Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

TRANSAKSI JASA DALAM ISLAM

Diajukan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Fiqh Muamalah

Dosen Pengampu :

Dr. Rozalinda, M.Ag

Disusun Oleh :

Kelompok 6

Roya Bagus Purwadi : 2216040072

Chintya Putri Mise : 2216040073

Fadini Alzahra : 2216040077

PROGRAM STUDI AKUNTANSI SYARIAH B

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL PADANG

2023 M/ 1445H
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, dengan berkat, rahmat dan
kekuatan-Nya-lah penulis dapat menyusun buku ajar dengan judul “Transaksi Jasa Dalam
Islam”. Sholawat serta salam semoga senantiasa dihaturkan kepada junjungan kita Nabi besar
Muhammad SAW, para Sahabat dan para pengikutnya sampai hari kiamat kelak.

Tugas ini kai buat untuk memberi dan menambah wawasan atau pengetahuan kita
semua tentang transaksi jasa dalam islam serta melengkapi tugas fiqh muamalah.Semoga
kita semua bisa mengambil isi pelajaran dari hasil makalah yang kami buat.

Tentunya dalam penulisan makalah ini banyak terdapat kekurangan tanpa penulis
sengaja atau karena minim pengetahuan penulis. Oleh karena itu sangat diharapkan kritik dan
saran dari pembaca yang bersifat membangun. Semoga dengan adanya kritik dan saran
tersebut dapat bermanfaat dan menjadi pedoman bagi penulis dalam melakukan perbaikan.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada dosen pengampu dan pembaca yang
memberikan dukungan tanpa batas kepada penulis untuk dapat menyelesaikan makalah ini.
Besar harapan penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat dan berguna untuk pedoman di
masa yang akan datang.Atas perhatian dan waktunya kami ucapkan terimakasih.

Padang,3 Oktober 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................i

DAFTAR ISI...............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................1

A. Latar Belakang.................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan..............................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................2

A. Ijarah (Sewa-menyewa,Upah-mengupah).......................................................................2
B. Wakalah (Perwakilan).....................................................................................................4
C. Ji’alah (Sayembara).........................................................................................................7

BAB III PENUTUP.....................................................................................................................11

A. Kesimpulan.......................................................................................................................11
B. Saran.................................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Transaksi jual beli merupakan kegiatan jual beli yang hidup dalam lingkungan
masyarakat dan bagian dari kehidupan sehari-hari.Transaksi jual beli ini termasuk dalam
kategori muamalah dalam istilah islam. Muamalah dalam islam tidak hanya mencakup
transaksi jual beli, akan tetapi muamalah bersifat luas seperti mencakup sewa menyewa,
pinjam meminjam dan transaksi lainnya yang tidak bertentangan dengan hukum islam.

Didalam kehidupan bermua’malah, islam memberikan suatu garis kebijaksanaan


perekonomian yang jelas. Transaksi bisnis merupakan hal yang sangat diperhatikan dan
dimuliakan oleh islam. Perbedaan pendapat dalam penetapan pengertian praktek-praktek
transaksi ekonomi telah berlangsung selama masih terus muncul bentuk-bentuk transaksi
ekonomi.

Layaknya dalam suatu perekonomian, apa pun sistem ekonomi yang dipakai
hubungan antar pihak yang melakukan kegiatan ekonomi akan berakhir dengan transaksi
(transaksi).Secara umum, transaksi dapat diartikan sebagai kejadian ekonomi/keuangan yang
melibatkan paling tidak dua pihak (seseorang dengan seseorang atau beberapa orang lainnya)
yang saling melakukan pertukaran,melibatkan diri dalam perserikatan usaha, pinjam-
meminjam dan lain-lain atas dasar suka sama suka atau pun atas dasar suatu ketetapan
hukum/syariah yang berlaku.

