Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH

KAJIAN FIQH RAMADHAN

FIQIH SHIYAM
FIQIH SHALAT TARAWIH
FIQIH ZAKAT FITRAH &
'IEDUL FITHRI

SHIYAM RAMADHAN
A. Definisi Shiyam
Puasa secara bahasa berarti : menahan sesuatu.
Allah berfirman berkenaan dengan nadzarnya Maryam :
"Sesungguhnya aku bernadzar kepada Allah untuk menahan diri dari
berbicara kepada sispa pun." (QS. Maryam ; 26)
Secara syar'i berarti : menahan diri dari hal-hal yang membatalkan
puasa sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, oleh orangorang yang wajib berpuasa dengan disertai niat.
Adapun hal-hal yang membatalkan puasa adalah :
1. Syahwat kemaluan
2. Syahwat perut
3. Segala sesuatu yang tampak yang masuk ke dalam perut.
Sedangkan orang yang wajib berpuasa adalah :
1. Orang Muslim
2. Berakal
3. Tidak dalam keadaan haidl dan nifas
Dan niat adalah : Keinginan yang kuat dari hati untuk melakukan
sesuatu perbuatan, tanpa ada keraguan sedikitpun.
B. Rukun Shiyam
Rukun puasa yaitu :
1. Niat. (barangsiapa yang tidak berniat puasa sebelum terbitnya fajar,
maka tidak ada puasa baginya)
2. Menahan dari syahwat kemaluan dan perut.
C. Waktu Shiyam
Dari terbit fajar (fajar shadiq) sampai terbenam matahari.

Firman Allah : "Makan dan minumlah sampai jelas bagi kalian benang
putih dan benang yang merah dari fajar." (QS. Al Baqarah : 187)
Sabda Nabi : "Sesungguhnya Bilal adzan di waktu malam, maka
makan dan minumlah sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan
adzan."
Ini menunjukkan bahwa batas akhir waktu sahur adalah masuknya
waktu subuh, dan bagi negara-negara yang waktu siangnya hanya
beberapa jam, maka harus disamakan dengan yang terdekat dan waktu
siangnya lebih normal.
D. Tujuan dan Hikmah Puasa
Adapun tujuan teragung dari puasa adalah membentuk pribadi-pribadi
menjadi manusia Muttaqien, serta mempertahankan ketaqwaan yang
sudah diraih di bulan Ramadhan. (QS. Al Baqarah : 183).
Dan hikmah-hikmah shiyam Ramadhan adalah sebagai berikut :
1. Mendapatkan pahala yang tak terbatas dan masuk surga dari pintu
Ar Rayyan.
Sabda Rasulullah :
"Demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, bau mulut orang
yang berpuasa itu lebih harum disisi Allah dari pada bau wangi misk
(minyak kesturi), karena ia tanggalkan makan dan minum serta
nafsunya demi Aku (Allah), Shiyam itu untuk-Ku dan Akulah yang
akan membalasnya, dan bagi orang yang berpuasa itu ada dua
kebahagiaan, kebahagiaan disaat berbuka dan kebahagiaan disaat
bertemu Rabbnya." (HR. Muslim)
Dan sabda beliau :
"Di surga ada sebuah pintu yang bernama Ar Rayyan. Maka akan
diseru : "Dimanakah orang-orang yang berpuasa? Maka akan
masuk lewat pintu itu orang-orang yang berpuasa, jika telah masuk
semua orang-orang yang berpuasa semua pintu itu akan ditutup."
(HR. Bukhary-Muslim).
2. Akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.
Rasulullah bersabda :




()

"Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dengan


didasari iman dan mengharap pahala-Nya, maka akan diampuni
dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhary-Muslim).
3. Ramadhan adalah wahana yang tepat untuk menggembleng pribadi
supaya berjalan di atas sifat-sifat yang terpuji, bersabar di dalam
menjalankan segala aktivitas.
4. Ibadah shiyam mendidik untuk dapat memegang amanah dan
selalu merasa ada dalam pengawasan Allah dimanapun berada.
5. Ibadah shiyam dapat menguatkan kemauan, menjernihkan pikiran.
Seperti perkataan Luqman kepada anaknya : "Jika perut terasa
penuh, maka akan merasa malas beribadah."
6. Ibadah shiyam mendidik untuk disiplin yang tinggi serta berdedikasi
karena terbiasa merasa lapar pada waktu yang ditentukan.
7. Ibadah shiyam bisa menumbuhkan rasa persaudaraan dan
solidaritas yang tinggi.
8. Ibadah shiyam sebagai wahana pemersatu ummat.
9. Ibadah shiyam merupakan wahana yang tepat untuk melatih diri
dalam menahan nafsu.
Sabda Rasulullah : "Hai para pemuda, jika kalian telah memiliki
kemampuan untuk menikah, maka menikahlah karena ia dapat
menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan. Bagi yang
belum mampu maka berpuasalah, karena ia adalah benteng." (HR.
Jama'ah).
10. Ibadah shiyam dapat menjadikan sehat serta menjadikan lambung
beristirahat.
"Puasalah, niscaya akan menjadi sehat." (HR. Ibnu Sunni dan
Ibnu Na'im, Hadits Hasan).
E. Hal-hal Yang Mewajibkan Shiyam
Shiyam akan menjadi wajib dengan adanya 3 (tiga) sebab :
1. Nadzar : seperti seseorang bernadzar untuk berpuasa karena Allah
seminggu atau beberapa hari, maka ia wajib melaksanakan
nadzarnya. (QS. Al Insan : 7)
2. Kafarat : apabila seseorang melakukan hal-hal yang mewajibkan
untuk melaksanakan shiyam sebagai kafarat dari perbuatannya
tersebut, seperti melakukan hubungan intim dengan isteri di siang
hari bulan Ramadhan. Membatalkan sumpah dzhihar kepada
isterinya dan lain-lain.

3. Menyaksikan datangnya bulan Ramadhan, meskipun


sebagian bulan Ramadhan. (QS. Al Baqarah : 85)

hanya

F. Menetapkan Waktu Masuknya Shiyam


Adapaun cara menentukan masuknya bulan Ramadhan ada 2 cara :
1. Dengan ru'yah (melihat hilal) pada malam tanggal 29 Sya'ban dan
kalau belum muncul maka melihatnya pada tanggal 30 Sya'ban.
"Puasalah dengan melihat bulan, dan berbukalah dengan
melihatnya pula, jika terhalang oleh mendung maka genapkan
bilangan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari." (HR. BukharyMuslim).
2. Dengan menggenapkan bilangan bulan Sya'ban menjadi 30 hari,
hal ini jika terhalang oleh mendung.
G. Apakah Cukup Melihat Bulan Di Satu Tempat atau Setiap Negara
Harus Melihatnya?
Mengenai hal ini para Fuqaha' berbeda pendapat menjadi dua :
1. Madzhab Syafi'i : "Jika di suatu tempat telah melihat bulan (hilal),
maka penduduk di daerah tersebut wajib berpuasa serta penduduk
disekitarnya."
2. Jumhur Fuqaha' : "Bila di suatu tempat terlihat bulan, maka wajib
seluruh kaum muslimin untuk berpuasa."
Adapun dalil pendapat pertama adalah :
1. Hadits Kuraib, yaitu ketika ia diutus oleh Ummu Fadhl ke Syam
untuk bertemu dengan Mu'awiyah, maka ia berkata : "Saya sampai
di Syam dan telah melaksanakan kebutuhanku, sedangkan bulan
Ramadlan telah masuk, padahal saya saat itu masih di Syam, dan
yang melihat hilal Ramadlan pada malam Jum'at. Setelah itu saya
pulang ke Madinah, dan sampai disana akhir bulan Ramadlan.
Setelah itu aku bertemu Ibnu 'Abbas ia bertanya kepadaku : "Kapan
kamu melihat bulan (disaat kamu berada di Syam) ?". Saya
menjawab : "Kami disana melihatnya pada malam Jum'at." Ia
bertanya : "Kamu benar-benar melihatnya ?" Saya menjawab : "Ya,
saya melihatnya dengan penduduk Syam serta Mu'awiyah
berpuasa pada pagi harinya." Ia bekata : "Akan tetapi kami yang
disini (Madinah) melihatnya pada malam Sabtu, kemudian kami
tetap berpuasa sampai melihatnya atau menggenapkannya menjadi

tiga puluh hari." Aku bertanya kepadanya : "Tidakkah kita cukup


dengan penglihatan bulan yang dilakukan oleh Mua'wiyah dan
puasanya ?" Ia menjawab : "Beginilah Rasulullah menyuruh kami."
(HR. Jama'ah kecuali Al Bukhary dan Ibnu Majah).
2. Mengqiyaskan (menyamakan) tempat terbitnya bulan yang
berbeda-beda dengan tempat terbitnya matahari, sebab terbitnya
matahari mempengaruhi waktu shalat sedangkan tempat terbitnya
bulan mempengaruhi waktu puasa."
Sedangkan Jumhur Fuqaha' mendasarkan pendapat mereka dengan :
1. Hadits Nabi : "Berpuasalah kalian jika melihatnya, dan berbukalah
kalian jika melihatnya. Jika terhalang maka genapkanlah bilangan
bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari." (HR. Bukhary-Muslim).
2. Negara-negara yang tidak melihat bulan hendaknya menyamakan
dengan negara-negara lain yang telah melihat hilal Ramadhan.
Sebab tidak ada yang membedakan diantara negara-negara
tersebut.
Menanggapi perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan ulama', kami
ketengahkan pendapat beberapa Fuqaha' yang berusaha menyatukan
kedua pendapat di atas.
Kalau kita lihat secara kenyataan yang terjadi, bahwa pendapat yang
menyatakan bahwa setiap negara harus melihat Hilal Ramadhan,
sangat tidak cocok dengan kenyataan sekarang. Jika kaum muslimin di
Sumatera melihat Hilal sedangkan di negara Malaysia tidak melihat,
maka bagaimana bisa kaum muslimin yang berada di Sumatera
berpuasa sedangkan kaum muslimin di Malaysia belum berpuasa,
padahal jarak antara kedua tempat tersebut relatif dekat. Lantas
bagaimana dengan kaum muslimin yang berada di perbatasan dua
negara, sedangkan jarak antara dua negara tersebut sangatlah pendek.
Menilik pendapat Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah, beliau memilih
pendapat yang mengatakan bersatunya tempat terbitnya bulan, tapi
beliau memberi batasan-batasan terhadap negara-negara yang berada
dengan negara yang telah melihat Hilal. Yaitu apabila negara-negara
yang tidak melihat Hilal, masih bersambung dalam satu malam dengan
negara-negara yang melihat Hilal, maka negara-negara tersebut harus
mengikuti ru'yahnya negara yang telah melihat Hilal. Dan Dr. Wahbah
Az Zuhaily memberikan penjelasan dalam kitabnya, bahwa negara-

