Anda di halaman 1dari 11

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i   


KATA PENGANTAR  ii    
DAFTAR ISI  1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang  2   
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Syarat-syarat Perawi Hadits 3
B. Proses Transformasi Hadits 5

BAB III PENUTUP
Kesimpulan  10   
DAFTAR PUSTAKA 11

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sanad adalah kunci utama dalam mendeteksi apakah hadis bisa diterima
atau tidak.unsur unsur yang harus diperhatikan dalam mempelajari sanad adalah 
pertama adalah keadaan rijalu al hadits yang meriwayatkan begitu pula dengan
syarat syarat menjadi rijalu ala hadis. kedua adalah intisalu as  sanad yaitu antar
rijalu al hadits murid dan syekh pernah saling bertemu atau tidak.yang ketiga
proses murid menerima hadits dari gurunya dan guru menyampaikan hadist
kepada muridnya.unsur yang ketiga ini dinamakan tahammul wa ada’ yaitu cara
menerima atau menyampaikan hadis.tujuannya agar mengetahui hadis diterima
atau tidak.kemudian menjelaskan bagaimana cara meriwayatkan hadis secara
makna karena ada periwayatan hadis secara lafdzi dan maknawi yang akan
dibahas di makalah ini begitu pula dengan gelar ahli hadis.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah syarat syarat perawi hadis?
2. Apa proses transformasi hadis?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui syarat syarat perawi hadis
2.  Untuk mengetahui transformasi hadis

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Syarat-Syarat Perawi Hadits


Rawi menurut bahasa berasal dari kata riwaayah yang merupakan bentuk
masdar dari kata kerja raawa yarwii, yang berarti memindahkan atau
meriwayatkan.Rawii adalah orang yang meriwayatkan atau menuliskan dalam
suatu kitab apa-apa yang pernah didengarnya dan diterimanya dari
seseorang.Seorang perawi mempunyai peran yang sangat penting dan sudah
barang tentu menurut pertanggung jawaban yang cukup berat, sebab sah atau
tidaknya suatu hadits juga tergantung padanya.Mengenai hal-hal yang seperti itu,
jumhur ahli hadits, ahli ushul dan ahli fiqh.
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi dapat atau tidak diterimanya
suatu hadits ialah kualitas rawi.Tinggi rendahnya sifat adil dan dhabit para
perawi mwnyebabkan kuat lemahnya martabat suatu hadits. Perbedaan cara para
perawi menerima hadits dari guru mereka masing-masing mengakibatkan
munculnya peerbedaan lafadz-lafadz yang dipakai dalam periwayatan hadits.
Karena perbedaan lafadz yang di pakai dalam penyampaian hadits menyebabkan
perbedaan nilai dari suatu hadits.
Sehubungan dengan itu, penelitian di bidan rawi sangat penting dalam
upaya menentukan kualitas suatu hadits.Suatu berita di anggap kuat keasliannya
kalau pembawa berita memiliki persyaratan kejujuran dan kemampuan yang
dapat dipertanggung jawabkan. Karena perawi harus dapat sorotan tajam
sehingga lahirlah sebuah cabang ilmu hadits yang terkenal, yaitu ilmu jarh wa al
ta’dil. Untuk melihat sejauh mana kualitas rawi. Adapun beberapa persyaratan
tertentu bagi seorang perawi dalam upaya meriwayatkan hadits menurut jumhur
ahli hadits, ahli ushul dan fiqh menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan
hadits, yaitu sebagai berikut:
1. Islam
Pada waktu meriwayatkan suatu hadits, maka seorang perawi harus muslim,
dan menurut ijma’, periwayatan kafir tidak sah. Seandainnya perawinya
seorang fasik saja kita disuruh ber tawaqquf, maka lebih-lebih perawi kafir.
Seorang rawi haruslah meyakini dan mengerti agama Islam, karena dia 
meriwayatkan hadits atau khabar yang berkaitan dengan hokum-hukum,
urusan dan tasyri’ agama Islam. Jadi dia mengemban tanggung jawab untuk

3
urusan memberi pemahaman tentang semuanya kepada manusia. Kaitannya
dengan masalah ini bisa kita bandingkan dengan firman Allah sebagai
berikut:

‫اياهيا اذلين امنوا ان جاءمك فاسق بنباء فتبينوا ان تص يبوا قوم ا جبهاةل فتص بحوا‬
‫عال ما فعلمت اندمني‬
hai orang-orang yang beriman, apabila dating kepadamu orang=orang
fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakan sesuatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaan sehingga kamu akan menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. Al-
Hujurat (49): 6)

2. Baligh
Yang dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika ia
meriwayatkan hadits, walau menerimanya sebelum baligh. Hal ini di
dasarkanpada hadits Rasul:
‫رفع القمل عن ثالثة عن اجملنون املغل وب عىل عقهل ح ىت يفي ق وعن‬
)‫النامئ حىت يستيقظ وعن الصيب حىت حيتمل (رواه ابو داود‬
“Hilang kewajiban menjalankan syari’at Islam dari t iga golongan, yaitu
orang gila, sampai dia sembuh, orang yang tidur sampai bangun dan anak-
anak sampai ia mimpi”. (HR. Abu Daud dan Nasa’i

3. ‘Adalah
Yang dimaksud dengan adil adalah suatu sifat yang melekat pada jiwa
seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai sifat tersebut, tetap
taqwa, menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan
kebenarannya, menjauhkan diri dari dosa-dosa besar dan sebagian dosa
kecil, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah, tetapi tergolong kurang
baik dan selalu menjaga kepribadian.

4. Dhabit
Dhabit ialah:

‫تيق ظ ال راوي حني حتمهل وفهم ه ملا مسعه وحفظ ه ذلاكل من وقت‬
‫التحمل اىل وقت الال داء‬

4
Teringat kembali perawi saat penerimaan atau pemahaman suatu hadits yang
ia dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga menyampaikannya.
Jalannya mengetahui ke-dhabitan seorang rawi dengan jalan i’tibar terhadap
berita-berita yang tsiqat dan memberikan keyakinan. Ada yang mengatakan,
bahwa di samping syarat-syarat sebagaimana disebutkan di atas, antara satu
perawi dengan perawi lain harus bersambung, hadits yang di sampaikan itu
tidak syad, tidak ganjil, dan tidak bertentangan dengan hadits-hadits yang
lebih kuat ayat –ayat Al-Quran.

B. Tahammul Wal Ada’


1. Tahammul
Tahammul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan hadits dari
seorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerima’an hadits.
Jadi tahammul adalah proses menerima periwayatan sebuah hadits dari
seorang guru dengan metode-metode tertentu. Adapun metode-metode
tersebut di antaranya adalah:
1.1. Sama’ min lafdis Syaikhi,
yakni mendengar sendiri dari perkataan gurunya, baik secara didiktekan
maupun bukan, dan baik dari hafalannya maupun dari tulisannya. Cara-
cara yang demikian ini merupakan cara yang tinggi nilainya, menurut
Jumhur. Sebab di masa Rasul, cara inilah yang di jalankan nya, yakni
sering para sahabat pada mendengarkan apa yang didiktekan oleh Nabi
SAW. Dengan cara-cara ini, terperiharalah kekeliruan dan kelupaan,
serta mendekati kebenaran, lantaran sudah menjadi kebiasaan, setelah
selesai mereka saling mencocokkan satu sama lain.
Lafadz-lafadz yang dipergunakan oleh rawi dalam meriwayatkan hadits
atas dasar mendengarkan, ialah:

‫ اخربان‬: ‫اخربين‬          (seseorang telah mengabarkan kepada ku/kami),


‫ حدثنا‬: ‫حدثين‬ (seseorang telah bercerita kepada ku/kami),
‫ مسعنا‬: ‫مسعت‬            (saya telah mendengar, kami telah mendengar).
1.2. Al-qira’ah ‘ala’s-Syaikhi atau disebut juga dengan ‘aradl. Dikatakan
demikian, karena si pembaca menyuguhkan haditsnya kehadapan sang
guru, baik ia sendiri yang membacanya sedang dia mendengarkannya.

