Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH HUKUM EKONOMI SYARIAH

Bentuk Akad dan Praktik Ekonomi Syariah


(Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah)

Dosen Pembimbing :
Risfiana Mayangsari, MH

Disusun Oleh :
Arip Briantoni (2111120007)
Meistika Padliana Putri (2111120020)

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI FATMAWATI SUKARNO
BENGKULU
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas berkat dan limpahan rahmat-Nya maka Kami bisa menyelesaikan
makalah ini dengan tepat waktu.
Berikut ini saya mempersembahkan sebuah makalah untuk memenuhi salah satu
tugas pada mata kuliah hukum ekonomi syariah yang membahas tentang bentuk
akad dan praktik ekonomi syariah (menurut kompilasi hukum ekonomi syariah)
semoga dengan dibuatnya makalah ini dapat membantu menambah ilmu
pengetahuan bagi pembaca.
Melalui kata pengantar ini kami terlebih dahulu meminta maaf dan
memohon permakluman bilamana isi makalah ini ada kekurangan baik dalam isi
maupun penulisan. Terima kasih.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................2
B. Rumusan Masalah.................................................................................2
C. Tujuan Penulisan..................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................3
A. Bentuk Akad Dalam Ekonomi Syariah.................................................3
B. Landasan Yuridis Perikatan Konvensional dan Akad Syariah.............7
C. Pelaksanaan Akad Syariah di Indonesia Menurut KHES ....................9
D. Hukum Perjanjian Dalam KUH Perdata...............................................10
E. Syarat-Syarat Perjanjian.......................................................................12

BAB III PENUTUP.........................................................................................15


A. Kesimpulan...........................................................................................15
B. Saran.....................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lahirnya Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas
Undang-Undang No. 9 tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah membawa
perubahan besar terhadap kedudukan dan eksistensi Peradilan Agama di
Indonesia. Disamping kewenangan yang telah diberikan dalam bidang Hukum
Keluarga Islam, Peradilan Agama juga diberi wewenang menyelesaikan
perkara dalam bidang ekonomi syariah. Sebagai tindak lanjut dari hal tersebut,
Mahkamah Agung meresponnya dengan merancang suatu kompilasi hukum
yang disebut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
Kedudukan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah berlaku dengan
peraturan Mahkama Agung RI (PERMA) Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Sehingga kekuatan hukum dari KHES
barulah sebatas Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yang bukanlah
termasuk jenis peraturan perundang-undangan (yang hierarkis), tetapi
termasuk jenis peraturan perundangundangan semu. Namun meskipun
demikian pembentukan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) sangat
penting . Hal ini dikarenakan KHES dapat membantu menunjang kinerja para
hakim Pengadilan Agama dalam menangani masalah sengketa ekonomi
syariah yang menjadi kewenangan barunya.
Melihat seluruh isi dari KHES nampaknya banyak membahas konsep
akad. Sebagaimana yang dilontarkan oleh hakim Agung Abdurrahman, KHES
hampir 80 % berisi tentang akad.1

B. Rumusan Masalah
1
Badilag dan Pokja Perdata Agama Lakukan Kajian Buku KHES // www.badilag.net

1
1. Bagaimana bentuk akad dalam ekonomi syariah ?
2. Bagaimana landasan yuridis perikatan konvensional dan akad syariah ?
3. Bagimana pelaksanaan akad syariah di indonesia menurut KHES ?
4. Apa hukum perjanjian dalam KUH Perdata ?
5. Apa saja syarat-syarat perjanjian ?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui bentuk akad dalam ekonomi syariah.
2. Mengetahui landasan yuridis perikatan konvensional dan akad syariah.
3. Mengetahui pelaksanaan akad syariah di indonesia menurut KHES.
4. Mengetahui hukum perjanjian dalam KUH Perdata.
5. Mengetahui syarat-syarat perjanjian.