negara yang mayoritas penduduknya adalah kaum muslimin yang


terbentang dari timur ke barat tidak lebih dari sembilan jam. Ini
menunjukkan bahwa sangat kuat sekali dan sesuai dengan kenyataan
kalau kaum muslimin di seluruh negara-negara Islam harus mengikuti
ru'yahnya salah satu negara, mengingat sekarang ini alat-alat
komunikasi serba canggih sehingga mudah bagi kaum muslimin
menerima berita tentang terbitnya Hilal dalam beberapa detik saja.
Imam Syaukani menyatakan, bahwa dalam hadits Kuraib yang diambil
sebagai dalil adalah kata Ibnu 'Abbas yang disandarkan kepada Nabi :
"Beginilah Rasul memerintahkan kami." Dan bukan pendapatnya Ibnu
'Abbas yang difahami oleh para Fuqaha' madzhab Syafi'i. Dan hadits
Ibnu 'Umar tidak hanya perintah kepada sebagian kaum muslimin yang
berada di suatu tempat, tapi menunujukkan perintah untuk seluruh
kaum muslimin. Ini menunjukkan bahwa jika Hilal terlihat di suatu
tempat, maka wajib bagi kaum muslimin untuk berpuasa.
H. Orang Yang Memberi Kabar Terlihatnya Hilal
Orang yang memberi kabar tentang terlihatnya Hilal Ramadhan
disyaratkan beberapa syarat :
1. Harus seorang muslim, adil, baligh, berakal, merdeka, laki-laki dan
harus bersaksi dengan nama Allah disaat memberi kabar.
Adapun jumlah yang bisa diterima kabarnya adalah :
Untuk awal Ramadhan yang memberi kabar cukup seorang saja,
dan untuk bulan Syawwal orang yang memberi kabar minimal dua
orang.
Ibnu 'Abbas berkata : "Telah datang seorang badui kepada
Rasulullah dan berkata : "Saya telah melihat Hilal Ramadlan."
Rasulullah bertanya : "Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada Ilah
kecuali Allah?." Ia menjawab : "Ya." Rasulullah bertanya lagi :
"Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah." Ia
menjawab : "Ya." Lalu Rasulullah memerintahkan kepada manusia
untuk berpuasa pada esok harinya. Kemudian Rasulullah
bersabda : "Jika ada dua orang yang menyaksikan bulan (melihat
Hilal) maka puasalah dan berbukalah."
I.

Wajib Berpuasa pada Bulan Ramadhan


Kewajiban ibadah shiyam didasari dengan ayat Al Qur'an, Sunnah dan
Ijma' kaum muslimin :
1. QS. Al Baqarah : 183

2. Sabda Rasulullah : "Islam didirikan atas lima perkara : syahadat,


shalat, zakat, shiyam Ramadhan dan ibadah haji bagi yang
mampu."
Telah datang kepada Nabi seseorang dan bertanya : "Ya
Rasulullah, beritahukan kepadaku, puasa apakah yang wajib
bagiku?" Rasulullah menjawab : "Puasa Ramadhan." Ia bertanya
lagi : "Apakah ada yang lain ?" Rasul menjawab : "Tidak ada yang
lain kecuali hanya puasa sunnat."
3. Ijma' kaum muslimin tentang wajibnya puasa Ramadhan.
Shiyam Ramadhan diwajibkan kepada Rasulullah dan sahabatnya
pada tahun kedua Hijriyah, yaitu setelah perintah memindahkan
Qiblat ke Ka'bah. Dan Rasulullah berpuasa sembilan kali
Ramadhan sejak diwajibkannya hingga akhir hayat beliau.
J. Syarat-syarat Wajib Shiyam
Adapun syarat-syarat wajib shiyam adalah sebagai berikut :
1. Islam
Syarat ini merupakan syarat wajibnya puasa, menurut madzhab
Hanafi dan merupakan syarat sahnya puasa, menurut para Jumhur
Fuqaha'.
Perselisihan ini akan terlihat sekali pada orang kafir yang belum
msuk Islam. Menurut madzhab Hanafi bahwa orang kafir tidak
diwajibkan berpuasa, karena syarat wajibnya belum terpenuhi; yaitu
Islam. Sedangkan menurut jumhur bahwa orang kafir diwajibkan
berpuasa, karena Islam merupakan syarat sah puasa bukan syarat
wajib. Meskipun orang-orang kafir diwajibkan berpuasa, namun
puasa yang mereka kerjakan tidak akan diterima kecuali mereka
telah masuk Islam.
Perbedaan pendapat ini didasari perselisihan mereka tentang :
apakah orang-orang kafir diwajibkan seluruh perintah agama atau
tidak? Ataukah hanya diwajibkan atas mereka yang beriman saja?
Sedangkan orang-orang yang murtad tetap diwajibkan seluruh
perintah agama, maka apabila ia bertaubat dan masuk Islam ia
harus mengqadha' puasa yang ia tinggalkan.
Sedangkan orang kafir yang masuk Islam tidak diwajibkan
mengqadla' puasa atau perintah-perintah agama yang lain. Sabda
Nabi : "Islam menghapus segala dosa yang dilakukan sebelum
masuk Islam."

2. Baligh
3. Berakal
Apabila seseorang telah baligh ia wajib berpuasa Ramadhan,
sedangkan anak-anak yang belum baligh diharuskan bagi para wali
mereka untuk menyuruhnya berpuasa jika mereka telah berumur
tujuh tahun, dan dipukul jika meninggalkannya jika mereka telah
berumur sepuluh tahun, seperti shalat, namun puasa lebih berat
dari shalat, maka kemampuan anak harus diperhatikan, tidak boleh
memaksa mereka yang tidak kuat.
Adapun orang yang gila dan orang yang pingsan atau mabuk maka
tidak wajib baginya berpuasa, karena tidak terpenuhinya sayarat
pada diri mereka yaitu akal. Sabda Nabi : "Diangkat pena dari tiga
golongan; dari anak kecil sampai ia baligh, dari orang gila sampai ia
sembuh, dan dari orang yang tidur sampai ia bangun."
Menurut madzhab Syafi'i jika anak kecil baligh atau orang gila
sembuh dan orang kafir masuk Islam di tengah hari Ramadhan,
maka tidak ada qadha' bagi mereka, dan jika orang siuman (sadar)
dari pingsannya atau orang masuk Islam setelah murtad atau
normal dari mabuk, maka puasa yang ditinggalkannya mereka wajib
mengqadha'nya.
Khusus untuk orang pingsan, puasanya sah jika ia pingsan setelah
berniat puasa di malam hari, walaupun ia hanya siuman sebentar
saja pada siang harinya, dan jika ia telah berniat di malam hari
kemudian pada siang harinya tidak siuman, maka puasanya tidak
sah.
4. Mampu dan bermukim
Orang yang sakit atau bepergian tidak wajib atasnya berpuasa dan
wajib untuk mengqadha'nya, namun jika berpuasa sah puasanya.
Allah berfirman : "Maka barangsiapa yang sakit atau dalam
perjalanan (safar), maka ia harus menggantinya pada waktu yang
lain." (QS. Al Baqarah : 184)
K. Syarat Sah Shiyam Ramadhan
Syarat sah shiyam Ramadhan ada 4 (empat) macam :
1. Islam

Tidak sah puasanya orang kafir yang belum Islam, meskipun


mereka diwajibkan berpuasa.
2. Berakal
Tidak sah puasa orang yang hilang akalnya, baik karena pingsan,
mabuk atau gila. Sedangkan dalam masalah mengqadha'nya
mereka telah diterangkan pada bab Syarat Wajib Shiyam.
3. Bersih dari Haidh dan Nifas
Tidak sah puasanya seorang wanita apabila dalam keadaan haidh
atau nifas, bahkan dilarang untuk berpuasa dan mereka harus
mengqadha' pada waktu yang lain ketika dalam keadaan telah suci
dari keduanya.
Jika seorang wanita bersih dari haidh dan nifas menjelang fajar tiba,
maka sah puasanya untuk esok hari meskipun ia mandi dan
membersihkan diri setelah terbit fajar.
Ummu Salamah dan 'Aisyah pernah menceritakan bahwa
sesungguhnya Nabi memasuki waktu shubuh dalam keadaan
junub karena jima' dengan isterinya, kemudian ia mandi dan
berpuasa.
4. Niat
Niat adalah ketetapan hati untuk melaksanakan sesuatu tanpa ada
kerguan. Sedangkan waktu niat adalah malam hari sampai habis
waktu sahur.
Sabda Nabi : "Barangsiapa yang tidak berniat puasa sebelum
terbit fajar, maka tidak sah puasanya."
Terkecuali puasa-puasa sunnah, maka puasanya menjadi sah
meskipun niatnya dilakukan pada siang hari selama matahari belum
tergelincir dan belum memakan sesuatu atau minum. 'Aisyah
berkata : "Rasulullah masuk ke rumah pada suatu hari, lalu beliau
bertanya kepadaku, "Apakah ada makanan dirumah?" Aku
menjawab : "Tidak ada." Maka beliau berkata : "Kalau begitu saya
puasa saja hari ini."
Dalam niat harus menentukan bahwa ia berniat puasa Ramadhan
besok pagi, jika dalam bulan Ramadhan ia berniat untuk puasa
selain puasa Ramadhan maka tidak sah kedua-duanya. Karena
puasa merupakan satu ibadah yang disandarkan pada waktu dalam
pelaksanaannya, seperti shalat. Ini adalah pendapat Jumhur.

