan yang terjadi pada
diri siswa setelah melalui sebuah proses pembelajaran juga tidak nampak dan
sulit diukur, terutama pada dimensi nilai dan sikap. Dalam makalah ini kami
membahas tentang kriteria keberhasilan yang mencakup dalam ranah kognitif,
afektif, psikomotorik dan iman. Dimana ranah tersebut masih dibagi secara rinci
sesuai hirarkinya.
B.  Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian kriteria keberhasilan pendidikan Islam?
2. Apa saja kriteria keberhasilan pendidikan islam ?
C. Tujuan makalah
1. Mengetahui kriteria keberhasilan pendidikan islam.
2. Mengetahui klasifikasi Domain.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Kriteria Pendidikan Islam


Kriteria keberhasilan pembelajaran, mengandung makna ketuntasan dalam
belajar dan ketuntasan dalam proses pembelajaran. Artinya belajar tuntas adalah
tercapainya kompetensi yang meliputi pengetahuan, ketrampilan, sikap, atau nilai
yang diwujudkan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak.
Fungsi ketuntasan belajar adalah memastikan semua peserta didik
menguasai kompetensi yang diharapkan dalam suatu materi ajar sebelum pindah
kemateri ajar selanjutnya. Patokan ketuntasan belajar mengacu pada standard
kompetensi dan kompetensi dasar serta indikator yang terdapat dalam kurikulum.
Sedangkan ketuntasan dalam pembelajaran berkaitan dengan standar
pelaksanaannya yang melibatkan komponen guru dan siswa. 
Kriteria keberhasilan adalah patokan ukuran tingkat pencapaian prestasi
belajar yang mengacu pada kompetensi dasar dan standar kompetensi yang
ditetapkan yang mencirikan penguasaan konsep atau ketrampilan yang dapat
diamati dan diukur.

B.       Kriteria Keberhasilan Pendidikan Islam


Secara umum kriteria keberhasilan pembelajaran adalah:
1. keberhasilan peserta didik menyelesaikan serangkaian tes, baik tes formatif,
tes sumatif, maupun tes ketrampilan yang mencapai tingkat keberhasilan rata-
rata 60%;.
2. setiap keberhasilan tersebut dihubungkan dengan standar kompetensi dan
kompetensi dasar yang ditetapkan oleh kurikulum, tingkat ketercapaian
kompetensi ini ideal 75%;.
3. ketercapaian keterampilan vokasional atau praktik bergantung pada tingkat
resiko dan tingkat kesulitan. Ditetapkan idealnya sebesar 75 %. Penyusunan
kriteria keberhasilan pendidikan Islam secara operasional dapat mengikuti
taksonomi tujuan pendidikan yang dikembangkan oleh Benjamin S. Bloom

2
dan kawan-kawan, yang mendasarkan tujuan pendidikan atas 3 (tiga) domain,
yaitu :
a. Cognitive Domain (Ranah Kognitif), yang berisi perilaku-perilaku yang
menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan
keterampilan berpikir.
b. Affective Domain (Ranah Afektif) berisi perilaku-perilaku yang
menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi,
dan cara penyesuaian diri.
c. Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor) berisi perilaku-perilaku yang
menekankan aspek keterampilan motorik seperti shalat, wudhu,
memandikan jenazah.[1]
Taksonomi Bloom  merujuk pada taksonomi yang dibuat untuk tujuan
pendidikan. Taksonomi ini pertama kali disusun oleh Benjamin S. Bloom pada
tahun 1956. Dalam hal ini, tujuan pendidikan dibagi menjadi beberapa domain
(ranah, kawasan) dan setiap domain tersebut dibagi kembali ke dalam pembagian
yang lebih rinci berdasarkan hirarkinya.[2] Beberapa istilah lain yang juga
menggambarkan hal yang sama dengan ketiga domain tersebut di antaranya
seperti yang diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantoro, yaitu: cipta, rasa, dan karsa.
Selain itu, juga dikenal istilah: penalaran, penghayatan, dan pengamalan. Dari
setiap ranah tersebut dibagi kembali menjadi beberapa kategori dan subkategori
yang berurutan secara hirarkis (bertingkat), mulai dari tingkah laku yang
sederhana sampai tingkah laku yang paling kompleks. Tingkah laku dalam setiap
tingkat diasumsikan menyertakan juga tingkah laku dari tingkat yang lebih
rendah, seperti misalnya dalam ranah kognitif, untuk mencapai “pemahaman”
yang berada di tingkatan kedua juga diperlukan “pengetahuan” yang ada pada
tingkatan pertama.  Taksonomi ini banyak dianut oleh para pakar pendidikan,
termasuk pendidikan Islam.

Klasifikasi dari masing-masing domain tersebut adalah :


1. Domain Kognitif Bloom membagi domain kognitif ke dalam 6 tingkatan. Domain
ini terdiri dari dua bagian : Bagian pertama berupa adalah Pengetahuan (kategori

3
1) dan bagian kedua berupa Kemampuan dan Keterampilan Intelektual (kategori
2-6) Cognitive domain, mencakup :
a. Knowledge (kemampuan hafalan) Berisikan kemampuan untuk mengenali dan
mengingat peristilahan, definisi, fakta-fakta, gagasan, pola, urutan, metodologi,
prinsip dasar, dsb. Sebagai contoh, ketika diminta menjelaskan pengertian jual
beli, orang yang berada di level ini bisa menguraikan dengan baik definisi dari
jual beli, syarat jual beli, dsb.
b. Comprehension (kemampuan pemahaman) Dikenali dari kemampuan untuk
membaca dan memahami gambaran, laporan, tabel, diagram, arahan, peraturan,
dsb. Sebagai contoh, orang di level ini bisa memahami apa yg diuraikan dalam
fish bone diagram, pareto chart, dsb.
c. Aplication (kemampuan penerapan)  Di tingkat ini, seseorang memiliki
kemampuan untuk menerapkan gagasan, prosedur, metode, rumus, teori, dsb di
dalam kondisi kerja. Sebagai contoh, ketika diberi informasi tentang penyebab
meningkatnya reject di produksi, seseorang yg berada di tingkat aplikasi akan
mampu merangkum dan menggambarkan penyebab turunnya kualitas dalam
bentuk fish bone diagram atau pareto chart.
d. Analysis (kemampuan menganalisis) Di tingkat analisis, seseorang akan mampu
menganalisa informasi yang masuk dan membagi-bagi atau menstrukturkan
informasi ke dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali pola atau
hubungannya, dan mampu mengenali serta membedakan faktor penyebab dan
akibat dari sebuah skenario yg rumit. Sebagai contoh, di level ini seseorang akan
mampu memilah-milah penyebab meningkatnya reject, membanding-bandingkan
tingkat keparahan dari setiap penyebab, dan menggolongkan setiap penyebab ke
dalam tingkat keparahan yg ditimbulkan.
e. Synthesis (kemampuan berfikir sintesis) Satu tingkat di atas analisa, seseorang di
tingkat sintesa akan mampu menjelaskan struktur atau pola dari sebuah skenario
yang sebelumnya tidak terlihat, dan mampu mengenali data atau informasi yang
harus didapat untuk menghasilkan solusi yg dibutuhkan. Sebagai contoh, di
tingkat ini seorang manajer kualitas mampu memberikan solusi untuk

4
menurunkan tingkat reject di produksi berdasarkan pengamatannya terhadap
semua penyebab turunnya kualitas produk.
f. Evaluation (kemampuan mengevaluasi) Dikenali dari kemampuan untuk
memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan, metodologi, dsb dengan
menggunakan kriteria yang cocok atau standar yg ada untuk memastikan nilai
efektivitas atau manfaatnya. Sebagai contoh, di tingkat ini seorang manajer
kualitas harus mampu menilai alternatif solusi yg sesuai untuk dijalankan
berdasarkan efektivitas, urgensi, nilai manfaat, nilai ekonomis, dsb.[3]

2. Domain Afektif  Pembagian domain ini disusun Bloom bersama dengan David


Krathwol. Affective domain, mencakup :
a. Receiving (sikap menyimak) Kesediaan untuk menyadari adanya suatu
fenomena di lingkungannya. Dalam pengajaran bentuknya berupa
mendapatkan perhatian, mempertahankannya, dan mengarahkannya.
b. Responding (sikap merespon/memberikan tanggapan) Memberikan reaksi
terhadap fenomena yang ada di lingkungannya. Meliputi persetujuan,
kesediaan, dan kepuasan dalam memberikan tanggapan.
c. Valuing ( sikap menilai) Berkaitan dengan harga atau nilai yang diterapkan
pada suatu objek, fenomena, atau tingkah laku. Penilaian berdasar pada
internalisasi dari serangkaian nilai tertentu yang diekspresikan ke dalam
tingkah laku.
d. Organization (sikap mengorganisasi nilai)  Memadukan nilai-nilai yang
berbeda, menyelesaikan konflik di antaranya, dan membentuk suatu sistem
nilai yang konsisten.
e. Characterization by a value or value (sikap mengklasifikasi nilai) Memiliki
sistem nilai yang mengendalikan tingkah-lakunya sehingga menjadi
karakteristik gaya-hidupnya.[4]

5
3. Domain Psikomotorik Psych1omotor domain, mencakup : Set (ketrampilan kesiapan)
Kesiapan fisik, mental, dan emosional untuk melakukan gerakan.
f. Guided response (ketrampilan merespon) Tahap awal dalam mempelajari
keterampilan yang kompleks, termasuk di dalamnya imitasi dan gerakan
coba-coba.
g. Mechanism (ketrampilan mekanis) Membiasakan gerakan-gerakan yang
telah dipelajari sehingga tampil dengan meyakinkan dan cakap.
h. .Complex overt respons (ketrampilan nyata berbagai tindakan) Gerakan
motoris yang terampil yang di dalamnya terdiri dari pola-pola gerakan yang
kompleks.[5]
i. Adaptation (ketrampilan beradaptasi) Keterampilan yang sudah berkembang
sehingga dapat disesuaikan dalam berbagai situasi.
j. Origination (ketrampilan berkreasi/kreatifitas) Membuat pola gerakan baru
yang disesuaikan dengan situasi atau permasalahan tertentu.[6]

Meskipun Taksonomi S. Bloom dan kawan-kawan itu banyak dianut dan


diikuti oleh para  pakar pendidikan, tetapi taksonomi ini hendaknya perlu
dicermati. Sebab kriteria tersebut hanya terbatas pada sejauhmana peserta didik
berhasil mengembangkan dimensi kognitif, afektif dan psikomotorik. Sedangkan
keberhasilan pendidikan Islam bukan hanya terbatas pada ketiga dimensi tersebut,
tetap2i masih perlu dimensi lain yang lebih pokok dan belum dikaji oleh Bloom,
yaitu dimensi iman/domain iman (Muhaimin, Konsep Pendidikan Islam, hlm : 72)
Domain iman amat diperlukan dalam pendidikan Islam, karena ajaran Islam tidak

1 [1] Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2005), Hlm. 22-23
[2] Wowo Sunaryo Kuswana, Taksonomi Kognitif, (Bandung: PT.  Remaja Rosdakarya, 2012),
Hal. 11-12
[3]Zakiah Daradjat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Jakarta (Bumi Aksara : 2008),
Hlm : 197-201
[4]Ibid, hlm : 201-205

2[5] Ibid, hlm: 206-207


[6] Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), Hlm.27
[7] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya, 2000), Hlm. 51

6
hanya menyangkut hal-hal yang rasional saja, tetapi juga menyangkut hal-hal
yang irrasional. sebagaimana dengan tujuan umum pendidikan Islam yaitu
membentuk Muslim yang sempurna, manusia yang taqwa, manusia yang beriman
atau manusia yang beribadah kepada Allah.[7]
 Di mana akal manusia tidak akan mampu menangkapnya kecuali didasari
dengan iman, yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits yang berisi pokok-
pokok ajaran agama Islam. Pendidikan Islam tidak hanya mengenal empiris
sensual (empiris yang dapat ditangkap oleh indra) dan empiris logis (empiris yang
dapat ditangkap oleh rasio) tetapi lebih dari itu, pendidikan Islam juga mengenal
empiris transcendental (empiris yang dapat ditangkap oleh domain iman manusia).
Keberhasilan pendidikan Islam, disamping diukur dengan tiga domain (Kognitif,
Afektif, dan Psikomotorik) juga diukur dari sejauhmana keberhasilannya dalam
mengembangkan domain iman. Hal ini ditandai dengan kesadaran akan
identitasnya sebagai seorang mukmin yang mampu menghadapi tantangan-
tantangan yang dapat menggoyahkan iman, dan senantiasa waspada dan selalu
meningkatkan kualitas keimanannya
C. Kemungkinan Keberhasilan Pendidikan
a. Dua Aliran yang Ekstrim
Zakiah Daradjat (2014:51-54) menyatakan bahwa Tetapi jawaban yang
mendasar dapat dilihat dari dua aliran yang bertolak belakang dalam memberi
jawaban apa yang dapat dicapai oleh pendidikan. 

