Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

(AKAD)
Makalah ini disusun dan diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fikih Muamalat

STAIN MAJENE
Dosen Pengampu: Nuzha S.sy, M.H.i

Disusun Oleh :

Kelompok 3

Paisah Nawir (20256122001)

Nuriyah Hidayah (202561220011)

M. Sandrawan (20256122009)

Oda Alamsyah ( 20256122019)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI MAJENE
TAHUN AKADEMIK 2023/2024
KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-
Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Akad” dengan
tepat waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Fikih Muamalah.


Selain itu, makalah ini beertujuan menambah wawasan tentang apa itu akad bagi
para pembaca dan juga bagi penulis.

Penulisan mengucapkan terima kasih kepada Ibu Nuzha S.sy, M.H.i selaku
Dosen Mata Kuliah Fikih Muamalat. Ucapan terima kasih juga disampaikan
kepada semua pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu,
saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini

Majene, 19 Oktober 2023

Kelompok 3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................1
C. Tujuan Pembahasan......................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
A. Pengertian Akad............................................................................................3
B. Syarat – Syarat Akad......................................................................................3
1. Syarat Terjadinya Akad.............................................................................3
2. Syarat Sah Akad........................................................................................4
3. Syarat Pelakasaan Akad.............................................................................4
4. Syarat Kepastian........................................................................................4
C. Rukun – Rukun Akad.....................................................................................4
1. Akid............................................................................................................4
2. Ma’qud........................................................................................................5
3. Maudhu’ al-‘aqad........................................................................................5
D. Macam – Macam Akad..................................................................................6
1. Akad Sahih.................................................................................................6
2. Akad Tidak Sahih…………………………………………………………6

E. Sebab – Sebar Berakhirnya Akad...................................................................8


BAB III PENUTUP..............................................................................................10
A. Simpulan.....................................................................................................10
B. Saran............................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................11
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perjanjian akad mempunyai arti penting dalam kehidupan masyarakat.
Perjanjian juga merupakan suatu dasar dari sekian banyak aktivitas keseharian
kita. Melalui akad seorang lelaki disatukan dengan seorang wanita dalam suatu
kehidupan bersama, dan melalui akad juga berbagai kegiatan bisnis dan usaha
dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingannya yang tidak dapat dipenuhinya
sendiri tanpa bantuan dan jasa orang lain. Karenanya dapat dibenarkan bila
dikatakan bahwa akad merupakan sarana sosial yang ditemukan oleh peradaban
umat manusia untuk mendukung kehidupannya sebagai mahluk sosial.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa betapa kehidupan kita tidak lepas dari
apa yang namanya perjanjian, yang memfasilitasi kita dalam memenuhi berbagai
kepentingan kita. Mengingat betapa pentingnya akad(perjanjian), setiap peradaban
manusia yang pernah muncul pasti memberi perhatian dan pengaturan
terhadapnya. Demikian halnya dengan agama Islam, yang memberikan sejumlah
prinsip dan dasar-dasar mengenai pengaturan perjanjian sebagaimana tertuang
dalam Al-quran dan sunnah Nabi Muhammad Saw. Dasar-dasar ini kemudian
dikembangkan oleh ahli-ahli hukum islam dari abad ke abad sehingga membentuk
apa yang kini disebut perjanjian syariah atau lebih khusus terhadap akad dalam
pembahasan makalah ini.
Dalam pembahasan fiqh, akad yang dapat digunakan bertransaksi sangat
beragam, sesuai dengan karakteristik dan spesifikasi kebutuhan yang ada. Oleh
karena itu, makalah ini disusun untuk membahas mengenai berbagai hal yang
terkait dengan akad dalam pelaksanaan muamalah di dalam kehidupan
kita seharihari.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian akad ?
2. Apa saja syarat - syarat akad ?
3. Apa saja rukun – rukun akad ?
4. Apa saja macam – macam akad ?
5. Apa saja sebab – sebab berakhirnya akad ?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui apa itu akad
2. Untuk mengetahui syarat – syarat akad
3. Untuk mngetahui rukun – rukun akad
4. Untuk mengetahui macam – macam akad
5. Untuk mengetahui sebab – sebab berakhirnya akad
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Akad
Kata akad berasal dari bahasa Arab yaitu al-‘aqd yang secara etimologi
berarti perikatan, perjanjian dan pemufakatan (al-ittifaq).1 Menurut ulama fiqh,
kata akad didefinisikan sebagai hubungan antara ijab dan kabul sesuai dengan
kehendak syariat yang menetapkan adanya pengaruh (akibat) hukum dalam objek
perikatan. Rumusan akad tersebut mengindikasikan bahwa perjanjian harus
merupakan perjanjian kedua belah pihak untuk mengikatkan diri tentang
perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal yang khusus. Akad ini
diwujudkan pertama, dalam ijab dan kabul. Kedua, sesuai dengan kehendak
syariat. Ketiga, adanya akibat hukum pada objek perikatan.
Dalam istilah fiqh, secara umum akad berarti sesuatu yang menjadi tekad
seseorang untuk melaksanakan, baik yang muncul dari satu pihak, seperti wakaf,
talak, sumpah maupun yang muncul dari dua pihak, seperti jual beli, sewa, dan
wakalah.
Secara khusus akad berarti kesetaraan antara ijab (pernyataan penawaran /
pemindahan kepemilikan) dan kabul (pernyataan penerimaan kepemilikan) dalam
lingkup yang disyariatkan dan berpengaruh pada sesuatu.2
B. Syarat – Syarat Akad
Ada beberapa macam syarat akad, yaitu :
1. Syarat Terjadinya Akad
Syarat terjadinya akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan untuk terjadinya
akad secara syara'. Jika tidak memenuhi syarat tersebut, akad menjadi batal.
Syarat ini terbagi atas dua bagian:
a. Umum, yakni syarat-syarat yang harus ada pada setiap akad.