BAB II

2
PEMBAHASAN
A. Bentuk Akad Dalam Ekonomi Syariah
1) Akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau
lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan hukum
tertentu.
2) Bai’ adalah jual beli antara benda dengan benda, atau pertukaran benda
dengan uang.
3) Syirkah adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dalam hal
permodalan, keterampilan, atau kepercayaan dalam usaha tertentu dengan
pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati oleh pihak-
pihak yang berserikat.
4) Mudharabah adalah kerjasama antara pemilik dana atau penanam modal
dengan pengelola modal untuk melakukan usaha tertentu dengan bagi
hasil.
5) Muzaraah adalah kerjasama antara pemilik lahan dengan penggarap untuk
memanfaatkan lahan.
6) Murabahah adalah pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan
oleh shahib al-mal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual
beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual
terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi shahib al-
mal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur.2
7) Musaqah adalah kerjasama antara pihak-pihak dalam pemeliharaan
tanaman dengan pembagian hasil antara pem ilik dengan pemelihara
tanaman dengan nisbah yang disepakati oleh pihak-pihak yang terikat.
8) Khiyar adalah hak pilih bagi penjual dan pembeli untuk melanjutkan atau
membatalkan akad jual-beli yang dilakukannya.
9) Ijarah adalah sewa barang dalam jangka waktu tertentu dengan
pembayaran.

“KOMPILASI HUKUM EKONOMI SYARIAH”, Edisi Revisi (Jakarta: Perpustakaan


2

Mahkamah Agung – RI, 2016), 10

3
10) Istisna adalah jual-beli barang atau jasa dalam bentuk pemesanan dengan
kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pihak pemesan
dengan pihak penjual.
11) Shunduq hifzi ida’ /Safe Deposit Box adalah tempat penyimpan barang
berharga sebagai titipan yang disediakan bank dengan sistem ijarah
menyewa/ijarah dengan risiko ganti rugi.
12) Kafalah adalah jaminan atau garansi yang diberikan oleh penjamin kepada
pihak ketiga/pemberi pinjaman untuk memenuhi kewajiban pihak
kedua/peminjam.
13) Hawalah adalah pengalihan utang dari muhil al-ashil kepada muhal ‘alaih.
14) Rahn/gadai adalah penguasaan barang milik peminjam oleh pemberi
pinjaman sebagai jaminan.
15) Ghasb adalah mengambil hak milik orang lain tanpa izin dan tanpa berniat
untuk memilikinya.
16) Itlaf/perusakan adalah pengurangan kualitas nilai suatu barang.
17) Wadi’ah adalah penitipan dana antara pihak pemilik dana dengan pihak
penerima titipan yang dipercaya untuk menjaga dana tersebut.3
18) Ju’alah adalah perjanjian imbalan tertentu dari pihak pertama kepada pihak
kedua atas pelaksanaan suatu tugas/pelayanan yang dilakukan oleh pihak
kedua untuk kepentingan pihak pertama.
19) Wakalah adalah pemberian kuasa kepada pihak lain untuk mengerjakan
sesuatu.
20) Mabi’/barang dagangan adalah barang-barang yang dapat dipertukarkan.
21) Saham adalah segala sesuatu yang dimiliki seseorang atau badan usaha
yang disatukan sebagai bagian dari harta milik bersama.
22) Obligasi Syariah adalah surat berharga yang diterbitkan berdasarkan
prinsip syari’ah sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset surat
berharga baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.

3
Ibid, hal. 11

4
23) Sukuk maliyah/reksa dana syariah adalah lembaga jasa keuangan non bank
yang kegiatannya berorientasi pada investasi di sektor portofolio atau nilai
kolektif dari surat berharga.
24) Efek Beragun Aset Syariah adalah efek yang diterbitkan oleh akad
investasi kolektif Efek Beragun Aset Syariah yang portofolio-nya terdiri
atas aset keuangan berupa tagihan yang timbul dari surat berharga
komersial, tagihan yang timbul di kemudian hari, jual beli pemilikan aset
fisik oleh lembaga keuangan, efek bersifat investasi yang dijam in oleh
pemerintah, sarana peningkatan investasi/arus kas serta aset keuangan
setara, yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
25) Surat berharga komersial syariah adalah surat pengakuan atas suatu
pembiayaan dalam jangka waktu tertentu yang sesuai dengan prinsip-
prinsip syariah.4
26) Ta’min/asuransi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, yang pihak
penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi
ta’min untuk menerima penggantian kepada tertanggung karena kerugian,
kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung-
jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita
tertanggung yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.
27) Suq maliyah/pasar modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan
penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang
berkaitan dengan efek yang diterbitkannya serta lembaga dan profesi yang
berkaitan dengan efek.
28) Nuqud i ’timani/pembiayaan adalah penyediaan dana dan atau tagihan
berdasarkan akad mudharabah atau musyarakah dan atau pembiayaan
lainnya berdasarkan prinsip bagi hasil.
29) Dain/utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan
dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia atau mata uang
lainnya, secara langsung atau kontinjen.