Niat juga harus kuat dan kokoh dalam hati dan tidak boleh ada
keraguan, jika ia ragu dalam berniat, seperti : jika besok pagi
Ramadhan saya puasa, jika tidak maka saya puasa sunnat atau
puasa-puasa yang lainnya. Maka jika semacam ini, tidak sah salah
satu dari puasa-puasa tersebut karena tidak ada ketetapan dalam
berniat. Ini adalah pendapat Jumhur.
Niat juga harus dilaksanakan setiap malam, sebab setiap hari
adalah merupakan ibadah yang tersendiri. Hal ini sesuai dengan
sabda Rasulullah yang menerangkan tentang kaeharusan berniat
di malam hari. Ini adalah pendapat Jumhur.
Tempat niat adalah hati, tidak disayaratkan untuk diucapkan.
L. Hal-hal Yang Disunnahkan Dalam Berpuasa
Adapaun hal-hal yang disunnahkan dalam berpuasa sebagai berikut :
1. Makan sahur, meskipun hanya seteguk air, dan mengakhirkannya di
akhir waktu sahur.
Sabda Rasulullah : "Sahurlah, karena di dalam sahur terdapat
barakah." Dan sabdanya lagi : "Umatku senantiasa dalam kebaikan
selama mereka mempercepat berbuka puasa dan mengakhirkan
sahur."
2. Mempercepat berbuka ketika telah masuk waktu, dan disunnahkan
berbuka dengan ruthab, kalau tidak ada makan kurma, kalau tidak
ada makan yang manis-manis, dan kalau tidak ada juga cukup
minum air putih. Disunnahkan dengan dengan jumlah yang ganjil.
Anas berkata : "Nabi berbuka dengan memakan ruthab sebelum
ia shalat, kalau tidak ada baru ia makan kurma, kalau tidak ada, ia
minum air putih." (HR. Ahmad)
3. Berdo'a disaat berbuka
Nabi berdo'a ketika berbuka :

Do'a Ibnu Umar ketika berbuka :

"Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan kasih sayang-Mu yang


meliputi segala sesuatu, agar Engkau mengampuni dosa-dosaku."
4. Memberi makanan untuk berbuka bagi orang-orang yang berpuasa
meskipun dengan kurma atau hanya air putih, akan lebih afdhal jika
mengenyangkan mereka.

Nabi bersabda : "Barangsiapa yang memberi makanan untuk


berbuka bagi orang yang berpuasa, maka baginya pahal
sebagaimana orang yang diberi bkaan tanpa mengurangi
pahalanya sedikitpun."
5. Bersuci dari hadats besar (janabat) dan haidh serta nifas sebelum
terbit fajar. Hal in untuk keluar dari menyelisihi pendapat Abu
Hurairah yang mengatakan bahwa orang yang tidak bersuci dari
hadats besar maka tidak sah puasanya."
6. Menahan diri dari perbuatan yang mubah yang tidak banyak
manfaatnya, dan menahan lisan dari perkataan yang tidak ada
manfaatnya.
Sedangkan menahan diri dari dari perbuatan dosa dan perkataan
yang kotor wajib dilakukan setiap saat, terlebih di bulan Ramadhan.
Nabi bersabda : "Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan
dusta dan perbuatan bohong, maka Allah tidak butuh terhadap
penahanannya dari haus dan lapar."
7.
Meninggalkan hal-hal yang menyenangkan.

SHALAT TARAWIH
I.

Pengertian
Shalat Tarawih adalah shalat malam yang dilaksanakan pada bulan
Ramadlan. Dan shalat malam disebut juga shalat Tahajjud,
sebagaimana Ibnu Faris mengatakan : "
( " orang yang shalat di
malam hari).
Sedangkan Tarawih adalah bentuk jama' dari : , yang artinya
istirahat setelah empat rakaat.
Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari
Aisyah Radliyallahu 'Anha, yang artinya :
"Aisyah berkata : "Adalah Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam shalat
empat rakaat pada suatu malam ke malam, beliau istirahat. Kemudian
beliau shalat lagi dengan panjang sehingga aku pun merasa iba kepada
beliau, lantas aku berkata : "Wahai Rasulullah, sungguh Allah telah
mengampuni dosa-dosa engkau, baik yang telah lalu maupun yang
akan datang." Kemudian beliau menjawab : "Tidak bolehkah aku
menjadi hamba yang bersyukur." (HR. Al Baihaqy).
Berangkat dari hadits di atas dan atsar yang menguatkannya, maka
disunnahkan duduk istirahat setelah satu tarawih (empat rakaat). Dan
empat Imam Madzhab telah mensepakati hal itu. Namun mereka
berbeda pendapat dalam kegiatan apa yang dilakukan dalam duduk
istirahat tersebut.
Al Hanafiyah berpendapat : Duduk seperti ini disunnahkan dan
lamanya seperti lamanya shalat empat rakaat dan hendaklah ketika
duduk istirahat itu menyibukkan diri dengan dzikir, tahlil atau diam.
Al 'Allamah Al Halby berkata : "Sedangkan istirahat di sela-sela shalat
tarawih adalah duduk setelah empat rakaat dan lamanya sama dengan
satu tarawih, demikian juga istirahat tersebut dilakukan sebelum shalat
witir dan duduk istirahat ini bukan hanya sekedar duduk, akan tetapi
ketika duduk istirahat dan menunggu (diteruskannya shalat tarawih)

ada beberapa pilihan. Kalau ia suka, boleh duduk dengan diam, boleh
juga membaca tahlil atau tasbih atau membaca Al Qur'an dan atau
shalat nafilah sendirian. Landasan duduk istirahat yang hukumnya
Mustahab adalah kebiasaan penduduk dua kota al haram (Mekah dan
Madinah). Penduduk Mekah biasanya mereka melakukan Thawaf
setelah setiap satu tarawih (empat rakaat) dan juga shalat dua rakaat
setelah Thawaf. Sedangkan penduduk Madinah biasanya mereka
shalat empat rakaat setelah satu tarawih. Berangkat dari sana
(kebiasaan penduduk dua kota al haram) ditetapkan agar memisahkan
atau membuat tenggang waktu (untuk istirahat) antara dua tarawih,
sedangkan lamanya satu tarawih.
Sedangkan Al Hanabilah dan As Syafi'i berpendapat : "Tidak ada
disebutkan dalam satu riwayat tentang adanya do'a, dzikir atau shalat
dalam duduk istirahat diantara dua tarawih. Sedangkan Imam Ahmad
memakruhkan shalat sunnah diantara shalat tarawih dan beliau berkata
: "Shalat tathawwu' itu adanya setelah shalat wajib dan tidak ada shalat
tathawwu' diantara shalat tarawih, tapi jika seseorang shalat tathawwu'
setelah shalat tarawih dengan cara berjamaah atau dia shalat tarawih
lagi degan jamaah yang lain." maka menurut beliau tidak apa-apa.
II. Disyari'atkannya Shalat Tarawih, Hukum Dan Fadlilahnya
Hadits Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam, yang artinya :
"Dari Abu Hurairah RA ia berkata : "Adalah Rasulullah Shalallahu 'Alaihi
Wasallam menganjurkan bangun (untuk shalat malam) pada bulan
Ramadlan dengan tidak mewajibkannya sehingga beliau bersabda :
"Barangsiapa yang bangun (untuk shalat tarawaih) di bulan Ramadlan
dengan keimanan (membenarkan wajibnya ibadah shiyam, shalat
tarawih itu benar dan meyakini keutamaannya) dan hanya mengharap
ridla Allah semata (hatinya senang, tidak membenci dan tidak merasa
berat dalam melaksanakannya serta tidak mengharapkan perhatian
manusia), maka akan diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu." (HR.
Bukhary, Fathul Baari-IV/314-315, No. 2008-2009).
Hadits di atas menunjukkan :
1. Disyari'atkannya shalat Tarawih
2. Hukum shalat Tarawih adalah Sunnah Muakkadah, baik bagi lakilaki maupun perempuan.
3. Fadlilah shalat Tarawih, diantaranya :
- Diampuni dosa-dosa yang telah lampau atau yang akan datang.
(Ibnu Hajar Al Atsqalani)

Diampuni dosa-dosa besar dan kecil (Ibnu Mundzir)


Diampuni hanya dosa-dosa kecil saja (Imam Haramain)
Diampuni dosa-dosa yang kecil dan meringankan dosa-dosa
besar jika tidak melakukan dosa-dosa kecil (Imam Nawawi,
dalam Syarhnya).

