BAB I
PENDAHULUAN
Dalam islam semua hal yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan
tuhannya (ibadah), manusia dengan sesamanya (muamalat) sudah diatur dengan
baik, sehingga ketika semua itu diamalkan akan mendatangkan kedamaian dan
ketentraman dalam kehidupan sehari-harinya.
Banyak hal yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, dan semua itu telah
masuk dalam aturan-aturan dalam agama, baik masalah dunia dan akhirat. Ketika
manusia hidup, disana ada jual beli, hibah, shodaqah dsb. Dan ketika ia meninggal
disana ada pembagian waris kepada para ahli warisnya.
Dalam masalah waris, pembagian-pembagiannya telah diatur dengan baik,
berikut mereka yang berhak menerima warisan (ahli waris). Semua ahli waris
yang telah ada ketentuannya dalam agama akan mendapatkan bagian sesuai
dengan takaran yang telah ditentukan.
Akan tetapi, dalam masalah waris, ada beberapa syarat yang harus
terpenuhi agar ahli waris bisa mendapatkan bagian dari harta warisan tersebut.
Misalnya, antara pewaris dan ahli waris tidak berbeda agama, ahli waris bukanlah
orang yang menyebabkan kematian (baca: membunuh) pewaris.
Dengan demikian, ketika antara pewaris dan ahli waris berbeda agama,
maka ahli waris tersebut tidak bisa mendapatkan harta warisan pewaris, begitu
pula ketika kematian pewaris disebabkan pembunuhan yang dilakukan oleh ahli
waris.
Dalam makalah ini, kami ingin mencoba mengurai beberapa pendapat
ulama tentang tercegahnya ahli waris mendapatkan harta warisan dari perwaris
yang dibunuhnya.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Diriwatkan dari Amr bin Syu'aib, dari ayahnya dari kakeknya, bahwasanya Nabi
Saw bersabda, "Tidak ada waris sedikitpun bagi pembunuh." (HR An-Nasai dan
Daruqathni, yang dikuatkan juga oleh Ibnu Abdil Bar)1[1].
Dan juga :
Lebih dari itu, hal ini menjadi alasan gugurnya hak waris kepada pembunuh
karena mengindikasikan bahwa dia ingin cepat memperoleh warisan. Maka
terhadapnya diperlakukan yang sebaliknya. Terhadap yang selain itu, para ulama
madzhab berbeda pendapat.
Imam Jakfar As-Shodiq (Imamiyah) mengatakan: "Barang siapa yang
membunuh kerabatnya sebagai qisash, atau untuk mempertahankan diri, atau
karena perintah hakim yang adil dan alasan-alasan lain yang dibenarkan syara',
maka pembunuhan seperti ini tidak menghalanginya untuk memperoleh waris.
Demikian pula halnya dengan pembunuhan yang tidak sengaja.
Oleh karena itu, kesengajaan anak kecil dan orang gila dihukumi sama dengan
kekeliruan (ketidaksengajaan), sebagaimana halnya bahwa kekeliruan itu
mencakup semi sengaja (syibhul 'amd). Contoh untuk perbuatan semi sengaja
adalah seorang ayah yang memukul anaknya dengan maksud memberi pelajaran,
tapi tiba-tiba anak tersebut mati akibat pukulan tadi. Beberapa sebab yang bisa
mengakibatkan orang mengalami kecelakan seperti menggali sumur (lubang
besar) dijalan, lalu kerabat si penggali terperosok kedalam sumur itu dan mati,
maka orang yang menggali tersebut bisa mewarisi kerabatnya yang mati itu,
sekalipun dia wajib membayar ganti rugi dan diyat. Berdasarkan hal itu, maka
tidak ada halangan bagi mempertemukan (keharusan) membayar diyat dengan hak
untuk menerima warisan
1[1] Hafidz Bin Hajar Al-Asqalani, Bulughul Marom Min Adillatil Ahkam, Al-Miftah,
Surabaya:-, hal:207
2[2] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, Lentera, Jakarta:2008, hal:547
4
Macam-Macam Pembunuhan
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Hafidz Bin Hajar Al-Asqalani, Bulughul Marom Min Adillatil Ahkam, Al-
Miftah, Surabaya
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, Lentera, Jakarta:2008
Rasyid, Sulaiman, 1990, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru.
Saleh ibn ‘Abdul ‘Aziz ibn Muhammad Al Syeikh, Al Qur’an dan
Terjemahnya, Mujamma’ Al Malik Fahd Li Thiba’at Al Mush-haf Asy-Syarif,
Medinah Munawaroh, Saudi Arabia, 1422H.