Anda di halaman 1dari 13

KONSEP AKAD DALAM FIQH MUAMALAH DAN AKIBAT

HUKUMNYA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Fiqh Muamalah

Dosen Pengampu: Devi Nilam Sari, S.H., M.H.

Disusun Oleh:

1. Umi Hanik Atul Hidayah (192111229)


2. Rahma Mahdiana (192111230)
3. Fenny Dwi Meilani (192111233)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kita sehingga kita berhasil menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya yang berjudul “Konsep Akad dalam Fiqh Muamalah dan Akibat Hukumnya”.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terimakasih kepada Dosen Fiqh Muamalah, Ibu Devi
Nilam Sari, S.H., M.H. yang telah membimbing kami dalam merancang makalah ini. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua yang membacanya.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………….. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

Latar Belakang ........................................................................................ 1

Rumusan Masalah .................................................................................... 1

Tujuan ...................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 3

Definisi Akad ........................................................................................... 3

Rukun dan Syarat Akad ............................................................................ 4

Dampak Akad........................................................................................... 4

Pembagian dan Sifat-Sifat Akad………………………………………….. 5

Akhir Akad……………………………………………………………….. 7

Akibat Hukum Akad……………………………………………………… 8

BAB III PENUTUP .............................................................................................. 9

Kesimpulan .............................................................................................. 9

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut ulama fiqih setiap akad mempunyai akibat hukum, yaitu tercapainya sasaran
yang ingin dicapai sejak semula. Setiap akad yang dibentuk oleh pihak yang melakukan
transaksi, memiliki tujuan dasar yang ingin diwujudkannya. Seperti perpindahan
kepemilikan dalam akad jual beli, kepemilikan manfaat bagi penyewa dalam akad ijarah
(sewa), hak untuk menahan barang dalam akad rahn, dan lainnya. Dengan terbentuknya
akad, akan muncul hak dan kewajiban di antara pihak yang bertransaksi. Dalam jual beli
misalnya, pembeli berkewajiban untuk menyerahkan uang sebagai harga atas objek
transaksi dan berhak mendapatkan barang. Sedangkan bagi penjual berkewajiban untuk
menyerahkan barang dan berhak menerima uang sebagai kompensasi barang. Demikian
juga akad-akad yang lain pasti memiliki akibat hukum sesuai dengan bentuk akad yang
dibentuk oleh kedua belah pihak.

Harta yang dimiliki seseorang secara sah, belum dapat digunakan untuk bertransaksi
ekonomi secara hukum, apabila pemilik harta tersebut tidak melakukan akad (kontrak)
dengan pihak kedua (mitra akad) yang diwujudkan dengan ijab qabul. Oleh sebab itu,
pembahasan pada makalah ini yaitu tentang pengertian akad, rukun dan syarat akad,
pembentukan akad, dampak akad, pembagian akad, sifat akad.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu Akad?

2. Apa saja rukun dan syarat akad?

3. Apa saja dampak dari akad?

4. Bagaimana pembagian dan siat-sifat akad?

5. Bagaimana akhir dari akad?

6. Apa saja akibat hukum akad?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui definisi akad.

1
2. Untuk mengetahui rukun dan syarat akad.