III. Sifat Pelaksanaan Shalat Tarawih


Menurut pendapat Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Syafi'i
Rahimahumullah, bahwa shalat malam baik di bulan Ramadlan ataupun
di luar bulan Ramdlan dilaksanakan dua rakaat-dua rakaat atau
melaksanakan tasyahud dalam setiap selesai melaksanakan dua
rakaat, berdasarkan hadits :
Dari Nafi' dan Abdillah bin Dinar dari Ibnu 'Umar : "Sesungguhnya
seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Shalallahu 'Alaihi
Wasallam tentang shalat malam. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi
Wasallam menjawab : "Shalat malam itu dua-dua apabila diantara
kalian khawatir akan habisnya waktu shalat malam dan witir dengan
terbitnya fajar shadiq yang menunjukkan waktu shubuh, maka shalatlah
satu rakaat yang menjadikan ganjil bilangan rakaat shalat yang ia
lakukan." (HR. Bukhary, No. 990).
Dibawah ini disebutkan beberapa cara shalat malam dan witir yang
pernah dilakukan oleh Rasulullah :
1. Beliau shalat tiga belas rakaat dibuka dengan dua rakaat ringan (
), berdasarkan hadits :
Dari Zaid bin Khalid al Juhani, bahwasanya dia berkata :
"Sesungguhnya aku telah memantau shalat Rasulullah , beliau
shalat dua rakaat ringan, setelah itu beliau shalat dua rakaat yang
panjang, yang panjang, yang panjang. Kemudian setelah itu beliau
shalat dua rakaat lagi namun tidak seperti dua rakaat yang
sebelumnya. Kemudian setelah itu beliau shalat dua rakaat lagi
namun tidak seperti dua rakaat yang sebelumnya. Kemudian
setelah itu beliau shalat dua rakaat lagi namun tidak seperti dua
rakaat yang sebelumnya. Kemudian setelah itu beliau shalat dua
rakaat lagi namun tidak seperti dua rakaat yang sebelumnya.
Kemudian beliau shalat witir satu rakaat, maka jumlah seluruhnya
tiga belas rakaat. (HR. Muslim No. 765 dan Abu Daud No. 1353)

2. Beliau shalat tiga belas rakaat, diantara delapan rakaat beliau


salam pada setiap dua rakaat, lalu beliau shalat witir lima rakaat,
tidak duduk dan tidak salam kecuali pada rakaat yang kelima.
Berdasarkan hadits :
Dari Aisyah g berkata : "Sesungguhnya Rasulullah biasa tidur
malam, apabila beliau bangun lantas bersiwak kemudian berwudlu
lalu shalat delapan rakaat dengan duduk (tasyahud) pada setiap
dua rakaat, lalu mengucapkan salam lantas beliau shalat witir lima
rakaat dan tidak duduk (tasyahud) kecuali pada rakaat kelima,
kemudian salam. (HR. Ahmad dan Abu Daud No. 1324).
3. Rasulullah shalat sebelas rakaat, lalu salam pada setiap dua
rakaat, setelah itu beliau witir satu rakaat. Berdasarkan hadits :
Dari Aisyah RA berkata : " Rasulullah shalat malam diantara waktu
setelah shalat 'Isya ('atamah) hingga shalat fajar sebelas rakaat.
Setiap dua rakaat beliau salam dan witir satu rakaat. Dan apabila
muadzin telah selesai mengumandangkan adzan shalat shubuh dan
telah jelas terlihat oleh Rasulullah terbitnya fajar shadiq, maka
beliau shalat dua rakaat ringan, kemudian berbaring ke arah kanan
sampai datang muadzin untuk dikumandangkan iqamah." (HR.
Muslim, No. 122, Abu Daud No. 1322 dan Ahmad).
4. Beliau kadang shalat sebelas rakaat, setiap empat rakaat dengan
satu salam, lalu shalat witir tiga rakaat. Berdasarkan hadits :
Dari Salamah bin Abdurrahman, bahwa dirinya pernah bertanya
kepada 'Aisyah, bagaimana shalat Rasulullah di bulan Ramadlan.
Beliau menjawab : "Adalah Rasulullah tidaklah shalat malam baik
dibulan Ramadlan maupun di luar bulan Ramdlan melebihi dari
sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat-empat rakaat dan
jangan engkau tanyakan baik dan panjangnya, kemudian beliau
shalat tiga rakaat (witir)." (HR. Bukhary No. 1147, Muslim No. 738,
Abu Daud No. 1327).
5. Beliau shalat delapan rakaat dan tasyahud pada rakaat yang
kedelapan dan membaca shalawat, setelah itu bangkit dan tidak
bersalam, kemudian beliau melanjutkan satu rakaat sebagai witir.
Kemudian beliau shalat dua rakaat sambil duduk hingga salam.
Berdasarkan hadits :
Aku (Sa'ad) berkata : "Wahai Ummul Mukminin, beritahukanlah aku
tentang shalat witir Rasulullah ? Maka beliau Aisyah g berkata :

"Kamilah yang mempersiapkan bagi beliau siwak dan air untuk


wudlunya, lalu ketika beliau bangun, beliau bersiwak kemudian
shalat sembilan rakaat dengan tidak duduk tasyahud kecuali pada
rakaat kedelapan. Beliau berdzikir, memuji, dan berdo'a kepada
Allah dan tidak salam, lalu beliau shalat rakaat yang kesembilan
kemudian duduk tasyahud, beliau berdzikir, memuji dan berdo'a
kepada Allah setelah itu salam. Kemudian beliau shalat dua rakaat
sambil duduk, maka jumlahnya sebelas rakaat. Wahai anakku,
namun ketika beliau telah lanjut usia dan badannya mulai gemuk,
beliau shalat witir tujuh rakaat kemudian shalat lagi dua rakaat
sambil duduk, maka jumlahnya sembilan rakaat. (HR. Muslim, No.
746)
6. Beliau shalat sembilan rakaat, diantaranya enam rakaat beliau
duduk pada rakaat yang keenam membaca tasyahud dan shalawat
atas nabi, kemudian bangkit dan tidak salam, kemudian beliau witir
satu rakaat, setelah itu beliau salam, kemudian shalat lagi dua
rakaat sambil duduk seperti yang disebutkan dalam hadits pada
cara yang kelima.
Pada pelaksanaan shalat witir, Imam Syafi'i, Imam Ahmad, dan Imam
Malik berpendapat bahwa shalat witir itu satu rakaat dan
pelaksanaannya dengan salam pada rakaat kedua, kemudian shalat
witir satu rakaat.
Imam Syafi'i, Imam Ahmad dan Ishaq Rahimahumullah membolehkan
juga kalau witir itu dilakukan satu rakaat saja tanpa ada shalat nafilah
sebelumnya. Dalam hal ini, Imam Malik memakruhkan. Imam Abu
Hanifah berpendapat, bahwa shalat witir itu tiga rakaat dan tidak
terpisahkan dengan salam (hanya ada satu salam saja). Sofyan At
Tsaury berpendapat, bahwa shalat witir itu tiga rakaat, lima, tujuh,
sembilan atau sebelas rakaat. Al Auza'i berpendapat, sesungguhnya
memisahkan atau menyambungkan antara dua rakaat dengan satu
rakaat yang ketiga adalah baik-baik (sah-sah) saja.
Mengamalkan riwayat tersebut boleh-boleh saja akan tetapi yang paling
utama adalah shalat malam dan witirnya dilakukan dengan salam pada
saat dua rakaat dan pada witir yang berjumlah tiga rakaat, kemudian
shalat satu rakaat yang ketiga.
IV. Waktu Shalat Tarawih
Waktu shalat Tarawih dimulai dari setelah melaksanakan shalat 'Isya
sampai terbit fajar, sebagaimana telah disebutkan dalam hadits-hadits
yang menerangkan tentang shalat malam Rasulullah baik di bulan

Ramadlan maupun diluar bulan Ramdlan dan lebih utama jika


dilaksanakan pada setelah shalat sunnah 'Isya sampai sebelum shalat
witir, dan semua ulama' sepakat bahwa shalat tarawih tidak boleh
dilaksanakan sebelum shalat 'Isya dan lebih utama lagi jika shalat
tarawih dilakukan pada akhir malam sampai sepertiga akhir malam.
Sebagaimana hadits Rasulullah dari Abu Hurairah, bahwasanya
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda : "Rabb kita yang
Maha Agung turun ke langit bumi pada setiap sepertiga malam yang
terakhir," kemudian Allah berkata : "Barangsiapa yang berdo'a kepadaKu, maka Aku akan mengabulkan do'anya dan baransiapa yang
meminta kepda-Ku, maka Aku akan memberinya, dan baransiapa yang
meminta ampun kepada-Ku, maka Aku akan memberinya ampunan."
(HR. Abu Daud, No. 1301)
V. Disunnahkan Shalat Tarawih dengan Berjamaah Di Masjid
Pelaksanaan shalat Tarawih dengan berjama`ah di masjid lebih utama
dari pada shalat sendirian (Imam Syafi`i, Imam Ahmad, pengikut Imam
Hanafy dan sebagian pengikut madzhab Maliky). Karena Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi Wasallam telah menegakkannya sebagaimana
hadits :
Nu`man Bin Basyir berkhutbah diatas mimbar negeri Himsh : "Kami
shalat malam bersama Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam pada
malam kedua puluh tiga di bulan Ramadlan hingga sepertiga malam
pertama, kemudian kami shalat malam lagi bersama beliau pada
malam kedua puluh lima hingga pertengahan malam, kemudian kami
shalat malam lagi bersama beliau pada malam kedua puluh tujuh
hingga waktu yang kami kira kami tidak bisa menjumpai kemenangan,
dan kami menyebut sahur dengan kemenangan." (HR. Ahmad, An
Nasa'I No. 1602)

ITIKAF
I.

