Anda di halaman 1dari 9

1

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam islam semua hal yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan
tuhannya (ibadah), manusia dengan sesamanya (muamalat) sudah diatur dengan
baik, sehingga ketika semua itu diamalkan akan mendatangkan kedamaian dan
ketentraman dalam kehidupan sehari-harinya.
Banyak hal yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, dan semua itu telah
masuk dalam aturan-aturan dalam agama, baik masalah dunia dan akhirat. Ketika
manusia hidup, disana ada jual beli, hibah, shodaqah dsb. Dan ketika ia meninggal
disana ada pembagian waris kepada para ahli warisnya.
Dalam masalah waris, pembagian-pembagiannya telah diatur dengan baik,
berikut mereka yang berhak menerima warisan (ahli waris). Semua ahli waris
yang telah ada ketentuannya dalam agama akan mendapatkan bagian sesuai
dengan takaran yang telah ditentukan.
Akan tetapi, dalam masalah waris, ada beberapa syarat yang harus
terpenuhi agar ahli waris bisa mendapatkan bagian dari harta warisan tersebut.
Misalnya, antara pewaris dan ahli waris tidak berbeda agama, ahli waris bukanlah
orang yang menyebabkan kematian (baca: membunuh) pewaris.
Dengan demikian, ketika antara pewaris dan ahli waris berbeda agama,
maka ahli waris tersebut tidak bisa mendapatkan harta warisan pewaris, begitu
pula ketika kematian pewaris disebabkan pembunuhan yang dilakukan oleh ahli
waris.
Dalam makalah ini, kami ingin mencoba mengurai beberapa pendapat
ulama tentang tercegahnya ahli waris mendapatkan harta warisan dari perwaris
yang dibunuhnya.
2

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Macam Pembunuhan


Dalam konsep islam, pembunuhan dibagi pada tiga bagian, yaitu:

1. Pembunuhan Sengaja (Qatlu al-‘Amdi), yaitu pembunuhan yang


dilakukan oleh seseorang dengan adanya niat membunuh dengan
sesuatu atau perbuatan yang biasanya bisa menghilangkan nyawa.
2. Pembunuhan Tidak Sengaja (Qatlu Ghairu al-‘Amdi), yaitu
pembunuhan yang terjadi dengan tanpa adanya unsur kesengajaan,
misalnya berniat mau menembak kijang, ternyata salah sasaran dan
mengenai orang.
3. Pembunuhan Menyerupai Sengaja (Qotlu Syibhu al-‘Amdi),
pembunuhan yang terjadi dengan tanpa adanya niat membunuh tapi
hal tersebut memang sengaja dilakukan dengan sesuatu atau
perbuatan yang biasa tidak menyebabkan kematian. Misalnya
sengaja melempar dengan menggunakan kerikil kecil namun
ternyata yang dilempar meninggal dunia karena lemparan kerikil
tadi. Atau misalnya ketika bertemu seseorang, lalu menepuk
punggungnya dengan biasa saja namun ternyata yang ditepuk tadi
meninggal dunia pula.

B.     Waris Tercegah Karena Pembunuhan


Para ulama madzhab sepakat bahwa, pembunuhan yang sengaja dan tidak
memiliki alasan yang benar mengakibatkan pelakunya terhalang menerima waris.
Ini didasarkan atas hadits Nabi Saw yang berbunyi :

ِ ‫ْس لِ ْلقَاتِ ِل ِمنَ ْال ِمي َْرا‬


‫ ْي ٌئ‬1 ‫ث َش‬ َ ِ‫ب ع َْن أَبِ ْي ِه ع َْن َج ِّد ِه قا َ َل قا َ َل َرسُوْ ُل هللا‬
َ ‫صلَّى هللاِ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم لَي‬ ٍ ‫َوع َْن ُع َم َر اب ِْن ُش َع ْي‬
)‫(رواه النسائي والدار قطني وقواه ابن عبد البر‬
3

Diriwatkan dari Amr bin Syu'aib, dari ayahnya dari kakeknya, bahwasanya Nabi
Saw bersabda, "Tidak ada waris sedikitpun bagi pembunuh." (HR An-Nasai dan
Daruqathni, yang dikuatkan juga oleh Ibnu Abdil Bar)1[1].