3. Untuk mengetahui dampak akad.

4. Untuk mengetahui pembagian dan sifat-sifat akad.

5. Untuk mengetahui akhir dari akad.

6. Untuk mengetahui akibat hukum akad.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Akad

Kata akad dalam istilah bahasa berarti ikatan dan tali pengikat. Makna akad
diterjemahkan secara bahasa sebagai menghubungkan atau mengaitkan, mengikat antara
beberapa ujung sesuatu. Ikatan maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua
ujung tali dan mengikatkan salah satunya pada yang lainnya hingga keduanya
bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu. Sedangkan pengertian akad secara
terminologi fiqh (hukum Islam) adalah perikatan antara ijab (penawaran) dengan kabul
(penerimaan) secara yang dibenarkan syara', yang menetapkan keridhoaan (kerelaan)
kedua belah pihak.1 Berdasarkan definis akad di atas menunjukkan bahwa :
1. Akad merupakan keterkaitan atau pertemuan ijab dan kabul yang berakibat
timbulnya suatu hukum. Ijab adalah penawaran yang diajukan oleh salah satu
pihak, dan kabul adalah jawaban persetujuan yang diberikan mitra sebagai
tanggapan terhadap penawaran pihak yang pertama. Akad tidak terjadi apabila
pernyataan kehendak masing-masing pihak tidak terkait satu sama lain karena
akad adalah keterkaitan kehendak kedua pihak yang tercermin dalam ijab dan
kabul.
2. Akad merupakan tindakan hukum dua pihak karena akad adalah pertemuan ijab
yang mempresentasikan kehendak dari satu pihak dan kabul yang menyatakan
kehendak lain. Tindakan hukum satu pihak, seperti janji memberi hadiah, wasiat,
wakaf bukanlah akad, karena tindakan-tindakan tersebut tidak merupakan
tindakan dua pihak dan karenanya tidak memerlukan kabul.

Tujuan akad adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum. Lebih tegas lagi tujuan
akad adalah maksud bersama yang dituju dan yang hendak diwujudkan oleh para pihak
melalui pembuatan akad. Bila maksud para pihak dalam akad jual beli adalah untuk
melakukan pemindahan milik atas suatu benda dari penjual kepada pembeli dengan
imbalan yang diberikan oleh pembeli, maka terjadinya perpindahan milik tersebut
merupakan akibat hukum akad jual beli. 2

1
Muhammadatus Sa’diyah, Fiqh Muamalah II, (Jawa Tengah : Unisu Press,2019) hlm.3-4
2
Harun, Fiqh Muamalah, (Surakarta : Muhammadiyah University Press,2107 )hlm. 32-33
3
B. Rukun dan Syarat Akad

Rukun merupakan hal yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan sah secara hukum
Islam. Rukun adalah suatu unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu
perbuatan atau lembaga, yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada
atau tidaknya sesuatu itu. Rukun akad terdiri dari:
1. Sighat (Ijab qabul) adalah ungkapan yang menunjukkan kerelaan/ kesepakatan
dua pihak yang melakukan akad. Memiliki syarat sebagai berikut:
a. Adanya kejelasan maksud dari kedua pihak.
b. Adanya kesesuaian antara ijab dan qabul
c. Adanya pertemuan antara ijab dan qabul (berurutan dan nyambung)
d. Satu majlis akad
2. Akid (pihak yang bertransaksi) adalah pihak-pihak yang melakukan transaksi, atau
orang yang memiliki hak dan yang akan diberi hak. Dengan persyaratan : 3
a. Ahliyah
Memiliki kecakapan dan kepatutan untuk melakukan transaksi. Biasanya
mereka akan memiliki ahliyah jika telah baligh atau mumayyiz dan berakal.
b. Wilayah / hak dan kewenangannya
Hak dan kewenangan seseorang yang mendapatkan legalitas syar'i untuk
melakukan transaksi atas suatu obyek tertentu. Artinya orang tersebut pemilik
asli, wali atau wakil atas suatu obyek transaksi, sehingga ia memiliki hak dan
otoritas untuk melakukan transaksi.
c. Ma'qud alaih (objek transaksi)
Syarat-syarat ma'qud alaih ,yaitu :
1) Objek transaksi harus ada pada saat akad.
2) Objek transaksi harus berupa harta diperbolehkan untuk transaksi.
3) Objek transaksi bisa diserahterimakan saat terjadinya akad, atau
dimungkinkan di kemudian hari.
4) Objek transaksi harus suci, tidak terkena barang najis atau barang yang
najis.
C. Dampak Akad

3
Muhammadatus Sa’diyah, Fiqh Muamalah II, (Jawa Tengah: Unisu Press,2019) hlm.5-6
4
Setiap akad dipastikan memiliki dua dampak, yaitu dampak khusus dan dampak
umum.

