1
. Syekh Muhammad Ali Ash Shabuni, Hukum waris menurut al-qur’an dan hadist, Trigenda Karya,
Bandung, 1995, hlm. 46.
2
. Syekh Muhammad Ali Ash Shabuni, Hukum waris menurut al-qur’an dan hadist, Trigenda Karya,
Bandung, 1995, hlm. 46.
3
. Syekh Muhammad Ali Ash Shabuni, Hukum waris menurut al-qur’an dan hadist, Trigenda Karya,
Bandung, 1995, hlm. 46
Maksud dari pesyaratan yang ke empat ini ialah ahli waris diketahui
secara pasti keberadaannya, dan diketahui pula hal apa yang menjadi
penyebab mendapatkan warisan, baik berupa nasab ataupun karena
adanya hubungan wala. Yakni harus diketahui secara pasti hubungan
nasabnya, baik dia sebagai anak, bapak, ibu, kakek, paman, dan lain
sebagainya. Ataupun pemilik wala baik dia sebagai majikan dari
budak, dan lain sebagainya.
b. Rukun
Rukun secara bahasa memiliki makna asas, dasar, atau sisi yang kuat dari
sesuatu. Sedangkan rukun secara istilah yakni sesuatu yang menentukan
keabsahan sesuatu, amalan yang lainnya, dan ia bagian dari sesuatu atau
amalan tersebut.4
Rukun dalam pewarisan ialah hal-hal yang dapat menentukan adanya
suatu pewarisan. Rukun pewarisan ada 3 macam, yakni :
1) muwarits5, ialah orang yang meninggalkan hartanya sebab ia
telah ditetapkan meninggal dunia.
2) warits6, yakni orang yang secara syariat dinyatakan berhak
menerima warisan baik itu karena adanya hubunga keluarga
(nashab), ikatan pernikahan, ataupun ikatan lainnya. Dan ahli
waris tersebut harus dinyatakan masih hidup.
3) mauruts7, yakni segala jenis kepemilikan yang dimiliki si orang
meniggal tersebut, baik kepemilikan itu berupa uang, harta
benda, tanah, dan lain sebagainya. Dan kepemilikan si mayyit
tersebut tidak terikat dengan kepemilikan orang lain.
4
. Abu Umar Basyir, Warisan, Rumah Dzikir, Solo, 2006, hlm. 47.
5
. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqh mawaris, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang,
2001, hlm. 29.
6
. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqh mawaris, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang,
2001, hlm. 29.
7
. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqh mawaris, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang,
2001, hlm. 29.
C. Sebab-Sebab Mendapat Warisan
Sebab sendiri memiliki makna sesuatu yang keberadaannya menjadikan
terjadinya sesuatu. Secara bahasa, sebab warisan ialah sesuatu yang
keberadaannya dijadikan oleh syariat sebagai tanda adanya sebuah hukum
warisan. Adapun sebab-sebab seseorang mendapat warisan, yakni :
a. Sebab Pernikahan
Pernikahan ialah suatau ikatan perkawinan yang sah terbebas dari
pembatal-pembatal, meskipun belum melakukan hubungan badan (seks).