Dan juga :

‫اث لِ ْلقاَتِ ِل‬


َ ‫الَ ِم ْي َر‬
"Tidak ada hak waris bagi pembunuh."2[2]

Lebih dari itu, hal ini menjadi alasan gugurnya hak waris kepada pembunuh
karena mengindikasikan bahwa dia ingin cepat memperoleh warisan. Maka
terhadapnya diperlakukan yang sebaliknya. Terhadap yang selain itu, para ulama
madzhab berbeda pendapat.
Imam Jakfar As-Shodiq (Imamiyah) mengatakan: "Barang siapa yang
membunuh kerabatnya sebagai qisash, atau untuk mempertahankan diri, atau
karena perintah hakim yang adil dan alasan-alasan lain yang dibenarkan syara',
maka pembunuhan seperti ini tidak menghalanginya untuk memperoleh waris.
Demikian pula halnya dengan pembunuhan yang tidak sengaja.
Oleh karena itu, kesengajaan anak kecil dan orang gila dihukumi sama dengan
kekeliruan (ketidaksengajaan), sebagaimana halnya bahwa kekeliruan itu
mencakup semi sengaja (syibhul 'amd). Contoh untuk perbuatan semi sengaja
adalah seorang ayah yang memukul anaknya dengan maksud memberi pelajaran,
tapi tiba-tiba anak tersebut mati akibat pukulan tadi. Beberapa sebab yang bisa
mengakibatkan orang mengalami kecelakan seperti menggali sumur (lubang
besar) dijalan, lalu kerabat si penggali terperosok kedalam sumur itu dan mati,
maka orang yang menggali tersebut bisa mewarisi kerabatnya yang mati itu,
sekalipun dia wajib membayar ganti rugi dan diyat. Berdasarkan hal itu, maka
tidak ada halangan bagi mempertemukan (keharusan) membayar diyat dengan hak
untuk menerima warisan

1[1] Hafidz Bin Hajar Al-Asqalani, Bulughul Marom Min Adillatil Ahkam, Al-Miftah,
Surabaya:-, hal:207

2[2] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, Lentera, Jakarta:2008, hal:547
4

C.    Pendapat Ulama’ Madzhab


Tentang hal tersebut diatas, masing-masing imam dikalangan Madzhab Empat
(madzahibul arba'ah) mempunyai pendapat sendiri-sendiri.
 Imam Malik memiliki pendapat yang sama dengan Imamiyah
 Imam Syafi'i berpendapat bahwa pembunuhan tidak sengaja, akan
menghalangi hak atas waris, persis dengan pembunuhan sengaja.
Demikian pula halnya manakala pembunuhannya seorang anak kecil atau
orang gila.
 Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, pembunuhan yang menghalangi
hak memperoleh warisan adalah pembunuhan yang mmengakibatkan
adanya hukum, sekalipun dalam bentuk harta. Dengan demikian , tidak
termasuk pembunuhan yang dilakukan karena kebenaran, maka orang
yang membunuh seseorang sebagai qisash, untuk membela diri atau atas
perintah hakim yang adil terhadap seorang pemberontak dalam perang,
menerima waris dari orang yang dibunuhnya itu.
 Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pembunuhan yang menyebabkan
terhalangnya hak atas waris adalah pembunuhan yang mengakibatkan
adanya qisash, diyat atau kaffarat, termasuk didalamnya pembunuhan
tidak sengaja. Tidak termasuk didalamnya kematian yang diakibatkan oleh
perbuatannya secara langsung (seperti menggali lubang) dan yang
dilakukan oleh orang gila dan anak kecil3[3].

Macam-Macam Pembunuhan

Setelah para fuqaha’ sepakat dalam menetapkan pembunuhan adalah


penghalang menerima hak waris dari orang yang dibunuh. Kemudian
mereka memperselisihkan macam pembunuhan yang menjadi penghalang
dalam mewarisi dan menerima harta warisan.
Menurut ulama-ulama Hanafiyyah :

Pembunuhan yang menjadi penghalang memperoleh


َ harta warisan
ada dua macam, yaitu (a) Pembunuhan yang bersanksi qishas, yaitu

3[3] Ibid, hal:547-548.


