Anda di halaman 1dari 21

Mata Kuliah Dosen Pengampu

Etika Bisnis Islam Yulida Mardini S.H.I, M.H

ASPEK HUKUM PERJANJIAN

BISNIS

Oleh Kelompok : 3

NAMA NPM

Ilham 20.15.0218

Muhammad Syarif Hidayat 20.15.0219

INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM MARTAPURA


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
PRODI EKONOMI SYARIAH
2022/2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang,Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, daninayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah mengenai ” ASPEK HUKUM PERJANJIAN BISNIS ”.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dariberbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.Untuk it
u kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baikdari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah mengenai “ASPEK HUKUM
PERJANJIAN BISNIS ” ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap
pembaca.

Martapura, 17 Oktober 2022

Kelompok 3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii

BAB I .................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN ................................................................................................ 1

A. Latar Belakang .......................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ...................................................................................... 2

BAB II .................................................................................................................. 3

PEMBAHASAN.................................................................................................... 3

A. Sewa Guna Usaha (Leasing) .................................................................... 3


B. Pinjam Sewa-Beli ..................................................................................... 4
C. Pinjam-Meminjam dana (Perjanjian Kredit)............................................. 5
D. Perjanjian Franchise (Waralaba)............................................................... 6
E. Memorandum Of Understanding (MuO)................................................... 7

BAB III..................................................................................................................12

PENUTUP.............................................................................................................12

A. Kesimpulan................................................................................................12
B. Saran..........................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Suatu kontrak ataau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya
perjanjian,yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang
halal, sebagai mana ditentukan dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Dengan dipenuhinya 4 syarat sahnya perjanjian tersebut,
maka suatu perjanian menjadi sahdan mengikat secara hukum bagi para
pihak yang membuatnya.
Permasalahan hukum akan timbul jika sebelum perjanjian tersebut
sah danmengikat pada pihak,yaitu dalam proses perundingan atau
preliminiary negotiation, salah satu pihak telah melakukan perbuatan
hukum seperti meminjamkan uang,membeli tanah, padahal belum tercapai
kesepakatan final antara mereka mengenai kontrak bisnis yang
dirundingkan. Hal ni dapat terjadi karena salah satu pihak begitu percaya
dan menaruh pengharapan terhadap janji-janji yang diberikan oleh rekan
bisnisnya. Jika pada akhirnya perundingan mengalami jalan buntuh
dantidk tercapai kesepakatan,misalnya tidak tercapai kesepakatan
mengenai fees royalities atau jangka waktu lisensi, maka tidak dapat
dituntut ganti rugi atassegala biaya, investasi yang telah dikeluarkan
kepada rekan bisnisnya. Karena menurut teori kontrak yang klasik,belum
terjadi kontrak, mengingat besarnya fees,royalities dan jangka waktu
perjanjian merupakan hal yang essential dalam suatu perjanjian lisensi dan
franchising

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Sewa Guna Usaha (Leasing) ?
2. Apa itu Pinjam Sewa-Beli?
3. Apa itu Pinjam-Meminjam Dana ?
4. Apa Saja Perjanjian Franchise ?
5. Apa itu Memorandum Of Understanding (MuO)
C. Tujuan Penelitian
1. Agar Dapat Mengetahui dan Memahami Sewa Guna Usaha (Leasing)
2. Agar Dapat Mengetahui Pinjam Sewa-Beli
3. Agar Dapat Mengetahui Pinjam-Meminjam Dana
4. Agar Dapat Mengetahui Memorandum Of Understanding (MuO)
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sewa Guna Usaha (Leasing)


Yang dimaksud dengan Sewa-guna-usaha (Leasing) adalah kegiatan
pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa-
guna-usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha
tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh Lessee selama
jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.
Barang modal adalah setiap aktiva tetap berwujud, termasuk tanah
sepanjang di atas tanah tersebut melekat aktiva tetap berupa bangunan
(plant), dan tanah serta aktiva dimaksud merupakan satu kesatuan
kepemilikan, yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dan
digunakan secara langsung untuk menghasilkan atau meningkatkan, atau
memperlancar produksi dan distribusi barang atau jasa oleh Lessee.
1. Pengertian Perjanjian
Kontrak atau contracts (dalam bahasa inggris) dan overeen-
komst (dalam bahasa Belanda) dalam pengertian yang lebih luas sering
dinamakan dengan istilah perjanjian. Istilah kontrak untuk perjanjian
yang sebenarnya memiliki arti yang hampir sama. Kontrak adalah
peristiwa dimana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan
atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu, biasanya secara tertulis.
Para pihak yang bersepakat mengenai hal-hal yang diperjanjikan,
berkewajiban untuk menaati dan melaksanakannya, sehingga
perjanjian tersebut menimbulkan hukum yang disebut perikatan
(verbintenis).
Dengan demikian, kontrak dapat menimbulkan hak dan
kewajiban bagi para pihak yang membuat kontrak tersebut, karena itu
kontrak yang mereka buat adalah sumber hukum formal, asal kontrak
tersebut adalah kontrak yang sah. Perjanjian atau perikatan secara
etimologis adalah ikatan. Sedangkan menurut terminologi perjanjian
atau perikatan adalah suatu perbuatan dimana seseorang.
2. Dasar Hukum Perjanjian
Dasar hukum perikatan Islam berasal dari AlQur’an, Al-Hadits
dan Ijtihad serta dasar hukum positif dalam Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah :
a. Al-Qur’an
Sebagai salah satu sumber Islam yang utama yang pertama
dalam hukum perikatan Islam ini, sebagian besar Al-Qur’an hanya
mengatur mengenai kaidah-kaidah umum. Hal tersebut antara lain
dapat dilihat dari isi ayat-ayat Al-Qur’an berikut ini :
1) Q.S Al-Baqarah (2) : 188
“Dan janganlah sebagian kalian memakan harta
sebagian yang lain di antara kalian dengan jalan
yang batil dan (janganlah) kalian membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kalian
dapat memakan sebagian dari harta benda orang
lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal
kalian mengetahui. (QS. Al-Baqarah:188)
2) QS. An-Nisa’ (4) : 29
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan
yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
Dan janganlah kamu membunuh dirimu;
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.” (Q.S. An-Nisa’: 29)
b. Hadits
Dalam hadits, ketentuan-ketentuan mengenai muamalat
lebih terperinci dari pada Al-Qur’an. Namun, perincian ini tidak
terlalu mengatur hal-hal yang sangat mendetail, tetap dalam jalur
kaidahkaidah umum. Hadits-hadits tersebut antara lain dapat
terlihat dibwah ini :
1) Hadits Nabi Muhammad SAW dari Abu Hurairah
Rasulullah SAW telah bersabda, “Janganlah di antara kamu
menjual sesuatu yang sudah dibeli oleh orang lain.”
2) Hadits Riwayat Ahmad dan Baihaqi
Orang yang mampu membayar utang, haram atasnya
melalaikan utangnya. Maka, apabila salah seorang di antara
kamu memindahkan utangnya kepada orang lain,
pemindahan itu hendakah diterima, asal yang lain itu
mampu membayar.
c. Ijtihad
Sumber hukum Islam yang ketiga adalah ijtihad yang
dilakukan dengan menggunakan akal atau arra’yu. Posisi akal
dalam ajaran Islam memiliki kedudukan yang sangat penting.
Allah SWT. menciptakan akal untuk manusia agar dipergunakan
untuk memahami, mengembangkan dan menyempurnakan
sesuatu, dalam hal ini adalah ketentuan-ketentuan dalam Islam.
Namun demikian, akal tidak berjalan dengan baik tanpa ada
petunjuk. Petunjuk itu diatur oleh Allah SWT. yang tercantum
dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Ijtihad adalah usaha atau ikhtiar yang sungguhsungguh
dengan menggunakan segenap kemampuan yang ada dilakukan
oleh orang (ahli hukum) yang memenuhi syarat untuk
merumuskan garis hukum yang belum jelas atau tidak ada
ketentuannya di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
d. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)
diberlakukan sebagai hukum positif di Indonesia berdasarkan
Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2008. Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah (KHES) merupakan upaya
“positifisasi” hukum muamalat dalam kehidupan umat Islam di
Indonesia yang secara konstitusional sudah dijamin oleh sistem
konstitusIndonesia. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
(KHES) dapat dikategorikan sebagai produk pemikiran fiqih
karena mencakup empat unsur yaitu :
1. Berisi tentang hukum Islam (syari’at)
2. Hukum tersebut tentang perbuatan mukallaf yang
bersifat konkret
3. Hukum tersebut digali dengan menggunakan
metode ijtihad al-istidlal.
4. Hukum praktis itu digali dari sumber-sumbernya,
yaitu Al-Qur’an, Hadits dan Ijtihad.
5. Buku IV tentang Akuntansi Syari’ah terdiri dari
Pasal 735, Pasal 796.

B. Pinjam Sewa-Beli
Setiap perjanjian yang sah dibuat oleh para pihak mengikat sebagai
undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, sehingga para pihak
yang membuat perjanjian tersebut harus melaksanakan isi perjanjian
dengan penuh itikad baik agar tidak menimbulkan kerugian bagi salah satu
pihak. Salah satu pihak yang lalai melakukan prestasi sesuai dengan isi
perjanjian dikatakan telah melakukan wanprestasi. Wanprestasi itu sendiri
merupakan cidera janji, dimana cidera janji itu sendiri secara absolut tidak
dapat dilaksanakan dan ada kemungkinan untuk dilaksanakan.
Dalam menentukan salah satu pihak telah melaksanakan
wanprestasi atau tidak maka pihak yang merasa rugi atas kelalaian tersebut
harus terlebih dahulu memberikan somasi atau teguran/peringatan kepada
pihak yang lalai agar pihak tersebut segera melakukan kewajibannya
secara baik dan benar. Tetapi apabila pihak yang ditegur tersebut tidak
memperhatikan teguran atau somasi yang diberikan maka ia dapat
dikatakan telah wanprestasi sehingga kepadanya dapat dimintakan atau
dituntut ganti rugi, sebagaimana yang telah diatur oleh pasal 1243 KUH
Perdata menentukan bahwa pergantian biaya rugi dan harga karena tidak
dipenuhinya suatu perikatan barulah dimulai diwajibkan apabila si
berhutang dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetapi melalaikannya
atau jika suatu yang diberikan dalam tenggang waktu yang
dilampaukannya. Berkaitan dengan wanprestasi, maka yang perlu kita
ketahui adalah bentuk-bentuk wanprestasi, yaitu :
a. tidak dilakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya
b. melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagai mana
janjinya
c. melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat
d. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukannya.

Dalam hal salah satu pihak melakukan wanprestasi yang


mengakibatkan kerugian bagi pihak yang lain maka kepada pihak yang
melakukan wanprestasi di berikan sanksi sebagai bentuk hukuman atas
wanprestasi yang telah dilakukan. Menurut Subekti bentuk sanksi yang
diberikan kepada pihak yang melakukan wanprestasi adalah :

1. membayar kerugian
2. pembatalan perjanjian
3. peralihan resiko
4. membayar biaya perkara

KUH Perdata dalam pasal 1236 jo 1242 telah menegaskan


sekaligus memberikan perlindungan kepada pihak yang dirugikan oleh
adanya wanprestasi yang dilakukan, sehingga dalam hal ini bagi pihak
yang dirugikan tersebut dapat menuntut pihak yang menyebabkan
kerugian tersebut melalui pengadilan untuk memberikan ganti rugi, biaya
dan bunga.
Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Sewa Beli
Kendaraan Bermotor antara Penjual Sewa dengan Pembeli Sewa Setiap
perjanjian yang dibuat harus diawali dengan kesepakatan antara kedua
belah pihak yang dibuat secara sadar tanpa adanya unsur pemaksaan,
kekhilafan serta adanya unsur penipuan yang dilakukan oleh salah satu
pihak.Setiap perjanjian yang sah yang dibuat oleh para pihak berlaku
sebagai undang-undang sehingga perjanjian yang sah tersebut secara
hukum menimbulkan hak dan kewajiban secara seimbang bagi kedua
belah pihak. Walaupun sewa beli sebagai salah satu hubungan hukum
yang lahir bukan karena undang-undang, tetapi hak dan kewajiban para
pihak tetap mendapatkan jaminan dari ketentuanketentuan yang mengatur
tentang perjanjian sehingga sewa beli kendaraan bermotor, baik roda dua
maupun roda empat antara penjual sewa dengan pembeli sewa juga
melahirkan hak dan kewajiban timbal balik antara para pihak yang wajib
dilaksanakan atau dipenuhi oleh masing-masing pihak yaitu :

1. Hak dan Kewajiban Penjual Sewa


a. Hak penjual sewa adalah :
1. Berhak menuntut dan meminta kepada pembeli sewa untuk
menyerahkan sejumlah uang sewa beli dalam jumlah tertentu
sebagai uang muka sesuai dengan kesepakatan dalam perjanjian
2. Berhak menuntut dan meminta pembayaran angsuran/cicilannya
setiap bulannya sebesar nilai yang telah ditentukan dalam
perjanjian dalam jangka waktu 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun dan
seterusnya sesuai dengan perjanjian
3. Berhak atas pembayaran uang denda sebagai akibat dari
terjadinya keterlambatan pembayaran yang seharusnya dilakukan
oleh pembeli sewa tepat pada waktunya yang diperjanjikan
4. Berhak untuk memegang atau menahan surat Bukti Pemilikan
Kendaraan Bermotor (BPKB) yang disewabelikan sebagai
jaminan kendaraan bermotor yang belum dibayar lunas;
5. Berhak untuk menarik kembali kendaraan bermotor yang menjadi
obyek sewa beli, apabila pembeli sewa melanggar
ketentuanketentuan yang terdapat dalam perjanjian sewa beli,
termasuk juga apabila tidak melakukan pembayaran angsuran
sebagaimana yang telah disepakati bersama oleh kedua belah
pihak.
b. Kewajiban penjual sewa adalah
1. Menyerahkan kendaraan yang menjadi objek sewa beli kepada
pembeli sewa dilengkapi dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan
(STNK)
2. Menyerahkan Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) setelah
angsuran terakhir dilunasi.
2. Hak dan Kewajiban Pembeli Sewa
a. Hak pembeli sewa adalah :
1. Berhak atas penyerahan kendaraan bermotor yang menjadi objek
sewa beli setelah pembeli sewa membayar uang muka
2. Berhak menerima penyerahan hak milik atas kendaraan bermotor
yang menjadi obyek sewa beli setelah angsuran terakhir dibayar
lunasi yaitu dengan menerima surta Bukti Pemilik Kendaraan
Bermotor (BPKB).
b. Kewajiban pembeli sewa adalah
1. Menyerahkan uang muka sejumlah yang telah ditentukan kepada
penjual sewa
2. Membayar sejumlah angsuran/cicilannya setiap bulannya sebesar
nilai yang telah ditentukan dalam perjanjian dalam jangka waktu
1 tahun, 2 tahun, 3 tahun dan seterusnya sesuai dengan perjanjian
3. Menjaga serta merawat kendaraan bermotor yang menjadi obyek
sewa beli atas biaya sendiri
4. Menanggung seluruh resiko atas kendaraan bermotor tersebut,
sejak kendaraan bermotor diserahkan oleh penjual sewa kepada
pembeli sewa, yaitu terhadap kerugian karena kebakaran,
pencurian dan resiko lain yang dapat menimpa kendaraan tersebut
5. Pembeli sewa dilarang memindahtangankan obyek sewa beli
kepada pihak ketiga selama perjanjian sewa beli masih
berlangsung (selama angsuran belum dilunasi seluruhnya oleh
pembeli sewa).

C. Pinjam Meminjam Dana (Perjanjian Keredit)

Persoalan pinjaman online di Indonesia menjadi hangat


perbincangan masyarakat. Selain hal tersebut menjadi trend baru untuk
meminjam melalui transaksi elektronik, namun secara segi hukum perdata
juga perlu diperhatikan bagi pihak penyelenggara financial technology
lending untuk melakukan perjanjian sesuai dengan aturan POJK Nomor 77
POJK.01/2016. Hal tersebut diungkap oleh Guru Besar Bidang Hukum
Perdata, Prof. Dr. Siti Ismijati Jenie,S.H.,CN., saat dihubungi pada hari
Senin (20/12).

Prof. Dr. Siti Ismijati Jenie,S.H.,CN., Dosen Magister Ilmu Hukum


UMY  menjelaskan bahwa secara umum kegiatan fintech
lending dilakukan melalui 2 macam perjanjian yaitu perjanjian pemberi
pinjaman dan penyelenggara fintech lending dan yang kedua, antara antara
penyelenggara fintech lending dengan yang menerima
pinjaman.”Pada fintech lending sebenarnya sudah diatur dalam POJK
Nomor 77 POJK.01/2016 mengenai layanan pinjam meminjam uang
berbasis informasi. Sehingga seharusnya fintech memiliki perjanjian yang
mengatur hubungan hukum antara:

(1) Pemberi pinjaman dengan penyelenggara fintech lending


(2) Penyelenggara fintech lending dengan penerima pinjaman,”

Menurut Prof. Jenie dalam perjanjian fintech lending yang tertulis


berdasarkan pedoman OJK seharusnya ada mitigasi risiko dalam sebuah
perjanjian yang dilakukan oleh pihak penyelenggara pinjaman.”Pada isi
perjanjian tersebut selain membahas jumlah pembiayaan  dan
penggunaannya, jangka waktu, penarikan pembiayaan, kesepakatan bunga,
pembayaran kembali, namun juga terdapat unsur penting yaitu adanya
mitigasi risiko. Karena mitigasi risiko ini merupakan sebuah mitigasi
konsulan yang selalu diminta oleh POJK dalam perjanjian pembiayaan,”
tambahnya.

Prof. Jenie memaparkan bahwa perjanjian layanan penyaluran


pembiayaan berbasis teknologi informasi ini  perjanjian yang belum diatur
secara khusus dalam  undang-undang dan belum diberi nama secara resmi
yang tercantum di undang-undang walaupun sudah diistilahkan oleh
masyarakat.”Jika dalam perjanjian ada unsur pinjam meminjam  maka hal
tersebut sudah diatur dalam BAB 13 KUH Perdata  pada perjanjian
minjam meminjam, jadi menjadi suatu perjanjian yang bernama, akan
tetapi untuk mengatakan bahwa perjanjian layanan penyaluran pembiayaan
itu merupakan suatu layanan pinjam meminjam yang tercantum pada Bab
13 KUH Pedata juga sulit karena perjanjian penyaluran pembiayaan itu
memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan perjanjian pinjam
meminjam yang diatur oleh KUH Perdata,” jelasnya.