Contohnya, seorang wanita yang dinikahi sah oleh seorang laik-laki terpenuhi
rukun serta syarat nikahnya, maka itulah yang menjadi sebab berlakunya
mewarisi dan diwarisi diantara pasangan suami istri tersebut. Jika salah
seorang dari mereka wafat, maka salah satu diantara mereka yang masih hidup
itu yang memiliki hak mendapat warisan dari pasangannya tersebut, walaupun
diantara mereka belum melakukan hubungan badan. Sebagaimana firman
Allah dalam Qs. An-Nisa:12
ُوصينَ ِب َهۢا ِ صي َّٖةي ُّ فَلَ ُك ُمٞدفَإِنكَانَلَ ُهنَّ َولَدٞۚٞ ََولَ ُك ۡمنِصۡ فُ َمات ََر َكأ َ ۡز َٰ َو ُج ُك ۡمإِنلَّ ۡميَ ُكنلَّ ُهنَّ َول
ِ نَ ِمنۢ َبعۡ د َِوٞۚ ٱلربُعُ ِم َّمات ََر ۡك
ۢٞۚٞٱلربُعُ ِم َّمات ََر ۡكتُ ۡمإِنلَّ ۡم َي ُكنلَّ ُك ۡم َولَد ُّ َّن َولَ ُهنٖٞۚ أ َ ۡودَ ۡي
ُ ٞۚ ُسد
ِسفَۢإ ُّ تفَ ِل ُك ِل َٰ َو ِحدٖ ِم ۡن ُه َماٱلٞ ة َولَ ۥۢه ُأَ ٌخأ َ ۡوأ ُ ۡخٞ َُورث ُ َۢك َٰلَلَةًأَ ِو ۡٱم َرأ
َ ليٞ صونَ ِب َهاأ َ ۡودَ ۡي ٖ ٖۗن َو ِإنكَان ََر ُج
ُ صي َّٖةتُو ِ ِمن َبعۡ د َِوٞۚدفَلَ ُهنَّٱلث ُّ ُمنُ ِم َّمات ََر ۡكتُمٞ َفَإِنكَانَلَ ُك ۡم َول
ۢٞ صي َّٗة ِۢمنَٱللَّ ٖۗ ِه َوٱللَّ ُهعَ ِلي ٌم َح ِل
يم ِ ر َوٞۚ ٖ ضا َ ص َٰى ِب َهاأ َ ۡودَ ۡي ٍنغ َۡي َر ُم َ صي َّٖةيُو ُ نكَانُواْأ َ ۡكث َ َر ِمن َٰذَ ِل َك َف ُه ۡم
ِ ِث ِمنبَعۡ د َِوٞۚ ُش َركَا ُءفِيٱلثُّل
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-
isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)
seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang
kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai
anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah
dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak,
tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak
memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu
sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Penyantun.
1) Kalau talaqnya berstatus talaq raj’i, yakni talaq pertama atau kedua, maka
dilihat terlebih dahulu. Bila salah satu pasutri terjadi dalam masa iddah,
berdasarkanۢ ijma’ۢ paraۢ ulama,ۢ merekaۢ tetapۢ bisaۢ warisۢ mewarisi. Karena
status mereka berdua masih sebagai suami istri, baik talaq tu dilakukan saat
masih sakit ataupun saat sehat.
2) Jika talaqnya berupa talaq bai’in atau talaq ketiga, bila hal itu terjadi saat
masih sehat atau sakit yang tidak memabahayakan pada nyawa, maka hak
waris tersebut terputus. Namun jika talaq itu terjadi disaat suami sedang sakit
yang membawa kematian, dan suami menceraikannya bukan dengan tujuan
agar sang istri tidak mendapat warisan, misal karena sang istri telah bosan
merawat suaminya, maka sang istri tidak berhak mendapat warisan saat
mantan suaminya tersebut meninggal.
b. Sebab Nasab
Hubungan nasab ialah hubungan antara dua orang yang bersekutu dalam
peranakan yaang dekat maupun jauh. Bentuk hubungan itu ada 3 macam :
1) Ushul : Bapak dan Ibu, berikut yang diatas mereka; kakek, buyut,
dan seterusnya, asal jalur laki-laki.
2) Furuu’ : Putra atau putri, dan yang dibawah mereka, seperti cucu,
asal dari keturunan laki-laki saja
3) Hawaasyi : Saudara-saudara mayyit, saudari-saudarinya, anak-
anak mereka, paman, bibi dan anak-anak mereka. serta nashab
kebawah.
c. Al-walaa
Walaa ialah suatu kepemilikan hak waris yang penyebabnya adalah karena
seseorang telah memberikan dunia kepada budaknya, dengan
kemerdekaannya. Pihak yang akan mewariskan dengan walaa, bahkan harus
didahului daripada pihak yang mewariskan dengan radd.
8
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 71.