Dalam sistem ekonomi Islam, transaksi senantiasa harus dilandasi olehaturan hukum-
hukum Islam (syariah) karena transaksi adalah manifestasi amal manusia yang bernilai
ibadah di hadapan Allah SWT, sehingga dalam Islam transaksi dapat dinyatakan dua menjadi,
yakni Transaksi yang halal, dan Transaksi yang haram.Transaksi halal adalah semua transaksi yang
dibolehkan oleh syariah Islam,sedangkan transaksi haram adalah semua transaksi yang dilarang oleh
syariah Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan sewa-menyewa (Ijarah)
2. Apa yang dimaksud dengan perwakilan (Wakalah)
3. Apa yang dimaksud dengan Sayembara (Ji’alah)

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui apa itu sewa-menyewa
2. Untuk mengetahui apa itu perwakilan
3. Untuk mengetahui apa itu Sayembara

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Ijarah (Sewa-Menyewa)
1. Pengertian dan Dasar Hukum Ijarah

Menurut bahasa Ijarah berasal dari kata al-ajru, yang berarti al-iwadh.
(upah,sewa,jasa,imbalan atau ganti).1 Sedangkan secara istilah ijarah dikemukakan oleh
beberapa pendapat para ulama, antara lain:

a. Menurut Ali al-Khafif, al-ijarah adalah transaksi terhadap sesuatu yang bermanfaat
dengan imbalan.2
b. Menurut ulama Syafi'iyah, al-ijarah adalah transaksi terhadap sesuatu manfaat yang
dimaksud, tertentu, bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.
c. Menurut ulma' Malikiyah dan Hanabilah, ijarah adalah pemilikan suatu manfaat yang
diperbolehkan dalam waktu tertentu dengan imbalan.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut, maka ijarah tidak boleh dibatasi dengan
syarat. Akad ijarah tidak boleh dipalingkan, kecuali ada unsur manfaat, dan akad ijarah tidak
boleh berlaku pada pepohonan untuk diambil buahnya.

Ijarah menurut arti lughat adalah balasan, tebusan, atau pahala. Menurut syara’ berarti
melakukan akad mengambil manfaat sesuatu yang diterima dari orang lain dengan jalan
membayar sesuai dengan perjanjian yang telah ditentukan dengan syarat-syarat tertentu pula.

Hukum asalnya menurut Jumhur Ulama adalah mubah atau boleh bila dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh syara' berdasarkan ayat al-Qur'an, hadis-hadis
Nabi, dan ketetapan Ijma Ulama. Adapun dasar hukum tentang kebolehan al-ijarah sebagai
berikut:

‫ُأُجوَر ُهَّن َفْأُتوُهَّن َلُك ْم ْر َض ْعَنا ا َفِإْن‬

“Jika mereka telah menyusukan anakmu, maka berilah upah mereka”. (QS. at-Thalaq: 6)

2. Rukun dan Syarat Ijarah


Rukun Ijarah menurut jumhur ulama ada tiga. Yaitu:
a. Dua orang yang berakad (mu'ajir dan musta' jir) disyaratkan:
1) Berakal dan mumayiz. Namun, tidak disyaratkan baligh. Ini berarti para pihak
yang melakukan akad ijarah harus sudah cakap bertindak hukum sehingga
semua perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan. Maka tidak dibenarkan
mempekerjakan orang gila, anak-anak yang belum mumayiz, dan tidak
berakal.

1
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Vol.3 (Beirut : Dar al-Kitab al-’Arabi, 1971), hal.177
2
Ali al-Khafif, Ahkama I-Mu’amalat al-Syar’iyyah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.tp.), hal.403