5
Tidak ragu lagi bahwa cara-cara yang demikian ini adalah sah, dan
periwayatan yang berdasar qira’ah ini dapat di amalkan.
Lafadz-lafadz yang di gunakan untuk menyampaikan hadits-hadits yang
berdasarkan qira’ah ini, ialah:

‫قر ْات عليه‬                             (aku telah membacakan dihadapannya)


‫ق رئ عىل فالن واان امسع‬             (dibacakan oleh seseorang
dihadapannya(guru) sedang aku mendengarkannya)
‫حدثنا او اخربان قر ْاة عليه‬            (telah mengabarkan/menceritakan
padaku secara pembacaan di hadapannya)

1.3. Ijazah
Yakni pemberian izin dari seseorang kepada orang lain, untuk
meriwayatkan hadits dari padanya, atau kitab-kitabnya. Meriwayatkan
dengan ijazah ini diperselisihkan oleh para Ulama.Kebanyakan para
muhadditsin tidak memperkenankan meriwayatkan dengan ijazah, sebab
kalau di izinkan, tentu tuntutan pergi mencari hadits itu gugur dengan
sendirinya.Sedang menurut Jumhurul-Muhadditsin, diperkenankan
meriwayatkan dan mengamalkan.Bahkan diduga keras hal ini telah
mendapat persepakatan umat.
Ijazah itu mempunyai 3 tipe, yakni:
1.3.1. Ijazah fil mu’ayyanin limu’ayyanin (izin untuk meriwayatkan
sesuatu yang tertentu kepada orang yang tertentu), misalnya:

‫اجزت كل رواية الكتاب الفالين عىن‬


“Aku menijazahkam kepadamu untuk meriwayatkan kitab si
Fulan pada saya”.
Ijazah semacam ini adalah paling tinggi nilainya.
1.3.2. Ijazah fighairi ma’ayyanin li mu’ayyanin (izin untuk
meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu kepada orang yang
tidak tertentu), misalnya:

‫اجزت كل مجيع مسموعايت او مروايىت‬


“kuijazahkan kepadamu seluruh yang saya dengar atau yang
saya riwayatkan”.

6
1.3.3. Ijazah ghairi mu’ayyin bighairi mu’ayyin (izin untuk
meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu kepada orang yang
tidak tertentu), misalnya:

‫اجزت للمسلمني مجيع مسموعاىت‬


“Ku ijazahkan kepada seluruh kaum muslimin apa-apa yang
saya dengar semuanya”.
Sebagian ‘Ulama termasuk Al-Khatib dan Abu Thoyyib
membolehkan ijazah ini.

1.4. Munawalah.
Yakni seorang guru memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya
atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan. Munawalah
itu mempunyai dua tipe, yakni:
1.4.1. Dengan di barengi ijazah, contoh:

‫هذا سامعى او رواايىت عن فالن فاروه‬


“Ini adalah hasil pendengaranku atau periwayatanku dari
seseorang, riwayatkanlah!”
1.4.2. Tanpa dibarengi ijazah, contoh:

‫هذا سامعى او من رواايىت‬


“Ini adalah hasil pendengaranku atau berasal dari
periwayatanku”

1.5. Mukatabah
Yakni seorang guru yang menulis sendiri atau menyuruh orang lain
menulis beberapa hadits kepada orang di tempat lain atau yang ada
dihadapannya. Sebagaimana munawalah, demikian pula mukatabah, ada
yang dibarengi dengan ijazah. Contoh dari mukatabah yang dibarengi
dengan ijazah:

‫ اجزت ما كتبت به اليك‬: ‫اجزت كل ما كتبته اليك‬


“Kuizinkan apa-apa yang telah kutulis padamu”.
Adapun yang tidak dibarengi dengan ijazah, seperti bila seorang guru
mengirimkan tulisan/surat kepada muridnya:

7
‫قال حدثنا فالن‬
“telah memberitakan seseorang padaku”
Lafadz –lafadz yang digunakan untuk menyampaikan hadits yang
berdasarkan mukatabah, yaitu:

‫ح دثىن فالن كتابة‬        (seseorang telah bercerita padaku dengan


surat-menyurat) atau
‫اخ ربىن فالن كتابة‬       (seseorang telah mengkhabarkan kepadaku
melalui surat) atau
‫كتب ايل فالن‬              (seseorang telah menulis padaku)
1.6. Wijadah
Yakni memperoleh tulisan hadits orang lain yang tidak diriwayatkannya,
baik dengan lafadz sama’, qira’ah maupun selainnya, dari pemilik hadits
atau pemilik tulisan tersebut. Para ‘Ulama memperselisihkan faham
tentang mengamalkan hadits yang diriwayatkan dengan wijadah ini.Para
Muhadditsin besar dan ‘Ulama-‘Ulama Malikiyah tidak
memperkenankan.As-Syafi’I membolehkannya.Seeding sebagian
muhaqqiqin mewajibkan mengamalkannya bila berkeyakinan sungguh-
sungguh atas kebenarannya.
Lafadz-lafadz yang di gunakan untuk menyampaikan hadits yang
berdasar wijadah, ialah:

‫قر ْات خبط فالن‬                       (saya telah membaca khat seseorang),


‫وج دت خبط فالن ح دثنا فالن‬         (kudapati khat seseorang,
bercerita padaku si-Fulan. . .).

1.7. Washiyah
Yakni pesan seseorang ketika akan mati atau bepergian, dengan sebuah
kitab supaya diriwayatkan. Ibnu Sirin membolehkan mengamalkan
hadits yang diriwayatkan atas jalan washiyat ini, tetapi ‘Ulama Jumhur
tidak membolehkan nya, bila yang menerima wasiat tidak mempunyai
ijazah dari pewasiat.
Lafadz-lafadz yang di gunakan untuk menyampaikan hadits yang
berdasar wasiat, ialah:

8
‫اوىص ايل فالن بكتاب قال فيه حدثنا اىل اخره‬
“seseorang telah berwasiat padaku dengan sebuah kitab yang ia
berkata dalam kitab itu” : telah bercerita padamu si Fulan . . .)

1.8. I’lam
Yakni pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadits yang
diriwayatkannya adalah riwayatnya sendiri yang diterima dari guru
seseorang, dengan tidak mengatakan agar si murid
meriwayatkannya.Hadits yang berdasarkan I’lam ini, tidak boleh, karena
adanya kemungkinan bahwa sang guru telah mengetahui bahwa dalam
hadits tersebut ada cacatnya.
Lafadz-lafadz yang di gunakan untuk menyampaikan hadits yang
berdasar I’lam ini, seperti:

‫اخل‬. . .‫اعلمىن فالن قال حدثنا‬


“seseorang telah memberitahukan padaku, ujarnya, telah berkata
padaku . . . .”.

9
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Perawi adalah orang yang meriwayatkan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa
yang pernah didengarnya dan diterimanya dari seseorang.Seorang perawi hadits
mempunyai syarat-syarat tertentu diantaranya Islam, Baligh, Adil, dan Dhabit. Tidak
boleh seorang perawi hadits seseorang yang kafir.

Tahammul dalam bahasa artinya “menerima” dan ada’ artinya “menyampaikan”. Jika


digabungkan dengan kata al-hadits, maka “tahammul hadits” merupakan kegiatan
menerima riwayat hadits. Sedangkan “ada’ul hadits” meerupakan kegiatan menerima
dan menyampaikan riwayat hadits secara lengkap.

Syarat-syarat perawi:
1. Islam
2. Baligh
3. ‘Adalah
4. Dhabit

10
DAFTAR PUSTAKA

Rahman,Fatchur. 1995. ikhtisar mushthalahul hadits. Bandung: PT Alma’arif

Itir,  Nuruddin. 1997.Manhaj al-Naqdi fi Ulumul al Hadis. Damaskus: Dar el Fikri

Soetari, Endang.1997. Ulumul Hadis. Bandung:Amal Bakti Press

Ma’luf, Luwis. 1973.al-Munjid  fial-Lughah. Beirut: Dar  al-Masyriq          

Tim guru MGPK provinsi jawa timur. 2008. Hadis. Mojokerto: Sinar mulia

Itir,Nuruddin. 2012. ulumul hadis. Rosda

11

Anda mungkin juga menyukai