5

pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja dan menggunakan alat-alat


yang dapat menghancurkan anggota badan, seperti kayu runcing, besi dan
pistol (b) Pembunuhan yang bersanksi kafarah, yaitu pembunuhan yang
dituntut untuk menebus kelalaiannya dengan membebaskan seorang budak
wanita Islam atau menjalankan puasa dua bulan berturut-turut.
Pembunuhan yang bersanksi kafarah memiliki tiga tipe, yaitu (1)
Pembunuhan mirip sengaja atau syibh al-’amdi, yaitu kesengajaan seseorang
memukul orang lain dengan alat-alat yang tidak meyakinkan dapat
menghabisi nyawa seseorang, seperti kayu kecil atau ranting pohon, tetapi
mengakibatkan kematian (2) Pembunuhan silap (qatl al-khatha’i), yaitu
pembunuhan yang dikarenakan silap dan kesilapan dalam kasus ini ada dua
jenis, yaitu (a) Silap maksud, misalnya seseorang melepaskan tembakan
kepada bayang-bayang yang disangkanya seekor binatang yang ternyata
adalah manusia (b) Silap tindakan, misalnya seseorang memanjat pohon
untuk membersihkan dahan-dahan, tetapi sabit yang digunakan jatuh dan
mengenai bapaknya yang berada di bawah pohon hingga meninggal.
Pembunuhan dianggap silap, misalnya seseorang yang sedang tidur nyenyak
di atas tempat yang

tinggi, kemudian tempatnya roboh dan mengenai orang yang berada di


bawahnya hingga membawa kematian.
Sedangkan pembunuhan yang tidak menjadi penghalang dalam
memperoleh harta warisan menurut Hanafiah ada empat macam, yaitu (1)
Pembunuhan tidak langsung, misalnya seseorang menggali lubang di tengah
jalan yang bukan miliknya, kemudian keluarganya melewati jalan tersebut
dan terperosok ke dalam lubang hingga mengkibatkan kematian (2)
Pembunuhan karena hak, yaitu pembunuhan yang dilakukan untuk qishas
atau pembelaan diri dan kehormatan (3) Pembunuhan yang dilakukan oleh
orang yang tidak cakap bertindak, yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh
anak yang belum dewasa, orang gila atau orang sinting (4) Pembunuhan
karena ‘udzur, misalnya seseorang menyergap istrinya yang diketahui
berbuat zina dengan orang lain, hingga membawa kematian.
6

Menurut fuqaha’ Malikiyah :

Menurut ulama Malikiyah, pembunuhan yang menjadi penghalang


seseorang untuk menerima harta warisan dari orang yang dibunuhnya adalah
pembunuhan sengaja lagi permusuhan, baik secara langsung, seperti
memukuli orang dengan sengaja dan menggunakan benda tajam maupun
tidak langsung, seperti memberikan makanan yang beracun. Dengan
demikian, pembunuhan yang menjadi penghalang dalam memperoleh harta
warisan menurut Imam Malik tidak berbeda jauh dengan yang dikatakan
oleh Imam Hanafi, yaitu pembunuhan sengaja, pembunuhan mirip sengaja
dan pembunuhan tidak langsung. Sedangkan pembunuhan yang tidak
menjadi penghalang dalam mewarisi menurut Malikiyah adalah
pembunuhan silap, pembunuhan yang dilakukan oleh orang yang tidak
cakap bertindak, pembunuhan yang bukan permusuhan (karena hak) dan
pembunuhan karena ‘udzur.

Menurut ulama Syafi’iyyah, pembunuhan adalah :


Menurut madzhab Syafi’i, pembunuhan dengan segala cara dan
macamnya tetap menjadi penggugur hak waris, sekalipun hanya
memberikan kesaksian palsu dalam pelaksanaan hukuman rajam atau
bahkan hanya membenarkan kesaksian para saksi lain dalam pelaksanaan
qishas atau hukuman mati pada umumnya. Hal ini dikarenakan para ulama
Syafi’iyah berpegang teguh kepada keumuman hadits Nabi SAW dan
pendapat sahabat Umar ra.

