Anda di halaman 1dari 18

Al-NASIKH WA A-LMANSUKH

DI SUSUN
OLEH:
NAMA: ISMAIL, S.KOM
NIM: 28162554-2
Dosen Pembimbing : Nurdin Bakrie, MA, Dr
Mahasiswa Pascasarjana
Jurusan Konsentrasi: Komunikasi dan Penyiran Islam

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM, BANDA ACEH
2016

KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil alamin nahmadhuhu wanastaghfiruh wa
audzubika min syururi anfushina wamin sayiati amalina
maiyahdihillah falamudhilalah waamiyudlil fala hadiyalah. Dengan
berbagai referensi dan pengkajian akhirnya penulis bisa
menyelesaikan makalah tentan Nasakh wa Mansukh yang boleh
dikatakan jauh dari sempurna namun sederhana.

Tanggal, 1 oktober 2016

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara umum Hukum dibuat untuk kemaslahatan manusia. Maka dalam
pembentukan kemaslahatan manusia tidak dapat dielakkan, adanya Nasikh Mansukh
terhadap beberapa hukum terdahulu dan diganti dengan hukum yang sesuai dengan
tuntutan realitas Zaman, waktu, dan kemaslahatan manusia. Proses serupa ini, disebut
dengan nasikh mansukh.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa nasikh mansukh terjadi karena Alquran

diturunkan

secara

berangsur-angsur

sesuai

dengan

peristiwa

yang

mengiringinya. Oleh karena itu untuk mengetahui Al-Quran dengan baik harus
mengetahui ilmu nasikh mansukh dalam Al-quran.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
2.
3.
4.

Apa pengertian Nasakh dan Mansukh?


Ada berapa Jenis / macam Nasakh itu?
Mengetahui apa sahaja hukum dari nasakh itu sendiri?
Ada berapa jumlah ayat yang dimansukh dalam Al-Qurran?

C. TUJUAN
1.
2.
3.
4.

Mengetahui pengertian nasakh dan mansukh


Mengetahui macam macam nasakh
Memahami hokum dari nasakh
Mengetahui jumlah ayat yg dinasakh dalam Al- Qurran

D. MANFAAT
1. Menambah pengetahuan tentang illmu Alqurran
2. Memahami hokum yang ditetapkan dan mengantikan hokum sebelumnya
3. Paham akan apa dan mengapa suatu hokum di ganti dengan hokum yang lain
dalam syariat.
BAB 2
PEMBAHASAN

A. Pengertian Nasakh dan Mansukh


Nasikh secara bahasa artinya: menghilangkan; menghapuskan; memindahkan;
menulis. Adapun secara istilah, maka ada dua macam: Pertama. Naskh menurut
istilah para ulama ushul fiqih Muta-akhirin. Mereka memiliki tarif yang berbedabeda. Al-Baidhowi rahimahullah (wafat th 685 H) mendefinisikan dengan : Naskh
adalah penjelasan berhentinya hukum syariat dengan jalan syari yang datang
setelahnya. 1
Kedua : Nasikh menurut istilah Salafush Sholih Mutaqoddimin. Istilah naskh
yang ada pada mereka lebih luas daripada definisi para ulama ushul Mutaakhirin.
Hudzaifah Radhiyallahu anhu berkata: Yang memberi fatwa kepada manusia
hanyalah tiga orang: Orang yang mengetahui yang mansukh dari Al-Quran; atau
amir (pemimpin) yang harus (berfatwa); atau orang dungu yang memaksakan diri. 2
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata mengomentari perkataan di atas:
Yang dimaksudkan oleh beliau (Hudzaifah) dan yang dimaksudkan oleh kebanyakan
Salaf dengan (istilah) naasikh dan mansukh terkadang adalah: menghapuskan hukum
sekaligus, dan ini merupakan istilah muta-akhirin, dan terkadang adalah: menghapus
penunjukkan dalil am,

mutlaq,

zhahir,5 dan lainnya, kemungkinan dengan

takhshish (pengkhususan), taqyiid (penentuan), atau membawa yang muthlaq kepada


muqayyad (yang ditentukan), dan tafsir (penjelasan) serta tanbiih (mengingatkan).
1 Lihat: Al-Minhaj Bi Syarhil Ibhaaj 2/247; dinukil dari Araul Mutazilah Al-Ushuliyyah, hal: 412-413, Syeikh
Dr. Ali bin Said bin Shalih Adh-Dhuweihi