9
Ibid, hlm. 72
7. Anak laki-laki dan anak perempuan saudara perempuan kandung, sebapak,
seibu, kedudukan sama dengan saudara perempuan
8. Bibi (sauadara perempuan dari bapak) dan saudara permpuan dari kakek,
kedudukan sama dengan bapak
9. Paman yang seibu dengan bapak dan saudara laki-laki yang seibu dengan
kakek, kedudukan sama dengan kekek
10. Saudara laki-laki dan saudara perempuan dari ibu keududukan sama
dengan ibu
11. Anak perempuan paman, kedudukan sama dengan paman
12. Turunan dari rahim-rahim yang tersebut diatas
Adapun cara pembagian harta waris kepada dzawil arham adalah terdapat
tiga kelompok:
1. Ahlu I-Qarabah
Menurut kelompok ini, penentuan membagikan harta pusaka10 kepada
dzawil arham adalah sejalan denagn membagikan harta pusaka kepada
‘ashabah.ۢ Diۢ dalamۢ ‘ashabahۢ terdapatۢ 4ۢ kriteriaۢ yangۢ diterbitkanۢ sebagaiۢ
berikut:
a. Cucu dari garis perempuan ke bawah
b. Kakek dan nenek ghair shahihah
c. Anak atau cucu saudara-saudara yang bukan ashabu l-furudh
d. Anak turunannya kakek dan nenek
2. Ahlu t-tanzil
Menurut kelompok ini, penentuan pembagian waris untuk dzawil
arham adalah dengan menganggap cabang pewaris dari dzawil arham
11
sesuai kedudukan pokoknya. mereka tidak melihat dengan orang-orang
yang bernisbah kepada mereka dari ashabu l-furudh danۢ ‘ashabah.ۢ
Kelompok ini sama dengan ahlu l-qarabah yaitu ada yang harus
10
Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), hlm. 94.
11
Ibid, hlm. 95.
diutamakan, tetapi menurut kelompok ini yang harus diutamakan adalah
yang lebih dekat dengan ashabu l-furudnya atau ashabu l-ashabah.
3. Ahlu r-Rahim
Menurut kelompok ini bahwa penentuan pembagian waris kepada
dzawil arham adalah dengan membagi rata semua dzawil arham yang ada.
12
12
Ibid, hlm. 96.
Menurut pendapat ini selama ada kelompok yang terdekat,
maka kelompok yang lainnya tidak menerima warisan, dengan kata
lain kelompok yang terdekat lebih utama dari kelompok yang lainnya.
2. Pendapat/madzhab Ahl At-Tanzil.
MadzhabۢiniۢdikemukakanۢolehۢImamۢMalik,ۢSyafi’I, dan Ahmad ibn
Hanbal. Menurut pendapat ini untuk menentukan siapa yang lebih berhak
diantara dzawil arham untuk memperoleh warisan dari si pewaris adalah
dengan cara menempatkan mereka pada kedudukan ahli waris yang
menghubungkan mereka masing-masing kepada si pewaris, dan setelah
kedudukan mereka didudukan kepada ahli waris yang menghubungkan
mereka kepada si pewaris selanjutnya kedudukan mereka diturunkan satu
per satu, misalnya cucu perempuan garis perempuan didudukkan sebagai
anak perempuan, anak perempuan saudara laki-laki didudukkan sebagai
saudara laki-laki, anak perempuan saudara perempuan didudukkan sebagai
saudara perempuan, saudara perempuan ayah didudukkan sebahai ayah,
saudara perempuan ibu didudukkan sebagai ibu dan seterusnya.
Sedangkan dalam hal pembagian harta warisan diselesaikan dengan cara
pembagian biasa, yaitu dengan memakai ashhab al-furudh.
