Anda di halaman 1dari 14

IKHLAS BERAMAL

MAKALAH

MATA KULIAH : HADIST

NAMA DOSEN : SAWALUDIN S.Pd.I,M.Ag

DISUSUN OLEH:

 MUHAMMAD IQBAL FAUZAN (0502193231)


 NUR KHOFIFAH NST (0502191011)
 NIA NURDAHLIA (0502192056)

AKUNTANSI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
2019

1
2
KATA PENGANTAR

‫س ِم هللاِ ال َّر ْحم ِن ال َّر ِح ْي ِم‬


ْ ِ‫ب‬

Alhamdulillah, Segala puji dan syukur kita panjatkan ke hadiran Allah SWT karena

berkat limpahan rahmat, taufik serta hidayat-Nya, Kami dapat menyelesaikan


makalah tentang “IKLAS BERAMAL“ ini. Semoga kita semua selalu berada dalam
rida-Nya. Amin. Makalah ini merupakan laporan yang dibuat sebagai bagian dalam
memenuhi kriteria mata kuliah Hadits. Salam dan shalawat kami kirimkan kepada
suritauladan kita tercinta Rasulullah Muhammad SAW, keluarga, para sahabatnya
serta seluruh kaum muslimin yang tetap teguh dalam ajaran beliau.

            Kami menyadari, bahwa makalah ini masih ada kekurangan disebabkan oleh
kedangkalan dalam memahami teori. Semoga segala bantuan, dorongan, dan petunjuk
serta bimbingan yang telah diberikan kepada kami dapat bernilai ibadah di sisi Allah
SWT. Akhir kata,  semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya
bagi Penulis sendiri.

Medan, 30 Oktober 2019

                                                                             Penulis

Kelompok 6

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................... I


DAFTAR ISI .......................................................................................... II
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A.    Latar Belakang ........................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah ....................................................................... 1
C.     Tujuan Masalah ........................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................... 2
A.    Pengertian dan Niat Ikhlas Beramal ............................................ 2
B.     Cara Ikhlas dalam Beramal ......................................................... 6
C.     Menjauhi Perbuatan Riya’/ Syirik kecil ...................................... 10
BAB III PENUTUP ............................................................................... 14
A.    Simpulan ...................................................................................... 14
B.     Saran ............................................................................................ 14
C.     Daftar Pustaka ............................................................................. 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ikhlas dalam beramal merupakan sikap yang tiada mengharapkan tujuan lain
selain dari pada untuk mendekatkan diri  kepada Allah. Ikhlas dalam beramal tidak
boleh diikuti dengan niat riya, yaitu mengharapkan pujian atau kehormatan dari
sesamanya. Karena amal yang akan dibalas oleh Allah adalah amal  yang dilakukan
karena mengharap kasih dan sayang-Nya, yaitu dengan keikhlasan di dalam hatinya.
Mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan judul diatas merupakan hal
yang sangat penting sekali. Karena banyak sekali orang yang berbuat tidak disertai
dengan niat yang ikhlas. Sehingga kita perlu tahu, apa  hal-hal yang  menjadi tolak
ukur ikhlas atau tidaknya seseorang dalam berbuat kebajikan. Dan apa jadinya suatu
amalan yang dilakukan dengan niat bukan untuk mendapatkan ridha Allah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan iklas beramal beserta niatnya ?
2.      Bagaimana niat dan motivasi beramal ?
3.      Mengapa perbuatan riya’ dan syirik harus dijauhi ?
4. Apa yang di maksud istiqomah dan munafik?