Selain itu, pada perjanjian yang dilakukan oleh fintech


lending merupakan jenis perjanjian tidak bernama atau perjanjian jenis
baru yang belum ada pengaturannya dalam undang-undang dan dasar
hukumnya hanyalah peraturan diberikan oleh OJK.”Oleh karena itu,
dengan karakteristik perjanjian fintech lending  merupakan perjanjian
dibawah tangan karena bentuknya tidak ditetapkan oleh undang-undang
dan dibuat tanpa campur tangan pada pihak yang berwenang, maka agar
merujuk dengan kesesuaian hukum pihak penyelenggara fintech
lending harus benar-benar melakukan sebuah perjanjian pinjam meminjam
berdasarkan pedoman yang berlaku, yaitu sesuai dengan POJK Nomor 77
POJK.01/2016,”tutupnya.(Sofia)
D. Perjanjian Franchise (Waralaba)
1. Tinjauan Umum tentang Perjanjian
Pengertian Perjanjian Pengertian perjanjian itu sendiri adalah
“Suatu hubungan hukum kekayaan / harta benda antara dua orang atau
lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh
prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan
prestasi”.10 Selanjutnya dapat dipastikan ketentuan yang menjadi dasar
dalam KUHPerdata tentang perjanjian terdapat pada Pasal 1313 KUH
Pdt, 1320 KUH Pdt, 1338 KUH Pdt.
Ketentuan perjanjian pada Pasal 1313 KUH Pdt merupakan definisi
dari perjanjian itu sendiri yang menyatakan bahwa, “Suatu perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Sedangkan Pasal 1320 KUH
Pdt, merupakan dasar yang menjadi syarat sahnya perjanjian seperti,
adanya kata sepakat, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu
pokok persoalan tertentu dan suatu sebab yang tidak terlarang. Pasal
1338 KUH Pdt yang juga merupakan ketentuan dasar perjanjian
menyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu
perjanjian tidak bisa ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah
pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan
cukup untuk itu.
Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Hal ini
yang menjadikan hubungan hukum antara pihak yang satu dengan yang
lain dalam perjanjian tidak bisa timbul dengan sendirinya. Hubungan
itu tercipta oleh karena adanya “tindakan hukum”. Tindakan / perbuatan
hukum yang dilakukan oleh pihak-pihak yang menimbulkan hubungan
hukum perjanjian, sehinggga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak
lain untuk memperoleh “prestasi”.
Sedangkan pihak lain itupun menyediakan diri dibebani dengan
“kewajiban” untuk menunaikan prestasi.11 Jika dalam suatu perjanjian
terjadi sengketa antara para pihak dan atas sengketa tersebut tidak ada
pengaturan yang jelas dalam perjanjian yang telah disepakati para
pihak, bukan berarti perjanjian belum mengikat para pihak atau dengan
sendirinya batal demi hukum. Karena pengadilan dapat mengisi
kekosongan hukum tersebut melalui penafsiran untuk menemukan
hukum yang berlaku bagi para pihak yang membuat perjanjian.
2. Tinjauan Umum tentang Franchise
Pengertian Franchise Franchise pada dasarnya adalah sebuah
perjanjian mengenai metode pendistribusian barang dan jasa kepada
konsumen. Franchisor dalam jangka waktu tertentu memberikan lisensi
kepada Franchisee untuk melakukan usaha pendistribusian barang dan
jasa dibawah nama dan identitas Franchisor dalam wilayah tertentu.
Usaha yang harus dijalankan sesuai dengan prosedur dan cara yang
ditetapkan Franchisor. Franchisor memberikan bantuan (Assistance)
terhadap Franchisee. Sebagai imbalannya Franchisee membayar
sejumlah uang berupa Innitial Fee dan Royalty Fee. Dalam pengertian
yang demikian dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa seorang
Franchisee juga menjalankan usahanya sendiri tetapi dengan
mempergunakan merek dagang atau merek jasa serta dengan
memanfaatkan metode dan tata cara yang ditetapkan oleh Franchisor.
Kewajiban untuk mempergunakan metode dan tata cara yang ditetapkan
Franchisor membawa akibat lebih lanjut bahwa suatu usaha Franchise
adalah usaha yang mandiri, yang tidak mungkin digabungkan dengan
kegiatan usaha lainnya (milik Franchisee). Ini berarti pemberian
Franchise menuntut eksklusivitas, dan bahkan banyak hal yang
mewajibkan terjadinya noncompetition clause bagi Franchisee, bahkan
setelah perjanjian pemberian Franchise berakhir
E. Memorandum of Understanding (MoU)
Membuat MoU adalah langkah yang tepat jika ingin menciptakan
hubungan bisnis. Memorandum of understanding baiknya disusun sebelum
membuat kontrak yang formal. Nah, berikut ini adalah manfaat-manfaat
yang bisa kamu dapatkan jika membuat MoU sebelum menyusun kontrak.
a. Menyepakati tujuan bersama
Dalam sebuah perjanjian bisnis, sangat penting untuk memastikan
bahwa semua pihak yang terlibat memahami tujuan apa yang ingin
dicapai dengan persetujuan tersebut. MoU adalah cara efektif untuk
memaparkan apa saja kebutuhan dan ekspektasi yang bisa diharapkan
dari perjanjian tersebut.
b. Mengurangi risiko ketidakpastian
Memorandum of understanding atau MoU adalah perjanjian antara
dua pihak atau lebih yang dinyatakan dalam dokumen formal.
Menurut Investopedia, MoU bukanlah merupakan dokumen yang
mengikat secara hukum. Akan tetapi, dengan dibuatnya perjanjian
tertulis ini, berarti pihak-pihak yang terlibat secara jelas menyatakan
keinginannya untuk menjalankan suatu agenda. Di Indonesia, beberapa
contoh nama lain dari memorandum of understanding adalah nota
kesepakatan, nota kesepahaman, perjanjian kerja sama, ataupun
perjanjian pendahuluan.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mencantumkan
peraturan atau hukum mengenai MoU atau nota kesepakatan ini. Meski
demikian, dilansir dari Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP), banyak surat perjanjian yang didasarkan pada
ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata maupun Pasal 1320 mengenai
syarat sahnya perjanjian. Pembuatan MoU dapat dianggap sebagai titik
awal negosiasi karena memuat penjelasan mengenai apa saja yang akan
dilakukan dan tujuan dari kegiatan tersebut.
MoU biasanya sering ditemukan dalam perjanjian-perjanjian bisnis
atau agenda formal lainnya. Pada dasarnya, MoU memang bukanlah
dokumen yang memiliki kekuatan mengikat. Akan tetapi, dalam dunia
bisnis, nota kesepahaman sering dianggap sebagai kontrak dan memiliki
kekuatan mengikat secara moral. Hal itu membuat siapa pun yang
terlibat dalam perjanjian tidak bisa dengan mudah membatalkan apa
yang sudah disepakati. Perjanjian bisnis sering terasa tidak pasti dan
berisiko, khususnya di awal mula perjanjian bisnis. MoU adalah
dokumen yang bisa dibuat untuk mengurangi risiko ketidakpastian
terkait ekspektasi dan tujuan kesepakatan bisnis.
Dengan memastikan semua pihak memahami MoU yang dibuat,
hal-hal yang disetujui dan tidak bisa terlebih dahulu dibicarakan
sebelum membuat kontrak yang mengikat secara hukum. Ketika nanti
kontrak sudah dibuat, maka sudah bisa dipastikan semua pihak setuju
dengan poin-poin yang ada di dalamnya.
c. Mencatat perjanjian dalam negosiasi awal
Dalam proses negosiasi, tentu ada hal-hal yang disetujui dan tidak.
Nah, MoU adalah cara untuk mencatat semua yang disetujui sehingga
tidak ada pihak yang lupa kesepakatan yang telah dibuat. Meskipun
tidak mengikat secara legal, MoU merupakan dokumen yang berguna
mencatat apa yang sudah disepakati dalam negosiasi sehingga hal
tersebut dapat dimuat juga dalam kontrak. Selain itu, dengan menyusun
MoU, pihak-pihak yang terlibat juga bisa mengkomunikasikan
informasi rahasia secara aman.
d. Pembatalan perjanjian lebih mudah
Seperti yang sudah kamu pahami, MoU adalah dokumen yang
hanya mengikat secara moral, bukan secara hukum. Oleh karena itu,
selama belum adanya kontrak, kamu bisa membatalkan kesepakatan
bisnis tanpa harus melalui proses hukum yang rumit.
e. Menjadi framework kesepakatan dan kontrak
Salah satu cara pebisnis merasa yakin sebelum melangkah ke
pembuatan kontrak adalah dengan membuat MoU. Pasalnya, MoU
merupakan dokumen yang dapat membuat gambaran bagaimana
kesepakatan tersebut berjalan ke depannya, Contoh MoU kerja sama:

MEMORANDUM OF UNDERSTANDING (MoU)

Antara Pihak PT. REC dengan Pihak Agensi ICXV

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama: Ananta Karsana

Jabatan: Head of Growth Team

Yang bertindak sebagai perwakilan PT. REC, selanjutnya disebut Pihak

Pertama

Nama: Bayu Kanila

Jabatan: Head of Public Relations

Yang bertindak sebagai perwakilan Agensi ICXV, selanjutnya disebut

Pihak Kedua

 
Pada hari Rabu tanggal 19 Januari 2022, kedua belah pihak setuju untuk

melakukan kerja sama dengan mengadakan MoU yang isinya sebagai

berikut:

1. Pihak Pertama bersedia untuk menyewa jasa Pihak Kedua untuk

aktivitas social media marketing dengan biaya total sebesar

Rp35.000.000 (tiga puluh lima juta rupiah).

2. Pihak Kedua menyetujui untuk menjalankan aktivitas social

media marketing Pihak Pertama selama 1 tahun ke depan.

3. Pihak Pertama akan bertindak sebagai supervisor dalam segala

hasil yang dibuat oleh Pihak Kedua.

4. Pihak Kedua berkewajiban untuk menjamin kualitas output yang

telah dibuat.

5. Pihak Kedua diperbolehkan untuk memegang akun media sosial


Pihak Pertama hingga jangka waktu masa kerja sama.

Demikian MoU ini dibuat dan disepakati oleh kedua belah pihak.

PIHAK PERTAMA                                                                     

PIHAK KEDUA

Ananta Karsana                                                                                   

Bayu Kanila
————

Anda mungkin juga menyukai