Anda di halaman 1dari 15

KONSEP AKAD KEPEMILIKAN DAN WA’AD (JANJI)

Guna Memenuhi Tugas


Mata Kuliah: Fikih Muamalah Perbandingan
Dosen Pengampu: Dr. H. Husin Bafadhal, Lc.MA

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 1:

1. Pitdiawati (103210001)
2. Gresia Lasmarito (103210010)

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB


FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
TAHUN 2024 M / 1445 H
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya lah kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing mata kuliah Fiqh Muamalah Perbandingan dosen pengampu Dr. H. Husin
Bafadhal, Lc.MA.

Adapun maksud dan tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi Tugas kelompok.
Didalam penulisan makalah ini kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dan
kekeliruan. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
untuk menyusun makalah lain di masa yang akan datang. Semoga makalah ini bermanfaat tidak
hanya bagi kami tetapi juga bagi pembaca.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Penyusun,

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..........................................................................................................i

DAFTAR ISI......................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...........................................................................................................1


B. Rumusan Masalah ......................................................................................................2
C. Tujuan ........................................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Akad Kepemilikan .....................................................................................................3


B. Wa’ad (janji) ..............................................................................................................6
C. Ruang Lingkup...........................................................................................................8

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ...............................................................................................................11
B. Saran ......................................................................................................................... 11

DAFTARPUSTAKA ............................................................................................................12

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Akad memiliki peranan yang penting dalam bertransaksi. Para fuqaha‟ ketika
memperkenalkan konsep akad tentu dengan menyandarkan pada dalil-dalil syari‟at (al-rujû‟
ilâ al-Qur‟ân wa al- sunnah) untuk menentukan keabsahannya. Tujuan akad adalah agar nilai-
nilai syariat yang ada di balik akad itu, yaitu berupa kepastian bentuk transaksi dapat dicapai
sehingga terhindar dari praktik transaksi yang manipulatif. Pada mulanya, akad hanya
digunakan untuk transaksi antara perseorangan. Namun dalam perkembangan, konsep akad
banyak digunakan untuk mengembangkan berbagai produk keuangan/bisnis syari‟ah yang
melibatkan institusi lembaga dan perusahaan. DSN-MUI (Dewan Syari‟ah Nasional-Majelis
Ulama Indonesia) sebagai lembaga fatwa Islam di bidang ekonomi hingga pertengahan 2017
telah mengeluarkan 116 fatwa terkait keuangan/bisnis syari‟ah. Bahkan, dari fatwa-fatwa
DSN-MUI tersebut, tidak sedikit yang mengadopsi konsep akad untuk dijadikan sebagai
landasan transaksi (underlying transaction) sehingga keabsahannya terlegitimasi.

Untuk melakukan transaksi bisnis, selalu diperluan akad sebagai dasar perikatan
(underlying contract). Akad berasal dari kata al-‟uqûd merupakan bentuk jamak dari al-„aqd
yang secara bahasa berarti ikatan (Wahbah al-Zuhaili, 2012, Juz. 4, 80). Kata akad memiliki
akar di dalam QS. al-Mâ`idah 5:1. Dari segi istilah, al-„aqd memiliki banyak makna di
antaranya adalah irtibâth îjâb bi qabûl „alâ wajh masyrû‟ yatsbutu atsaruhu fî mahallihi
(perikatan ijâb qabûl berdasarkan syara‟ yang menimbulkan akibat (hukum) terhadap
obyeknya). Dengan demikian, ketika terpenuhinya komponen dari sebuah akad (rukun dan
syarat) maka akad itu memiliki implikasi, yaitu munculnya hak dan kewajiban para pihak.

Dalam perkembangannya, selain akad terdapat topik khusus yang hampir serupa
dengan akad, yakni wa‟ad atau janji. Dalam konteks fikih muamalah, akad dan wa‟ad hal yang
berbeda meskipun keduanya hampir sama yang merupakan bentuk perjanjian. Akad
merupakan suatu kesepakatan bersama antara kedua belah pihak atau lebih baik secara lisan,
isyarat, maupun tulisan yang memiliki implikasi hukum yang mengikat untuk
melaksanakannya. Sedangkan wa‟ad adalah janji antara satu pihak kepada pihak lainnya, pihak
yang diberi janji tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya. Hal ini memberikan
isyarat bahwa, wa‟ad memiliki perbadaan dari segi implikasi hukum semenjak tercapainya

1
kesepakatan, yakni dalam akad menimbulkan hak dan kewajiban, akan tetapi dalam wa‟ad
tidak menimbulkan hak dan kewajiban.

Dalam tataran implementasinya, konsep mengenai wa‟ad ini banyak dipraktikan di


Lembaga Keuangan Syariah, hal ini berpedoman terhadap fatwa Dewan Syariah Nasional.
Fatwa- fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI berkaitan dengan produk baik produk bank
maupun bukan bank, banyak menyingkung mengenai wa‟ad. Oleh karena itu, diperlu
dilakukan penelitian meneganai fatwa- fatwa DSN-MUI mana saja yang di dalamnya terdapat
mengenai konsep wa‟ad dan segaligus menjadi pedoman dalam praktik di Lembaga Keuangan
Syariah.

B. Rumusan Masalah
Dengan mempertimbangkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan beberapa
topik yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep akad kepemilikan menurut perbandingan mazhab ulama
fikih?
2. Bagaimana konsep wa’ad (janji) menurut perbandingan mazhab ulama fikih?
3. Bagaimana ruang lingkup akad kepemilikan dan wa’ad perbandingan mazhab
ulama fikih dalam muamalah syari’ah?
C. Tujuan
Tujuan dari makalah ini, berdasarkan latar belakang dan pokok bahasan masalah
adalah:
1. Untuk mengetahui konsep akad kepemilikan menurut perbandingan mazhab
ulama fikih.
2. Untuk mengetahui konsep wa’ad (janji) menurut perbandingan mazhab ulama
fikih.
3. Untuk mengetahui ruang lingkup akad kepemilikan dan wa’ad perbandingan
mazhab ulama fikih dalam muamalah syari’ah.

2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Akad Kepemilikan
Akad dalam bahasa arab (‫ )عقد‬berarti “ikatan” (atau pengen-cangan dan
penguatan) antara beberapa pihak dalam hal tertentu, baik ikatan itu bersifat konkret
maupun abstrak, baik dari satu sisi maupun dari dua sisi.
Dalam kitab al-Mishbah al-Munir dan kitab-kitab bahasa lainnya disebutkan:
‘aqada al-habl (mengikat tali) atau ‘aqada al-bay’ (mengikat jual beli) atau ‘aqada al-
‘ahd (mengikat perjanjian) fa’aqada (lalu ia terikat). Dalam sebuah kalimat, misalnya:
‘aqada an-niyah wa al-‘azm ‘alaa syay’ (berniat dan bertekad melakukan sesuatu) wa
‘aqada al-yamin (mengikat sumpah), maksudnya adalah mengikat antara kehendak
dengan perealisasian apa yang telah dikomitmenkan.1
Istilah al-aqdu (akad)dapat disamakan dengan istilah verbintenis (perikatan)
dalam KUHPerdata. Sedangkan istilah al-ahdu (janji) dapat disamakan dengan istilah
perjanjian.2
Menurut az Zarqa dalam pandangan syara’, suatu akad merupakan ikatan secara
hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang sama-sama berkeinginan
untuk mengikat-kan diri. Kehendak atau keinginan pihak-pihak yang mengikatkan diri
tersebut sifatnya tersembunyi dalam hati.
Menurut fukaha, akad memiliki dua pengertian: (1) umum dan (2) khusus.
Pengertian umum lebih dekat denganpengertian secara bahasa dan pengertian ini yang
tersebar di kalangan fukaha malikiyyah, syafi’iyyah dan hanabillah, yaitu setiap sesuatu
yang ditekadkan oleh seseorang untuk melakukannya baik muncul dengan kehendak
sendiri, seperti wakaf, ibra’ (pengguguran hak) talak, dan sumpah maupun
membutuhkan dalam menciptakannya, seperti jual beli dan sewa-menyewa. Adapun
pengertian khusus yang dimaksudkan di sini ketika membicarakan tentang teori akad
adalah hubungan antara ijab efek terhadap objek.3