2
2)
An-taradin, artinya kedua belah pihak berbuat atas kemauan sendiri.
Sebaliknya tidak dibenarkan melakukan upah-mengupah atau sewa-menyewa
karena paksaan oleh satu pihak atau pihak lain.
b. Sesuatu yang diakadkan (barang dan pekerjaan), disyaratkan:
1) Objek yang disewakan dapat diserahterimakan baik manfaat maupun
bendanya.
2) Manfaat dari objek yang diijarahkan harus sesuatu yang dibolehkan agama
(mutaqawwimah).
3) Manfaatkan dari objek yang akan diijârahkan harus diketahui sehingga
perselisihan dapat dihindari.
4) Manfaat dari objek yang akan disewakan dapat dipenuhi secara hakiki maka
tidak boleh menyewakan sesuatu yang tidak dapat dipenuhi secara hakiki,
seperti menyewa orang bisu untuk berbicara.
5) Jelas ukuran dan batas waktu ijarah agar terhindar dari perselisihan.
6) Perbuatan yang diupahkan bukan perbuatan yang fardhu atau diwajibkan
kepada muajir (penyewa), seperti shalat, puasa, imamah shalat, azan dan
iqamah.
7) Manfaat yang disewakan menurut kebiasaan dapat disewakan.
c. Upah/imbalan, disyaratkan:
1) Upah/imbalan berupa benda yang diketahui yang dibolehkan
memanfaatkannya (mal mutaqawwim).
2) Sesuatu yang berharga atau dapat dihargai dengan uang sesuai dengan adat
kebiasaan setempat.
3) Upah/imbalan tidak disyaratkan dari jenis yang diakadkan.
d. Shiqat (ijab dan qabul), disyaratkan berkesesuaian dan menyatunya majelis akad.3

3. Macam-Macam Ijarah
Akad ijarah dilihat dari segi objeknya menurut ulama fikih dibagi menjadi 2 (dua)
macam, yaitu:
a. Ijarah yang bersifat manfaat, pada ijarah ini benda atau barang yang disewakan harus
memiliki manfaat. Misalnya sewa-menyewa rumah, tanah pertanian, kendaraan,
pakaian, perhiasan, lahan kosong yang dibangun pertokoan dan sebagainya.
b. Ijarah yang bersifat pekerjaan, pada ijarah ini seseorang mempekerjakan untuk
melakukan suatu pekerjaan, dan hukumnya boleh apabila jenis pekerjaannya jelas dan
tidak mengandung unsur tipuan. Seperti tukang jahit, tukang dan kuli bangunan,
buruh pabrik, dan sebagainya.4

4. Aplikasi Ijarah pada Perbankan Syariah


3
Wahbah az-Zuhaily, al-Muamalat al-Maliyah al-Muashirah, (Beirut Dar al-Fikr al-Muashirah, 2006),
hal. 73.
4
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh Islam wa’Adillatuh, Vol. 4 (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), hal. 759.

3
Akad ijarah diaplikasikan dalam perbankan syariah pada pembiayaan ijarah dan
IMBT (al-Ijarah al-Muntahiyah Bi al-Tamlik). Pembiayaan ijarah diluncurkan berdasarkan
fatwa Dewan Syariah Nasional No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan ijarah.
Dalam fatwa ini dinyatakan bahwa ijarah merupakan akad pemindahan hak guna (manfaat)
atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), tanpa diikuti
dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Bank Islam yang mengoperasionalkan
produk ijarah dapat melakukan operating lease maupun financial lease.5

5. Berakhirnya Ijarah
Ijarah berakhir karena sebab-sebab sebagai berikut.
a. Menurut Hanafiyah, akad ijarah berakhir dengan meninggalnya salah seorang dari
dua orang yang berakad. Ijarah hanya hak manfaat hak ini tidak dapat diwariskan
karena kewarisan berlaku untuk benda yang dimiliki.
b. Akad ijarah berakhir dengan iqâlah (menarik kembali). Ijarah adalah akad
mu'awadhah.
c. Sesuatu yang disewakan hancur atau mati, misalnya hewan sewaaan mati atau rumah
sewaan hancur.
d. Manfaat yang diharapkan telah terpenuhi atau pekerjaan telah selesai, kecuali ada
uzur atau halangan.

Apabila ijarah telah berakhir waktunya, penyewa wajib mengembalikan barang


sewaan utuh, seperti semula. Bila barang sewaan sebidang tanah pertanian yang ditanami
dengan tanaman, boleh ditangguhkan sampai buahnya bisa dipetik dengan pembayaran yang
sebanding dengan tenggang waktu yang diberikan.6

B. Wakalah (Perwakilan)
1. Pengertian dan Dasar Hukum Wakalah

Secara bahasa kata al-wakalah atau al-wikalah berarti al-Tafwidh penyerahan,


pendelegasian dan pemberian mandat).