4
Ibid, hal. 12

5
30) Hisab mudayyan/piutang adalah tagihan yang timbul dari transaksi jual-
beli dan atau ijarah berdasarkan akad murabahah, salam, istisna, dan atau
ijarah.
31) Da’in/pemberi pinjaman adalah pihak yang mempunyai piutang karena
perjanjian atau berdasarkan undang-undang.
32) Mudayin/Peminjam adalah pihak yang mempunyai utang karena
perjanjian atau berdasarkan undang-undang.
33) Waraqah tijariah/surat berharga syariah adalah surat bukti berinvestasi
berdasarkan prinsip syariah yang lazim diperdagangkan di pasar dan atau
pasar modal, antara lain wesel, obligasi syariah, sertifikat reksadana5
antara lain wesel, obligasi syariah, sertifikat reksadana syariah, dan surat
berharga lainnya berdasarkan prinsip syariah.
34) Salam adalah jasa pembiayaan yang berkaitan dengan jual beli yang
pembayarannya dilakukan bersamaan dengan pemesanan barang.
35) Tsaman/harga adalah jum lah uang yang harus dibayarkan untuk barang
dagangan.
36) Qard adalah penyediaan dana atau tagihan antara lembaga keuangan
syariah dengan pihak peminjam yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melakukan pembayaran secara tunai atau cicilan dalam jangka waktu
tertentu.
37) Ta’widh/ganti rugi adalah penggantian atas kerugian riil yang dibayarkan
oleh pihak yang melakukan wanprestasi.
38) Lembaga Keuangan Syariah adalah korporasi yang melaktlkan
penghimpunan dana pihak ketiga dan menyalurkannya dalam bentuk
pembiayaan kepada nasabah, baik bank maupun non-bank.
39) Sunduq mu’asyat taqa’udi/dana pensiun syariah adalah badan usaha yang
mengelola dan m enjalankan program yang m enjanjikan manfaat pensiun
berdasarkan prinsipprinsip syariah.

5
Ibid, hal. 13

6
40) Hisabat jariyat/rekening koran syariah adalah pembiayaan yang dananya
setiap saat dapat ditarik atau disetor oleh pem iliknya yang dijalankan
berdasarkan prinsip syariah.
41) Bai’ wafa’/jual beli dengan hak membeli kembali adalah jual-beli yang
dilangsungkan dengan syarat bahwa barang yang dijual tersebut dapat
dibeli kembali oleh penjual apabila tenggang waktu yang disepakati telah
tiba.6 oleh penjual apabila tenggang waktu yang disepakati telah tiba.
42. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.7

B. Landasan Yuridis Perikatan Konvensional dan Akad Syariah


Dalam hukum perikatan konvensional dikenal istilah resicoleer (ajaran
tentang resiko), yaitu seseorang berkewajiban untuk memikul kerugian, jika
ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda
yang menjadi objek perjanjian atau perikatan. Ajaran ini dapat diterapkan baik
dalam suatu perikatan yang sepihak atau perikatan timbale balik. Perikatan
sepihak yaitu jika ada dua orang atau lebih yang menjalin suatu perikatan,
namun ada pihak yang aktif melakukan prestasi dan ada pihak yang pasif.
Sedangkan dalam perikatan timbale balik, kedua pihak sama-sama harus
melakukan suatu prestasi.8
Teori ini ingin mencari pembenaran atas kewajiban ganti rugi pada
suatu peristiwa dimana si pelaku tak mempunyai kesalahan atas perilaku yang
menimbulkan kerugian maupun kerugian itu sendiri. Teori ini didasarkan pada
suatu pemikiran bahwa tidak tertutup kemungkinan, bahwa suatu perilaku
yang tidak terlarang akan menimbulkan kerugian pada orang lain. Dalam
hidup, ada suatu peristiwa yang menimbulkan kerugian yang tak dapat
diperhitungkan sebelumnya. Setiap orang dalam berintraksi dengan sesamanya
terkadang terpaksa menerima resiko bahwa apa yang dilakukan menimbulkan
kerugian pada orang lain, meskipun tidak ada unsur salah pada dirinya.9

6
Ibid, hal. 14
7
Ibid, hal. 15
8
Salim H.S., Hukum Kontrak (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), 103
9
J. Satrio, Hukum Perikatan (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), 282

7
Adapun yang dimaksud kerugian yang bisa dimintakan penggantian
adalah kerugian yang bukan hanya biaya-biaya yang telah dikeluarkan, atau
kerugian yang benar-benar telah menimpa pihak yang di rugikan, tetapi juga
kerugian hilangnya keuntungan yang mestinya diperoleh seandainya salah satu
pihak tidak lalai. Tetapi tidak semua kerugian bisa dimintai penggantian,
undang-undang dalam hal in telah memberikan batasan-batasan dengan
menentukan bahwa kerugian yang dapat dikirakirakan atau di duga pada saat
perjanjian dibuat dan yang sungguh-sungguh dapat dianggap sebagai suatu
akibat langsung dari kelalaian.10
Ganti rugi merupakan akibat hukum dari wanprestasi, karena itu hal
tersebut harus dicantumkan dalam suatu akad perjanjian. Ganti rugi harus
dibicarakan sejak awal akad oleh masing-masing pihak yang melakukan
perikatan. Dalam suatu akad tertulis harus diikutkan aturan-aturan mengenai
ganti rugi supaya tidak terjadi ketidakpastian hukum di akhir, meskipun
undang-undang sendiri telah memberikan batasan-batasan.11

Ada beberapa dasar hukum akad yang menjadi peganggan bagi para ulama
yaitu:
a. Landasan Al- Quran
Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah SWT Quran surat Al-Maidah ayat
1:

ٰ ‫َما يُ ْتىَل‬ ‫اَي َأهُّي َا اذَّل ِ َين آ َمنُوا َأ ْوفُوا اِب لْ ُع ُقو ِد ۚ ُأ ِحل َّ ْت لَمُك ْ هَب ِ مي َ ُة اَأْلنْ َعا ِم اَّل‬
‫ِإ‬
ُ‫الص ْي ِد َوَأنْمُت ْ ُح ُر ٌم ۗ َّن اهَّلل َ حَي ْ مُك ُ َما يُ ِريد‬ َّ ‫) غَرْي َ ُم ِحيِّل‬1( ْ ‫عَلَ ْيمُك‬
Artinya :
‫ِإ‬
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji!
192)
 Dihalalkan bagimu hewan ternak, kecuali yang akan
disebutkan kepadamu (keharamannya) dengan tidak menghalalkan
berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah).
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia
kehendaki.” (Q. S Al-Maidah:1)12.
b. Landasan Al- Sunnah
10
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 1996), 149
11
Much. Nurachmad, Memahami dan Membuat Perjanjian (Jakarta: Visimedia, 2010) 21
12
Depertemen Agama RI . 2012. Al-Qur‟an dan Terjemahannya. Surabaya: Fajar Mulya.
Hlm 85

8
Hadist Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh HR Bukhori
tentang kebatalan suatu akad antara lain:
“Dari Jabir ibn ‘Abd Allah r.a. bahwasanya Rasulullah SAW
bersabdah, Allah mengasihi kepada orang-orang yang
memberikankemudahan ketika ia menjual dan membeli serta ketika
menagih haknya.” (HR. Al-Bukhari)13
Maksud dari hadits diatas bahwa suatu akad yang diadakan oleh
para pihak haruslah didasarkan kepada kesepakatan kedua belah pihak.
Masing-masing pihak haruslah ridha atau rela akan isi akad tersebut atau
dengan perkataan lain harus merupakan kehendak bebas masing-masing
pihak serta tidak boleh ada paksaan dari pihak yang satu kepada pihak
yang lain.

C. Pelaksanaan Akad Syariah di Indonesia Menurut KHES


Akad dilakukan berdasarkan asas:
a) ikhtiyari/sukarela; setiap akad dilakukan atas kehendak para pihak,
terhindar dari keterpaksaan karena tekanan salah satu pihak atau pihak
lain.
b) amanah/menepati janji; setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak
sesuai dengan kesepakatan yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan
pada saat yang sama terhindar dari cidera-janji.
c) ikhtiyati/kehati-hatian; setiap akad dilakukan dengan pertimbangan yang
matang dan dilaksanakan secara tepat dan cermat.
d) luzum /tidak berobah; setiap akad dilakukan dengan tujuan yang jelas dan
perhitungan yang cermat, sehingga terhindar dari praktik spekulasi atau m
aisir.
e) saling menguntungkan; setiap akad dilakukan untuk memenuhi
kepentingan para pihak sehingga tercegah dari praktik manipulasi dan
merugikan salah satu pihak.

13
Idri. Hadis Ekonomi, (Jakarta : Kencana, 2015), hlm 177-178

9
f) taswiyah/kesetaraan; para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan
yang setara, dan mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang.
g) transparansi; setiap akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para
pihak secara terbuka.14
h) kemampuan; setiap akad dilakukan sesuai dengan kemampuan para pihak,
sehingga tidak menjadi beban yang berlebihan bagi yang bersangkutan.
i) taisir/kemudahan; setiap akad dilakukan dengan cara saling memberi
kemudahan kepada masing-masing pihak untuk dapat melaksanakannya
sesuai dengan kesepakatan.
j) itikad baik; akad dilakukan dalam rangka menegakan kemaslahatan, tidak
mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya.
k) sebab yang halal; tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang oleh
hukum dan tidak haram.
l) Al-hurriyah (kebebasan berkontrak)
m) Al-kitabah (tertulis)

D. Hukum Perjanjian Dalam KUH Perdata


Perjanjian diatur dalam buku ke III KUHPerdata yang menganut
sistem terbuka, artinya, memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada
masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berupa dan berisi apapun
asalkan tidak bertentangan dengan Undang-Undang, ketertiban umun dan
kesusilaan. Dengan dianutmya sistem terbuka, hukum perjanjian berkembang
dengan pesat tidak hanya bentuk dan model perjanjian yang berkembang,
tetapi juga pengertian perjanjian itu sendiri juga ikut berkembang.
Menurut KUHPerdata menyebutkan perjanjian adalah : suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 KUHPerdata).

“KOMPILASI HUKUM EKONOMI SYARIAH”, Edisi Revisi (Jakarta: Perpustakaan


14

Mahkamah Agung – RI, 2016), 15

10
Abdul Kadir Muhammad berpendapat bahwa perjanjian adalah suatu
persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk
melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan15.
Perjanjian merupakan peristiwa hukum dimana dua orang atau lebih
saling berjanji untuk mlakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu
dan dilakukan secara tertulis, perjanjian mempunyai kekuatan hukum yang
samadengan perundang-Undangan. Artinya, perjanjian yang dibuat oleh pihak
tertentu dapat dijadikan dasar hukum bagi yang membuatnya. Perbedaan
dengan perundang-Undagan adalah dalam hal bahwa perjanjian hanya berlaku
bagi para pihak yang membuatnya saja tidak mengikat orang lain atau
masyarakat umum, sedangkan perundang-Undangan berlaku umum kepada
semua pihak yang menjadi subjek pengaturannya16.
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada
seseorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
suatu hal seperti yang tercantum dalam Pasal 1313 KUHPerdata.
Perjanjian dapat juga dikatakan sebagai suatu peristiwa hukum.
Sebagai mana kita dapat mengetahui bahwa peristiwa hukum adalah peristiwa
yang membawa akibat yang diatur oleh hukum. Akibat yang diatur oleh
hukum ini dalam hukum perdata terutama berupa terjadi dan lenyapnya hak.17
Peristiwa hukum dalam bidang hukum perdata dapat terjadi karena
a) Perbuatan subyek hukum. Perbuatan subyek hukum ini terbagi
atas :
1) Perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang membawa akibat hukum
karena dalam hukum dianggap akibat hukum itu dikehendaki oleh
yang melakukan perbuatan.18

15
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, ( Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992 ) h,7
16
Faisal Santiago, Pengantar Hukum Bisnis, ( Jakarta : Mitra Wacana Media,2012), h 19.
17
Donald Albert Rumokoy, Pengantar ilmu Hukum, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Pesrada,
2014,) h, 127
18
Ibid. h, 128

11
2) Perbuatan berakibat hukum terlepas dari kehendak pelaku, yaitu
perbuatan yang sebenarnya tidak dikehendaki untuk menimbulkan
akibat hukum tetapi hukum tetap mengikatkan akibat hukum.19
Suatu perjanjian dinyatakan sah dan mengikat serta
mempunyai akibat hukum apabila perjanjian tersebut memenuhi
syarat-syarat yang telah ditentukan Undang-Undang, hal ini
bertujuan agar tidak terjadinya tindakan kesewenangan.

E. Syarat-Syarat Perjanjian
Untuk sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata ditetapkan 4 (empat) syarat, yaitu :
a) Sepakat Sepakat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian yang berupa
kehendak untuk membuat perjanjian, dengan kata lain adanya kata sepakat
dari mereka yang mengikatkan dirinya. Kata sepakat harus diberikan
secara bebas walaupun syarat kata sepakat ini sudah dirasakan atau
dianggap telah terpenuhi, mungkin terdapat suatu kekhilafan dimana suatu
perjanjian yang telah terjadi pada dasarnya ternyata bukan perjanjian,
apabila kedua belah pihak beranggapan menghendaki sesuatu yang sama
akan tetapi tidak.20
b) Kecakapan untuk mengadakan perjanjian Cakap menurut Pasal 1330 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata adalah mereka yang telah berumur 21
tahun atau belum berumur 21 tahun tetapi telah pernah kawin, tidak
termasuk orang-orang sakit ingatan atau pemboros yang karena itu
pengalihan diputuskan berada dibawah pengampuan dan seorang
perempuan yang bersuami. Menurut Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dimaksud cakap adalah mereka
yang telah mencapai umur 18 tahun atau belum berumur 18 tahun tetapi
telah pernah kawin. Mengenai perempuan yang bersuami menurut Pasal
31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai

Ibid. h, 129
19

A. Qirom Syamsudin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta


20

Perkembangannya, Yogyakarta, Liberty, 2010, hlm. 9

12
hak dan kedudukan yang seimbang dengan suami, yang dapat disimpulkan
bahwa seorang istri cakap hukum, sehingga dapat bebas melakukan
perbuatan hukum.
c) Objek atau Hal Tertentu Suatu hal tertentu maksudnya adalah paling tidak,
macam atau jenis benda dalam perjanjian sudah ditentukan, pengertian
objek disini ialah apa yang diwajibkan kepada debitur dan apa yang
menjadi hak dari kreditur.
d) Suatu Sebab yang Halal Maksud dari sebab yang halal ialah apa yang
menjadi isi dari perjanjian itu tidak bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan, dan ketertiban umum. 21
Keempat syarat tersebut dapat dibagi dalam 2 (dua) kelompok, yaitu :
1) Syarat Subjektif Syarat subjektif yaitu suatu syarat yang
menyangkut subjek-subjek perjanjian itu, dengan kata lain syarat-
syarat yang harus dipenuhi adalah sepakat mereka mengikatkan
dirinya dan kecakapan pihak yang membuat perjanjian.
Apabila syarat kesatu dan kedua tidak dipenuhi, maka
akibat hukumnya adalah perjanjian itu menjadi dapat dibatalkan.
Artinya para pihak harus memenuhi unsur ini, dimana kesepakatan
maupun unsur kecakapan harus dipenuhi. Dapat dibatalkan
membawa konsekuensi, bahwa perjanjian itu telah membawa
akibat terhadap para pihak bahwa terhadap perjanjiannya sejak
adanya gugatan atau putusan pengadilan terhadap suatu perjanjian
itu menjadi dapat dibatalkan, karena adanya gugatan atau putusan
pengadilan tersebut, dapat dimintakan pembatatalan (cancelling)
oleh salah satu pihak, misalnya untuk yang belum cakap menurut
hukum diajukan oleh orangtua atau walinya, atau ia sendiri apabila
sudah cakap.

2) Syarat objektif Syarat objektif adalah syarat yang menyangkut


objek perjanjian itu, meliputi suatu hal tertentu dan suatu sebab

21
Ibid, hlm. 11

13
yang halal. Syarat yang ketiga dan syarat yang keempat merupakan
syarat objektif, syarat objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu
akibatnya batal demi hukum. Ini membawa konsekuenksi bahwa
dari sejak semula kontrak itu menjadi tidak membawa akibat
hukum apa-apa, karena kontrak ini telah bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Jadi secara
yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula
suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat
perjanjian. Dengan demikian tidaklah dapat pihak yang satu
menuntut pihak lain di depan hakim, karena dasar hukumnya tidak
ada.22

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
22
N. Ike Kusmiati, 2016, Undue Influence Sebagai Faktor Penyebab Cacat Kehendak
diluar Kuhperdata, dalam Upaya Mengisi Kekosongan Hukum, Jurnal ilmu Hukum Litigasi, Vo. 17,
No. 1.

14
Dari beberapa penjelasan sebelumnya pada dasarnya asas akad yang
dikembangkan di bank syariah lebih dekat dengan asas formalistik dengan
metode asimilatif yang itu artinya bahwa akad bank syariah masih mengacu
pada akomodasi terhadap aktivitas dan transaksi pada perbankan
konvensional, dan Akad menurut kompilasi hukum ekonomi syariah adalah
suatu kesepakatan dalam suatu perjanjian yang dilakukan oleh dua pihak atau
lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan hukum
tertentu (Perundang-Undangan, 2010) Di Indonesia, akad dikenal dengan
istilah kontrak.

B. Saran
Sebaiknya dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dibedakan
dengan jelas tentang pembagian syarat dan rukun syirkah sehingga dapat
dipahami pembaca dan dapat di aplikasikan secara benar dalam praktik.
Bagi akademisi perlu adanya penelitian lebih lanjut unsur madzhab
fiqih dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dari aspek lainnya. Karena
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ini merupakan salah satu acuan peraturan
yang dipakai dalam Pengadilan Agama sehingga perlu jeli dalam penentuan
hukum Islam.

15
DAFTAR PUSTAKA

A.Qirom Syamsudin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta


Perkembangannya, Yogyakarta, Liberty, 2010.
Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, PT. Cipta Aditya Bakti,
Bandung.
Albert Rumokoy, Donald, Frans Maramis. Pengantar Ilmu Hukum.
Cetakan ke-1. Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2014.
https://badilag.mahkamahagung.go.id/
Badilag_dan_Pokja_Perdata_Agama_Lakukan_Kajian_Buku_KHES. 06 April 2023,
13.34 WIB
https://perpustakaan.mahkamahagung.go.id/assets/resource/ebook/02.pdf.
06 April 2023, 13.34 WIB
Idri. Hadis Ekonomi (Ekonomi dalam Perspektif Hadis Nabi). Jakarta:
Kencana, 2015.
J. Satrio, 1992, Hukum Perikatan. Bandung : Alumni
N. Ike Kusmiati, 2016, Undue Influence Sebagai Faktor Penyebab Cacat
Kehendak diluar Kuhperdata, dalam Upaya Mengisi Kekosongan Hukum”, Jurnal
ilmu Hukum Litigasi, Vo. 17, No. 1.
Nurachmad, much. Buku pintar memahami & membuat Surat Perjanjian.
(Jakarta: visimedia,2010)
Salim, H.S.. Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar
Grafika, Jakarta, 2006.
Santiago, Faisal, Pengantar Hukum Bisnis. (Jakarta: Mitra Wacana Media,
2012).
Subekti, R, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : PT Intermasa, Cetakan
Ke dua puluh, 1985.

Anda mungkin juga menyukai