1
Hariman Surya Siregar, M.Ag Koko Khoerudin, M.Pd.I, Fikih Muamalah Teori dan Implementasi (Bandung-
PT Remaja Rosdakarya Offset 2019), hlm18
2
Muhammad Firdaus, ed., Cara Mudah Memahami Akad-Akad Syariah, (Jakarta, Renaisan, 2005), hlm13
3
Wahbah Az-Zuhaili, Fikih Islam W, Adillatuhu Jilid 4, (Cet.1, Jakarta: Gema Insani, 2011). hlm. 420

3
Tujuan melakukan perbuatan menyusun akad adalah maksud utama yang
disyariat-kan akad itu sendiri. Dikatakan demikian, karena tujuan yang akan dicapai
dalam penyusunan akad ditentukan oleh jenis akad yang akan digunakan.4
Objek akad harus ada ketika berlangsung akad Mengakadkan benda yang tidak ada
adalah tidak sah. Seperti menjual tanaman sebelum tumbuh, menjual anak hewan di
dalam perut induknya dan lain-lain, semua akad ini batal.5
Sedangkan menurut Fuqaha Maliki, sebagaimana sesuatu yang tidak ada dapat
menjadi objek akad dengan syarat dapat diwujudkan dimasa mendatang. Hal ini terjadi
pada akad hibah dan wakaf. dikarenakan akad tersebut tidak menimbulkan perselisihan.
Sebagaimana mereka membolehkan jual beli buah-buahan dengan tampak sebagiannya
seperti mentimun dan semangka.6
Hak milik (kepemilikan) adalah hubungan antara manusia dengan harta yang
ditetapkan oleh syara’ di mana manusia memiliki kewenangan khusus untuk melakukan
transaksi terhadap harta tersebut sepanjang tidak ditemukan hal yang melarangnya.
Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh manusia baik berupa harta benda (dzat)
atau nilai manfaat.7
Menurut Musthafa Ahmad Zarqa dalam Ghufron Ajib milik secara bahasa
adalah pemilikan atas sesuatu (al-mal, atau harta benda), dan kewenangan bertindak
secara bebas terhadapnya. Dengan demikian, milik merupakan penguasaan seseorang
terhadap suatu harta sehingga seseorang mempunyai kekuasaan khusus terhadap harta
tersebut.8
Akad kepemilikan dalam fikih Islam adalah perjanjian yang sah secara hukum
antara dua pihak atau lebih untuk memindahkan hak milik suatu barang dari satu pihak
ke pihak lain.
Adapun menurut mazhab mazhab fikih pengertian kepemilikan adalah sebagai
berikut:
1. Mazhab Hanafi, Akad kepemilikan disebut "al-bay'u" dan didefinisikan sebagai
akad tukar menukar harta dengan harta lainnya dengan tujuan memiliki. Imam
Hanafi menyatakan bahwa kepemilikan dalam fikih muamalah didasarkan pada

4
Hariman Surya Siregar, M.Ag Koko Khoerudin, M.Pd.I, Fikih Muamalah Teori dan Implementasi(Bandung-
PT Remaja Rosdakarya Offset 2019), hlm 21
5
Ghufron A,Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta:RajaGrafindoPersada,2002), hlm 86
6
Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’ah, (Jakarta: Robbani Press.2008), hlm 387
7
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, Cet.Ke-2, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm 34
8
Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), hlm 53

4
prinsip asal kepemilikan pribadi atas harta. Menurutnya, seseorang memiliki hak
mutlak atas harta yang diperoleh secara sah, dan hak tersebut dilindungi secara
hukum. Kepemilikan juga dilihat dalam konteks tanggung jawab, di mana pemilik
bertanggung jawab atas harta yang dimilikinya. Sebagaimana yang dijelaskan
dalam Q.S Al-Baqarah:188:

‫اْلثْ ِم َوأ َ ْنت ُ ْم‬ ِ َّ‫َو َل تَأ ْ ُكلُوا أ َ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم ِبا ْلبَاطِ ِل َوت ُ ْدلُوا ِبهَا ِإلَى ا ْل ُحك َِّام ِلتَأ ْ ُكلُوا َف ِريقًا مِ ْن أَ ْم َوا ِل الن‬
ِ ْ ‫اس ِب‬
َ‫ت َ ْعلَ ُمون‬

Artinya:

Dan janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil
dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim-hakim dengan
maksud untuk memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa, padahal
kamu mengetahui.

2. Mazhab maliki, menurut Imam Malik, kepemilikan adalah hak penuh atas suatu
benda yang diakui oleh syara' dan hukum. Hak ini meliputi hak untuk
menggunakan, memanfaatkan, dan mentransfer kepemilikan tersebut. Imam
Malik mengakui berbagai cara untuk memperoleh kepemilikan, di antaranya:
Ijab dan Qabul (akad): seperti jual beli, sewa, dan hibah.
Pengambilan (al-ihtiyaz): seperti mengambil benda yang tidak memiliki pemilik
(mubah).
Pewarisan (al-mirats): pewarisan harta kepada ahli waris.
Pemberian (al-hibah): pemberian suatu benda secara cuma-cuma.
3. Imam Syafi'I dan imam hambali memaknai kepemilikan sebagai hak penuh dan
mandiri (al-milk al-kamil al-mutafarrrid) atas suatu benda. Hak ini meliputi
penguasaan (al-yad), pemanfaatan (al-intifa'), dan pengalihan kepemilikan (at-
taṣarruf). Imam Syafi'i dan imam Hambali mengakui berbagai cara untuk
memperoleh kepemilikan, di antaranya:
Ijab dan Qabul (akad): seperti jual beli, sewa, dan hibah.
Warisan (al-mirats): pewarisan harta kepada ahli waris.
Pemberian (al-hibah): pemberian suatu benda secara cuma-cuma.

5
Pengambilan Benda Mubah (ibahah): mengambil benda yang tidak memiliki
pemilik.
QS. Al-Baqarah:282 menjelaskan bahwa:

َ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا إِذَا تَدَايَ ْنت ُ ْم بِ َديْن إِلَى أَجَل ُم‬
ُ‫س ًّمى َفا ْكتُبُوه‬
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, jika kamu berhutang piutang satu sama lain
untuk waktu yang ditentukan, maka hendaklah kamu menuliskannya."
Imam Syafi'i memahami ayat ini sebagai penegasan pentingnya akad (perjanjian)
yang sah dalam kepemilikan melalui transaksi hutang piutang.
2. Wa’ad (janji)
Janji atau dalam bahasa arab disebut dengan al-wa`du ‫ الوعد‬merupakan bentuk masdar
dari kata wa`da ya`idu wa`dan wa`idatan wamau`. Kata wa`ad digunakan untuk sesuatu
yang baik dan sesuatu yang buruk, tetapi kebanyakan digunakan untuk sesuatu yang
baik Sedangkan menurut istilah, wa`ad adalah mengikat bagian-bagian yang akan
dilakukan dengan ijab dan qabul yang sesuai dengan syariah.9
Secara etimologis wa`ad memiliki arti di antaranya adalah hadda yang berarti ancaman
(al-wa`id), dan takhawwafa (menakut-nakuti). Hukum asal wa'd menurut jumhur ulama
(mayoritas alim) adalah mubah (boleh).
Berjanji merupakan hal yang dibolehkan dalam Islam, seorang muslim diperbolehkan
berjanji atau melakukan perjanjian dengan orang lain pada sesuatu yang tidak
diharamkan oleh syariat Islam, tetapi imam Ghazali mengingatkan hendaknya manusia
menjaga lisan, karena sesungguhnya ketika lisan berjanji mungkin saja jiwa tidak dapat
memenuhi janji tersebut, sehingga janji yang telah terucap tidak dapat dipenuhi dan hal
tersebut merupakan salah satu sifat orang munafik yaitu apabila berjanji dia tidak
memenuhinya.10
Dalam konteks fiqih muamalah ada akad dan juga wa`ad. Akad dan wa`ad hal yang
berbeda meskipun keduanya hampir sama yang merupakan bentuk perjanjian. Akad
merupakan suatu kesepakatan bersama antara kedua belah pihak atau lebih baik secara
lisan, isyarat, maupun tulisan yang memiliki implikasi hukum yang mengikat untuk
melaksanakannya. Sedangkan wa`ad adalah janji antara satu pihak kepada pihak

9
Ahmad al-Syarbāshi, al-Mu`jam al-Iqtishādi al-Islāmī, (Kairo: Dār alJail, 1981), hlm 298.
10
Abū Ḥāmid al-Gazāli, Iḥyā `Ulum ad-Dīn, (Beirut: Dār al-Kitāb al„Ilmiyyah, 1986), Jilid 4, hlm 141

6
lainnya, pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak
lainnya. Hal ini memberikan isyarat bahwa, wa`ad memiliki perbadaan dari segi
implikasi hukum semenjak tercapainya kesepakatan, yakni dalam akad menimbulkan
hak dan kewajiban, akan tetapi dalam wa`ad tidak menimbulkan hak dan kewajiban.
Menurut Mazhab Hanafi: wa’ad pada dasarnya mubah, Wajib menepati wa'd jika
disertai dengan illat (alasan) yang kuat, misalnya untuk menjaga hubungan baik atau
menghindari mudarat (bahaya). Tidak wajib menepati wa'd jika tidak ada illat yang
kuat, namun dianjurkan untuk memenuhinya.
Menurut Mazhab Maliki: Wa’ad pada dasarnya mubah, Wajib menepati wa'd jika
diucapkan dengan lafaz sharih (kata-kata yang tegas) dan disengaja, Tidak wajib
menepati wa'd jika diucapkan dengan lafaz kinayah (kata-kata kiasan) atau tidak
disengaja. Dalam QS. An-Nahl:91 yang berbunyi:
ً ُ ‫َوأ َ ْوفُوا ِب ْال َع ْه ِد ۖ ِإن ْال َع ْهدَ َكانَ َم ْسئ‬
‫ول‬
Artinya:
"Dan penuhilah janji itu, sesungguhnya janji itu pasti diminta
pertanggungjawabannya."
Menurut Mazhab Syafi'i: Wa'd pada dasarnya mubah, Tidak wajib menepati wa'd
kecuali jika memenuhi syarat tertentu, seperti wa'd yang berkaitan dengan ibadah, wa'd
yang diucapkan di depan hakim, atau wa'd yang merugikan pihak lain jika diingkari.

‫سلَّ َم ا ْل ُمؤْ مِ ُن ا ْل ُمؤْ مِ ُن‬


َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫ّللا‬ ُ ‫ع ْمرو رضي هللا عنهما َقا َل َقا َل َر‬
ِ َّ ‫سو ُل‬ َ ‫ّللا ب ِْن‬ َ ‫ع َْن‬
ِ َّ ‫ع ْب ِد‬
ْ ‫س ِل ُم ا ْل ُم‬
‫س ِل ُم بِك َََلمِ ِه‬ ْ ‫بِش َْرطِ ِه َما َو ُم‬
Artinya:
"Orang mukmin itu terikat oleh persyaratan mereka dan ucapan seorang muslim itu
mengikat dirinya sendiri.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
(Menurut Imam Syafi'i, hadits ini mensyaratkan adanya aqad (perjanjian) yang
mengikat untuk mewajibkan penepatan janji)

Menurut Mazhab Hambali: Wa’ad pada dasarnya mubah, Wajib menepati wa'd secara
umum, dianjurkan untuk tidak melanggarinya meskipun tidak ada illat yang kuat.

ْ َ‫اس أ‬
‫صدَقُ ُه ْم َحدِيثًا‬ ْ َ‫سل َم أ‬
ِ ‫صدَقُ الن‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلى َّللا‬ ُ ‫ع ْن أ َ ِبي ه َُري َْرة َ رضي هللا عنه قَا َل قَا َل َر‬
ِ ‫سو ُل‬
َ ‫َّللا‬ َ

7
‫سنُ ُه ْم أَدَا ًء‬
َ ْ‫اس أَح‬
ِ َّ‫َو َخ ْي ُر الن‬

Artinya:

"Orang yang paling jujur adalah orang yang paling jujur ucapannya, dan sebaik-baik
manusia adalah yang paling baik dalam memenuhi janjinya." (Hadits Riwayat Bukhari
dan Muslim)

(Menurut Imam Hambali, hadits ini mendorong untuk selalu menepati janji secara
umum)

3. Ruang Lingkup

Di dalam kajian fikih muamalah, konsep wa‘d dibedakan dengan konsep ‘aqad.
Wa‘d merupakan janji antara satu pihak kepada pihak lainnya, yang mengikat satu
pihak saja, yaitu pihak yang memberi janji berkewajiban untuk melaksanakan
kewajibannya, sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban apa-apa
terhadap pihak lainnya. Untuk melihat lebih jelas mengenai perbedaan aqad dan wa‘d
maka akan disajikan ke dalam bentuk tabel sebagai berikut:
1.‘Aqad : Menurut perundang-undangan,‘aqad adalah perjanjian/kontrak dan Mengikat
kedua belah pihak yang saling bersepakat, yakni masing- masing pihak terikat untuk
melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati terlebih dahulu.
2. Wa’ad :Menurut perundang-undangan, wa‘d adalah persetujuan. Dan Janji (promise)
antara satu pihak kepada pihak lainnya hanya mengikat satu pihak (one way).

Pada hakekatnya, masalah pemenuhan janji dalam wa‘d adalah hal yang mandub
karna menjaga kemuliaan Akhlak semata. Apabila seseorang berjanji untuk melakukan
sesuatu, maka pemenuhan janji tesebut bukanlah sesuatu yang wajib melainkan sunnah.
Dalam Hukum Islam Kontemporer, wa‘d dianggap sebagai salah satu instrument
perikatan (Iltizam), dikarenakan di dalamnya terdapat unsur pengikatan diri yang
melahirkan hak dan kewajiban.

1. Akad Menurut Para Fukaha


Akad kepemilikan dalam fikih Islam adalah perjanjian yang sah secara hukum antara
dua pihak atau lebih untuk memindahkan hak milik suatu barang dari satu pihak ke pihak
lain. Adapun menurut mazhab mazhab fikih pengertian kepemilikan adalah sebagai
berikut:

8
a. Mazhab Hanafi, Akad kepemilikan disebut "al-bay'u" dan didefinisikan sebagai akad
tukar menukar harta dengan harta lainnya dengan tujuan memiliki.
b. Mazhab maliki, menurut Imam Malik, kepemilikan adalah hak penuh atas suatu
benda yang diakui oleh syara' dan hukum.
c. Imam Syafi'I dan imam hambali memaknai kepemilikan sebagai hak penuh dan
mandiri (al-milk al-kamil al-mutafarrrid) atas suatu benda. Hak ini meliputi
penguasaan (al-yad), pemanfaatan (al-intifa'), dan pengalihan kepemilikan (at-
taṣarruf).

2. Wa’ad Menurut Para Fukaha


Menurut Muhammad Ustman Syubair, dikalangan fukaha terdapat 4 (empat)
pandangan mengenai janji (wa‟ad), yaitu sebagai berikut (Muhammad Ustman Syubair,
2007, 265-266):
a. Pendapat mayoritas fukaha dari Hanafiyah, Syafi‟iyah, Hanabilah, dan satu pendapat
dari Malikiyah yang mengatakan bahwa janji merupakan kewajiban agama
(mulzimun diniyah) dan bukan kewajiban hukum formal (ghair mulzim qadhaan)
karena wa‟ad merupakan akad tabarru‟ (kebijakan/kedermawanan) dan akad
tabarru‟ tidaklah lazimah (mengikat).
b. Pendapat sebagian ulama, diantaranya adalah Ibn Syubrumah (144 H) Ishaq bin
Rawahiyah (237 H), Hasan Basri (110 H) dan sebagian pendapat Malikiyah, yang
menyatakan bahwa “Janji itu wajib dipenuhi dan mengikat secara hukum”. Hal ini
didasarkan kepada firman Allah Swt “Hai orang- orang yang beriman janganlah
kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu lakukam. Amat besar kemurkaan di sisi
Allah bagi orang yang berkata akan tetapi tidak dilaksanakan”. (Q. S Ash-Shaff: 1)
dan hadis tentang tanda-tanda orang munafik, “Tanda-tanda orang munafik ada
tiga...).
c. Pendapat sebagaian fukaha Malikiyah yang menyatakan bahwa janji itu bersifat
mengikat secara hukum apabila janji tersebut berkaitan dengan suatu sebab, sekalipun
sebab tersebut tidak menjadi bagian/disebutkan dari pernyataan jani (mau‟ud)
tersebut. Misalnya ungkapan: Aku hendak menikah, aku mau membeli barang ini,
jika aku menyelesaikan utangku maka aku akan meminjamkkan ini, atau aku mau
jalan-jalan besok maka pinjamkan binatangmu padaku, dan seterusnya.
d. Pendapat Malikiyah, yang populer di antara mereka adalah pendapat Ibn Qasim,
yang menyatakan bahwa janji itu bersifat mengikat untuk dipenuhi apabila berkaitan
9
dengan sebab dan sebab tersebut ditegaskan dalam pernyataan janji (mau‟ud fîh)
tersebut. Misalnya, jika seseorang membeli seorang budak untuk permintaan
seseorang dengan seribu dirham, dia berkata kepada si Fulan “saya beli Anda dengan
seribu dirham”, maka terbelilah budak tersebut. Keadaan seperti ini mengikat bagi si
Fulan.

Wa‟ad dapat dinilai mengikat secara hukum apabila dalam wa‟ad tersebut
dikaitkan dengan suatu sebab atau adanya pemenuhan suatu kewajiban, baik sebab itu
disebutkan dalam pernyataan wa‟ad atau tidak disebutkan. Pendapat terakhir
didasarkan pada Q.S as-Shafat 2-3 dan hadis tentang tanda-tanda orang munafik, yang
salah satunya apabila berjanji dia mengingkari janjinya. Pada hadis tersebut kata
berjanji/janji merupakan terjemahan dari wa‟ad. Pendapat pertama dipegang oleh
mazhab Hanafi, Syafi‟i dan Hanbali, sedangkan yang kedua dipegang oleh mazhab
Maliki11
Pendapat Maliki di atas, yang berpendapat wa‟ad dapat mengikat secara
hukum, tampaknya menjadi argumen yang dijadikan dasar dan disepakati oleh para
ulama yang berbeda dalam Perkumpulan Ulama Fikih (Majma al-Fiqh al- Islami/The
Council of Islamic Fiqh Academy) pada saat memberikan fatwa berkaitan dengan
masalah janji (wa‟ad) dan Murabahah Pesanan Membeli (Discharging of Promise and
Murabahah for the Orderer of Purchase), yang diselenggarakan pada Mukhtamar
kelima di Kuwait pada tanggal 1-6 Jumadil Ula atau bertepatan dengan tanggal 10-
15 Desember 1998 M, dengan ungkapan sebagai berikut :
“Menurut syariat, suatu janji (wa‟ad) atas dasar pesanan atau perintah seseorang,
bersifat mengikat secara moral bagi yang berjanji, kecuali ada alasan yang sah
menurut syar‟i (udzur). Meskipun demikian, janji (dapat) emngikat secara hukum
apabila janji tersebut memuat pemenuhan suatu kewajiban, dan yang menerima janji
telah mengeluarkan pengeluaran biaya (expenses) atas dasar janji tersebut. Sifat
mengikat dari janji tersebut, maksudnya wajib dipenuhi atau keharusan adanya
kompensasi pembayaran atas kerusakan/kerugian yang timbul dari janji tersebut”.

11
(Fathrrahman Djamil, 2012: 3).

10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
‘Aqad dalam hukum Islam adalah perikatan atau perjanjian yang
dilakukan oleh dua orang atau lebih mengenai transaksi tertentu yang diatur
oleh hukum Islam atas dasar saling merelakan untuk terjadinya perpindahan
hak milik objek tertentu disebabkan manfaat yang diperoleh kedua belah
pihak dan berakibat hukum yang sama. Tujuan ‘aqad adalah untuk
melahirkan suatu akibat hukum, lebih tegas lagi tujuan ‘aqad adalah maksud
bersama yang dituju dan kehendak diwujudkan oleh para pihak melalui
pembuatan ‘aqad. Akibat hukum ‘aqad dalam hukum Islam disebut hukum
‘aqad. Tujuan ‘aqad untuk ‘aqad bernama sudah ditentukan secara umum
oleh pembuat hukum syariah, sementara tujuan ‘aqad untuk tidak bernama
ditentukan oleh para pihak sendiri sesuai dengan maksud mereka menutup
‘aqad
Kesimpulan umum yang dapat diambil dari ketentuan memenuhi
keadaan wa‘d adalah bahwa janji tidak bersifat mengikat (mulzim) kecuali
janji bersyarat. Ulama Hanafiyyah menetapkan bahwa hukum memenuhi
janji bersyarat wajib hukumnya apabila syarat-syaratnya terpenuhi karena
janji tersebut bersifat mengikat. Hukum memenuhi janji bersyarat adalah
wajib apabila syarat-syarat yang ditetapkan telah terpenuhi. Alasannya
adalah pencegahan akan timbulnya kemudharatan sehingga Negara dapat
memaksa pihak yang berjanji untuk memenuhi janji.

B. Saran

Makalah ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang mendalam


tentang konsep akad kepemilikan dan wa'ad, serta mendorong pembaca untuk
merenungkan implikasi praktis dari konsep-konsep ini dalam transaksi keuangan
yang berbasis syariah.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’ah, (Jakarta: Robbani Press.2008)


Abū Ḥāmid al-Gazāli, Iḥyā `Ulum ad-Dīn, (Beirut: Dār al-Kitāb al„Ilmiyyah, 1986)
Ahmad al-Syarbāshi, al-Mu`jam al-Iqtishādi al-Islāmī, (Kairo: Dār alJail, 1981)
Al-Mudawwana al-Kubra by Imam Malik
Bada'i' al-Sanayi' by Imam Kasani
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, Cet.Ke-2, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010)
Fathrrahman Djamil, 2012
Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: Rajawali Press, 2002)

Hariman Surya Siregar, M.Ag Koko Khoerudin, M.Pd.I, Fikih Muamalah Teori dan
Implementasi (Bandung-PT Remaja Rosdakarya Offset 2019)
Muhammad Firdaus, ed., Cara Mudah Memahami Akad-Akad Syariah, (Jakarta, Renaisan,
2005)
Wahbah Az-Zuhaili, Fikih Islam W, Adillatuhu Jilid 4, (Cet.1, Jakarta: Gema Insani, 2011)

12

Anda mungkin juga menyukai