1
Prof. Dr. H. Abdul Rahman Ghazaly, M.A, dkk, Fiqh Muamalat (Kencana:PRENADAMEDIA
GROUP,2018), Cetakan 5, hal.50.
2
Dr. Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah (Kencana:PRENADAMEDIA
GROUP,2019), Cetakan ke-5, hal.71-72.
b. Khusus, yakni syarat-syarat yang harus ada pada sebagian akad, dan tidak
disyaratkan pada bagian lainnya.
2. Syarat Sah Akad
Syarat sah akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan syara' untuk menjamin
dampak keabsahan akad. Jika tidak terpenuhi, akad tersebut rusak.
Ada kekhususan syarat sah akad pada setiap akad. Ulama pat bah Hanafiyah
mensyaratkan terhindarnya seseorang dari enam kecacatan tiap syan dalam
jual-beli, yaitu kebodohan, paksaan, pembatasan waktu, perkiraan, ada unsur
kemadaratan, dan syarat-syarat jual beli rusak (fasid).
3. Syarat Pelakasaan Akad
Dalam pelaksanaan akad, ada dua syarat, yaitu kepemilikan dan Kekuasaan.
Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas
beraktivitas dengan apa-apa yang dimilikinya sesuai dipandan dengan aturan
syara'. Adapun kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam ber-tasharuf
sesuai dengan ketetapan syara', baik secara asli, yakni dilakukan oleh dirinya,
maupun sebagai penggantian (menjadi wakil ah perkan seseorang).
Dalam hal ini, disyaratkan antar lain:
a. Barang yang dijadilkan akad harus kepunyaan orang yang akad, jika
dijadikan, maka sangat bergantung kepada izin pemiliknya yang asli.
b. Barang yang dijadikan tidak berkaitan dengan kepemilikan orang lain.
4. Syarat Kepastian Hukum
Dasar dalam akad adalah kepastian. Di antara syarat luzum dalam jual-beli
adalah terhindarnya dari beberapa khiyar jual-beli, seperti khiyar syarat,khiyar
aib, dan lain-lain,Jika luzum tampak,nmak akad batal atau dikembalikan.3
C. Rukun – Rukun Akad
1. Akid
Aqid adalah orang yang berakad; terkadang masing-masing pihak terdiri
dari satu orang, terkadang terdiri dari beberapa orang. Misalnya, penjual dan
pembeli beras di pasar biasanya masing-masing pihak satu orang; ahli waris

3
Prof. Dr. .H Rachmat Syafe’I, M.A, Fiqih Muamalah (CV PUSTAKA SETIA,2001), Cetakan
ke-10, hal. 64-66
sepakat untuk memberikan sesuatu kepada pihak yang lain yang terdiri dari
beberapa orang. Seseorang yang berakad terkadang orang memiliki hak ('aqid
ashli) dan merupakan wakil dari yang memiliki hak.
2. Ma’qud
Ma'qud 'alaih, ialah benda-benda yang diakadkan, seperti benda-benda
yang dijual dalam akad jual beli, dalam akad hibah (pemberian), gadai, utang
yang dijamin seseorang dalam akad kafalah.
3. Maudhu’ al-‘aqad
Maudhu' al-'aqd, yaitu tujuan atau maksud pokok meng- adakan akad.
Berbeda akad maka berbedalah tujuan pokok akad. Dalam akad jual beli
misalnya, tujuan pokoknya yaitu memindahkan barang dari penjual kepada
pembeli dengan diberi ganti. Tujuan pokok akad hibah yaitu memindahkan
barang dari pemberi kepada yang diberi untuk dimilikinya tanpa pengganti
('iwadh). Tujuan pokok akad ijarah yaitu memberikan manfaat dengan adany
pengganti. Tujuan pokok akad i arah yaitu memberikan manfaat dari
seseorangkepada yang lain tanpa ada pengganti.
4. Shighat al ‘aqd
Shighat ialah ijab kabul. Ijab ialah permulaan penjelasan yang keluar dari
salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam
mengadakan akad. Adapun kabul ialah perkataan yang keluar dari pihak yang
berakad pula yang diucapkan setelah adanya ijab. Pengertian ijab kabul dalam
pengamalan dewasa ini ialah bertukarnya sesuatu dengan yang lain sehingga
penjual dan pembeli dalam membeli sesuatu terkadang tidak berhadapan,
misalnya yang berlangganan majalah Panjimas, pembeli mengirimkan uang
melalui pos wesel dan pembeli menerima majalah tersebut dari petugas pos.4

4
Prof. Dr. H. Abdul Rahman Ghazaly, M.A, dkk, Fiqh Muamalat (Kencana:PRENADAMEDIA
GROUP,2018), Cetakan 5, hal.51-52.
D. Macam – Macam Akad
Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad itu dapat dibagi dilihat dari beberapa
segi. Jika dilihat dari segi keabsahannya menurut syara', akad terbagi dua, yaitu:

1. Akad Sahih
Akad Sahih ialah akad yang telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya.
Hukum dari akad sahih ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum yang
ditimbulkan akad itu dan mengikat kepada pihak-pihak yang berakad. Akad
yang sahih ini dibagi lagi oleh ulama Hanafiyah dan Malikiyah menjadi dua
macam, yaitu: Akad yang nafiz (sempurna untuk dilaksanakan), ialah akad
yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syaratnya dan tidak ada
penghalang untuk melaksanakannya.

a. Akad yang nafiz (sempurna untuk dilaksanakan), ialah akad yang


dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syaratnya dan tidak ada
penghalang untuk melaksanakannya.

b. Akad mawquf, ialah akad yang dilakukan seseorang yang mampu bertindak
atas kehendak hukum, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk
melangsungkan dan melaksanakan akad ini, seperti akad yang dilangsungkan
oleh anak kecil yang telah mumayyiz. Dalam kasus seperti ini, akad ini baru
sah secara sempurna dan memiliki akibat hukum apabila jual beli itu diizinkan
oleh wali anak kecil ini.5

2. Akad yang tidak Sahih,

Akad yang tidak Sahih yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun
atau syarat-syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku
dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad. Kemudian, ulama Hanafiyah
membagi akad yang tidak sahih ini kepada dua macam, yaitu akad yang batil
dan fasid.
5
Prof. Dr. H. Abdul Rahman Ghazaly, M.A, dkk, Fiqh Muamalat (Kencana:PRENADAMEDIA
GROUP,2018), Cetakan 5, hal.55-56.
Suatu akad dikatakan batil apabila akad itu tidak memenuhi salah satu
rukunnya atau ada larangan langsung dari syara'.Misalnya, objek jual beli itu
tidak jelas. Atau terdapat unsur tipuan, seperti menjual ikan dalam lautan, atau
salah satu pihak yang berakad tidak cakap bertindak hukum. Adapun akad fasid
menurut mereka merupakan suatu akad yang pada dasarnya disyariatkan, akan
tetapi sifat yang diakadkan itu tidak jelas. Misalnya, menjual rumah atau
kendaraan yang tidak ditunjukkan tipe, jenis, dan bentuk rumah yang dijual,
atau tidak disebutkan brand kendaraan yang dijual, sehingga menimbulkan
perselisihan antara penjual dan pembeli. Jual beli seperti ini, menurut ulama
Hanafiyah, adalah fasid, dan jual beli ini dianggap sah apabila unsur-unsur
yang menyebabkan kefasidannya itu dihilangkan, misalnya dengan
menjelaskan tipe, jenis, dan bentuk rumah yang dijual, atau menjelaskan brand
dan jenis kendaraan yang dijual.

Akan tetapi, jumhur ulama fiqh menyatakan bahwa akad yang batil dan
fasid mengandung esensi yang sama, yaitu tidak sah dan akad itu tidak
mengakibatkan hukum apa pun.

Ditinjau dari segi penamaannya, para ulama fiqh membagi akad kepada dua
macam, yaitu:

1. Al-Uqud al-musamma, yaitu akad yang ditentukan namanya oleh syara' serta
dijelaskan hukumnya, seperti jual beli, sewa- menyewa, perserikatan, hibah, al-
wakalah, wakaf, al-hiwalah, al-ji'alah, wasiat, dan perkawinan.

2. Al-'Uqud ghair al-musamma, ialah akad-akad yang penama- annya dilakukan


oleh masyarakat sesuai dengan keperluan mereka di sepanjang zaman dan tempat,
seperti al-istishna'. dan ba'i al-wafa.6

E. Sebab – Sebab Berakhirnya Akad

6
Prof. Dr. H. Abdul Rahman Ghazaly, M.A, dkk, Fiqh Muamalat (Kencana:PRENADAMEDIA
GROUP,2018), Cetakan 5, hal.57-58.
Suatu akad dipandang berakhir apabila telah tercapai tujuannya. Dalam akad
jual beli misalnya, akad dipandang telah berakhir apabila barang telah berpindah
milik kepada pembeli dan harganya telah menjadi milik penjual. Dalam akad
gadai dan pertanggungan (kafalah), akan dipandang telah berakhir apabila utang
telah dibayar.7

Selain telah tercapai tujuannya, akad dipandang berakhir apabila terjadi


fasakh (pembatalan) atau telah berakhir waktunya.

Fasakh terjadi dengan sebab-sebab sebagai berikut:

1. Di-fasakh (dibatalkan), karena adanya hal-hal yang tidak dibenarkan


syara’, seperti yang disebutkan dalam akad rusak. Misalnya, jual beli
barang yang tidak memenuhi syarat kejelasan.
2. Dengan sebab adanya khiyar, baik khiyar rukyat, cacat, syarat atau
majelis.
3. Fasakh dengan cara iqalah ialah salah satu pihak dengan persetujuan pihak
lain membatalkan karena menyesal atas akad yang baru saja dilakukan.
Dalam hubungan ini Hadis Nabi Riwayat Abu Daud mengajarkan, bahwa
barangsiapa mengabulkan permintaan pembatalan orang yang menyesal
atas akad jual beli yang dilakukan, Allah akan menghilangkan
kesukarannya pada hari kiamat kelak
4. Karena kewajiban yang ditimbulkan, oleh adanya akad tidak dipenuhi oleh
pihak-pihak bersangkutan. Misalnya, dalam khiyar pembayaran (khiyar
naqd) penjual mengatakan, bahwa ia menjual barangnya kepada pembeli,
dengan ketentuan apabila dalam tempo seminggu harganya tidak dibayar,
akad jual beli menjadi batal. Apabila pembeli dalam waktu yang
ditentukan itu membayar, akad berlangsung. Akan tetapi apabila ia tidak
membayar, akad akan menjadi rusak (batal).

7
Dr. Oni sahroni, M.A, dkk, Fikih Muamalah Dinamika Teori akad dan Implementasunya dalam
Eekonomi Syariah (PT RAJAGRAFINDO PRSADA,2018), Cetakan Kee-3, hal.186.
5. Karena habis waktunya, seperti dalam akad sewa-menyewa berjangka
waktu tertentu dan tidak dapat diperpanjang.
6. Karena tidak dapat izin pihak yang berwenang.
7. Karena kematian.8

Para ulama fiqh menyatakan bahwa suatu akad dapat berakhir apabila:9

1. Berakhirnya masa berlaku akad itu, apabila akad itu mempunyai tenggang
waktu.
2. Dibatlkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu sifatnya tidak
mengikat.
3. Dalam akad yang bersifat mengikat, suatu akad dapat dianggap berakhir
jika:
a. Jual beli ialah fasakh, seperti terdapat unsur-unsur tipuan salah satu
rukun atau syaratnya tidak terpenuhi.
b. Berlakunya khiyar syarat, aib, atau rukyat.
c. Akad itu tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak
4. Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia.
Dalam hubungan ini para ulama fiqh menyatakan bahwa tidak semua akad
otomatis berakhir dengan wafatnya salah satu pihak yang melaksanakan
akad. Akad yang berakhir dengan wafatnya salah satu pihak yang
melaksanakan akad, di antaranya akad sewa-menyewa, al-rahn, al-kafalah,
al-syirkah, al-wakalah, dan al-muzara'ah. Akad juga akan berakhir dalam
ba'I al-fudhul (suatu bentuk jual beli yang keabsahan akadnya tergantung
pada persetujuan orang lain) apabila tidak mendapat persetujuan
dari pemilik modal.

BAB III
8
Dr. Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah (Kencana:PRENADAMEDIA
GROUP,2019), Cetakan ke-5, hal.99-100.

9
Prof. Dr. H. Abdul Rahman Ghazaly, M.A, dkk, Fiqh Muamalat (Kencana:PRENADAMEDIA
GROUP,2018), Cetakan 5,Hal.58-59.
PENUTUP

A. Simpulan

1. Kata akad berasal dari bahasa Arab yaitu al-‘aqd yang secara etimologi berarti
perikatan, perjanjian dan pemufakatan (al-ittifaq). Menurut ulama fiqh, kata
akad didefinisikan sebagai hubungan antara ijab dan kabul sesuai dengan
kehendak syariat yang menetapkan adanya pengaruh (akibat) hukum dalam
objek perikatan. Ada beberapa macam syarat akad, yaitu syarat terjadinya akad,
syarat sah akad, syarat pelaksaan akad, dan syarat kepastian hukum. Adapun
rukun-rukun akad ada empat yaitu Akid, Ma’qud, Maudhu’ al-‘aqad, Shighat al
‘aqd.
2. Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad itu dapat dibagi dilihat dari beberapa
segi. Jika dilihat dari segi keabsahannya menurut syara', akad terbagi dua, yaitu:
- Akad Sahih ialah akad yang telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya.
Hukum dari akad sahih ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum yang
ditimbulkan akad itu dan mengikat kepada pihak-pihak yang berakad.
- Akad yang tidak Sahih yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau
syarat-syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak
mengikat pihak-pihak yang berakad.
3. Para ulama fiqh menyatakan bahwa suatu akad dapat berakhir apabila:
- Berakhirnya masa berlaku akad itu, apabila akad itu mempunyai tenggang waktu.
- Dibatlkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu sifatnya tidak
mengikat.
- Dalam akad yang bersifat mengikat
- Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia.
B. Saran
Pada saat pembuatan makalah, penulis menyadari bahwa banyak sekali kesalahan
dan jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis harapkan kritik dan sarannya
mengenai pembahasan makalah.
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. H. Abdul Rahman Ghazaly, M.A, dkk. 2018. Fiqh Muamalat, Cetakan
ke-5. PRENADAMEDIA GROUP: Kencana. Hlm. 50-59.

Dr. Mardani. 2019. Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah, Cetakan ke-5.
PRENADAMEDIA GROUP: Kencana. Hlm. 99-100.

Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’I, M.A. 2001. Fiqih Muamalah, Cetakan ke-3. CV
PUSTAKA SETIA. Hlm. 64-65

Dr. Oni sahroni, M.A. 2018. Fikih Muamalah. Cetakan ke-3. PT


RAJAGRAFINDO PERSADA. Hlm 186

Anda mungkin juga menyukai