3. Pendapat/madzhab Ahl Ar-Rahim.
Mazhab ini adalah Hasan ibn Zirah, menurut ungkapan Fatchur
Rahman pendapat/mazhab ini tidak berkembang, sebab pendapat ini tidak
mudah diterima, karena prinsip mazhab ini semua keluarga yang statusnya
sebagai dzawil arham mempunyai kedudukan yang sama tanpa melihat
dari kelompok mana mereka berasal, dengan istilah lain seluruh dzawil
arham disamakan kedudukannya terhadap harta warisan tersebut.13
H. Khuntsa
Ilmu fiqh skolastik hanya mengenal dua kategori, yakni laki-laki dan
perempuan. Meskipun Islam sendiri disisi lain mengenal pula kategori khuntsa
13
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis), (Jakarta:
Sinar Grafika), 2008, hal. 73
dan mukhannits atau mukhannats, akan tetapi Al-Qur’anۢtidakۢmenyebut kategori
tersebut.14 Disisi lain, jenis kelamin seseorang sangat penting kaitannya dengan
hukum waris Islam. Mengingat ketiga mazhab pembagian waris menurut hukum
Islam pun membedakan hak bagi laki-laki dan perempuan yang menjadi ahli
waris. Hal ini akan menjadi kendala apabila terdapat ahli waris yang tidak
diketahui atau tidak jelas jenis kelaminnya (khuntsa).
Kata khuntsa berasal dari kata ثنخyang artinya lemah atau pecah, jamaknya
dari wazan لعفmenjadi lafadz ثنخ. Sedangkan istilah al-khuntsa diambil dari kata
dasar al-khanats yang artinya lembut atau lunak. Sebagaimana dikatakan ثﻧخﺘﻮثﻧﺨ
yang berarti seorang laki-laki yang berbicara, berjalan, atau berpakaian dengan
lembut, lunak, atau lemah gemulai seperti cara perempuan berbicara, berjalan,
dan berpakaian.15
14
Moh Yasir Alimi. Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: Dari Wacana Bangsa Hingga Wacana
Agama, (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara Yogyakarta, 2004), hal.xiii
15
Muhammad Ali Al-sabouni, Hukum Kewarisan Menurut Al-Qur’an dan Sunnah, (Jakarta: Dar Al-
Kutub Al-Islamiyyah., 2005), hal.227.
16
KH.ۢM.ۢSyafi’IۢHadzami.ۢTaudhihul Adillah (Buku 2), Fatwa-fatwa Mualim KH. Syafi’i Hadzami:
Penjelasan Dalil-dalil tentang Ushul dan Akhlak dalam Islam. (Jakarta: PT Elex Media Komputindo,
Kompas Gramedia, 2010), hal.83
kelamin ganda, akan tetapi statusnya sudah diketahui bahwa ia statusnya laki-laki
ketika membuang air kecinya lewat dzakar atau ia statusnya perempuan ketika
membuang air kecilnya lewat farji. Adapun cara-cara untuk menentukan besarnya
bagian yang akan diterima oleh seseorang khuntsa yang tampil menjadi ahli waris
adalah sebagai berikut:
1) Menemukan kejelasan jenis kelamin dari khuntsa tersebut, yakni dari jenis
kelamin yang dominan, akan tetapi apabila sulit untuk menentukan jenis
kelamin yang dominan dari orang yang bersangkutan, maka para ahli hukum
Islam sepakat dengan cara mengidentifikasi indikasi fisik yang dimiliki oleh
yang bersangkutan (bukan penampilan psikis atau kejiwaannya). Hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah SAW dalam hadist riwayat Ibnu Abbas, yakni
“Berilah harta warisan anak khuntsa dari mana pertama lewat ia membuang
air kecilnya”.
3) Seandainya apa yang diungkapkan dalam poin 1 dan 2 tidak dapat ditentukan
atau samar-samar, maka para ahli hukum Islam tidak ada kesepakatan
bagaimana cara untuk menentukannya, sehingga dalam hal ini lahir beberapa
pendapat dari berbagai mazhab:17
17
Suhrawardi K. Lubis Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hal 7
kepadanya.ۢPendapatۢiniۢjugaۢmerupakanۢsalahۢsatuۢpendapatۢImamۢSyafi’iۢ
rahimahullah dan pendapat kebanyakan sahabat Rasulullah saw.