Menurut fuqaha’ aliran Hanbaliyah


Menurut ulama Hanbaliyah, pembunuhan yang menghalangi seseorang
menerima harta warisan adalah pembunuhan yang dibebani sanksi qishas,
kafarah, diyah dan ganti rugi, seperti pembunuhan dengan sengaja,
pembunuhan mirip sengaja, pembunuhan dianggap silap, pembunuhan
karena silap, pembunuhan tidak langsung dan pembunuhan yang dilakukan
oleh orang yang tidak cakap bertindak. Sedangkan pembunuhan yang tidak
7

menjadi penghalang dalam menerima harta warisan adalah pembunuhan


yang tidak dibebani sanksi-sanksi tersebut, seperti untuk melaksanakan
hadd atau qishas dan karena udzur.

Menurut ulama Hanbaliyah, pembunuhan yang menghalangi


seseorang menerima harta warisan adalah pembunuhan yang dibebani sanksi
qishas, kafarah, diyah dan ganti rugi, seperti pembunuhan dengan sengaja,
pembunuhan mirip sengaja, pembunuhan dianggap silap, pembunuhan
karena silap, pembunuhan tidak langsung dan pembunuhan yang dilakukan
oleh orang yang tidak cakap bertindak. Sedangkan pembunuhan yang tidak
menjadi penghalang dalam menerima harta warisan adalah pembunuhan
yang tidak dibebani sanksi-sanksi tersebut, seperti untuk melaksanakan
hadd atau qishas dan karena udzur.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut :

Macam-macam pembunuhan yang menjadi dan tidak menjadi


penghalang dalam menerima harta warisan menurut para fuqaha’
Hanafiyah Malikiyah Syafi’iyah Hanbaliyah
Pembunuhan Pembunuhan Semua Pembunuhan
dengan sengaja dengan sengaja macam dengan sengaja
Pembunuhan Pembunuhan pembunuhan Pembunuhan
mirip sengaja mirip sengaja secara mutlak mirip sengaja
Pembunuhan Pembunuhan tak menjadi Pembunuhan
karena silap langsung penghalang karena silap
Pembunuhan mewarisi Pembunuhan
dianggap silap dianggap silap
Pembunuhan tak
langsung
Pembunuhan yang
dilakukan ghairu
mukallaf
8

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Mawani’ al-irtsi adalah hal-hal yang bisa menghalangi seseorang untuk


mendapatkan haknya sebagai pihak yang akan mewarisi, padahal sudah ada
sebab pihak-pihak yang akan mewariskan, seperti hubungan kerabat,
hubungan pernikahan atau wala’.
2. Ada tiga penyebab mawani’ al-irtsi yang disepakati ulama, yaitu
pembunuhan, perbedaan agama dan budak (hamba sahaya). Semua ini
berdasarkan kepada beberapa hadis dari Nabi SAW adalah firman Allah
SWT. Perbudakan sekarang sudah tidak relevan lagi dipakai.
Penghalang mewaris dalam pandangan KHI disebutkan dalam pasal 173,
yaitu membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris;
atau dipersalahkan secara sah memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa
pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman lima
tahun penjara atau hukuman yang lebih berat
Dari uraian pada pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa
pembunuhan bisa menyebabkan gugurnya hak waris karena ada indikasi ahli
waris tersebut ingin cepat-cepat mendapatkan warisan, sehingga sebagai
hukuman, disamping dia dikenakan hukuman karena pembunuhan, dia juga tidak
mendapatkan hak waris dari pewaris yang mana ini adalah hukum kebalikan dari
tujuan pembunuhan yang terjadi tersebut.
9

DAFTAR PUSTAKA

Hafidz Bin Hajar Al-Asqalani, Bulughul Marom Min Adillatil Ahkam, Al-
Miftah, Surabaya
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, Lentera, Jakarta:2008
Rasyid, Sulaiman, 1990, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru.
Saleh ibn ‘Abdul ‘Aziz ibn Muhammad Al Syeikh, Al Qur’an dan
Terjemahnya, Mujamma’ Al Malik Fahd Li Thiba’at Al Mush-haf Asy-Syarif,
Medinah Munawaroh, Saudi Arabia, 1422H.

Anda mungkin juga menyukai