MAKALAH
Disusun oleh:
S1 PERBANKAN SYARIAH
SEMARANG
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tapat, tanpa pertolongan-Nya tentu kami tidak
sanggup menyelesaikan makalah ini dengan baik. Sholawat serta salam semoga terlimpah
curahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di hari
kiamat nanti.
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta
kekurangan didalamnnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik serta saran dari pembaca
untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah lebih baik lagi.
Kemudian apabila terdapat kesalahan pada makalah ini kami mohon maaf.
Semarang, 26 April
2021
Pemakalah
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian dari Al-Ibrah fil uqud lil maqasidi wal ma'ani la lil al-fadhi wal
mabani ?
2. Dasar kaidah dan penerapan Al-Ibrah fil uqud lil maqasidi wal ma'ani la lil al-
fadhi wal mabani dalam kaidah muamalah ?
3. Pengertian kaidah Al-Kharaj Bi Al Dhoman ?
4. Dasar kaidah Al-Kharaj Bi Al Dhoman ?
BAB II
PEMBAHASAN
Kaidah ini menghendaki setiap transaksi yang terjadi dalam keseharian masyarakat
yang diperhatikan dan menjadi acuan adalah tujuan dan substansi dari transaksi, bukan apa
yang mereka ucapkan dalam ijab-qabul. Artinya, meskipun ungkapan yang mereka gunakan
tidak sesuai dengan pengertian istilah yang digunakan dalam terminologi fikih, tetapi jika
sudah maklum di antara mereka bahwa ungkapan itu dimaksudkan untuk menunjuk transaksi
tertentu, maka transaksi yang terjadi itu sah sesuai maksud dan tujuan yang mereka pahami
dalam keseharian. Misalnya ungkapan memberi dan mengambil yang digunakan dalam
transaksi jual-beli (bai’), “aku ambil barangmu” dengan maksud “aku beli barangmu”.
Contoh lain yang sangat familiar adalah ungkapan pinjam (i’arah) untuk maksud berhutang
(qardl), “aku mau pinjam uangmu” dengan bermaksud “aku mau berhutang kepadamu”.
Untuk mendeteksi dan menilai tujuan/maksud (maqashid) dari suatu ungkapan dapat
dipahami dengan dua cara:
1) ungkapan itu disertai indikasi-indikasi kebahasaan yang mengarah kepada tujuan dan
substansi yang dikehendaki. Misalnya dalam transaksi jual-beli yang menggunakan
kata mengambil disertai dengan menyebutkan besaran nominal tertentu, ”aku ambil
baju yang ini 120 ribu ya”. Ungkapan 120 ribu menjadi indikator bahwa akad tadi
dimaksudkan untuk transaksi jual-beli, meskipun tidak menggunakan kata ‘beli’
(isytaraitu), tetapi dengan kata ‘ambil’ (akhadztu).
2) ungkapan yang memiliki maksud tersendiri dalam tradisi masyarakat. Ungkapan yang
dikenal di kalangan masyarakt untuk maksud tertentu yang berbeda dengan makna
kebahasaan (arti leterlek). Misalnya ungkapan daging hanya menunjuk pada makna
daging sapi dan domba, bukan daging ikan. Ketika seseorang bersumpah tidak akan
makan daging, maka dia dianggap tidak melanggar sumpahnya ketika makan daging
ikan.2
1
http://elawatiekonomiislam.blogspot.com/2016/04/makalah-al-qawaid-al-fikhiyyah.html
2
https://islamkaffah.id/kaidah-cabang-pertama-subtansi-harus-didahulukan/
Bahwa akad termasuk perkara yang dilakukan oleh manusia, yang mana konsekuensi hukum
pada perkara-perkara ini adalah maksud dari pelakunya. Demikian juga dengan hukum pada
akad-akad yang hanya berupa lafazh, artinya konsekuensinya secara mutlak terletak pada
makna yang dimungkinkannya. Adapun hal itu berdampak pada maksud dan makna
sebenarnya yang dimaksud oleh dua orang yang melakukan akad, seperti lafazh-lafazh yang
digunakan dalam pernyatan akad, karena makna yang dimaksud dari lafazh-lafazh yang
digunakan adalah makna sebenarnya yang dimaksud.