Definisi Itikaf
Itikaf secara bahasa : melazimi sesuatu.
Secara syari : tinggal selama beberapa waktu bagi seorang muslim
berakal, mumayyiz dan merdeka, di masjid dengan niat Itikaf.
Dalam Al Quran ada beberapa ayat yang menunjukkan kepada satu
makna, yaitu menetapi sesuatu dan mengkhususkannya.
Allah berfirman :


Kami telah menyelamatkan Bani Israil untuk mnyeberangi laut Merah.
Lalu Bani Israil bertemu dengan suatu kaum yang menyembah
berhala-berhala mereka. Bani lsrail berkata: "Wahai Musa. buatkanlah
tuhan untuk Kami seperti tuhan-tuhan yang mereka punyai. Musa
berkata: Kalian adalah kaum yang benar-benar mati hatinya". (Al
Araf : 138)
Dan firman-Nya :

......
.


Pada saat itu, lihatlah tuhan kamu, patung anak sapi yang selalu
kamu sembah di dunia itu. (Thaha : 97)

Adapun ayat Al Quran yang bermakna secara syari yaitu menetapi


masjid adalah sebagaimana firman Allah kepada Ibrahim dan Ismail AS
di dalam surat Al Baqarah : 125 :




Wahai kaum Quraisy, ingatlah ketika kami jadikan Kabah sebagai
tempat manusia berhaji dan tempat yang aman. Dan hendaklah tempat
bekas berdirinya Ibrahim kalian jadikan sebagai tempat shalat. Kami
telah memerintahkan kepadaa Ibrahim dan Ismail supaya
membersihkan Kabah, rumah-Ku dari berhala. Bersihkanlah rumah-Ku
untuk orang-orang yang thawaf, orang-orang yang Itikaf (berdzikir),
dan orang-orang yang shalat.
Sedangkan diantara ayat yang menyebutkan tentang adab-adab Itikaf
adalah :


Janganlah kalian berkumpul dengan istri kalian ketika kalian
beritikaf di masjid. Itulah syariat Allah. Wahai kaum mukmin,
janganlah kalian melanggar syariat-Nya. Demikianlah Allah jelaskan
syariat-Nya dengan rinci kepada manusia supaya mereka beruntung
mendapatkan rahmat-Nya. (Al Baqarah : 187)
Begitu juga firman-Nya dalam surat Al Hajj ayat 25:



Sesungguhnya Kami pasti timpakan adzab yang pedih kepada orangorang kafir, orang-orang yang menyalahi agama Allah, dan orangorang yang menghalangi kaum muslimin masuk ke Masjidil Haram.
Masjidil Haram Kami jadikan tempat yang aman bagi seluruh kaum
muslimin, baik yang tinggal di Makkah maupun pendatang. Siapa saja
yang melakukan kejahatan secara zhalim di tempat ini, maka Kami
timpakan adzab yang pedih kepadanya.
II.

Hukum Itikaf
Itikaf hukumnya adalah Sunnah Masyru dengan dalail :
a. Al Quran, sebagaimana yang tersebut di atassecara makna.
b. Sabda Rasulullah SAW.
c. Perbuatan istri-istri Nabi SAW dan sebagian para sahabatnya.
d. Dilakukan oleh ummat ini, baik dulu maupun sekarang.

III. Pembagian Itikaf


1. Wajib, yaitu karena nadzar.
2. Sunnah Muakkadah, yaitu pada bulan Ramadlan khususnya 10 hari
terakhir.
3. Sunnah Jaiz (dibolehkan) di seluruh hari-hari pada bulan Ramadlan.

IV. Hadits-hadits Yang Menetapkan tentang Itikaf


1. Hadits dari Aisyah RA.

a. Dari Aisyah RA beliau berkata: Rasulullah selalu beritikaf


pada 10 hari terakhir Ramadlan sampai beliau wafat, kemudian
istri-istri beliau mengikuti (Itikaf) setelah beliau (wafat). (HR.
Bukhary, Fathul Baari, 4/271 Bab Itikaf: 2026. Muslim 8/66).
b. Dari Aisyah RA beliau berkata: Nabi selalu menetapi 10 hari
terakhir pada bulan Ramadhan, dan bersabda: Carilah Lailatul
Qadr pada 10 hari terakhir. (Fathul Baari 4/254 Hadits No.
2020, Muslim, At Turmudzi 2/144, Hadits No. 789).
c. Dari Aisyah RA beliau berkata: Nabi apabila memasuki 10 hari
terakhir mengencangkan sarungnya, menghidupkan malam dan
membangunkan keluarganya. (Fathul Baari 4/269 No. 2024,
Muslim 8/70).
2. Hadits dari Abu Hurairah .
Abu Hurairah berkata: Nabi melakukan Itikaf 10 hari pada setiap
bulan Ramadhan, dan keika memasuki tahun wafatnya beliau beritikaf
20 hari. (Fathul Baari 4/282 Bab Itikaf, 2044. Abu Daud, 3/338 N0.
235. Ibnu Majah 1/532).
Para ulama membedakan makna Itikaf dengan mujawarah. Yang
dimaksud mujawarah adalah umum untuk seluruh masjid dan selainnya,
baik itu lapangan dal lainnya. Dan mengkhususkan masjid dengan sebutan
Itikaf. (Al Mushannaf, Abdur Razaq, Bab Itikaf). Tapi maknanya adalah
satu (sama).
V.

Syarat-syarat Itikaf
Syarat-syarat Itikaf adalah:
1. Islam
2. Berakal

3.
4.
5.
6.
7.

Tamyiz
Suci ketika memulai
Niat (karena ia dasar dari seluruh amalan)
Berada di masjid
Shaum (disyaratkan mutlak oleh Maliky dan Hanafiyah dan
tidak disyaratkan oleh Syafiiyyah dan Hanabilah)
8. Izin dari suami bagi seorang istri (disyaratkan oleh Hanafiyyah,
Syafiiyyah dan Hanabilah). (Al Fiqhul Islam 2/705-706)
VI. Tempat-tempat Yang Dibolehkan Untuk Itikaf
Ada 4 (empat) pendapat:
1. Boleh diseluruh masjid-masjid yang ada. Ini pendapat Imam Malik,
Syafiiyyah dan Abu Daud. (Al Aujazul Masadik 5/201, Majmu
6/413, Nailul Authar 2/410).
2. Masjid yang dipakai untuk shalat lima waktu dan ada jamaahnya. Ini
pendapat Imam Ahmad dan Abu hanifah. Hal ini bagi mereka yang
diwajibkan shalat berjamaah, ini pendapat Ali , Urwah, Ibnu
Abbas, Al Hasan dan Al Zuhry.
3. Di masjid Jami yang ditegakkan shalat berjamaah. Hal ini lebih
disukai/mustahab menurut As Syafiiyyah dan Hanabilah.
4. Itikaf di tiga masjid yang boleh diziarahi, ini pendapat Hudzaifah
dan Said bin Musayyib. Namun tertolak dengan dalil-dalil yang lain.
(Nailul Authar 4/321, Mushannaf Abdur Razaq 346).
VII. Adab-adab Itikaf
1. Menyibukkan diri dengan shalat, tilawatul Quran dan dzikir.
2. Disunnahkan berpuasa (pendapat jumhur)
3. Disunnahkan beritikaf di masjid Jami
4. Disunnahkan Itikaf di bulan Ramadhan
5. Disunnahkan tetap tinggal di masjid pada malam Ied.
6. Menjauhi hal-hal yang tidak bermanfaat. (Fiqh Islam, 2/715-716)
VIII. Hukum Keluar dari Tempat Itikaf
Yang diperbolehkan secara Ijma dan tidak membatalkan :
a. Qadhaul Hajat
b. Makan apabila ia di luar masjid
c. Mengantar istrinya pulang
IX. Hal-hal yang Membatalkan Itikaf

1. Keluar dari masjid tapa keperluan dengan sengaja walaupun


sebentar
2. Murtad
3. Hilang akal
4. Haidh
5. Nifas
6. Jima
(Fiqh Sunnah 1/406)

FIQH ZAKAT FITRAH


Muqaddimah
Zakat dalam agama Islam menempati kedudukan yang sangat
strategis dan fundamental karena merupakan rukun (pilar) Islam yang ke-3
stelah dua kalimah syahadat dan shalat. Oleh karenanya, setiap muslim
wajib mengetahui ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum yang telah
ditetapkan oleh syariat berkaitan dengan persoalan dalam Islam yang
sangat mendasar ini.
Dalam kerangka disiplin ilmu Fiqh Islam dikenal ada dua bentuk zakat,
yaitu zakat yang berkaitan dengan harta kekayaan, ini biasa disebut
dengan zakat Maal dan zakat yang berkaitan dengan diri seseorang, ini
disebut zakat Fithrah.
Pada pembahasan ini akan hanya akan dikaji persoalan-persoalan
yang berkaitan dengan zakat fithrah menurut pemahaman para ulama, baik
ulama salaf maupun khalaf.
Pengertian Zakat Fithrah
Zakat Fithrah adalah zakat yang wajib ditunaikan lantaran telah
menyelesaikan ibdah shiyam di bulan Ramadhan. (Fiqh Sunnah, Sayyid
Sabiq 1/384).
Di dalam kitab Fiqh para ulama menamakan zakat Fithrah ini dalam
beberapa sebutan, diantaranya:
- Shadaqatul Fithri
- Zakatul Fithrah
- Zakataul Badan
- Zakatur Rasi (zakat kepala)
(lihat Hasyiyah Ibnu Abidin/ Raddul Mukhtar 2/78, Az Zakat, At
Thayyar : 125)

Hukumnya
Jumhur ulama berpendapat bahwa zakat fithrah ini hukumnya wajib,
kecuali beberapa ulama mutaakhirin dari pengikut madzhab Malikiyah.
Mereka berpendapat bahwa zakat fithrah hukumnya sunnah. (Bidayatul
Mujtahid, Ibnu Rusyd 3/131 dan Al Mughni, Ibnu Qudamah 4/281).
Adapun dalil yang dipakai Jumhur adalah sabda Rasulullah :









.




Dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah telah mewajibkan zakat fithrah
satu sha kurma atau satu sha gandum atas setiap orang muslim, merdeka
ataupun hamba sahaya, laki-laki ataupun perempuan. (HR. Bukhary No.
1504, Muslim 2/677 dan Ashhabus Sunan).
Dalam riwayat lain disebutkan :





......

bagi anak kecil maupun orang dewasa, orang merdeka atau hamba
sahaya. (HR. Bukhary, No. 1512).

Bahkan Ibnu Mundzir menyebutkan ulama telah sepakat bahwa zakat


fithrah ini hukumnya wajib. (Al Mughni, Ibnu Qudamah 4/281).
Kapan dan Hikmah Disyraiatkannya
Zakat fithrah mulai disyariatkan bersamaan dengan tahun
disyariatkannya puasa Ramadhan yaitu pada tahun kedua Hijriyah, (lihat
Mirqatul Mafatih, Abu Hasan AL Mubarakfury 4/159 dan Al Fiqhu Ala
Madzahibil Arbaah, Al Jazirery 1/567).
Adapun hikmah disyariatkannya adalah sebagai berikut :
1. Bagi orang yang berpuasa, membayar zakat fithrah berarti
membersihkan dan mensucikan dirinya dari kekurangan-kekurangan
yang mungkin ia lakukan selama menjalankan ibadah puasa, berupa
perkataan atau perbuatan yang melanggar syariat atau lainnya.
2. Sedangkan bagi masyarakat umum, disyariatkannya zakat fithrah
sangat membantu kaum fakir miskin untuk dapat ikut bergembira dan
merasakan kebahagiaan pada hari raya Iedul Fithri seperti yang
dirasakan oleh orang-orang pada umumnya, sehingga pada hari yang
penuh kegembiraan itu mereka tidak lagi meminta-minta atau bersedih

hati lantaran telah memperoleh makanan yang cukup pada hari itu.
(lihat Fiqh Zakat, Dr. Yusuf Qardhawi 2/922 dan Az Zakat, At
Thayyar 125-126).
Hal ini didasarkan pada sebuah hadits Rasulullah :


Dari Ibnu Abbas ia berkata, Rasulullah mewajibkan zakat fithrah
untuk membersihkan orang yang berpuasa dari perkataan yang sia-sia
dan perbuatan yang tidak terpuji serta untuk memberi makan kepada
orang-orang msikin. Barangsiapa membayarkannya sebelum shalat,
maka zakatnya diterima. Dan barangsiapa membayarkannya setelah
shalat, maka itu hanya bernilai shadaqah saja. (HR. Abu Daud No.
1371 dan Ibnu Majah No. 1831, dan dishahihkan oleh Al Bani dalam
Irwaul Ghalil, No. 834).
Dan Waki bin Jarrah Rahimahullah berkata :

Zakat Fithrah pada bulan Ramadhan itu seperti sujud sahwi dalam
shalat, dapat menutupi kekurangan dalam puasa, seperti sujud sujud
sahwi dapat menutupi kekurangan dalam shalat. (Nihayatul Muhtaj
Ila Syarhil Minhaj, Al Allamah Ar Ramli 2/108).

Siapa yang berhak menunaikan zakat fithrah?


Zakat fithrah wajib dibayarkan oleh kaum muslimin yang mampu untuk
melaksanakannya. (Al Mughni 4/307). Artinya kewajiban membayar zakat
fithrah mencakup semua lapisan masyarakat, baik orang kaya maupun
orang miskin, dewasa maupun anak-anak, merdeka maupun budak, dan
laki-laki maupun wanita.
Hanya saja jumhur ulama menyatakan orang fakir baru akan terkena
kewajiban membayar zakat fithrah manakala ia memiliki kelebihan
persediaan makanan bagi diri dan keluarga yang berada dalam
tanggungannya selama malam dan pada keesokan hari rayanya, dan telah
memenuhi kebutuhan sandang dan papan bagi mereka. Kalau sebaliknya,
maka ia tidak terkena kewajiban membayar zakat fithrah, bahkan ia adalah

orang yang berhak untuk menerimanya. (lihat Al Mughni 4/307 dan Fiqh
Zakat, Dr. Yusuf Qardhawi 2/930).


.



Rasulullah bersabda : (Zakat Fithrah itu adalah) satu sha gandum bagi
masing-masing anak kecil atau orang dewasa, orang merdeka atau hamba
sahaya, laki-laki maupun perempuan. Adapun orang kaya dari kalian maka
akan Allah sucikan dirinya, adapun orang yang miskin dari kalian maka
Allah akan kembalikan kepadanya lebih banyak dari apa yang telah ia
bayarkan. (HR. Abu Daud No. 1379 dan Ahmad).

Kadar wajib dan Apa-apa Yang Diperbolehkan Untuk Membayar Zakat


Fithrah
Jumhur ulama selain Imam Abu Hanifah Rahimahullah mengatakan
bahwa kadar wajibnya membayar zakat fithrah adalah satu sha dari bahan
makanan pokok penduduk suatu negeri tempat seseorang berada. (lihat
Fiqh Sunnah 1/383, Kitabul Fiqhi Ala Madzahibil Arbaah, 1/567-570,
Minhajul Muslim, 382).
Sedangkan satu Sha adalah Empat Mudd, sedangkan satu mudd
gandum beratnya sama dengan 2240 gram (1,24 kg). demikian menurut
penelitian salah seorang ulama yang telah dilakukan berulang-ulang
tentang kepastian berat dari satu sha. (lihat Az Zakat 99-100).
Ini adalah kadar minimal, namun diperbolehkan untuk membayar zakat
fithrah melebihi kadar yang ditentukan ini. (lihat Majmu Fatawa Ibnu
Taimiyyah 25/70).
Bolehkah Membayar Zakat Fithrah dengan Uang?
Jumhur Ulama; Imam Malik, Imam Syafii, Imam Ahmad dan Ibnu
Hazm Rahimahumullah- mengatakan, tidak sah membayar zakat fithrah
dengan uang. (lihat Al Mughni 4/295 dan Al Muhalla, Ibnu Hazm 6/137).
Sementara Imam Abu Hanifah dan Umar bin Abdul Aziz Rahimahumallah.
Ketika Imam Ahmad ditanya tentang boleh tidaknya membayar zakat
fithrah dengan uang dirham, beliau menjawab : Saya takut zakatnya tidak
diterima karena menyelisihi sunnah Rasul .
Lalu dikatakan kepada beliau, Ada suatu kaum yang mengatakan bahwa
Umar bin Abdul Aziz membolehkannya. Beliau berkata, Mereka telah
meninggalkan hadits Rasulullah dan mengambil perkataan seseorang,

padahal Ibnu Umar berkata, Bahwa sanya Rasulullah telah mewajibkan


zakat fithrah satu sha kurma atau satu sha gandum. Sedangkan Allah
berfirman : Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul (QS. An
Nisa : 59). Mereka adalah kaum yang menolak sunnah. (Al Mughni
4/295).
Syeikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menyebutkan beberapa
alasan mengapa jumhur ulama tidak membolehkan membayar zakat fithrah
dalam bentuk uang, diantaranya :
1. Karena hal ini menyelisihi perintah Rasulullah .
2. Karena hal ini menyelisihi amalan yang telah dipraktekkan oleh para
sahabat, dimana mereka menunaikannya dengan satu sha makanan.
Sebagaimana dari Abu Said , ia berkata : Kami mngeluarkannya
zakat fithrah pada zaman Nabi berupa satu sha makanan. (HR.
Bukhary).
3. Karena zakat fithrah adalah ibadah yang diwajibkan dari jenis yang
tertentu (makanan pokok), maka tidak sah kalau dikeluarkan bukan
dengan jenis lainnya sebagaimana tidak sah kalau dikeluarkan bukan
pada waktu yang telah ditentukan. (Majlis Syahri Ramadhan : 228).
Waktu Membayarkannya
Para ulama sepakat bahwa mulai diwajibkannya membayar zakat
fithrah adalah ketika tenggelamnya matahari di akhir bulan Ramadhan,
berdasarkan hadits dari Ibnu Umar di atas. (Bidayatul Mujtahid 3/140, Al
Mughni 4/298 dan Manarus Sabil, Ibrahim bin Muhammad 1/258).
Dan dibolehkan membayarkannya sehari atau dua hari sebelum hari
Iedul Fithri, berdasarkan hadits Ibnu Umar :

Mereka (para sahabat) memberikannya sehari atau dua hari sebelum


Iedul Fithri. (HR. Bukhary).
Namun waktu yang paling utama (afdhal) adalah pada hari Iedul Fithri
sebelum pelaksanaan shalat Ied, sebagaimana dalam hadits Ibnu umar :



...


Dan beliau memerintahkan agar dibayarkan sebelum orang-orang keluar


melaksanakan shalat. (HR. Bukhary, No. 1503).
Siapa Yang Berhak Menerima Zakat Fithrah?

Ibnu Rusyd mengatakan bahwa para ulama sepakat zakat fithrah


diberikan kepada orang-orang muslim yang fakir. (Al Bidayah 3/141). Dan
boleh diberikan kepada orang fakir yang ada di luar wilayahnya seandainya
sudah tidak ada lagi orang fakir yang ada di wilayahnya.
Pada dasarnya zakat fithrah ini hanya diperuntukkan bagi orang-orang
fakir dan miskin, namun sekiranya ada kemaslahatan lain maka boleh
dialokasikan kepada salah satu atau beberapa golongan lainnya yang
berhak menerima zakat. (lihat Az Zakat ; 129 dan Minhajul Muslim :
383).
Penutup
Demikianlah pembahasan singkat tentang zakat fithrah dan fungsinya
dalam tinjauan Islam sebagaimana yang telah dipahami oleh para ulama,
baik ulama salaf maupun ulama khalaf. Mudah-mudahan Allah
memberikan kemudahan kepada kita untuk dapat mencerna dan
memahaminya dan yang lebih penting lagi menerapkannya dalam
kehidupan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan kaidah-kaidah yang
telah ditetapkan.
Wallahu Alam bis Shawwab

FIQH IEDUL FITHRI

Definisi dan Dalil


Kata Ied berasal dari kata aada yauudu audan iedan,
yang berarti kembali. Dikatakan Ied dikarenakan selalu diulang-ulang.
(lisanul Arab 3/319).
Ibnul Arabi berkata, Dinamakan Ied dikarenakan setiap tahun hari
tersebut selalu kembali dirayakan.
Dan dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah
bersabda,

Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan, dan


janganlah kalian jadikan makamku sebagai tempat yang kalian selalu
berulang-ulang menziarahinya. (HR. Abu Daud No. 1746 dan Ahmad).

Menjadikan rumah-rumah kita seperti kuburan artinya di rumah itu


tidak pernah terdengar lantunan ayat-ayat suci Al Quran yang dibaca oleh
penghuninya. Dan juga karena penghuninya tidak pernah menunaikan
shalat Lail (dan shalat sunnah pada umumnya).
Dan beliau sangat tidak menghendaki kalau kita sebagai ummatnya
datang dari penjuru dunia, dari tempat yang jauh hanya untuk berziarah ke
makamnya. Sehingga dalam hadits lain secara tegas beliau bersabda,


( )




Dan janganlah kalian bersusah payah mengadakan suatu perjalanan
kecuali mengunjungi tiga buah masjid. Yaitu Masjidil Haram, Masjidil
Aqsha, dan Masjidku ini (Masjid Nabawi). (HR. Bukhary Muslim).

Sedangkan kata Fithri berasal dari kata futhur, yang berarti


makan. Jadi, Iedul Fithri adalah hari dimana ummat Islam diperbolehkan

kembali makan di siang hari setelah sebulan penuh mereka diharamkan


melakukannya. (Lihat Hasyiyah Ibnu Abidin 2/165).
Pernyataan ini disandarkan kepada sebuah sabda Rasulullah :
Puasa (Ramadhan) itu adalah pada hari kalian berpuasa. Dan Iedul Fithri
itu adalah pada hari kalian berbuka. Sedangkan Iedul Addha adalah pada
hari kalian menyembelih hewan kurban. (HR Tirmidzi, Abu Dau, Ibnu
Majah dan Al Baihaqi).
Waktu Disyariatkannya Iedul Fithri
Iedul Fithri disyariatkan pada tahun pertama Hijriyah. (lihat Fiqh
Sunnah, Sayyid Sabiq 1/236). Dalilnya hadits dari Anas bin Malik :




:


:



.






Dari Anas, ia berkata, Rasulullah datang ke Madinah, sedang penduduk
Madinah saat itu telah mempunyai dua hari besar, dimana mereka
merayakannya dengan bermain dan bersenang-senang. Kemudian
Rasulullah bertanya, Hari apa ini? Mereka menjawab, Pada kedua hari
ini kami memang senantiasa bermain/bersuakria pada masa Jahiliyah
dahulu. Kemudian Rasulullah bersabda, Sesungguhnya Allah telah
mngganti keduanya dengan hari yang lebih baik daripada dua hari raya itu,
yaitu hari raya Iedul Adhha dan hari raya Iedul Fithri . (HR. Ahmad, Abu
Daud, Al Hakim).
Dan dalil yang lainnya yaitu,

Dari Abu Said AL Khudry ia berkata, Rasulullah senantiasa keluar


menuju mushalla (tanah lapang) pada hari Iedul Fithri dan Iedul Addha.
Lalu yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat. (HR. Bukhary).

Sedangkan dalil lain adalah Ijma, bahwasanya semua ulama sepakat


tentang disyariatkannya Iedul Fithri dan Iedul Adhha di dalam Islam,
sehingga seandainya kita tidak tahu dalil-dalil Al Quran dan Sunnah
tentang masalah ini, maka cukuplah Ijma ulama tersebut sebagai hujjah.

Karena Ijma itu tidak mungkin salah. Sebagaimana sabda Rasul yang
artinya, Tidak mungkin ummatku berijma/bersepakat di atas kesesatan.
(AL Mughni 2/253).
Hukum Shalat Iedul Fithri
Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa shalat Iedul Fithri itu
hukumnya wajib. Ini adalah pendapat dari madzhab Hanafi. Sementara
menurut ulama lainnya, seperti Imam Syafii dan Imam Malik
Rahimahumallah, mengatakan bahwa shalat Iedul Fithri hukumnya sunnah
Muakkadah. Alasannya karena Rasulullah tidak pernah meninggalkan
shalat tersebut. Dikatakan Muakkadah karena dalil-dalilnya kuat,
sebagaimana hukumnya shalat fardhu berjamaah. (lihat Bidayatul
Mujtahid 2/479).
Para ulama yang mengatakan shalat Iedul Fithri hukumnya tidak wajib
menyandarkan pada sebuah riwayat,




!




:








( )






:

Dari Thalhah bin Ubaidillah bahwa seorang arab Badui datang menghadap
Rasulullah dengan rambut kusut tidak di sisir lalu bertanya, Wahai
Rasulullah, terangkan kepadaku shalat yang telah Allah wajibkan atasku
sehingga aku harus melaksanakannya? Rasul menjawab, Shalat fardhu
yang lima kecuali engkau mau menambah dengan shalat tathawwu
(sunnah). (HR. Bukhary)
Dari riwayat ini para ulama menyimpulkan bahwa tidak ada shalat yang
wajib kecuali shalat lima waktu. Selain lima waktu hukumnya sunnah,
termasuk shalat Iedul Fithri dan Iedul Adhha. Adapun Imam Ahmad
Rahimahullah, mengatakan shalat Iedul Adhha hukumnya Fardhu Kifayah.
(Al Mughni 3/253).
Waktu Shalat Iedul Fithri
Para ulama mengatakan bahwa waktu shalat Iedul Fithri dan Iedul
Adhha adalah dimulai dari naiknya matahari setinggi satu tombak sampai
tergelincir. (Minhajul Muslim : 278). Namun yang lebih afdhal shalat Iedul
Fithri agak diakhirkan daripada shalat Iedul Adhha, karena demikianlah
yang dilakukan Rasulullah . (Zaadul Maada, Ibnu Qayyim 1/442).

Ada dua hikmah shalat Iedul Fithri diakhirkan :


1. Shalat Iedul Fithri lebih afdhal diakhirkan karena sebelum shalat
tersebut kita disunnahkan untuk makan terlebih dahulu. Diakhirkan
waktunya di sini adalah dalam rangka untuk memberi kesempatan
kepada kaum muslimin untuk makan pagi terlebih dahulu.
2. Selain itu, shalat Iedul Fithri lebih afdhal diakhirkan waktunya karena
untuk memberi kesempatan yang longgar kepada kaum muslimin
dalam membayar zakat fithrah. Karena waktu terakhir pembayaran
zakat fithrah tersebut adalah menjelang pelaksanaan shalat Iedul
Fithri. Seangkan shalat Iedul Adhha itu lebih afdhal dikerjakan diawal
waktu, karena kita disunnahkan untuk tiidak makan terlebih dahulu.
Tempat Pelaksanaan Shalat Iedul Fithri
Menurut Jumhur ulama, tempat yang paling afdhal untuk pelaksanaan
shalat Iedul Fithri adalah tanah terbuka (lapangan), karena Rasulullah
melakukan shalat tersebut di lapangan. Hal ini sebagaimana dikisahkan
oleh Abu Said Al Khudriy :

Rasulullah senantiasa keluar menuju mushalla (tanah lapang) pada hari


Iedul Fithri dan Iedul Adhha. (HR. Bukhary)

Padahal dalam hadits lain beliau menjelaskan bahwa sekali shalat di


masjid Nabawi nilainya sama dengan seribu kali shalat di tempat lainnya
kecuali Masjidil Haram. Namun demikian beliau selalu keluar dan
melaksanakan shalat dua Ied ini di lapangan. Ini sebagai bukti bahwa
shalat Ied di lapangan itu lebih utama dari pada di masjid. (lihat Al
Madkhal, Ibnu Hajji Al Maliki 2/283).
Dan di lapangan dapat memuat jamaah lebih banyak daripada di
masjid. Apalagi para wanita yang haidh pun dianjurkan untuk
mendengarkan khutbah Ied, sedangkan wanita yang haidh di larang
tinggal di masjid. Itulah sebabnya shalat Ied lebih baik dilaksanakan di
lapangan dari pada di masjid.
Kaifiyyah Shalat Iedul Fithri
Menurut kesepakatan para ulama, shalat Iedul Fithri jumlahnya adalah
dua rakaat. Berdasarkan perkataan Umar bin Khatthab :

).





(
Shalat Jumat itu dua rakaat, shalat Iedul Fithri dua rakaat, shalat Iedul
Adhha dua rakaat dan shalat safar juga dua rakaat sempurna dengan tidak
di qashar berdasar sabda Rasulullah Muhammad . (Atsar ini
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam An Nasai).
Adapun jumlah takbir pada rakaat pertama adalah tujuh kali. Tentang ini
ada yang mengatakan termasuk Takbiratul Ihram, seperti Imam Ahmad
Rahimahullah. Tetapi juga ada yang mengatakan selain Takbiratul Ihram,
seperti Imam Syafii Rahimahullah. Dalam hal ini kita boleh memilih salah
satu dari keduanya, karena ini sifatnya ijtihadi. Atau kita tidak memakai
takbir selain takbiratul Ihram pun boleh (sah). Karena takbir itu adalah
sunnah hukumnya. Tetapi dalam hal ini kita sebaiknya mengamalkan
sunnah. (Al Mughni 2/244).
Sedangkan pada rakaat yang kedua seluruh ulama bersepakat
jumlahnya lima kali takbir, selain takbir intiqal/takbir bangkit dari sujud. Hal
ini berdasarkan riwayat dari Aisyah g :

( )






Dari Aisyah g bahwasanya Rasulullah ketika dalam shalat Iedul Fithri
dan Iedul Adlha bertakbir tujuh kali pada rakaat pertama dan lima kali pada
rakaat kedua. (HR. Ahmad dan An Nasai).

Adapun bacaan yang dibaca diantara takbir tersebut, Ibnu Taimiyah


membolehkan membaca :

Memang nash dari hadits tidak ada, namun banyak ulama salaf yang
mengamalkan ini. Jadi, kalau kita mengamalkan seperti itu boleh, karena
ada contohnya dari para ulama. Kalaupun tidak mengamalkan seperti itu
juga tidak apa-apa. Dalam hal ini kita tidak boleh mewajibkan untuk
membacanya atau melarangnya, juga tidak boleh membidahkan orang
yang mengamalkan salah satu dari keduanya.
Imam Ibnu Qayyim Rahimahullah berkata (Zaadul Maaad 1/443):
Nabi diam sejenak diantara dua takbir, namun tidak dihafal dari beliau
dzikir tertentu yang dibaca antara dua takbir tersebut. Akan tetapi ada atsar
dari Ibnu Masud tentang hal ini. Beliau berkata :

Antara dua takbir berisi pujian dan sanjungan kepada Allah . (HR. AL
Baihaqi 3/291 dan sanadnya Jayyid).

Adapun surat yang dibaca pada rakaat pertama adalah surat Al Ala,
sedangkan pada rakaat kedua adalah surat Al Ghasiyah, seperti shalat
Jumat (HR. Muslim 878). Atau boleh juga pada rakaat pertama surat Qaf
sedangkan pada rakaat kedua adalah surat Al Qmar. (HR. Muslim 891).
Shalat Ied ini juga tidak didahului oleh shalat sunnah, baik qabliyah
ataupun badiyah serta tidak ada adzan dan tidak pula iqamah. Dasarnya
dari Jabir bin Samurah , ia berkata :

Aku telah shalat dua hari raya bersama Rasulullah lebih dari sekali dua
kali tanpa didahului adzan dan iqamah. (HR. Muslim).

Apabila tidak mendapati shalat berjamaah, maka ia dianjurkan untuk


shalata dua rakaat. Demikian pendapat Atha, Imam Bukhary dan
Madzhab Syafii, sehingga ia mendapati keutamaan shalat Ied.
Khutbah Ied
Khutbah ini dilaksanakan setelah selesai melakukan shalat Ied .
dalilnya adalah riwayat dari Ibnu Abbas :

Aku menyaksikan shalat bersama Rasulullah , Abu Bakar, Umar dan


Utsman , mereka semua melaksanakan shalat sebelum khutbah. (HR.
Bukhary).
Adapun tentang apakah khutbah Ied itu sekali atau dua kali, dalam hal
ini diperselisihkan oleh para ulama. Syeikh Muhammad bin Wahhab Az
Zuhaili Rahimahullah mengatakan, Khutbah Ied itu dua kali. Demikian
menurut Imam Malik Rahimahullah. Memang tidak ada nash yang shahih
dari Rasulullah yang menerangkan bahwa khutbah Ied itu dua kali. Tetapi
penetapan khutbah Ied itu ada dua kali adalah berdasarkan istinbat dari
para ulama dalam menyimpulkan waqii yang ada atas pertimbangan
bahwa pada Iedul Fithri dan Iedul Adhha seperti shalat Jumat, ada
shalatnya dua rakaat dan khutbah.

Sementara menurut Ibnu Qayyim Rahimahullah juga mengatakan tidak


ada keterangan bahwa Rasulullah membuka khutbah pertama dengan
takbir sembilan kali dan khutbah kedua tujuh kali. (Zaadul Maaad 1/447448). Tetapi hal ini diamalkan oleh para ulama. Maka kita dalam hal ini juga
tidak terlalu memaksakan, kedua-duanya boleh/sah.
Adapun mendengarkan khutbah Ied hukumnya sunnah, karena
Rasulullah bersabda setelah beliau mengimami shalat Ied :



Sesungguhnya kami akan berkhutbah, maka barangsiapa yang ingin tetap
duduk untuk mendengarkan khutbah hendaklah ia duduk, namun
barangsiapa yang ingin pergi silahkan pergi. (HR. Abu Daud, sanadnya
shahih, lihat Irwaul Ghalil 3/96-98).

Waktu Takbir Iedul Fithri


Syeikh Muhammad bin Muhammad Mukhtar As Syinqithy berpendapat
bahwa waktu mulai diperbolehkannya takbir Iedul Fithri adalah pada
malam satu Syawwal. Hal ini berdasarkan firman Allah : Dan hendaklah
kalian
mencukupkan
bilangannya
dan
hendaklah
kalian
mengumandangkan takbir atas hidayah-Nya yang telah diberikan kepada
kalian mudah-mudahan kalian mau bersyukur. (QS. Al Baqarah : 22).
Namun waktu takbir yang paling ditekankan adalah dimulai dari bada
shubuh sampai ditunaikannya shalat Ied. Hal ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya.
Adapun lafadz takbir bisa diucapkan dua kali dan bisa juga tiga kali,
keduanya boleh diakai. (lihat Ahkamul Iedain, Syeikh Ali Hasan Abdul
Hamid : 22).
Sunnah-sunnah Pada Iedul Fithri
1. Sunnah mandi di pagi harinya














(4/74 1/417 )

2.

Dari Ibnu Abbas , bahwa sanya Rasulullah selalu mandi untuk


shalat Iedul Fithri sehingga beliau makan beberapa butir kurma. (HR.
Bukhary)
Makan terlebih dahulu ketika akan menghadiri shalat Iedul Fithri.


(2/21 )

Dari Anas , adalah Rasulullah tidak berangkat untuk shalat Iedul


Fithri sehingga beliau makan beberapa butir kurma. (HR. Bukhary)
3.

4.

Memakai wangi-wangian dan mengenakan pakaian terbaik yang


dimiliki, bahkan Rasulullah ketika itu memakai burdah berwarna hijau
dan terkadanag bergaris-garis merah, bukan warna merah yang polos,
karena kita tidak diperbolehkan memakai pakaian warna merah polos.
Mengambil jalan yang berlainan ketika pergi menghadiri shalat Iedul
Fithri dengan jalan pulang darinya.

Ucapan Selamat pada Hari Ied


Syeikh Ibnu Taimiyah ditanya tentang ucapan selamat pada hari raya,
maka beliau menjawab, Ucapan selamat pada hari raya, dimana sebagian
orang mengatakan kepada yang lain jika bertemu setelah shalat Ied,
Taqabbalallahu Minna wa Minkum, (Semoga Allah menerima dari kami dan
dari kalian), dan yang semisalnya, ini telah diriwayatkan dari sekelompok
sahabat bahwa mereka mengerjakannya. (Majmu Fatawa 24/253).
Imam Ibnu Hajar dalam Kitab Fathul Bari (2446) mengatakan dalam Al
Mahamiliyyat dengan Isnad yang hasan dari Jubair bin Nufair, ia berkata :
Para sahabat Rasulullah bila bertemu pada hari raya, maka sebagian
mereka berkata kepada sebagian yang lain : Taqabbalallahu Minna wa
Minka.
Beberapa Amalan Bidah dan Munkar pada Hari Raya Iedul Fithri
1. Ziarah kubur, yaitu mengkhususkan ziarah kubur pada pagi hari raya
Iedul Fithri setelah shalat Ied. Hal ini disebutkan oleh Syeikh Al Bani
dalam kitab Ahkamul Janaiz (258).
2. Mengkhususkan qiyamul Lail pada malam Ied dengan beranggapan
pada saat itu mempunyai fadhilahnya tersendiri, karena riwayat
tentang ini palsu.

3.
4.

Barangsiapa menghidupkan malam Iedul Fithri dan malam Iedul


Adhha, maka hatinya tidak akan mati pada hari hati akan menjadi
mati. (Hadits ini palsu, lihat Silsilah Hadits-hadits Palsu, Syeikh
Albani No. 520).
Berpuasa pada hari raya Iedul Fithri.
Berjabat tangan antara pria dan wanita yang bukan mahramnya.

Demikianlah makalah ini kami susun, mudah-mudahan Allah


senantiasa membimbing kita kepada jalan Hidayah, jalan yang telah

dicontohkan oleh Rasulullah dan di tempuh oleh para sahabat beliau dan
orang-orang yang mengikuti jejak langkah mereka dengan ihsan. Dan
muah-mudahan kita juga dijauhkan oleh Allah dari jalan bidah dan
penyimpangan karena hal tersebut hanya akan membawa kepada
penyesalan dan kesengsaraan.
Segala puji hanya milik Allah dan semoga shalawat dan salam selalu
tercurah kepada Rasulullah . Amien !!!

Anda mungkin juga menyukai