Secara terminologi (syara') sebagaimana dikemukakan oleh fukaha:


a. Imam Taqy al-Din Abu Bakr Ibn Muhammad al-Husaini
‫حياته حال في ليحفظه غيره الى النيابة يقبل مما فعله له ما تفويض‬

Artinya: "Menyerahkan suatu pekerjaan yang dapat digantikan kepada orang lain agar
dikelola dan dijaga pada masa hidupnya".

b. Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie


"Akad penyerahan kekuasaan di mana pada akad itu seseorang menunjuk orang lain
sebagai gantinya untuk bertindak".?

5
Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Tazkia Cendekia, 2001), hlm.
118-119
6
Fadhilah al-Syaikh Hasan Ayub, Fiqh al-Mu'amalah al-Maliyah fi al-Islam, (Kairo, Dar al-Salam, 2010),
hlm. 246. Lihat juga Ali Jum'ah Muhammad, op.cit., hlm. 23.

4
Dari dua definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa wakalah adalah sebuah
transaksi di mana seseorang menunjuk orang lain untuk menggantikan dalam mengerjakan
pekerjaannya/perkaranya ketika masih hidup.7

Muhammad Syafi‟i Antonio, mengemukakan definisi wakalah adalah akad


perwakilan antara dua pihak, dimana pihak pertaman mewakilkan suatu urusan kepada pihak
kedua untuk bertindak atas nama pihak pertama.

Ada beberapa jenis wakalah antara lain sebagai berikut:

a) Wakalah al-Mutlaqah, yaitu mewakilkan secara mutlak, tanpa batas waktu dan untuk
segala urusan.
b) Wakalah al-Muqayyadah, yaitu penujukan wakil untuk bertindak atas namanya dalam
urusan-urusan tetentu.
c) Wakalah al-Ammah, perwakilan yang lebih luas dari al-Muqayyadah tetapi lebih
sederhana ari pada al-Mutalaqah.

2. Rukun dan Syarat Wakalah

Rukun wakalah menurut jumhur adalah muwakil, wakil, muwakil bih dan shigat,
seperti yang dijelaskan berikut ini:

a. Orang yang mewakilkan, (muwakil) disyaratkan:


1) Mempunyai hak untuk melakukan perbuatan hukum pada apa yang diwakilkan.
2) Muwakil disyaratkan cakap bertindak hukum atau mukalaf dan sempurna akalnya.

b. Orang yang menerima wakil (wakil), disyaratkan:


1) Berakal, mumayiz, tidak disyaratkan baligh. Sehingga tidak sah wakalah orang gila
dan anak-anak yang belum mumayiz. Artinya wakil harus sudah cakap bertindak
hukum.
2) Disyaratkan bagi orang yang akan menerima wakil untuk mengetahu objek yang akan
diwakilkan kepadanya supaya tidak terjadi penipuan terhadap orang menerima wakil
atau yang diberi kuasa.
3) Orang yang akan menerima kuasa itu harus jelas dan pasti.

c. Objek yang akan diwakilkan (muwakal bih).


1) Merupakan sesuatu yang boleh diakadkan seperti jual beli, sewa menyewa, dan
sejenisnya.
2) Perbuatan yang diwakilkan berkaitan dengan masalah mu'amalah bukan masalah
ibadah badaniyah, seperti shalat, puasa, bersuci, untuk ibadah maliyah seperti zakat
dapat diwakilkan kepada orang lain untuk menyerahkan zakat hartanya kepada
mustahik.