1. Aliran Pesimisme dalam Pendidikan. Pendidikan sama sekali tidak


mempunyai kekuatan. Pendidikan hanyalah semata-mata mengubah lapis
permukaan atau kulit dari watak anak didik sedang lapis yang lebih dalam
dari kepribadian anak tidak perlu ditentukan. Singkatnya, apa yang patut
dihargai dari pendidikan atau manfaat yang dapat diberikan oleh
pendidikan tidak lebih dari sekedar memoles lapis permukaan peradaban
dan tingkah laku sosial. Pandangan dengan corak demikian disebut
“pendidikan pesimis”. Pendidikan pesimis dapat berjalan seiring dengan
pandangan optimisme alamiah (naturalistisch optimisme ), artinya

7
membiarkan anak terdidik secara alami yang sejalan atau senada dengan
proses alam. Memang benar bahwa manusia itu tidak dapat dididik karena
memang pada dasarnya manusia tidak memerlukan pendidikan, sebab
sesungguhnya sifat asli manusia adalah baik.
2. Aliran Optimisme dalam Pendidikan. Di pihak lain terdapat para ahli yang
dengan bersemangat dan optimis menunggu hasil-hasil yang pasti dari
upaya pendidikan. Mereka sama sekali tidak mempertimbangkan adanya
pengruh warisan bakat dan pembawaan dan berpendapat bahwa manusia
dapat dibentuk melalui pemilihan lingkungan yang tepat, perbaikan
keadaan kehidupan sosial dan pengaruh-pengaruh yang bersifat medidik.
Pertanyaan mendasar yang dicari jawabannya oleh kelompok ini telah
dirumuskan oleh Claude Adrien Helvetius ( 1715-1771), salah seorang
pemikir zaman “ Aufklarung “, yaitu : “ Bagaimana bisa terjadi agar
manusia “ liar “ itu menjadi manusia yang kuat dan terampil, beradab serta
kaya akan ilmu pengetahuan dan gagasan-gagasan?” Ketika itu manusia
seolah-olah berkelas-kelas. Mereka membangkitkan kepercayaan bahwa
lingkungan dan pendidikan dapa membentuk manusia ke arah mana saja
yang dikehendaki pendidik.

b. Teori Konvergensi
Sekarang ambillah dua buah bibit kelapa yang “berpembawaan” baik.
Apakah yang terjadi ? Bibit yang ditanamkan di dataran rendah tumbuh
menjadi pohon yang besar dan banyak menghasilkan buah yang besar-besar,
sedangkan pohon yang didataran tinggi di pegunungan yang tidak besar dan
tidak berbuah atau kurang sempurna buahnya. Kesimpulan dari contoh-contoh
ini ialah bahwa lingkungan menyebabkan perbedaan- perbedaan yang besar.
Kemungkinan juga seorang anak desa yang bersahaja mempunyai kecakapan
untuk bermain film, musik, ilmu pasti atau matematika, akan tetapi jika i selalu
saja diam di desanya dan tidak bersekolah, kecakapan-kecakapan tadi tidak
akan memperoleh kesempatan untuk berkembag. Anak itu tidak mendapat

8
pengaruh lingkungan yang diperlukan, pembawaan dan lingkungannya tidak
pengaruh mempengaruhi. Seandainya ia dididik dalam lingkugan yang sesuai

9
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari hasil pemaparan diatas, maka kami mencoba membuat simpulan
sementara sebagai berikut:
1.      Kriteria keberhasilan pendidikan islam secara operasional dapat mengikuti
taksonomi tujuan pendidikan yang dikembangkan oleh Benjamin S. Bloom dkk.
yang mendasarkan 3 domain : Cognitive Domain, Affective Domain,dan
Psychomotor Domain
2.      Cognitive Domain (Ranah Kognitif), yang berisi perilaku-perilaku yang
menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan
berpikir.
3.      Affective Domain (Ranah Afektif) berisi perilaku-perilaku yang menekankan
aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian
diri.
4.      Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor) berisi perilaku-perilaku yang
menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik,
berenang, dan mengoperasikan mesin.
5.      Setiap domain memiliki cakupan, yang mana cakupan itu juga memiliki peran
yang sangat signifikan dalam menentukan keberhasilan dalam pendidikan islam.   
B. Saran 
Demikianlah makalah yang dapat kami susun, semoga bermanfaat bagi
penulis maupun pembaca. Tentunya makalah ini jauh dari kesempurnaan, untuk
itu kami mohon kritik dan sarannya untuk perbaikan makalah yang lebih
sempurna lagi.

10
DAFTAR PUSTAKA

Daradjat , Zakiah. 2008. Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam. Jakarta :


Bumi Aksara
Kuswana, Wowo Sunaryo. 2012. Taksonomi Kognitif. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya
Sudjana,Nana. 2005. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya
Ramayulis. 2010. Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Kalam Mulia,
2010
Tafsir, Ahmad. 2000. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam.  Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya
http:ilmu pendidikan islam,kemungkinan dan keterbasan pendidikan. com

11

Anda mungkin juga menyukai