• Mazhab Syafi’iyah berpendapat bahwa seluruh ahli waris termasuk
khuntsa musykil mendapat harta warisan kurang dari bagian yang
semestinya, karena bagian tersebutlah yang diyakini sebagai bagian
masing-masing ahli waris. Sisa harta warisan dibekukan atau tidak
dibagikan untuk sementara waktu hingga jelas keadaan khuntsa tersebut.
Kata usul al-masail adalah bentuk jamak dari asal al-masalah. Secara
sederhana dianalogikan dengan angka kelipatan persekutuan terkecil. langkah
pertama yang harus ditempuh di dalam merumuskan asal masalah dalam
pembagian warisan yaitu menyeleksi:
Angka asal masalahnya yang dapat dirumuskan hanya ada tujuh angka yaitu:
Jawab:
Ahli Waris Bag Am 6 Harta Warisan Penerimaan
Suami 1/6 1 1/6×Rp.36.000.000,- Rp.6.000.000,-
Ibu ½ 3 3/6×RP.36.000.000,- Rp.18.000.000,-
2 Saudara 1/3 2 2/6×Rp.36.000.000,- Rp.12.000.000,-
seibu
Jumlah: Rp.36.000.000,-
Tashih Al- masail adalah mencari angka asal masalah yang terkecil agar
dapat dihasilkan bagian yang diterima ahli waris tidak berupa angka
pecahan18. Metode ini hanya dipergunakan apabila bagian yang diterima ahli
waris berupa angka pecahan .Langkah yang perlu diambil pada metode ini
sebagai berikut:
Mengetahui jumlah person penerima warisan dalam satu kelompok ahli waris.
Mengetahui bagian yang diterima kelompok tersebut.
Mengalikan jumlah person dengan bagian yang diterima kelompoknya.
18
Hasanain Muhammad Makhluf, al-Mawaris fi al-Syari’at al-Islamiyah, Kairo:Lajnah al-Bayan al-
Arabiyah,tt,hlm.118.
19
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Bandung: al-Ma’arif,1981,hlm.448.
Misalnya seseorang meninggal dunia ahli warisnya terdiri dari: ibu, ayah ,2
anak laki-laki dan 2 anak perempuan. Tentukan bagian masing-masing yang
diterima !
Jawab:
Seseorang meninggal dunia , ahli warisnya terdiri dari: istri, ibu, bapak, dan
anak laki-laki. Harta warisannya sejumlah Rp.48.000.000,-.Tentukan bagian
yang di terima masing-masig!
Jawab:
1. Kekurangan harta yaitu apabila ahli waris banyak dalam furud al-
muqaddarah dilaksanakan apa adanya sehingga cara penyelesaiannya
adalah bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris dikurangi
secara proporsional menurut besar kecilnya bagian yang mereka terima.
ini yang disebut dengan Aul.
2. Terjadi kelebihan harta karena ahli waris ashab al -furud hanya sedikit
dan bagian penerimaanya juga sedikit ,maka kelebihan harta warisan ini
dikembalikan kepada ahli waris. Sebagian pendapat menghendaki agar
sisa harta yang ada diserahkan kepada bait al-mal. Pendapat yang lain
mengatakan sisa harta dikembalikan kepada ahli waris tetapi khusus ahli
waris selain suami atau istri yakni ahli waris nasabiyah yang memiliki
hubungan darah dengan yang meninggal.Pengembalian hal tersebut
dinamakan radd.
3. Bagian yang diterima ahli waris tepat persis dengan harta warisan yang
dibagi, jika terjadi pembagian warisan seperti ini disebut dengan masalah
adilah yang tidak menimbulkan persoalan Oleh karena itu, uraiannya
akan difokuskan pada masalah aul dan radd.
a) Masalah ‘Aul
Jawab:
Angkaۢasalۢmasalahۢdi’aulkanۢdariۢ12ۢmenjadiۢ15ۢkarenaۢbilaۢtidakۢdi’aulkanۢ
akan terjadi kekurangan harta.
b) Masalah Radd
Jawab: