Anda di halaman 1dari 25

A.

Hakikat Fiqh Mawaris


a. Pengertian Fiqh Mawaris
Fiqh mawaris atau yang di Indonesia sering disebut dengan kewarisan
merupakan hukum yang mempelajari tentang tata cara pembagian harta orang
yang telah meninggal. Fiqh mawaris sendiri memiliki dua unsur, yakni :
 Pengertian waris
Kata waris memiliki makna yakni perpindahan sesuatu dari
sekolompok orang kepada kelompok yang lainnya, atau dari satu
individu ke individu yang lain. Secara istilah fiqh sendiri waris
memiliki makna berpindahnya hak milik dari orang yang meninggal
kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik itu berupa harta benda,
tanah, maupun suatu hak dari hak-hak syura.
 Pengertian harta waris
Harta waris sendiri ialah suatu kepemilikan yang dimiliki seseorang
dan ditinggalkan karena seseorang itu mennggal. Harta waris bisa
berupa harta benda, hak, ataupun suatu yang bukan bersifat
kebendaan.
b. Hukum Mempelajari Fiqh Mawaris
Mempraktikkan ketentuan dalam fiqh mawaris hukumnya ialah wajib,
maka otomatis hukum mengetahui ketentuan hukum warispun ikut wajib.
Namun menguasai ilmu faraid hukumnya fardlu kifayah. Yakni bila dalam
suatu daerah tidak ada yang paham satupun, maka semua warga di daerah itu
akan berdosa. Sedangkan bila ada satu orang saja dalam daerah itu yang
menguasai ilmu faraidh tersebut, maka hilang lah kewajiban yang lain untuk
membelinya.

B. Syarat Dan Rukun Pembagian Mawaris


a. Syarat
Syarat sendiri memiliki makna sesuatu yang harus dipenuhi sebelum
melakukan suatu hal. Jadi syaat mawaris ini harus dipenuhi dahulu sebelum
melakukan pembagian warisan. Jika salah satu dari syarat tersebut belum
terpenuhi maka pewarisan tersebut tidak akan pernah sah. Syarat-syarat
pewarisan itu ada 3 :
1) Seseorang meninggal secara haqiqi atau secara hukum.1
Maksud dari hal ini ialah seseorang tersebut telah dinyatakan
meninggal baik secara hakiki ataupun secara hukum, dan hal itu telah
diketahui oleh seluruh ahli warisnya ataupun seseorang tersebut telah
divonis meninggal oleh seorang hakim karena seseorang tersebut tidak
diketahui keberadaannya. Sebagai contoh yakni : Indah sedang
melakukan perjalanan dari Jawa ke Madura dengan menggunakan
kapal laut. Namun di tengah perjalanan, kapal selam tersebut
dinyatakan tenggelam. Dari peristiwa tersebut, Indah dinyatakan
hilang dan hingga menjelang beberapa tahun, belum ada kabar tentang
keberadaannya. Bisa saja si Indah divonis telah meninggal dunia.
Namun apabila suatu saat Indah itu diketahui ternyata belum menggal
dunia, maka ia diperbolehkan untuk menuntut kembali hartanya yang
telah dibagikan tersebut.
2) Ahli waris secara pasti masih hidup ketika pewaris meninggal.2
Maksud dari syarat kedua ini ialah orang yang akan menerima warisan
harus kepada ahli waris yang secara syariat benar-benar berhak
menerima warisan, dan ahli waris tersebut diyakini masih hidup, bak
terlihat secara langsung ataupun ada saksi dua orang yang memiliki
kredibilitas.
3) Mengetahui golongan ahli waris.3

1
. Syekh Muhammad Ali Ash Shabuni, Hukum waris menurut al-qur’an dan hadist, Trigenda Karya,
Bandung, 1995, hlm. 46.
2
. Syekh Muhammad Ali Ash Shabuni, Hukum waris menurut al-qur’an dan hadist, Trigenda Karya,
Bandung, 1995, hlm. 46.
3
. Syekh Muhammad Ali Ash Shabuni, Hukum waris menurut al-qur’an dan hadist, Trigenda Karya,
Bandung, 1995, hlm. 46
Maksud dari pesyaratan yang ke empat ini ialah ahli waris diketahui
secara pasti keberadaannya, dan diketahui pula hal apa yang menjadi
penyebab mendapatkan warisan, baik berupa nasab ataupun karena
adanya hubungan wala. Yakni harus diketahui secara pasti hubungan
nasabnya, baik dia sebagai anak, bapak, ibu, kakek, paman, dan lain
sebagainya. Ataupun pemilik wala baik dia sebagai majikan dari
budak, dan lain sebagainya.
b. Rukun
Rukun secara bahasa memiliki makna asas, dasar, atau sisi yang kuat dari
sesuatu. Sedangkan rukun secara istilah yakni sesuatu yang menentukan
keabsahan sesuatu, amalan yang lainnya, dan ia bagian dari sesuatu atau
amalan tersebut.4
Rukun dalam pewarisan ialah hal-hal yang dapat menentukan adanya
suatu pewarisan. Rukun pewarisan ada 3 macam, yakni :
1) muwarits5, ialah orang yang meninggalkan hartanya sebab ia
telah ditetapkan meninggal dunia.
2) warits6, yakni orang yang secara syariat dinyatakan berhak
menerima warisan baik itu karena adanya hubunga keluarga
(nashab), ikatan pernikahan, ataupun ikatan lainnya. Dan ahli
waris tersebut harus dinyatakan masih hidup.
3) mauruts7, yakni segala jenis kepemilikan yang dimiliki si orang
meniggal tersebut, baik kepemilikan itu berupa uang, harta
benda, tanah, dan lain sebagainya. Dan kepemilikan si mayyit
tersebut tidak terikat dengan kepemilikan orang lain.

4
. Abu Umar Basyir, Warisan, Rumah Dzikir, Solo, 2006, hlm. 47.
5
. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqh mawaris, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang,
2001, hlm. 29.
6
. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqh mawaris, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang,
2001, hlm. 29.
7
. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqh mawaris, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang,
2001, hlm. 29.
C. Sebab-Sebab Mendapat Warisan
Sebab sendiri memiliki makna sesuatu yang keberadaannya menjadikan
terjadinya sesuatu. Secara bahasa, sebab warisan ialah sesuatu yang
keberadaannya dijadikan oleh syariat sebagai tanda adanya sebuah hukum
warisan. Adapun sebab-sebab seseorang mendapat warisan, yakni :
a. Sebab Pernikahan
Pernikahan ialah suatau ikatan perkawinan yang sah terbebas dari
pembatal-pembatal, meskipun belum melakukan hubungan badan (seks).
Contohnya, seorang wanita yang dinikahi sah oleh seorang laik-laki terpenuhi
rukun serta syarat nikahnya, maka itulah yang menjadi sebab berlakunya
mewarisi dan diwarisi diantara pasangan suami istri tersebut. Jika salah
seorang dari mereka wafat, maka salah satu diantara mereka yang masih hidup
itu yang memiliki hak mendapat warisan dari pasangannya tersebut, walaupun
diantara mereka belum melakukan hubungan badan. Sebagaimana firman
Allah dalam Qs. An-Nisa:12

‫ُوصينَ ِب َهۢا‬ ِ ‫صي َّٖةي‬ ُّ ‫ فَلَ ُك ُم‬ٞ‫دفَإِنكَانَلَ ُهنَّ َولَد‬ٞۚٞ َ‫َولَ ُك ۡمنِصۡ فُ َمات ََر َكأ َ ۡز َٰ َو ُج ُك ۡمإِنلَّ ۡميَ ُكنلَّ ُهنَّ َول‬
ِ ‫نَ ِمنۢ َبعۡ د َِو‬ٞۚ ‫ٱلربُعُ ِم َّمات ََر ۡك‬
ۢٞۚٞ‫ٱلربُعُ ِم َّمات ََر ۡكتُ ۡمإِنلَّ ۡم َي ُكنلَّ ُك ۡم َولَد‬ ُّ َّ‫ن َولَ ُهن‬ٖٞۚ ‫أ َ ۡودَ ۡي‬
ُ ٞۚ ُ‫سد‬
ِ‫سفَۢإ‬ ُّ ‫تفَ ِل ُك ِل َٰ َو ِحدٖ ِم ۡن ُه َماٱل‬ٞ ‫ة َولَ ۥۢه ُأَ ٌخأ َ ۡوأ ُ ۡخ‬ٞ َ‫ُورث ُ َۢك َٰلَلَةًأَ ِو ۡٱم َرأ‬
َ ‫لي‬ٞ ‫صونَ ِب َهاأ َ ۡودَ ۡي ٖ ٖۗن َو ِإنكَان ََر ُج‬
ُ ‫صي َّٖةتُو‬ ِ ‫ ِمن َبعۡ د َِو‬ٞۚ‫دفَلَ ُهنَّٱلث ُّ ُمنُ ِم َّمات ََر ۡكتُم‬ٞ َ‫فَإِنكَانَلَ ُك ۡم َول‬
ۢٞ ‫صي َّٗة ِۢمنَٱللَّ ٖۗ ِه َوٱللَّ ُهعَ ِلي ٌم َح ِل‬
‫يم‬ ِ ‫ر َو‬ٞۚ ٖ ‫ضا‬ َ ‫ص َٰى ِب َهاأ َ ۡودَ ۡي ٍنغ َۡي َر ُم‬ َ ‫صي َّٖةيُو‬ ُ ‫نكَانُواْأ َ ۡكث َ َر ِمن َٰذَ ِل َك َف ُه ۡم‬
ِ ‫ ِث ِمنبَعۡ د َِو‬ٞۚ ُ‫ش َركَا ُءفِيٱلثُّل‬

Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-
isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)
seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang
kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai
anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah
dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak,
tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak
memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu
sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Penyantun.

Namun jika pernikahan tersebut terputus karena perceraian, maka hak


waris mewarisi tersebut juga ikut hilang. Namun hal tersebut perlu perincian :

1) Kalau talaqnya berstatus talaq raj’i, yakni talaq pertama atau kedua, maka
dilihat terlebih dahulu. Bila salah satu pasutri terjadi dalam masa iddah,
berdasarkanۢ ijma’ۢ paraۢ ulama,ۢ merekaۢ tetapۢ bisaۢ warisۢ mewarisi. Karena
status mereka berdua masih sebagai suami istri, baik talaq tu dilakukan saat
masih sakit ataupun saat sehat.
2) Jika talaqnya berupa talaq bai’in atau talaq ketiga, bila hal itu terjadi saat
masih sehat atau sakit yang tidak memabahayakan pada nyawa, maka hak
waris tersebut terputus. Namun jika talaq itu terjadi disaat suami sedang sakit
yang membawa kematian, dan suami menceraikannya bukan dengan tujuan
agar sang istri tidak mendapat warisan, misal karena sang istri telah bosan
merawat suaminya, maka sang istri tidak berhak mendapat warisan saat
mantan suaminya tersebut meninggal.
b. Sebab Nasab
Hubungan nasab ialah hubungan antara dua orang yang bersekutu dalam
peranakan yaang dekat maupun jauh. Bentuk hubungan itu ada 3 macam :
1) Ushul : Bapak dan Ibu, berikut yang diatas mereka; kakek, buyut,
dan seterusnya, asal jalur laki-laki.
2) Furuu’ : Putra atau putri, dan yang dibawah mereka, seperti cucu,
asal dari keturunan laki-laki saja
3) Hawaasyi : Saudara-saudara mayyit, saudari-saudarinya, anak-
anak mereka, paman, bibi dan anak-anak mereka. serta nashab
kebawah.
c. Al-walaa
Walaa ialah suatu kepemilikan hak waris yang penyebabnya adalah karena
seseorang telah memberikan dunia kepada budaknya, dengan
kemerdekaannya. Pihak yang akan mewariskan dengan walaa, bahkan harus
didahului daripada pihak yang mewariskan dengan radd.

D. Penghalang Hak Waris (Al-Hujb)


Pengertian al-Hujb menurut ulama faraaidh adalah menggugurkan hak ahli
waris untuk menerima warisan baik secara keseluruhan atau sebagian saja
disebabkan adanya orang yang lebih berhak menerima.
Al-Hujb terdapat dua macam, yakni :
1) Al-Hujb bil washfi ialah orang yang terkena hujb tersebut terhalang
dari mendapatkan hak waris secara keseluruhan. Contoh : orang yang
memebunuh pihak yang akan mewariskannya atau murtad. Maka hak
waris mereka menjadi gugur atau terhalang dengan sendirinya.
2) Al-Hujb bi asy-syakhshi ialah gugurnya hak waris seseorang sebab ada
orang lain yang lebih berhak menerimanya.

E. Hal-Hal Yang Menghalangi Hak Waris


a. Budak
Secara istilah kebudakan pada diri seseorang ialah titik lemah pada diri
seseorang dalam memeberlakukan hukum, yang penyebabnya adalah
kekafiran pada Allah (Hal ini bukan lantas menyatakan bahwa budak itu
statusnya kafir, akan tetapi seorang muslim tidak selayaknya menjadi budak.
Salah satu dari intisari ajaran islam yakni membebaskan umat islam dari
perbudakan sesamanya. Kekafiran memang membuat seorang budak
kehilangan hak mewariskan atau mewarisi, tapi seorang muslim yang
berstatus budak pun tidak memiliki hak tersebut sampai statusnya merdeka.
Wallahuۢa’lam).ۢ
Budak tidak memiliki hak untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya,
ataupun sebaliknya. Hal ini dikarenakan harta yang diwariskan atau diwarsis
adalah milik mereka sendiri, sedangkan budak tidak memiliki harta bendanya
sendiri, segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi milik
tuannya.
Namun beda halnya dengan budak yang setengah merdeka, status mereka
masih kontroversial. Terdapat beberapa pendapat mengenai hal ini, dan yang
paling mendekati kebenaran ialah bahwa harta bedanya boleh diwarisi, sesuai
dengan presentase kemerdekaan pada drinya.
b. Pembunuhan
Apabila seorang ahli waris membunuh oarng yang akan mewariskan,
maka ia tidak berhak menerima warisan sedikitpun. Karena dalam hal ini si
pembunuh jelas berusaha mendapat harta warisan sebelum waktunya. Maka
sedikitpun ia tak akan mendapat harta warisan. Sebagaimana beberapa sabda
nabi dibawah ini :
Diriwayatkanۢ dariۢ Amruۢ binۢ Syu’aibۢ dariۢ ayahnyaۢ dariۢ kakeknyaۢ iaۢ
berkata,ۢ“Rasulullah”ۢbersabda,
“tidak ada hak waris bagi si pembunuh”
Nabi juga bersabda,
“orang yang membunuh tidak akan mewarisi sedikitpun harta orang yang
dibunuh”
Dari Abi Hurairah juga diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda,
”pembunuh tidak akan dapat mewarisi harta korbannya.”
c. Perbedaan agama
Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non
muslim. Hal ini ditegaskan oleh hal yang diriwayatkan dari Usaamah bin Zaid
bahwa rasulullah SAW bersabda,
“Orang muslim tidak mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi
orang muslim.”
Yang dimaksud beda agama disini yakni antara Islam dan kafir. Demikian
mayoritas ulama dan juga keempat imam mujtahid berpendapat. Namun ini
beda halnya dengan pendapat sebagian ulama yang bersandar pada pendapat
Mu’adzۢ binۢ Jabalۢ yangۢ mengatakanۢ bahwaۢ seorang muslim boleh mewarisi
orang kafir, akan tetapi tidak boleh mewariskan kepada orang kafir. Dengan
alasan islam ya’lu walaa yu’la (unggul, tidak ada yang mengunggulinya).

F. Tingkatan Ahli Waris


a. Ash-haabul furuudh
Inilah golongan yang pertama kali mendapat bagian harta warisan. Mereka
merupakan orang-orang yang sudah ditentukan bagian-bagiannya dalam Al-
Qur’an,ۢAs-Sunnah’ۢdanۢIjma’.ۢSebagaimanaۢsabdaۢRasulullahۢSAW
“Berikan warisan kepada orang-orang yang berhak, jika masih tersisa
maka harta itu untuk keluarga lelaki terdekat.”
b. ‘Ashabaat nasabiyah
Setiap kerabat yang memiliki nashab dengan mayit dan menerima sisa
harta warisan yang telah dibagikan. Bahkan jika tidak ada ahli waris lainnya,
ia berhak mengambil semua harta peninggalan si mayyit. Ahli waris ini
seluruhnya ada 21 orang, terdiri dari 13 orang ahli waris laki-laki dan 8 orang
ahli waris perempuan. Dari ahli waris nasabiyah dapat dikelompokkan
menurut tingkatan kelompoknya sebagai berikut:
1. Furu’al-waris
yaitu ahli waris kelompok anak keturunan al muwaris. Adapun ahli
warisnya antara lain:
 Anak perempuan
 Cucu perempuan garis laki-laki
 Anak laki-laki
 cucu laki-laki garis laki-laki
2. Usul al-waris
yaitu ahli waris leluhur al-muwarris. Adapun ahli warisnya antara lain:
 Bapak
 Ibu
 Kakek garis bapak
 Nenek garis ibu
3. Al-hawasyi
yaitu ahli waris kelompok samping. Adapun ahli warisnya antara lain:
 Saudara perempuan sekandung
 Saudara perempuan seayah
 Saudara perempuan seibu
 Saudara laki-laki sekandung
 Saudara laki-laki seayah
 Saudara laki-laki seibu
 Anak laki-laki saudara sekandung
 Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
 Paman sekandung
 Paman seayah
 Anak paman sekandung
 Anak paman seayah

c. Penambahan jatah bagi ash-haabul furuudh sesuai bagian (kecuali suami


istri)
Jika harta warisan yang telah dibagi-bagikan kepada ahli waris masih
tersisa, maka hendaklah dibagikan kepada ash-haabul furuudh sesuai dengan
bagian yang sudah ditentukan. Dan suami ataupun istri tidak mendapat
tambahan bagian dari harta yang tersisa. Karena hubungan mereka pernikahan
tidak karena nashab.
d. Uulul arhaam(Kerabat)
Yang dimaksud disini ialah kerabat mayyit yang masih memiliki kaitan
rahim dan bukan termasuk ash-haabul furuudh ataupun ‘ashabah.Contoh :
paman(saudara ibu), bibi (saudara ayah), cucu laki-laki dari anak perempuan,
cucu perempuan dari anak perempuan.
e. Tambahan hak waris bagi suami atau istri
Bila pewaris tidak mempunyai ash-haabul furuudh ataupun ‘ashabah
ataupun kerabat yang memiliki ikatan rahim, maka harta warisan tersebut
seluruhnya menjadi milik suami ataupun istri.
f. ‘Ashabah karena sebab
Ada beberapa bentuk ashabah karena sebab :
1. Orang-orang yang memerdekakan budak
2. Orang yang diberi wasiat lebih dai sepertiga harta warisan.
3. Baitul Mal (kas negara), jika seseorang yang meninggal dunia
tidak memiliki ahli waris, maka seluruh harta peninggalannya
diserahkan kepada baitul maal untuk kemaslahatan umat.
Macam-Macamۢahliۢwarisۢ‘asabah ada 3 yaitu:
1.’Asabah bi nafsih: Ahli waris yang karena kedudukan dirinya
sendiri berhak menerima bagian ‘asabah.Ahli waris kelompok ini
semuanya laki-laki, kecuali mu’tiqah( orang perempuan yang
memerdekakan hamba sahaya).
2.’Asabah bi al-ghair: Ahli waris yang menerima bagian sisa karena
bersama-sama dengan ahli waris lain telah menerima bagian sisa. Jika
ahli waris penerima sisa tidak ada, maka ia tetap menerima bagian
tertentu( furud al-muqaddarah).
3.’Asabah ma’a al-ghair: Ahli waris yang menerima bagian sisa
karena bersama-sama dengan ahli waris lain yang tidak menerima
bagian sisa.Jika ahli waris lain tidak ada, maka ia menerima bagian
tertentu.
G. Dzawil Arham
a. Pengertian
Ahli waris Dzawil Arham secara etimologi diartikan ahli waris dalam
hubungan kerabat. Namun, pengertian hubungan kerabat itu begitu luas dan
tidak semuanya tertampung dalam kelompok orang yang berhak menerima
warisan sebagaimana dirinci sebelumnya. Sebelum ini sudah dirinci ahli waris
yang berhak menerima sebagai asbabul furudh8 danۢ ‘ashabahۢ denganۢ caraۢ
mula-mula diberikan kepada dzawil furudh kemudian harta selebihnya
diberikanۢ kepadaۢ ahliۢ warisۢ ‘ashabah.ۢ Seandainyaۢ masihۢ adaۢ hartaۢ yangۢ
tinggal, maka kelebihan harta itu diberikan kepada kerabat lain yang belum
mendapat itulah yang dinamakan dzawil arham. Semua ahli fiqih menyebut
ahli waris dzawil arham dalam hubungan kerabat yang bukan dzawil furudh
danۢ bukanۢ pulaۢ ‘ashabah.ۢ Singkatnyaۢ dzawil arham adalah keluarga dari
orang yang meninggal dunia, yang tidak ada tersebut keturunannya
(bagaimana) dalam Al-Qur’anۢdanۢHadist.9
Ahli waris yang termasuk sebagai dzawil arham
1. Cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak perempuan, kedudukannya
sama dengan anak perempuan
2. Anak laki-laki dan anak perempuan dari cucu perempuan kedudukan sama
dengan cucu perempuan
3. Kakek (dari dan ibu) kedudukan sama dengan ibu
4. Nenek dari pihak kakek (ibu atau ayah yang tidak menjadi ahli waris
umpamanya nenek dari ibu), kedudukan sama dengan ibu
5. Anak perempuan dari saudara laki-laki kandung, sebapak atau seibu
kedudukan sama dengan saudara laki-laki
6. Anak laki-laki saudara laki-laki seibu, kedudukan sama dengan saudara
laki-laki

8
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 71.
9
Ibid, hlm. 72
7. Anak laki-laki dan anak perempuan saudara perempuan kandung, sebapak,
seibu, kedudukan sama dengan saudara perempuan
8. Bibi (sauadara perempuan dari bapak) dan saudara permpuan dari kakek,
kedudukan sama dengan bapak
9. Paman yang seibu dengan bapak dan saudara laki-laki yang seibu dengan
kakek, kedudukan sama dengan kekek
10. Saudara laki-laki dan saudara perempuan dari ibu keududukan sama
dengan ibu
11. Anak perempuan paman, kedudukan sama dengan paman
12. Turunan dari rahim-rahim yang tersebut diatas
Adapun cara pembagian harta waris kepada dzawil arham adalah terdapat
tiga kelompok:
1. Ahlu I-Qarabah
Menurut kelompok ini, penentuan membagikan harta pusaka10 kepada
dzawil arham adalah sejalan denagn membagikan harta pusaka kepada
‘ashabah.ۢ Diۢ dalamۢ ‘ashabahۢ terdapatۢ 4ۢ kriteriaۢ yangۢ diterbitkanۢ sebagaiۢ
berikut:
a. Cucu dari garis perempuan ke bawah
b. Kakek dan nenek ghair shahihah
c. Anak atau cucu saudara-saudara yang bukan ashabu l-furudh
d. Anak turunannya kakek dan nenek
2. Ahlu t-tanzil
Menurut kelompok ini, penentuan pembagian waris untuk dzawil
arham adalah dengan menganggap cabang pewaris dari dzawil arham
11
sesuai kedudukan pokoknya. mereka tidak melihat dengan orang-orang
yang bernisbah kepada mereka dari ashabu l-furudh danۢ ‘ashabah.ۢ
Kelompok ini sama dengan ahlu l-qarabah yaitu ada yang harus

10
Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), hlm. 94.
11
Ibid, hlm. 95.
diutamakan, tetapi menurut kelompok ini yang harus diutamakan adalah
yang lebih dekat dengan ashabu l-furudnya atau ashabu l-ashabah.
3. Ahlu r-Rahim
Menurut kelompok ini bahwa penentuan pembagian waris kepada
dzawil arham adalah dengan membagi rata semua dzawil arham yang ada.
12

b. Warisan Bagi Dzawil Arham


Apabila terjadi suatu kasus tertentu, misalnya seseorang meninggalkan
dunia dan tidak ada sama sekali meninggalkan anggota keluarga yang
berstatus sebagai ahli waris, yang ada hanya kelompok keluarga Dzawil
Arham, maka dalam menyelesaikan persoalan harta warisan yang ditinggalkan
pewaris tersebut dikenal ada 3 (tiga) pendapat/mazhab, yaitu
1. Pendapat/madzhab Ahl Al-Qarabah.
PendapatۢiniۢdikembangkanۢolehۢahliۢhukumۢIslamۢMazhabۢSyafi’iyahۢ
seperti Al-Baghawi dan Al-Mutawalli (pada awalnya pendapat ini
didasarkan kepada ijtihad Ali Bin Abi Thalib). Pendapat ini intinya
mengemukakan bahwa diantara para ahli waris terdapat kelompok
keutamaan, yaitu kelompok yang satu lebih utama dari kelompok yang
lainnya, madzhab ini membagi pengelompokkan tersebut kepada :
a) Kelompok Banuwwah, yaitu yang terdiri dari anak-anak, cucu-
cucu, dan seterusnya ke bawah.
b) Kelompok Ubuwwah, yaitu yang terdiri dari kakek dari ibu, nenek
dari kakek, dan seterusnya lurus keatas.
c) Kelompok Ukhuwwah, yaitu yang terdiri dari anak-anak saudara
atau keponakan.
d) Kelompok Umumah, yaitu terdiri dari paman, bibi, dan anak
keturunannya.

12
Ibid, hlm. 96.
Menurut pendapat ini selama ada kelompok yang terdekat,
maka kelompok yang lainnya tidak menerima warisan, dengan kata
lain kelompok yang terdekat lebih utama dari kelompok yang lainnya.
2. Pendapat/madzhab Ahl At-Tanzil.
MadzhabۢiniۢdikemukakanۢolehۢImamۢMalik,ۢSyafi’I, dan Ahmad ibn
Hanbal. Menurut pendapat ini untuk menentukan siapa yang lebih berhak
diantara dzawil arham untuk memperoleh warisan dari si pewaris adalah
dengan cara menempatkan mereka pada kedudukan ahli waris yang
menghubungkan mereka masing-masing kepada si pewaris, dan setelah
kedudukan mereka didudukan kepada ahli waris yang menghubungkan
mereka kepada si pewaris selanjutnya kedudukan mereka diturunkan satu
per satu, misalnya cucu perempuan garis perempuan didudukkan sebagai
anak perempuan, anak perempuan saudara laki-laki didudukkan sebagai
saudara laki-laki, anak perempuan saudara perempuan didudukkan sebagai
saudara perempuan, saudara perempuan ayah didudukkan sebahai ayah,
saudara perempuan ibu didudukkan sebagai ibu dan seterusnya.
Sedangkan dalam hal pembagian harta warisan diselesaikan dengan cara
pembagian biasa, yaitu dengan memakai ashhab al-furudh.
3. Pendapat/madzhab Ahl Ar-Rahim.
Mazhab ini adalah Hasan ibn Zirah, menurut ungkapan Fatchur
Rahman pendapat/mazhab ini tidak berkembang, sebab pendapat ini tidak
mudah diterima, karena prinsip mazhab ini semua keluarga yang statusnya
sebagai dzawil arham mempunyai kedudukan yang sama tanpa melihat
dari kelompok mana mereka berasal, dengan istilah lain seluruh dzawil
arham disamakan kedudukannya terhadap harta warisan tersebut.13
H. Khuntsa
Ilmu fiqh skolastik hanya mengenal dua kategori, yakni laki-laki dan
perempuan. Meskipun Islam sendiri disisi lain mengenal pula kategori khuntsa

13
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis), (Jakarta:
Sinar Grafika), 2008, hal. 73
dan mukhannits atau mukhannats, akan tetapi Al-Qur’anۢtidakۢmenyebut kategori
tersebut.14 Disisi lain, jenis kelamin seseorang sangat penting kaitannya dengan
hukum waris Islam. Mengingat ketiga mazhab pembagian waris menurut hukum
Islam pun membedakan hak bagi laki-laki dan perempuan yang menjadi ahli
waris. Hal ini akan menjadi kendala apabila terdapat ahli waris yang tidak
diketahui atau tidak jelas jenis kelaminnya (khuntsa).

Kata khuntsa berasal dari kata ‫ ثنخ‬yang artinya lemah atau pecah, jamaknya
dari wazan ‫لعف‬menjadi lafadz ‫ثنخ‬. Sedangkan istilah al-khuntsa diambil dari kata
dasar al-khanats yang artinya lembut atau lunak. Sebagaimana dikatakan ‫ثﻧخﺘﻮثﻧﺨ‬
yang berarti seorang laki-laki yang berbicara, berjalan, atau berpakaian dengan
lembut, lunak, atau lemah gemulai seperti cara perempuan berbicara, berjalan,
dan berpakaian.15

Meskipun masyarakat mempunyai penilaian tertentu terhadap seseorang yang


disebut khuntsa, sebenarnya Allah mengetahui bahwasanya orang tersebut laki-
laki atau perempuan. Pada dasarnya Allah tidak pernah menciptakan seseorang
dengan setengah laki-laki maupun setengah perempuan, Melainkan seseorang
yang seutuhnya laki-laki maupun seseorang yang seutuhnya perempuan saja.
Dalam QS. Al-Lail : 3, Allah berfirman:

Sebenarnya manusialah yang menentukan status seorang khuntsa yang entah


itu laki-laki ataukah perempuan.16 Sehingga para fuqaha membagi khuntsa
menjadi dua macam, yakni: khuntsa musykil yaitu orang yang mempunyai alat
kelamin ganda, jika ia membuang air kecil melewati kedua alat kelaminnya secara
bersama-sama; dan (ii) Khuntsa ghair musykil, yaitu orang yang mempunyai alat

14
Moh Yasir Alimi. Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: Dari Wacana Bangsa Hingga Wacana
Agama, (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara Yogyakarta, 2004), hal.xiii
15
Muhammad Ali Al-sabouni, Hukum Kewarisan Menurut Al-Qur’an dan Sunnah, (Jakarta: Dar Al-
Kutub Al-Islamiyyah., 2005), hal.227.
16
KH.ۢM.ۢSyafi’IۢHadzami.ۢTaudhihul Adillah (Buku 2), Fatwa-fatwa Mualim KH. Syafi’i Hadzami:
Penjelasan Dalil-dalil tentang Ushul dan Akhlak dalam Islam. (Jakarta: PT Elex Media Komputindo,
Kompas Gramedia, 2010), hal.83
kelamin ganda, akan tetapi statusnya sudah diketahui bahwa ia statusnya laki-laki
ketika membuang air kecinya lewat dzakar atau ia statusnya perempuan ketika
membuang air kecilnya lewat farji. Adapun cara-cara untuk menentukan besarnya
bagian yang akan diterima oleh seseorang khuntsa yang tampil menjadi ahli waris
adalah sebagai berikut:

1) Menemukan kejelasan jenis kelamin dari khuntsa tersebut, yakni dari jenis
kelamin yang dominan, akan tetapi apabila sulit untuk menentukan jenis
kelamin yang dominan dari orang yang bersangkutan, maka para ahli hukum
Islam sepakat dengan cara mengidentifikasi indikasi fisik yang dimiliki oleh
yang bersangkutan (bukan penampilan psikis atau kejiwaannya). Hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah SAW dalam hadist riwayat Ibnu Abbas, yakni
“Berilah harta warisan anak khuntsa dari mana pertama lewat ia membuang
air kecilnya”.

2) Meneliti tanda-tanda kedewasaannya. Pada umumnya antara seorang laki-laki


dengan seorang perempuan terdapat tanda-tanda kedewasaan yang khas,
misalnya dari tumbuhnya jenggot, kumis, perubahan suara atau tumbuhnya
buah dadanya. Apabila tanda-tanda ini diketahui dengan jelas, maka khuntsa
tersebut digolongkan kepada jenis kelamin yang memiliki tanda-tanda khas
tersebut.

3) Seandainya apa yang diungkapkan dalam poin 1 dan 2 tidak dapat ditentukan
atau samar-samar, maka para ahli hukum Islam tidak ada kesepakatan
bagaimana cara untuk menentukannya, sehingga dalam hal ini lahir beberapa
pendapat dari berbagai mazhab:17

• Mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa khuntsa musykil mendapat harta


warisan yang kurang dari bagian yang seharusnya diberikan kepada ahli
waris laki-laki dan perempuan. Hal ini didasarkan pada khuntsa tersebut
dapat diduga sebagai laki-laki maupun perempuan. Maka bagian yang
paling sedikit di antara dua bagian tersebutlah yang akan diberikan

17
Suhrawardi K. Lubis Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hal 7
kepadanya.ۢPendapatۢiniۢjugaۢmerupakanۢsalahۢsatuۢpendapatۢImamۢSyafi’iۢ
rahimahullah dan pendapat kebanyakan sahabat Rasulullah saw.
• Mazhab Syafi’iyah berpendapat bahwa seluruh ahli waris termasuk
khuntsa musykil mendapat harta warisan kurang dari bagian yang
semestinya, karena bagian tersebutlah yang diyakini sebagai bagian
masing-masing ahli waris. Sisa harta warisan dibekukan atau tidak
dibagikan untuk sementara waktu hingga jelas keadaan khuntsa tersebut.

• Mazhab Malikiyah berpendapat bahwa khuntsa musykil diberi bagian


pertengahan dari dua bagian. Sehingga harus melalui perhitungan harta
warisan dalam dua tahap. Lalu kedua bagian itu disatukan dan dibagi dua.
Hasil itulah yang menjadi bagian khuntsa musykil.

I. Metode Perhitungan Pembagian Harta Warisan

Dalam perhitungan pembagian harta warisan diharapkan apa yang telah


ditentukan al-qur’an dapat dilaksanakan karena dalam praktek pelaksanaannya
sering dijumpai adanya kelebihan atau kekurangan harta apabila diselesaikan
menurut ketentuan yang ada dalam al-furud al-muqaddarah. Adapun metodenya
sebagai berikut :

a. Metode Usul Al-Masail dan Cara Penggunaannya

Kata usul al-masail adalah bentuk jamak dari asal al-masalah. Secara
sederhana dianalogikan dengan angka kelipatan persekutuan terkecil. langkah
pertama yang harus ditempuh di dalam merumuskan asal masalah dalam
pembagian warisan yaitu menyeleksi:

 Siapa ahli waris yang termasuk zawi al-arham


 Siapa ahli waris yang termasuk ashab al-furud
 Siapa ahli waris yang termasuk ashab al-‘asabah
 Siapa ahli waris yang mahjub
 Menetapkan bagian-bagian tertentu yang diterima oleh masing-masing
ashab al-furud

Kemudian yang kedua yaitu menetapkan angka asal masalah setelah


diketahui bagian masing-masing ahli waris (ashab al-furud al-muqaddarah)
adalah mencari akar kelipatan persekutuan terkecil yang dapat dibagi oleh
masing-masing angka penyebut dari bagian ahli waris yang ada. Maksud
pengambilan angka terkecil sebagai angka asal masalah yaitu untuk
memudahkan perhitungan , dengan perumusan angka asal masalah dapat
diketahui secara cepat apakah akan terjadi kelebihan atau kekurangan harta.

Angka asal masalahnya yang dapat dirumuskan hanya ada tujuh angka yaitu:

Angka 2 ( antara ½ dan ½ )

Angka 3 ( antara 1/3 dan 2/3 )

Angka 4 ( antara ½ dan ¼ )

Angka 6 ( antara ½, 1/3,dan 2/3 )

Angka 8 ( antara ½ dan 1/8 )

Angka 12 ( antara ½, 1/3, ¼,dan atau1/6 )

Angka 24 ( antara 1/3,1/6.1/8, dan atau 2/3 )

Ada beberapa isilah yang dapat membantu memudahkan dalam


perumusan angkasa masalah yaitu dengan cara memperhatikan angka
penyebut dari bagian diterima oleh ahli waris.

1) Tamasul atau mumasalah


yaitu apabila angka penyebut masing-masing bagian ahli waris sama
besarnya misalnya ahli waris terdiri dari dua saudara perempuan sekandung
dan dua saudara seibu.2 saudara perempuan sekandung menerima 2/3 bagian
dan dua saudara seibu menerima bagian 1/3. Dalam hal ini angka asal
masalahnya yaitu 3.
2) Tadakhul atau mudakhalah
yaitu apabila angkat penyebut masing-masing bagian ahli waris yang satu
kecil bisa masuk untuk membagi angka penyebut yang lain yang lebih besar.
Contoh seorang istri menerima bagian 1/8 dan anak perempuan menerima 1/2
maka angka asal masalahnya yaitu 8.
3) Tawafuq atau muwaqah
yaitu apabila angka penyebut pada bagian ahli waris tidak sama ,angka
penyebut yang kecil tidak bisa membagi angka penyebut yang besar tetapi
masing-masing angka penyebut yang ada dapat dibagi oleh angka yang sama.
Misalnya ahli waris terdiri dari istri yang menerima bagian 1/8, ibu menerima
1/ 6 dan anak perempuan ½ dua. Antara angka 8 dan 6 adalah angka
muwafaqah maka perumusan angka masalahnya yaitu 8×(6÷2)=24 atau
6×(8:2)= 24.
4) Tabayun atau mubayanah
yaitu apabila angka penyebut pada bagian yang diterima ahli waris
masing-masing tidak sama, angka penyebut yang kecil tidak dapat untuk
membagi angka penyebut yang besar, dan masing-masing angka penyebut
yang ada tidak dapat dibagi oleh satu angka yang sama, maka penetapan
angka asal masalahnya yaitu dengan mengalikan angka penyebut masing-
masing. Misalnya ahli waris yang terdiri dari suami dan ibu maka suami
menerima bagian ½ dan ibu 1/3 . Dalam hal ini angka masalahnya yaitu 6 .

Setelah diketahui cara menetapkan angka masalah. Berikut ini akan


dikemukakan cara penggunaan angka masalah dalam pembagian harta
warisan dalam sebuah contoh sebagai berikut:

Seseorang meninggal dunia harta warisan yang ditinggalkan sejumlah


Rp.36.000.000,- ahli warisnya terdiri dari : suami ,ibu, dan 2 saudara
seibu.Tentukan bagian masing-masing yang diterima !

Jawab:
Ahli Waris Bag Am 6 Harta Warisan Penerimaan
Suami 1/6 1 1/6×Rp.36.000.000,- Rp.6.000.000,-
Ibu ½ 3 3/6×RP.36.000.000,- Rp.18.000.000,-
2 Saudara 1/3 2 2/6×Rp.36.000.000,- Rp.12.000.000,-
seibu
Jumlah: Rp.36.000.000,-

Masing-masing saudara seibu mendapat bagian Rp.6.000.000,-

b. Metode Tashih Al-Masail dan Penggunaannya

Tashih Al- masail adalah mencari angka asal masalah yang terkecil agar
dapat dihasilkan bagian yang diterima ahli waris tidak berupa angka
pecahan18. Metode ini hanya dipergunakan apabila bagian yang diterima ahli
waris berupa angka pecahan .Langkah yang perlu diambil pada metode ini
sebagai berikut:

 Memperhatikan pecahan pada angka bagian-bagian yang diterima ahli waris


(yang terdapat dalam satu kelompok ahli waris).
 Memperhatikan pada angka bagian yang diterima ahli waris ,terdapat pada
lebih dari satu kelompok ahli waris.19

Selanjutnya untuk menetapkan angka tashih al-masail dapat ditempuh


dengan cara yaitu:

 Mengetahui jumlah person penerima warisan dalam satu kelompok ahli waris.
 Mengetahui bagian yang diterima kelompok tersebut.
 Mengalikan jumlah person dengan bagian yang diterima kelompoknya.

18
Hasanain Muhammad Makhluf, al-Mawaris fi al-Syari’at al-Islamiyah, Kairo:Lajnah al-Bayan al-
Arabiyah,tt,hlm.118.
19
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Bandung: al-Ma’arif,1981,hlm.448.
Misalnya seseorang meninggal dunia ahli warisnya terdiri dari: ibu, ayah ,2
anak laki-laki dan 2 anak perempuan. Tentukan bagian masing-masing yang
diterima !

Jawab:

Ahli Waris Bag AM 6 Tashih al-Masail 6×3= 18 Penerimaan


Ibu 1/6 1 1×3 3
Ayah 1/6 1 1× 3 3
2 anak laki-laki ‘as 4 4/6×12 8
2 anak perempuan ‘as 2 2/6×12 4

c. Perhitungan Pembagian Warisan Apabila Ahli Waris Terdiri dari


Ashab Al- furud dan ‘Asabah

Langkah-langkah yang perlu diperhatikan yaitu:

1) Menetapkan berapa bagian masing-masing ashab al-furud . (Dalam hal ini


dilakukan seleksi mana ahli waris yang mahjub)
2) Menetapkan ahli waris ashab al- asabah yang lebih dahulu berhak menerima
bagian sisa dengan ketentuan:
 Jika masing-masing ahli waris sebagai ‘asabah binafsih maka ahli waris
yang terdekat lah yang menerima bagian sisa.
 Jika ada ahli waris yang menerima ‘ۢ asabah bi al-ghair maka mereka
bergabung menerima ‘asabah seperti anak perempuan bergabung dengan
anak laki-laki.
 Jika ada ahli waris yang menerima ‘asabah ma’a al-ghair berarti terjadi
perubahan yang semula ashab al-furud menjadi penerima ‘asabah tetapi
ahli waris penyebab( mu’assib) tetap menerima bagiannya semula.
3) Hal lain yang perlu diperhatikan adalah terkadang ahli waris ‘asabah
menerima bagian besar , terkadang menerima sedikit dan tidak jarang mereka
tidak mendapat bagian sama sekali karena harta warisan telah habis dibagikan
kepada ashab al-furud . ini sebagai konsekuensi dari hak mereka yang
menerima bagian sisa.

Di bawah ini dikemukakan contohnya sebagai berikut:

Seseorang meninggal dunia , ahli warisnya terdiri dari: istri, ibu, bapak, dan
anak laki-laki. Harta warisannya sejumlah Rp.48.000.000,-.Tentukan bagian
yang di terima masing-masig!

Jawab:

Ahli Waris Bag AM 24 Harta Warisan Penerimaan


Istri 1/8 3 3/24×Rp.48.000.000 Rp.6.000.000,-
Ibu 1/6 4 4/24×Rp.48.000.000 Rp.8.000.000,-
Bapak 1/6 4 4/24×Rp.48.000.000 Rp.8.000.000,-
Anak laki-laki ‘as 13 13/24×RP.48.000.000 Rp.26.000.000,-
Jumlah:Rp.48.000.000,-

d. Penyelesaian Pembagian Warisan Apabila Ahli Warisnya Hanya Terdiri


Dari Ashab Al-Furud ( Penyelesaian Dengan Cara ‘Aul dan Radd)

Apabila dalam suatu kasus pembagian warisan , ahli warisnya hanya


terdiri dari ashab al-furud saja, ada tiga kemungkinan yang terjadi yaitu:

1. Kekurangan harta yaitu apabila ahli waris banyak dalam furud al-
muqaddarah dilaksanakan apa adanya sehingga cara penyelesaiannya
adalah bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris dikurangi
secara proporsional menurut besar kecilnya bagian yang mereka terima.
ini yang disebut dengan Aul.
2. Terjadi kelebihan harta karena ahli waris ashab al -furud hanya sedikit
dan bagian penerimaanya juga sedikit ,maka kelebihan harta warisan ini
dikembalikan kepada ahli waris. Sebagian pendapat menghendaki agar
sisa harta yang ada diserahkan kepada bait al-mal. Pendapat yang lain
mengatakan sisa harta dikembalikan kepada ahli waris tetapi khusus ahli
waris selain suami atau istri yakni ahli waris nasabiyah yang memiliki
hubungan darah dengan yang meninggal.Pengembalian hal tersebut
dinamakan radd.
3. Bagian yang diterima ahli waris tepat persis dengan harta warisan yang
dibagi, jika terjadi pembagian warisan seperti ini disebut dengan masalah
adilah yang tidak menimbulkan persoalan Oleh karena itu, uraiannya
akan difokuskan pada masalah aul dan radd.
a) Masalah ‘Aul

Secara harfiah ‘aul artinya bertambah. Dikatakan ‘aul karena dalam


praktik pembagian warisan angka asal masalah harus ditingkatkan sebesar
angka bagian yang diterima oleh ahli waris yang ada. langkah ini diambil
karena pembagian warisan diselesaikan dengan ketentuan baku maka akan
terjadi kekurangan harta.

Dibawah ini akan dijelaskan contohnya yaitu

Seseorang meninggal dunia, harta warisannya sebesar Rp.60.000.000,-. Ahli


warisnya tediri dari: Istri,ibu,2 saudara perempuan sekandung dan saudara
seibu. Tentukan bagian masing-masing yang diterma!

Jawab:

 Jika diselesaikan apa adanya, maka diperoleh sebagai berikut:

Ahli Waris Bag AM 12 Harta Warisan Penerimaan


Istri ¼ 3 3/12×Rp.60.000.000,- Rp.15.000.000,-
Ibu 1/6 2 2/12×Rp.60.000.000,- Rp.10.000.000,-
2 saudara pr.skd 2/3 8 8/12×Rp.60.000.000,- Rp.40.000.000,-
Saudara seibu 1/6 2 2/12×RP.60.000.000,- Rp.10.000.000,-
Jumlah: Rp.75.000.000,-

Hasilnya terjadi kekurangan harta sebesar Rp.15.000.000,-


 Apabila diselesaikanۢdenganۢcara’aulۢۢmakaۢdiperoleh sebagai berikut:

Ahli Waris Bag AM 12-15 Harta Warisan Penerimaan


Istri ¼ 3 3/15×Rp.60.000.000,- Rp.12.000.000,-
Ibu 1/6 2 2/15×Rp.60.000.000,- Rp.8.000.000,-
2 saudara pr.skd 2/3 8 8/15×Rp.60.000.000,- Rp.32.000.000,-
Saudara seibu 1/6 2 2/15×RP.60.000.000,- Rp.8.000.000,-
Jumlah:Rp.60.000.000,-

Angkaۢasalۢmasalahۢdi’aulkanۢdariۢ12ۢmenjadiۢ15ۢkarenaۢbilaۢtidakۢdi’aulkanۢ
akan terjadi kekurangan harta.

b) Masalah Radd

Secara harfiah artinya mengembalikan .Masalah ini terjadi apabila dalam


pembagian warisan terdapat kelebihan harta setelah ahli waris ashab al- furud
memperoleh bagiannya. Cara ini ditempuh bertujuan untuk mengembalikan
sisa harta kepada ahli waris yang ada dengan seimbang sesuai dengan bagian
yang diterima secara profesional. Caranya yaitu mengurangi angka asal
masalah sehingga besarnya sama dengan jumlah bagian yang diterima oleh
waris. Apabila tidak ditempuh cara ini akan menimbulkan persoalan siapa
yang berhak menerima kelebihan harta sementara tidak ada ahli waris yang
menerima ‘asabah.

Untuk lebih jelasnya akan diberikan contoh sebagai berikut:

Seseorang meninggal dunia, ahli warisnya terdiri dari: anak perempuan


dan ibu. Harta warisannya sebesar Rp.12.000.000,-.Tentukan bagian masing-
masing yang diterima!

Jawab:

 Jika tidak ditempuh cara radd, maka diperoleh sebagai berikut:

Ahli Waris Bag AM 6 Harta Warisan Penerimaan


Anak perempuan ½ 3 Rp.3/6×Rp.12.000.000,- Rp.6.000.000,-
Ibu 1/6 1 Rp.1/6×Rp.12.000.000,- Rp.2.000.000,-
Jumlah:Rp.8.000.000,-

Terdapat sisa harta sebesar Rp.4.000.000,-

 Jika diselesaikan dengan cara Radd, maka diperoleh sebagai berikut:

Ahli Waris Bag AM 6-4 Harta Warisan Penerimaan


Anak perempuan ½ 3 Rp.3/4 ×Rp.12.000.000,- Rp.9.000.000,-
Ibu 1/6 1 Rp.1/4 ×Rp.12.000.000,- Rp.3.000.000,-
Jumlah: Rp.12.000.000,-

Anak perempuan yang semula menerima Rp.6.000.000,- berubah mendapat


Rp.9.000.000,- dan ibu yang semula mendapat Rp. Rp.2.000.000,- menjadi
Rp.3.000.000,-.

Anda mungkin juga menyukai