1. Dampak Khusus
Dampak khusus adalah hukum akad, yaitu dampak asli dalam pelaksanaan
suatu akad atau maksud utama dilaksanakannya suatu akad, seperti pemindahan
kepemilikan dalam jual-beli, hibah, wakaf, upah, dan lain-lain.
2. Dampak Umum
Segala sesuatu yang mengiringi setiap atau sebagian besar akad, baik dari segi
hukum maupun hasil. 4
D. Pembagian dan Sifat-Sifat Akad
Akad dibagi menjadi beberapa macam, yang setiap macamnya sangat bergantung
pada sudut pandangnya. Diantara bagian akad yang terpenting adalah sebagai berikut.
1. Berdasarkan Ketentuan Syara’
a. Akad Shahih, adalah akad yang memenuhi unsur dan syarat yang telah
ditetapkan oleh syara’. Akad yang memenuhi rukun dan syarat sebagaimana
telah disebutkan di atas, maka akad tersebut masuk dalam kategori akad sahih.

b. Akad Tidak Shahih, adalah akad yang tidak memenuhi unsur dan syaratnya.
Dengan demikian, akad semacam ini tidak berdampak hukum atau tidak sah.

Dalam hal ini ulama hanafiyah membedakan antara akad fasid dan
akad batal, dimana ulama jumhur tidak membedakannya. Akad batal adalah
akad yang tidak memenuhi rukun, seperti tidak ada barang yang diakadkan,
akad yang dilakukan oleh orang gila dan lain-lain. Sedangkan akad fasid
adalah akad yang memenuhi syarat dan rukun, tetapi dilarang oleh syara’,
seperti menjual narkoba, miras dan lain-lain.

2. Berdasarkan Penamaannya

a. Akad yang telah dinamai syara’, seperti jual beli, hibah, gadai, dan lain-lain.

b. Akad yang belum dinamai syara’, tetapi disesuaikan dengan perkembangan


zaman.

3. Berdasarkan Zatnya

4
Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2006) hlm. 66
5
a. Benda yang berwujud (Al - ‘Ain), yaitu benda yang dapat dipegang oleh indra
kita, seperti sepeda, uang, rumah dan lain sebagainya.

b. Benda tidak berwujud (Ghair Al - ‘Ain), yaitu benda yang tidak dapat kita
pegang dengan indra kita, namun manfaatnya dapat kita rasakan, seperti
informasi, lisensi, dan lain sebagainya. 5

Sedangkan sifat-sifat akad antara lain:

1. Akad Tanpa Syarat (Akad Munjiz) 6, adalah akad yang diucapkan seseorang, tanpa
memberi batasan dengan suatu kaidah atau tanpa menetapkan suatu syarat. Akad
seperti ini dihargai syara’ sehingga menimbulkan dampak hukum. Contoh,
seseorang berkata, “Saya membeli rumah kepadamu.” Lalu dikabulkan oleh
seorang lagi, maka berwujudlah akad, serta berakibat pada hukum waktu itu juga,
yakni pembeli memiliki rumah dan penjual memiliki uang.

2. Akad Bersyarat (Akad Ghair Munjiz), adalah akad yang diucapkan seseorang dan
dikaitkan dengan sesuatu, yakni apabila syarat atau kaitan itu tidak ada akad pun
tidak jadi, baik dikaitkan dengan wujud sesuatu tersebut atau ditangguhkan
pelaksaannya. Contohnya, seseorang berkata, “Saya jual mobil ini dengan harga
Rp. 40.000.000,- jika disetujui oleh atasan saya.” Atau berkata, “Saya jual mobil
ini dengan syarat saya boleh memakainya selama sebulan, sesudah itu akan saya
serahkan kepadamu.” Akad ghair manjiz terbagi menjadi tiga macam, yaitu:

a. Ta’liq Syarat

Yaitu terjadinya suatu akad bergantung pada urusan lain. Jika urusan lain
tidak terjadi atau tidak ada, akad pun tidak ada. Contohnya, seseorang berkata,
“Jika orang yang berhutang kepada Anda pergi, saya menjamin utangnya.”
Orang yang akan menanggung utang (kafil) menyangkutkan kesanggupannya
untuk melunasi utang pada perginya orang yang berutang tersebut.