C.    Tujuan Masalah
1.      Untuk pengetahui pengertian iklas beramal beserta niatnya.
2.      Untuk mengetahui niat dan motivasi dalam beramal.
3.      Untuk mengetahui bahayanya sifat riya’ dan syirik.
4. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan istiqomah dan juga munafik

i
2
3
BAB II
PEMBAHASAN

 Pengertian Ikhlas Beramal


Secara bahasa ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu
bersih tidak kotor. Maka orang yang ikhlas adalah orang yang menjadikan agamanya
murni hanya untuk Allah saja dengan menyembah-Nya dan tidak menyekutukan
dengan yang lain dan tidak riya dalam beramal.
Sedangkan secara istilah, ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah saja dalam
beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain. Memurnikan niatnya dari
kotoran yang merusak, atau dapat juga diartikan sebagai menyengajakan perbuatan
semata-mata mencari keridhaan Allah dan memurnikan perbuatan dari segala bentuk
kesenangan duniawi. Dengan demikian, perbuatan seseorang benar-benar tidak
dicampuri oleh keinginan yang bersifat sementara, seperti keinginan terhadap
kemewahan, kedudukan, harta, popularitas, simpati orang lain, pemuasan hawa nafsu,
dan penyakit hati lainnya.  Para ulama sepakat bahwa niat dalam setiap amal itu
merupakan satu kemestian bagi diperolehnya pahala dari amal itu. Ikhlas karena Allah
dalam berbuat merupakan salah satu syarat diterimanya perbuatan itu. hal ini, karena
Allah tidak akan menerima amal perbuatan seseorang kecuali karena keikhlasan,
hanya mengharap ridho-Nya.[1]

A.Niat  motivasi beramal :
         ‫ سمعت رسول هّللا‬: ‫عن أميرالمؤمنين أبى حفص عمر ابن الخطاب رضي هّللا عنه قال‬   
        ‫وسلم يقول‬             ‫ إنما األعمال بالنيات وسول هّللا صلى هّللا عليه‬: ‫صلى هّللا عليه وسلم يقول‬
‫ فمن كا نت هجرته‬, ‫ إنما األعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى‬:
        ‫يبها‬kkkkk‫دنياه يص‬kkkkk‫ه ل‬kkkkk‫انت هجرت‬kkkkk‫ ومن ك‬, ‫وله‬kkkkk‫ه إلى هّللا ورس‬kkkkk‫وله فهجرت‬kkkkk‫إلى هّللا ورس‬
‫ينكحها فهجرته إلى ما هجر إليه‬         ‫أوامرءة‬                                                               
“Dari Amirul Mu’minin Abu Hafshin Umar bin Khathtbab r.a., ia berkata
saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda : ‘sesunggunya segala amal ibadah
itu dengan niat. Dan sesunggunya bagi tiap-tiap orang itu, hanyalah menurut apa
yang diniatkannya. Maka barang siapa yang berhijrah karena Allah dan rasul-Nya,
maka ia akan memperoleh pahala. Dan barang siapa yang berhijrah untuk
memperoleh keduniaan (harta dan kemegahan dunia) atau karena seorang
perempuan yang akan dikawininya, maka ia akan memperoleh apa yang dihijrahinya
(ditujunya).”[2]
Hadits di atas menunjukn bahwa niat merupakan standar benar tidaknya suatu
perbuatan. Apabila niatnya baik, maka amalannya juga bernilai baik. Apabila niatnya
rusak, maka amalannya juga dinilai rusak. Jika perbuatan seseorang dihubungkan
dengan niat, maka dapat dibagi menjadi tiga:
Pertama: dia melakukan hal itu karena takut kepada Allah swt, ini adalah
model ibadah ala budak.

4
Kedua: dia melakukannya karena berharap masuk surga dan memperoleh
pahala, ini adalah model ibadah ala pedagang.
ketiga: dia melakukannya karena malu kepada Allah dan sebagai realisasi atas
hak Allah sebagai ilah yang harus diibadahi, serta sebagai wujud rasa syukur.
Selian itu, dia memandang dirinya masih kurang maksimal, sehingga hatinya
merasa takut, sebab dia tidak mengetahui apakah amalan yang dia lakukan diterima
ataukah tidak. Ini adalah model ibadah ala orang merdeka. Hal inilah yang disinggung
oleh Rasulullah ketika Aisyah berkata kepada beliau saat melihat beliau bangun
diwaktu malam hingga kedua kakinya bengkak, Aisyah bertanya, ‘Wahai Rasulullah,
mengapa engkau harus membebani diri seperti itu, Padahal Allah telah mengampuni
dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?    ”Beliau menjawab: “Bukankah
sudah sepantasnya aku menjadi hamba yang pandai bersyukur?” [3]
Telah disebutkan dalam Kitab Al-Bayan wat-Ta’rif, tentang sebab  Nabi
menyabdakan hadits ini: “manakala Rasulullah SAW telah bermukim di Madinah
sahabat-sahabatnya telah berhijrah kesana dan banyak yang mendapat penyakit
demam, datanglah seorang laki-laki ke Madinah dengan menyatahkan bahwa dia
berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya. Sebenarnya dia datang untuk mengawini
seorang perempuan yang ia cintai, yang telah lebih dulu ke Madinah, yang biasa
dipanggil Ummul Qois. Namanya yang sebenarnya  adalah Lailah. Pada suatu hari
Nabi naik ke mimbar memberi nasehat kepada umat. Diantara ucapan beliau ketika itu
ialah hadits yang dibahas ini.
Ibnu Mas’ud berkata: :Diantara para sahabat ada seorang lelaki yang ingin
kawin dengan seorang perempuan yang biasa dipanggil Ummul Qois yang tidak suka
menjadi istri orang yang mencintainya. Kalau orang itu tidak mau berhijrah. Karena
itu, berhijrahlah orang tersebut, lalu kawinlah mereka. Para sahabat menamai
orang/lelaki itu dengan Muhajir Ummu Qois = seseorang yang berhijrah karena
Ummul Qois. Kisah Muhajir Ummul Qois ini diriwayatkan oleh: Sa’ied Ibnu
Manshur dalam sunahnya.
Hadis ini menerangkan bahwa setiap perbuatan syar’iyyah tergantung dengan
niat dan hisbah (keinginan untuk mendapatkan pahala). Yaitu apabila dikaitkan
dengan hadis Umar bahwa setiap perbuatan tergantung niatnya dan hadits Ibnu
Mas’ud yang menyatahkan bahwa setiap amal adalah untuk mendapatkan pahala.
Ibn Munir menyebutkan kaidah perbuatan yang memerlukan niat dan ada yang
tidak. Beliau berkata , “Setiap perbuatan yang tidak menimbulkan dampak seketika
tetapi dimaksudkan mencari pahala, maka disyaratkan niat. Apabila perbuatan
tersebut menimbulkan efek seketika dan telah dipraktekkan sebelum datangnya
syari’ah karena adanya kesesuaian di antara keduanya, maka tidak disyaratkan niat,
kecuali yang mengerjakan memiiki maksud lain untuk mendapatkan pahala.
Semua yang bersifat maknawi seperti rasa takut dan raja’ (permohonan) tidak
disyaratkan niat, karena perbuatan tersebut tidak akan terwujud tanpa disertai niat.
Jika tidak ada niat maka mustahil perbuatan tersebut akan terwujud. Oleh karena itu
niat merupakan syarat logis bagi perbuatan. Berdasarkan hal itu, maka tidak
disyaratkan niat untuk menghindari adanya pengulangan yang tidak perlu. Sedangkan
perbuatan yang harus disertai dengan niat ada tiga. Pertama, perbuatan yang
dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menghindari riya’. Kedua,
untuk membedakan perbuatan lain yang tidak dimaksud. Ketiga, membuat kalimat
baru untuk keluar dari perbuatan sebelumnya dan memulai perbuatan yang baru.[4]
Jadi jelas bahwa “sahnya sesuatu amal hanya dengan adanya niat”. Suatu amal
yang tidak disertai niat, tidaklah dihukum sah. Inilah yang dimaksud dengan basbr.
Para ulama sependapat menetapkan bahwa lafaz ini
memfaedahkan basbr/qasbr. [5]Akan tetapi para ahli ushul dan ulama-ulama
pensyarah hadits berselisih pendapat tentang “apakah yang memfaedahkan basbr,
ialah lafaz al-a’mal yang merupakan jama’ dari lafaz ‘amal. Tiap-tiap lafaz jama’ jika
dimasukkan adat ta’rif (tanda pengenal), yaitu al, niscaya memfaedahkan umum.
Nabi Muhammad SAW menyabut amal disini dengan lafaz jama’nya. Maka
dipahamkanlah, bahwa seluruh amal, tidak dipandang adanya oleh syara’, melainkan
disertai dengan niat. Mereka ini mengatakan: lafaz innama di sini,
memfaedahkan ta’kid saja.
Adapun niat menurut bahasa adalah tujuan hati atau kehendak hati. Menurut
syara’ adalah bergerak kearah suatu pekerjaan mencari keridhaan Allah untuk
mengatakan tunduk dan patuh kepada perintah-Nya.
Al-Badhawi berkata:
“Niat itu ialah bergerak hati kepada mengerjakan sesuatu yang dipandang
baik, untuk sesuatu maksud, baik untuk menarik sesuatu manfaat, ataupun untuk
menolak suatu mudharat, dalam waktu yang cepat atau waktu yang akan datang. Dan
syara’ menentukan niat dengan iradat (kehendak hati) yang berhadap ke arah
pekerjaan untuk mencari keridhaan Allah dan untuk mematuhu perintah-Nya”.[6]
Kebanyakan ulama Mutaakhirin Syafi’yah mengartikan niat Syar’iyah (niat
yang dipandang syara) dengan:
                ‫قصد الشئ مقنر نا بفعله‬ 
 
“Memaksudkan (sengaja melakukan sesuatu), bersamaan dengan
mengarjakannya”.

B. B.Menjauhi Riya/Syirik Kecil

Seorang muslim tidak akan berbuat riya’,karena riya adalah kemunafikan dan
kesyitikan.Sedang seorang Muslim adalah orang yang beriman lagi bertauhid,dengan imannya
dan tauhidnnya dia menentang akhlak riya’ dan kemunafikan.Maka seorang muslim tidak
akan pernah menjadi seorang munafik dan tidak pula seprang tukang pamer(riya’).

Cukuplah seorang muslim didalam membenci akhlak tercela ini dan menjauhinya
dengan mengetahui bahwa,sesungguhnya Allah dan RasulNya membenci dan mengancam
perbuatan riya’.Allah mengancam dalam orang-orang yang pamer dengan siksaan,Allah SWT
berfirman:

َ‫ الَّ ِذينَ هُ ْم ي َُراءُون‬. َ‫صاَل تِ ِه ْم َساهُون‬ َ ‫َ فَ َويْل لِ ْل ُم‬


َ ‫ الَّ ِذينَ هُ ْم ع َْن‬, َ‫صلِّين‬

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,(yaitu) orang-orang yang lalai


dari shalatnya,dan orang-orang yang berbuat riya’.”(Al-Ma’un:4-6)

Rasullulah SAW bersabda,Allah SWT berfirman

“Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan yang mana dia menyekutukan Aku di dalam
amalan itu dengan selainKu,maka semua amal itu adalah untuk sekutunya,dan Aku berlepas
diri darinya.Aku adalah Dzat yang Mahakaya( tidak butuh ) persekutuan.” 585

“Barangsiapa yang berbuat riya’(pamer) maka Allah akan mempertkunjukkan


aibnya(pada hari Kiamat),dan barang siapa yang ingin agar(amalannya)didengar,maka Allah
akan memperdengarkan aibnya(pada hari kiamat).” 586
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan dari yang aku takutkan atas kamu sekalian
adalah syirik kecil.”Mereka bertanya,”Apa syirik kecil itu ya Rasullulah?”Beliau
menjawab,”Riya,Allah SWT berfirman pada Hari Kiamat ketika membalas para hamba atas
amalan-amalan mereka,’Pergilah kepada orang yang kamu berbuat riya’ untuknya
didunia.Lihatlah apakah kamu temukan pahala si sisinya?’” 587

Adapun hakikat riya’(pamer) adalah keinginan hamba di dalam beribadah dan taat
kepada Allah SWT untuk memperoleh perhatian dan kedudukan di hati manusia.

Tanda-tanda riya’adalah sebagai berikut:

1. Jika seorang hamba bertambah ketaatan ibadahnya di kala dipuji atau di sanjung di
dalam ketaatannya tersebut,dan ia akan meninggalakannya jika dicela pada
ketaatannya itu.
2. Jika seseorang rajin beribadan di kala bersama manusia lain,akan tetapi menjadi
malas jika sendirian.
3. Mau bersedekah,namun bila tidak ada yang melihatnya dia tidak mau bersedekah.
4. Membicarakan kebenaran dan kebaikan atau melaksanakan ketaatan dan kebaikan
akan tetapi bukan murni karena Allah,namun juka karena manusia atau ,bukan karena
Allah sama sekali,namun hanya karna manusia semata.

Cara menjauhi riya’ atau syirik kecil adalah sebagai berikut:

Disebutkan dalam kitab al adabul mufrad karya Imam Bukhari (w. 256 H)

Dari Ma’qil bin Yasar, dia berkata “Aku pergi bersama Abu Bakar al-Shidiq untuk
menjumpai Rasulullah SAW, lalu Beliau SAW bersabda “Duhai Abu Bakar, Sungguh syirik
dalam diri kalian lebih samar jika dibandingkan dengan pergerakan seekor semut.”

Lalu, Abu Bakar Al-Shidiq bertanya, “Bukankah syirik adalah perbuatan orang yang
menjadikan sesembahan selain Allah Ta’ala ?”, Dijawab oleh Nabi Muhammad SAW, “Demi
Dzat yang jiwa ku berada di genggaman-Nya (kekuasan-Nya), sungguh syirik itu lebih samar
daripada pergerakan seekor semut. Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu apabila kalian
mengucapkannya akan hilang darimu syirik sedikit (maksudnya riya’) dan syirik banyak
(menyembah berhala)?” Beliau SAWcbersabda

ُ‫أَعْ َلم‬ َ ‫ َوأَسْ َت ْغفِ ُر‬، ‫ك َوأَ َنا أَعْ َل ُم‬


‫ك لِ َما ال‬ َ ‫ك أَنْ أ ُ ْش ِر‬
َ ‫ك ِب‬ ُ ‫اللَّ ُه َّم إِ ِّني أَع‬
َ ‫ُوذ ِب‬
Artinya : Yaa Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik kepada-
Mu (menyekutukan Allah) di saat aku mengetahui dan aku memohon ampunan dari syirik
kepada-Mu (riya) di saat aku tidak mengetahui.

Cara-cara menjauhi riya atau syirik kecil :

 Luruskan niat
 Memohon perlindungan kepada Allah SWT
 Menyadari kedudukan diri hanyalah seorang hamba
 Mengendalikan hati
 Memperbanyak bersyukur
 Terus menerus mengingat Allah SWT
 Belajar ikhlas
 Mengingat kematian
 Menggiatkan ibadah
 Membaca buku-buku agama
 Menyadari bahwa Allah selalu mengawasi
 Selalu mengingat bahaya riya
 Hidup dalam kesederhanaan
 Memperbanyak meminta ampun kepada Allah

C.Istiqomah dan Munafik

‫ت ِباهَّلل ِ فَا ْستَقِ ْم‬ َ ‫ُول هَّللا ِ قُلْ لِي فِي اإْل ِ سْاَل ِم قَوْ اًل اَل أَسْأ َ ُل َع ْنهُ أَ َحدًا بَ ْع َد‬
ُ ‫ك قَا َل قُلْ آ َم ْن‬ ُ ‫ع َْن ُس ْفيَانَ ْب ِن َع ْب ِد هَّللا ِ الثَّقَفِ ِّي قَا َل قُ ْل‬
َ ‫ت يَا َرس‬

Dari Sufyan bin Abdullâh ats-Tsaqafi, ia berkata: Aku berkata, “Wahai


Rasûlullâh, katakan kepadaku di dalam Islam satu perkataan yang aku tidak
akan bertanya kepada seorangpun setelah Anda!” Beliau menjawab:
“Katakanlah, ‘aku beriman’, lalu istiqomahlah”. [HR Muslim, no. 38; Ahmad
3/413; Tirmidzi, no. 2410; Ibnu Majah, no. 3972].

MAKNA ISTIQOMAH

Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah (wafat tahun 795 H) berkata


menjelaskan makna istiqomah dan kedudukan hadits ini dengan mengatakan:
“Istiqomah adalah meniti jalan yang lurus, yaitu agama yang lurus, dengan
tanpa membelok ke kanan atau ke kiri. Dan istiqomah mencakup melakukan
semua ketaatan yang lahir dan yang batin dan meninggalkan semua perkara
yang dilarang. Maka wasiat ini mencakup seluruh ajaran agama”.[1]

Dari penjelasan di atas maka diketahui bahwa ukuran istiqomah adalah agama
yang lurus ini. Yaitu melakukan ketaatan sebagaimana diperintahkan dengan
tanpa melewati batas, tanpa mengikuti hawa-nafsu, walaupun orang
menganggapnya sebagai sikap berlebihan atau mengurangi. Allâh Ta’ala
berfirman:
ْ ‫ك َواَل ت‬
ِ َ‫َط َغوْ ا ِإنَّهُ بِ َما تَ ْع َملُونَ ب‬
‫صي ٌر‬ َ ‫فَا ْستَقِ ْم َك َما أُ ِمرْ تَ َو َم ْن ت‬
َ ‫َاب َم َع‬
Maka istiqomahlah (tetaplah kamu pada jalan yang benar), sebagaimana
diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan
janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang
kamu kerjakan. [Hûd/11:112].

Allâh Ta’ala juga berfirman:

ُ ْ‫ب ۖ َوأُ ِمر‬


‫ت أِل َ ْع ِد َل بَ ْينَ ُك ُم ۖ هَّللا ُ َربُّنَا‬ ٍ ‫ت بِ َما أَ ْن َز َل هَّللا ُ ِم ْن ِكتَا‬ ُ ‫ع ۖ َوا ْستَقِ ْم َك َما أُ ِمرْ تَ ۖ َواَل تَتَّبِ ْع أَ ْه َوا َءهُ ْم ۖ َوقُلْ آ َم ْن‬ َ ِ‫فَلِ ٰ َذل‬
ُ ‫ك فَا ْد‬
‫صي ُر‬ ِ ‫َو َربُّ ُك ْم ۖ لَنَا أَ ْع َمالُنَا َولَ ُك ْم أَ ْع َمالُ ُك ْم ۖ اَل ُح َّجةَ بَ ْينَنَا َوبَ ْينَ ُك ُم ۖ هَّللا ُ يَجْ َم ُع بَ ْينَنَا ۖ َوإِلَ ْي ِه ْال َم‬

Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan istiqomahlah (tetaplah
dalam agama dan lanjutkanlah berdakwah) sebagaimana diperintahkan
kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan katakanlah: “Aku
beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allâh dan aku diperintahkan
supaya berlaku adil di antara kamu. Allâh-lah tuhan kami dan tuhan kamu.
Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu, tidak ada
pertengkaran antara kami dan kamu, Allâh akan mengumpulkan antara kita
dan kepada-Nyalah tempat kembali (kita)”. [Syûrâ/42:15].

Anda mungkin juga menyukai