7
Hasbi Ash-Shiddieqie, Pengantar Fiqh Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang. 1984).hal. 91.

5
3) Sesuatu yang diwakilkan itu merupakan milik dari muwakil dan berada dalam
kekuasaannya.
4) Sesuatu yang diwakilkan itu berada dalam pengetahuan dan kemampuan orang yang
menerima wakil. Artinya perbuatan yang ditugaskan oleh pemberi kuasa harus
diketahui dengan jelas oleh orang yang menerima kuasa.

d. Shigat (Ijab dan qabul)8


3. Akibat Hukum Akad Wakalah
Apabila akad wakalah yang dilakukan terpenuhi rukun dan syaratnya, akad ini
melahirkan diakibatkan hukum, yakni:
a. Apabila wakil itu seorang pengacara, ia bebas bertindak hukum untuk dan atas nama
orang yang diwakilinya.
b. Apabila perwakilan berhubungan dengan jual beli, bila perwakilan itu mutlak, ulama
fikih sepakat menyatakan bahwa wakil bebas bertindak dalam jual beli yang
dilakukan. Sementara itu, dalam perwakilan yang dikaitkan dengan syarat tertentu,
wakil harus bertindak sesuai dengan batas-batas ditentukan oleh muwakil.
c. Apabila wakalah dalam masalah nikah dan talak maka wakil harus bertindak untuk
dan atas nama orang yang diwakilinya.

4. Aplikasi Wakalah pada Perbankan Syariah

Dalam aplikasi perbankan syariah, wakalah dapat ditemui pada transaksi-transaksi


yang berhubungan dengan masalah penagihan maupun pembayaran. Dalam produk ini, bank
syariah bertindak sebagai wakil dari nasabah untuk melakukan penagihan maupun
pembayaran atas nama nasabah. Dalam hal ini bank akan mendapatkan biaya administrasi,
atau fee dari jasa tersebut. Akad ini diaplikasi dalam bentuk:

a. Kliring, yaitu penagihan warkat-warkat bank yang dilakukan oleh bank- bank di
dalam suatu wilayah kliring tertentu untuk penyelesaian transaksi antar nasabah
mereka.
b. Inkaso adalah proses penagihan warkat-warkat bank yang dilakukan oleh bank-bank
yang berada di luar wilayah kliring untuk penyelesaian transaksi antarnasabah
mereka.
c. Transfer dalam negeri maupun luar negeri, yaitu transaksi kiriman uang antarbank,
baik dalam negeri, maupun luar negeri untuk kepentingan nasabah maupun pihak
bank sendiri.
d. Comercial ducumentary collection, adalah transaksi yang berkaitan dengan jasa
penagihan atas dokumen-dokumen ekspor-impor sehubungan dengan pembukaan
letter of credit ekspor dan impor oleh nasabah suatu bank.
e. Financial documentary collection adalah jasa penagihan yang diberikan bank kepada
nasabah atas warkat-warkat yang tertarik di bank lain untuk kepentingan nasabah.9

8
Abdurrahman al-Jaziri, op.cit., hal. 169-170
9
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 35/DSN-MUI/IX/2002 Tntang Letter of Credit Import Syriah

6
5. Mewakilkan Dalam Jual Beli

Apabila seseorang mewakilkan penjualan suatu barang tanpa menentukan harga dan
cara pembayarannya, maka wakil harus menjualnya dengan harga pasaran yang berlaku dan
dengan cara pembayaran tunai. Apabila wakil itu tidak menjual barang tidak dengan harga
pasar atau dengan cara pembayaran angsur, akad jual beli seperti ini tidak dibolehkan kecuali
dengan kerelaan muwakkil, karena penjualan itu bertentangan dengan kemashlahatan orang
yang mewakilkan dan muwakkil adalah orang yang berhak menentukan bagaimana
barangnya harus dijual.
Oleh karenanya, seorang wakil terikat pada kebiasaan jual beli yang dilakukan para
pedagang dan harus berusaha mendatangkan mashlahat bagi orang yang mewakilkannya.
Namun, Imam Hanafi berpendapat bahwa wakil boleh menjual sekehendaknya, baik tunai
maupun angsur, harga umum atau tidak, mata uang setempat atau mata uang asing. Dan ini
merupakan wakalah yang bersifat mutlak.

5. Berakhirnya Wakalah
Akad wakalah berakhir karena:
a. Muwakil mencabut wakalahnya dari wakil

Apabila muwakil mencabut wakalahnya maka akad wakal berakhir karena wakalah
bersifat ghairu lazim (tidak mengikat).

b. Hilangnya kecakapan bertindak hukum dari muwakil (orang yang memberi mandat)
ataupun wakil, seperti hilang akal atau meninggal dunia.
c. Pekerjaan yang diwakilkan telah selesai dilaksanakan.
d. Salah seorang dari dua orang yang berakad (muwakil atau wakil) membatalkan akad
wakalah.
e. Hilangnya hak kekuasaan pemberi kuasa atas objek yang dikuasakan. Misalnya
barang yang menjadi objek perwakilan disita negara, atau hilang. atau hancur.

C. Sayembara (Ji’alah)
1. Pengertian dan Dasar Hukum Ji’alah

Ji'alah atau ju'âlah berasal dari kata ja'ala - yaj'alu - ja'lân. secara harfiah bermakna
mengadakan atau menjadikan, sedangkan ju'alah berarti upah. Sayyid Sabiq menjelaskan
ji'âlah menurut bahasa, berarti:

‫َيْفَع ُلُه َش ْي ٍء َع َلى ِلَش ْخ ٍص َيْج َع ُل َم ا‬


"Sesuatu yang diberikan kepada seseorang atas apa yang t telah dikerjakan”

Wahbah az-Zuhaily berpendapat, ji'âlah menurut bahasa adalah:

‫َيْفَع ُلُه َأْم ٍر َع َلى اِإل ْنَس اَن ُيْع َطاُه َم ا َاْو َش ْي ٍء ِفْعل َع َلى ِلِإل ْنَس اِن َيْج َع ُل َم ا‬

7
"Sesuatu yang diberikan kepada seseorang terhadap apa yang dikerjakannya atau
sesuatu yang diberikan kepada seseorang terhadap perkara yang dikerjakannya".

Sedangkan pengertian Ji’alah menurut istilah adalah:

“Akad terhadap suatu manfaat yang diperkirakan akan mendatangkan hasil,


sebagaimana dilazimkan dengan suatu upah tertentu bagi orang yang menginginkan
kembalinya barang yang hilang, binatang yang lari dapat pulang, membangun dinding rumah,
menggali sumur hingga airnya keluar, menghafalkan Al-Qur'an kepada seorang anak,
mengobati orang sakit sampai sembuh, memenangkan perlombaan".10

2. Rukun dan Syarat Ji’alah


Ji’alah menjadi sah kalau terpenuhi rukun dan syaratnya sebagai berikut:
a. Ja'il (pihak yang berjanji akan memberikan imbalan), harus ahliyah atau cakap
bertindak hukum, yakni baligh, berakal dan cerdas. Dengan demikian anak-
anak, orang gila dan orang yang berada dalam pengampuan tidak sah
melakukan Ju'alah.
b. Ju'lah (upah)
Upah dalam ja'alah harus memenuhi syarat sebagai berikut:
dalam jumlah yang jelas.
Kedua, bayaran itu harus diketahui dan harus ada pengetahuan tentangnya,
misalnya "siapa yang mengembalikan hartaku atau hewanku yang hilang maka
dia mendapat pahala, atau ridha, akad seperti ini tidak sah.
Ketiga, upah tidak boleh disyaratkan diberikan di muka (sebelum pelaksanaan
ju'alah).
c. Amal (pekerjaan)
Pekerjaan dalam ja'alah harus memenuhi syarat sebagai berikut:
Pertama, pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu harus mengandung manfaat
yang jelas dan boleh dimanfaatkan menurut hukum syara'.
Kedua, Mazhab Maliki mensyaratkan, Ju'alah tidak boleh dibatasi dengan
waktu tertentu, seperti mengembalikan (menemukan) orang yang hilang dalam
satu hari.
Ketiga, Mazhab Malikiyah menyatakan bahwa pekerjaan tersebut merupakan
pekerjaan yang mudah dilakukan meskipun dilakukan berulangkali seperti
mengembalikan binatang ternak yang lepas dalam jumlah yang banyak.
Keempat, pekerjaan yang ditawarkan secara hukum bukan pekerjaan yang
wajib bagi pekerja, jika ia wajib secara syar'i maka dia tidak berhak mendapat
upah.
d. Shighat (Ijab dan qabul).11

3. Batalnya Akad Ji’alah

10
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, juz 3, (Libanon: Darul Fikri, 1983), hal. 292.
11
Ibid.

8
Ulama mazhab Maliki, Syafi'i dan Hanbali memandang akad ji'alah sebaga perbuatan
yang sifatnya sukarela. Menurut mereka baik pihak pertama (jail) maupun pihak kedua (yang
melaksanakan pekerjaan) dapat membatalkan akad. Namun mereka berbeda pendapat tentang
kapan bolehnya melakukan pembatalan akad tersebut. Mazhab Maliki berpendapat bahwa
ji'alah hanya dapat dibatalkan oleh pihak pertama sebelum pihak kedua melaksanakan
pekerjaan.

Sementara itu, mazhab Syafi'i dan Hanbali berpendapat, pembatalan itu dapat
dilakukan oleh salah satu pihak setiap waktu selama pekerjaan itu belum selesai. Apabila
salah satu pihak membatalkan ji'alah sebelum pekerjaan dilaksanakan, maka keadaan ini tidak
memunculkan akibat hukum. Artinya pihak kedua tidak berhak terhadap upah yang dijanjikan
karena pekerjaan belum dilaksanakan.

Apabila pihak pertama membatalkan ji'alah ketika pekerjaan sedang berlangsung


menurut mazhab Syafii dan Hanbali, pihak pertama wajib membayar upah kepada pihak
kedua, sesuai dengan volume dan masa kerja yang telah dilaksanakannya."12

4. Ji'alah Pada Perbankan Syariah

Dalam rangka pelaksanaan pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah dan


mengatasi kelebihan likuiditas bank syariah, Bank Indonesia menerbitkan instrumen yang
sesuai dengan syariah yaitu Sertifikat Bank Indonesia Syariah Ju'alah (SBIS Ju'alah).

Dalam SBIS Ju'alah, Bank Indonesia bertindak sebagai ja'il (pemberi pekerjaan); bank
syariah bertindak sebagai maj'ul lah (penerima pekerjaan); dan objek/underlying Ju'alah
(mahall al-aqdu) adalah partisipasi bank syariah untuk membantu tugas Bank Indonesia
dalam pengendalian moneter melalui penyerapan likuiditas dari masyarakat dan
menempatkannya di Bank Indonesia dalam jumlah dan jangka waktu tertentu.

a. Bank Indonesia wajib memberikan imbalan reward/'iwadh/jul) yang telah dijanjikan


kepada bank syariah yang telah membantu Bank Indonesia dalam upaya pengendalian
moneter dengan cara menempatkan dana di Bank Indonesia dalam jangka waktu
tertentu, melalui "pembelian" SBIS Ju'alah.
b. Bank Syariah yang ditempatkan di Bank Indonesia melalui SBIS adalah wadi'ah
amanah khusus yang ditempatkan dalam rekening SBIS Ju'alah, yaitu titipan dalam
jangka waktu tertentu berdasarkan kesepakatan atau ketentuan Bank Indonesia, dan
tidak dipergunakan oleh Bank Indonesia selaku penerima titipan, serta tidak boleh
ditarik oleh bank syariah sebelum jatuh tempo.
c. Dalam hal Bank Syariah selaku pihak penitip dana (mudi') memerlukan likuiditas
sebelum jatuh tempo, ia dapat merepokan SBIS Ju'alahnya dan Bank Indonesia dapat
mengenakan denda (gharamah) dalam jumlah tertentu sebagai ta'zir.

12
Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, 3, Ji’alah, (Jakarta: Pt.Ikhtiar Baru Van Hoeve,
1997), hal. 817

9
d. Bank Indonesia berkewajiban mengembalikan dana SBIS Ju'alah kepada
pemegangnya pada saat jatuh tempo.
e. Bank syariah hanya boleh/dapat menempatkan kelebihan likuiditasnya pada SBIS
Ju'alah sepanjang belum dapat menyalurkannya ke sektor riil.
f. SBIS Ju'alah merupakan instrumen moneter yang tidak dapat diperjualbelikan (non
tradeable) atau dipindahtangankan, dan bukan merupakan bagian dari portofolio
investasi bank syariah.13

BAB III

PENUTUP

13
Fatwa DSN MUI No. 64/DSN-MUL/XII/2007 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah Ju'alah (SBIS
Ju'alah).

10
A. Kesimpulan

Ijarah merupakan transaksi terhadap manfaat suatu barang dengan suatu imbalan,
yang disebut dengan sewa-menyewa. Ijarah juga mencakup transaksi terhadap suatu
pekerjaan tertentu, yaitu adanya imbalan yang disebut juga dengan uoah-mengupah.

Wakalah merupakan perjanjian antara seseorang (pemberi kuasa) dengan orang lain
(orang yang menerima kuasa) untuk melaksanakan tugas tertentu atas nama pemberi kuasa.

JI’alah merupakan hadiah atau upah yang diberikan kepada seseorang karena
mengerjakan suatu pekerjaan tertentu, misalnya upah terhadap perbuatan untuk menemukan
barang yang hilang, berhasil membangun suatu bangunan, atau berhasil mengajarkan seorang
anak menghafal al-Qur’an.

B. Saran

Pemakalah mohon maaf jika pembaca menemukan banyak kesalahan dan kekurangan
pada makalah ini, karena manusia tidak luput dari kesalahan. Pemakalah menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kata sempurna, maka untuk itu kami sebagai pemakalah sangat
membutuhkan kritik dan saran yang membimbing agar pembuatan makalah di kemudian hari
dapat sempurna. Semoga makalah berikut dapat di selesaikan dengan hasil yang lebih baik
lagi.

DAFTAR PUSTAKA

al-Jaziri Abdurrahman, op.cit., hal. 169-170

11
al-Khafif Ali, Ahkama I-Mu’amalat al-Syar’iyyah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.tp.),
hal.403

az-Zuhaily, al Wahbah -Muamalat al-Maliyah al-Muashirah, (Beirut Dar al-Fikr


al-Muashirah, 2006), hal. 73.

al-Zuhaily Wahbah, al-Fiqh Islam wa’Adillatuh, Vol. 4 (Beirut: Dar al-Fikr,


1984), hal. 759.

Aziz Dahlan (ed) Abdul, Ensiklopedi Hukum Islam, 3, Ji’alah, (Jakarta:


Pt.Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997), hal. 817

Fadhilah al-Syaikh Hasan Ayub, Fiqh al-Mu'amalah al-Maliyah fi al-Islam,


(Kairo, Dar al-Salam, 2010), hlm. 246. Lihat juga Ali Jum'ah Muhammad, op.cit., hlm.
23.

Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 35/DSN-MUI/IX/2002 Tntang Letter of


Credit Import Syriah

Fatwa DSN MUI No. 64/DSN-MUL/XII/2007 tentang Sertifikat Bank Indonesia


Syariah Ju'alah (SBIS Ju'alah).

Hasbi Ash-Shiddieqie, Pengantar Fiqh Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang.


1984).hal. 91.

Ibid.

Sabiq Sayyid, Fiqh Sunnah, Vol.3 (Beirut : Dar al-Kitab al¬¬-’Arabi, 1971),
hal.177

Sabiq Sayyid, Fiqh as-Sunnah, juz 3, (Libanon: Darul Fikri, 1983), hal. 292

Syafi'i Antonio Muhammad, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta:


Tazkia Cendekia, 2001), hlm. 118-119

12

Anda mungkin juga menyukai