Ta’liq syarat ini memerlukan dua ungkapan. Ungkapan pertama


mengharuskan adanya syarat, seperti dengan kata “jika” dan “kalau”, yang
dinamakan ungkapan syarat. Adapun ungkapan kedua dinamakan ungkapan
jaza (balasan). Dua ungkapan ini boleh didahulukan yang mana saja.

5
Ibid, hlm. 66-67
6
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2016), hlm. 50
6
b. Tayqid Syarat

Yaitu syarat pada suatu akad atau tasharruf yang hanya berupa ucapan saja
sebab pada hakikatnya tidak ada atau tidak mesti dilakukan. Contohnya seperti
orang yang menjual barang dengan syarat ongkos pengangkutannya
ditanggung penjual. Penjual mengaku atau berjanji untuk memenuhi
persyaratan tersebut, yaitu memiliki ongkos. Sebenarnya, iltijam tersebut tidak
bersyarat karena akad yang mutlak tidak mengharuskan ongkos angkutan itu
dipikul oleh si penjual.

c. Syarat Idhafah

Maknanya adalah menyandarkan kepada suatu masa yang akan datang atau
Idhafah Mustaqbal. Contohnya, “Saya menjadikan Anda sebagai wakil saya
mulai awal tahun depan.” Ini contoh syarat yang di-idhafah-kan ke masa yang
akan datang. 7

E. Akhir akad

Akad dapat berakhir dengan pembatalan, meninggal dunia, atau tanpa adanya
izin dalam akad mauquf (ditangguhkan). Adapun akad habis dengan pembatalan, akad
dengan pembatalan terkadang dihilangkan dari asalnya, seperti pada masa khiyar.
Terkadang dikaitkan pada masa yang akan datang. Seperti pembatalan dalam sewa-
menyewa dan pinjam-meminjam yang telah disepakati selama lima bulan, tetapi
sebelum sampai lima bulan telah dibatalkan.
Pada akad ghair lazim, yang kedua pihak dapat membatalkan akad.
Pembatalan ini sangat jelas, seperti pada penitipan barang perwakilan, dan lain-lain
atau yang ghair lazim pada satu pihak dan lazim pada pihak lainnya, seperti gadai.
Orang yang menerima gadai dibolehkan membatalkan akad walaupun tanpa
sepengetahuan orang yang menggadaikan barang. Adapun pembatalan pada akad
lazim, terdapat dalam beberapa hal berikut :
a. Ketika akad rusak
b. Adanya khiyar
c. Pembatalan akad
d. Tidak mungkin melaksanakan akad