2. DASAR KAIDAH
1) Dalil Hadis Rasulullah Saw
Hadis riwayat Muslim dari Umar bin Khattab r.a. Rasulullah SAW bersabda:
Artinya : “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya dan sesungguhnya
setiap orang memperoleh balasan atas apa yang ia niatkan. Barangsiapa hijrahnya semata-
mata kepada Allah dan rasulnya maka hijrahnya itu benar-benar kepada Allah dan
rasulnya. Dan barangsiapa hijrahnya hanya demi dunia yang ia harapkan ataupun karena
seorang wanita yang ingin ia nikahi maka hijrahnya hanya memperoleh apa yang ia
inginin.”3
Para ulama sepakat, apabila seseorang mengatakan sesuatu tergantung kepada niat orang
yang mengucapkannya. Oleh karena itu, apabila dalam akad secara lisan kalimat yang
diucapkan oleh pihak yang berakad dengan lafaz yang jelas, maka hukum yang diperoleh
adalah sesuai dengan lafaz itu. Tetapi manakala suatu akad terjadi suatu perbedaan antara
niat/maksud sipembuat dengan lafaz akad yang diucapkannya, maka yang harus dianggap
sebagai suatu akad adalah maksudnya selama masih dapat diketahui. Oleh karena itu, jika ada
dua orang mengadakan suatu akad dengan lafaz memberi barang dengan syarat adanya
pembayaran harga barang itu, maka akad inidipandang sebagai akad jual beli, karena akad
yang terakhir ini adalah ditunjuki oleh maksud dan makna dari sipembuat akad, bukan akad
pemberian sebagaimana dikehendaki oleh lafaz. Qaidah fiqhiyyah muamalah ini turunan dari
qaidah asasiyyah : ورHHدها االمHH )بمقاصSegala perkara tergantung dengan maksudnya). Niat
sebagaimana mungkin tercermin dalam kata-katanya, tetapi tidak berlaku dalam urusan akad-
akad kebendaan. Artinya khusus dalam kasus akad kebendaan, maka makna penting niat
sebagaimana dikaidahkan dalam kaidah pokok tidak berlaku. Apa yang dipentingkan adalah
3
:/Users/ACER/Downloads/QAWAID%20FIQHIYYAH.%20revisidocx%20(1).pdf
bentuk luar dari akad itu sendiri. Dengan demikian, kasus akad kebendaan menjadi kasus
pengecualian (istitsna’) bagi kasus-kasus dalam bagian niat.
artinya : “Yang dijadikan pegangan dalam akad adalah maksud dan maknanya, bukan
lafazh dan susunan redaksinya”
contoh nya:
a) Lembaga Sosial A. memberi bantuan darah kepada para penderita sakit kekurangan
darah dengan pembayaran seharga Rp. 10.000,- per cc. Ini harus diartikan dengan
akad jual beli bukan tabarru’
b) Seseorang si A memberi hadiah baju kepada seseorang si B, tetapi dengan syarat si B
membayar baju itu Rp. 100.000,-. maka transaksi ini harus diartikan akad jual beli
bukan tabarru’.
c) Pinjaman dengan syarat dibayar, adalah akad ijarah. Apabila ada seseorang berkata
kepada orang lain “saya pinjamkan mobilku ini dengan membayar lima puluh ribu
rupiah untuk kamu pergunakan hari ini.Kemudian orang itu menjawab “saya terima”,
maka akad ini adalah akad ijarah, dan bukan akad i’arah.
Al Kharāj Bi Al Dhomān
Menurut A. Djazuli, arti asal al kharāj adalah sesuatu yang dikeluarkan baik manfaat
benda maupun pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan buah atau binatang mengeluarkan
susu. Sedangkan al dhomān adalah ganti rugi.
Maksud kaidah ini ialah orang yang berhak mendapatkan keuntungan ialah orang
yang punya kewajiban menanggung kerugian (jika hal itu terjadi). Keuntungan ini menjadi
milik orang yang berani menanggung kerugian karena jika barang tersebut suatu waktu rusak,
maka dialah yang merugi. Jika kerugian berani ditanggung, maka keuntungan menjadi
miliknya.4
4
Djazuli A, Kaidah-Kaidah Fikih Islami (Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah
Yang Praktis), Jakarta:Kencana,2007.
Dalam aplikasi dalam dunia perbankan, khususnya bank syariah diketahui bahwa
konsep dasar atau pokok dalam perbankan syariah ialah konsep pembagian (sharing), baik
keuntungan maupun kerugian (profit and loss sharing). Prinsip yang umum adalah siapa yang
ingin mendapatkan hasil dari tabungannya, harus juga bersedia mengambil risiko. Bank
syariah akan membagi juga kerugian perusahaan jika mereka menginginkan perolehan hasil
dari modal mereka. Hal ini selaras dengan kaidah fiqh khusus di bidang mu’amalah atau
transaksi yang berbunyi: “Keuntungan adalah imbalan atas kesiapan menanggung kerugian”
atau Al Kharāj Bi Al Dhomān.
Menurut perspektif Abu Ubaid, yang dimaksud dengan al kharāj dalam hadits ini
adalah: pekerjaan hamba yang telah dibeli seseorang, yang kemudian orang tersebut
menyuruh supaya hamba itu bekerja untuknya kalau waktu tertentu. Setelah itu diketahui
adanya cacat yang disembunyikan oleh si penjual, kemudian ia kembalikan kepada penjual
tersebut, dengan diambil seluruh uang harganya dan ia telah mendapatkan keuntungan
mempekerjakan hamba itu, karena ia telah memberikan pembelanjaannya, dan apabila ada
kerugian maka ia yang rugi.
Jadi al kharāj ialah segala apa yang keluar dari sesuatu, baik berupa pekerjaan,
manfaat maupun benda-benda seperti buah dari pohon, susu dari kambing dan sebagainya,
dan kesemuanya adalah menjadi milik dari yang menanggungnya, sebab kalau ada kerugian,
maka ia pula yang menanggungnya.
Hadits ini adalah termasuk sebagian dari ”Jawami’ul Kalim”, yakni: kalimat yang
ringkas tetapi artinya luas.5
b. QS Luqman Ayat 34
5
http://helmanemira.blogspot.com, diakses pada tanggal 23 April 2021 pukul 20.00 WIB.
Artinya :
“Sesungguhnya hanya disisi Allah ilmu tentang hari kiamat dan Dia yang
menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam Rahim. Dan tidak ada seorang pun
yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dikerjakannya besok. Dan tidak ada
seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sungguh, Allah Maha
Mengetahui, Maha Mengenal.”
Namun kaidah di atas berlaku jika si pemilik benar-benar memiliki dan memegang
barang tersebut. Jika barang tersebut tidak berada di tangan orang yang menanggung rugi,
maka keuntungan tidak pantas ia dapat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
mengatakan,
6
https://rumaysho.com/3055-keuntungan-bagi-yang-berani-menanggung-resiko.html, diakses pada tanggal 23
April 2021 pukul 20.15 WIB.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al- ibrah fil ‘uqud lil maqashid wal ma’aniy la li alfadz wal mabany (Yang dijadikan
pegangan dalam akad adalah maksud dan maknanya, bukan lafazh dan susunan
redaksinya) yaitu yang dijadikan pegangan dalam akad adalah maksud dan maknanya,
bukan lafazh dan susunan redaksinya. Kaidah ini masih tercakup dalam kaidah
sebelumnya (perkara-perkara itu tergantung kepada maksudnya), karena akad
termasuk dari perkara-perkara yang dilakukan oleh manusia, oleh karena itu dianggap
termasuk bagian dari kaidah sebelumnya.
Untuk mendeteksi dan menilai tujuan/maksud (maqashid) dari suatu ungkapan dapat
dipahami dengan dua cara:
ungkapan itu disertai indikasi-indikasi kebahasaan yang mengarah kepada tujuan dan
substansi yang dikehendaki. Misalnya dalam transaksi jual-beli yang menggunakan
kata mengambil disertai dengan menyebutkan besaran nominal tertentu, ”aku ambil
baju yang ini 120 ribu ya”. Ungkapan 120 ribu menjadi indikator bahwa akad tadi
dimaksudkan untuk transaksi jual-beli, meskipun tidak menggunakan kata ‘beli’
(isytaraitu), tetapi dengan kata ‘ambil’ (akhadztu).
ungkapan yang memiliki maksud tersendiri dalam tradisi masyarakat. Ungkapan yang
dikenal di kalangan masyarakt untuk maksud tertentu yang berbeda dengan makna
kebahasaan (arti leterlek). Misalnya ungkapan daging hanya menunjuk pada makna
daging sapi dan domba, bukan daging ikan. Ketika seseorang bersumpah tidak akan
makan daging, maka dia dianggap tidak melanggar sumpahnya ketika makan daging
ikan
Kaidah Al Kharāj Bi Al Dhomān artinya “Keuntungan adalah imbalan atas kesiapan
menanggung kerugian”. Maksud kaidah ini ialah orang yang berhak mendapatkan
keuntungan ialah orang yang punya kewajiban menanggung kerugian (jika hal itu
terjadi). Keuntungan ini menjadi milik orang yang berani menanggung kerugian
karena jika barang tersebut suatu waktu rusak, maka dialah yang merugi. Jika
kerugian berani ditanggung, maka keuntungan menjadi miliknya.
DAFTAR PUSTAKA
http://elawatiekonomiislam.blogspot.com/2016/04/makalah-al-qawaid-al-
fikhiyyah.html?m=1
http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/ijtimaiyya/article/download/917/777
http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?
article=1267485&val=14977&title=Konsep%20Maqashid%20al-