7
Ibid, hlm. 67-68
7
e. Masa akad berakhir.8
F. Akibat Hukum Akad
Menurut ulama fiqh, setiap akad mempunyai akibat hukum, yaitu tercapainya sasaran
yang ini dicapai sejak semula. Seperti perpindahan hak milik dari penjual kepada
pembeli. Dan akad itu bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang berakad, tidak boleh
dibatalkan kecuali disebabkan hal-hal yang dibenarkan syara’. Seperti terdapat cacat
pada objek akad, suatu akad itu tidak memenuhi salah satu rukun atau syarat akad.
Akibat hukum dalam perjanjian berlaku hanya pada pihak-pihak yang membuatnya,
seperti dijelaskan dalam pasal 1338 (1). Hal ini juga ditegaskan dalam pasal 1315
KUHPerdata dan ditegaskan juga dalam pasal 1340 (1). Selain itu, dalam kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah, bagian tujuh pasal 46, senada dengan KUHPerdata, yang
menyatakan bahwa suatu akad hanya berlaku antara pihak-pihak yang mengadakan
akad.9
Dalam hukum perjanjian Islam seperti halnya dalam hukum lainnya, pada asasnya,
akibat yang timbul dari suatu perjanjian (akad) hanya berlaku pada para pihak yang
membuatnya dan tidak berlaku terhadap pihak lain diluar mereka. Hal ini ditegaskan
dalam kitab mursyid al-Hairan: Pasal 306 (1): akibat-akibat hukum akad hanya berlaku
terhadap para pihak yang membuatnya, dan tidak berlaku terhadap pihak lain selain
mereka. Pasal 278: orang yang baligh dan berakal sehat serta tidak berada di bawah
pengampuan dapat membuat akad apapun secara sendiri maupun mewakilkannya kepada
orang lain, barang siapa membuat akad sendiri dan untuk dirinya sendiri, maka dialah,
dan bukan orang lain, yang terikat oleh hak-hak dan akibat-akibat hukum yang timbul
dari akad tersebut.10

8
Ibid, hlm. 70
9
Meri Piryanti, Akibat Hukum Perjanjian (Akad) dan Terminasi Akad. Diunduh pada 11 Maret 2021
http://ejournal.kopertais4.or.id/mataraman/index.php/tahdzib/article/view/1836
10
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah Studi Tentang Akad dalam Fiqh Muamalah. Hlm. 265
8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Akad secara terminologi fiqh (hukum Islam) adalah perikatan antara ijab (penawaran)
dengan kabul (penerimaan) secara yang dibenarkan syara', yang menetapkan
keridhoaan (kerelaan) kedua belah pihak.
2. Rukun akad terdiri dari; sighat (Ijab qabul) dan akid (pihak yang bertransaksi) dimana
kedua rukun ini memiliki syaratnya masing-masing.
3. Setiap akad dipastikan memiliki dua dampak, yaitu dampak khusus dan dampak
umum. Dampak khusus seperti pemindahan kepemilikan dalam jual-beli, hibah,
wakaf, upah, dan lain-lain. Sedangkan dampak umum Segala sesuatu yang
mengiringi setiap atau sebagian besar akad.
4. Akad dibagi menjadi beberapa macam, yang setiap macamnya sangat bergantung
pada sudut pandangnya. Diantaranya; Berdasarkan Ketentuan Syara’ (akad shahih
dan akad tidak shahih), Berdasarkan Penamaannya (Akad yang dinamai syara’ dan
akad yang belum dinamai syara’), dan Berdasarkan Zatnya (Benda yang berwujud
dan benda yang tidak berwujud). Sementara sifat-sifat akad, antara lain; Akad Tanpa
Syarat (Akad Munjiz) dan Akad Bersyarat (Akad Ghair Munjiz).
5. Akad dapat berakhir dengan pembatalan, meninggal dunia, atau tanpa adanya izin
dalam akad mauquf (ditangguhkan).

9
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Syamsul. (2010). Hukum Perjanjian Syariah Studi Tentang Akad Dalam Fiqh
Muamalah. Jakarta: Rajawali Press.
Harun. (2017). Fiqh Muamalah. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Piryanti, Meri. Akibat Hukum Perjanjian (Akad) dan Terminasi Akad. Diunduh pada 11
Maret 2021
http://ejournal.kopertais4.or.id/mataraman/index.php/tahdzib/article/view/1836
Sa’diyah, Muhammadatus. (2019). Fiqh Muamalah II. Jawa Tengah: Unisu Press.
Suhendi, Hendi. (2016). Fiqh Muamalah. Depok: PT. Rajagrafindo Persada.
Syafe’I, Rachmat. (2006). Fiqih Muamalah. Bandung: CV Pustaka Setia.

10

Anda mungkin juga menyukai