2 [Ilamul Muwaqqiin 1/36, Darul Hadits, Kairo, th: 1422 H / 2002 M


3 Am adalah: lafazh yang meliputi seluruh apa yang pantas baginya sekaligus dan sesuai dengan bentuknya
dengan tanpa pembatasan. Lihat: Taisirul Ushul, hal: 95, Syaikh Hafizh Tsanaullah Az-Zahidi, cet: 1, th: 1410 H

4 Muthlaq adalah: lafazh yang mengenai satu yang tidak tertentu dalam
kedudukan hakekat yang mencakup terhadap jenisnya. Lihat: Taisirul
Ushul, hal: 90

Sehingga mereka (Salaf) menamakan istitsna (pengecualian), syarath, dan sifat


dengan naskh, karena hal itu menghapus penunjukkan zhahir dan menjelaskan yang
dimaksudkan. Maka naskh, menurut mereka (Salaf) dan bahasa mereka adalah:
menjelaskan yang dimaksudkan dengan bukan lafazh itu, tetapi dengan perkara yang
di luarnya.
Barangsiapa memperhatikan perkataan mereka, akan melihat padanya dari
hal itu apa-apa yang tidak dapat dihitung, dan dengan sebab itu akan hilang darinya
kesulitan-kesulitan yang diakibatkan karena membawa perkataan mereka pada istilah
baru yang akhir. Nasikh artinya : yang menghapuskan, yaitu dalil Al-Kitab atau AsSunnah yang menghapuskan hukum dalil syari atau lafazhnya. Pada hakekatnya
naasikh (yang menghapuskan) adalah Allah Azza wa Jalla.
Mansukh artinya : yang dihapuskan, yaitu hukum dalil syari atau lafazhnya
yang dihapuskan. Penunjukkan Adanya Naskh Dalam Syariat Perlu diketahui bahwa
adanya naskh dalam syariat atau adanya ayat Al-Quran yang mansukh (dihapus
hukumnya/lafazhnya) oleh ayat lain ditunjukkan oleh dalil naql (ayat/hadits), dalil
akal, dan ijma.
Dalil Naql
Firman Allah Azza wa Jalla.


..
Apa saja ayat yang kami nasakhkan (hapuskan) [Al Baqarah:106]
Makna kata ayat di dalam firman Allah ini adalah ayat Al-Quran,
sebagaimana penafsiran Salafush Sholih yang kami ketahui. Seperti riwayat dari Ibnu
5 Zhahir adalah: lafazh yang mengandung dua makna atau lebih, namun lebih nampak pada salah satunya,
mungkin dari sisi syara atau bahasa atau urf (kebiasaan). Lihat: Taisirul Ushul, hal: 32

Abbas, Mujahid, sahabat-sahabat Ibnu Masud, Abul Aliyah, Muhammad bin Kab
Al-Qurodhi, Adh-Dhahhak, Atho, As-Suddi, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir, dan Ibnu
Katsir [Lihat Taffsir Ibnu Katsir, surat Al-Baqarah: 106]
Adapun manafsirkan kata ayat pada firman Allah di atas dengan mujizat,
sebagaimana dalam Tafsir Quran Al-Furqan, karya A.Hassan rahimahullah, maka
kami khawatir itu merupakan tafsir bidah. Walaupun secara bahasa dibenarkan,
namun bertentangan dengan ijma ahli tafsir sebagaimana di atas. Wallohu alam.
Firman Allah Azza wa Jalla.


...
Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain. [An Nahl:101]
Demikian juga ayat ini juga nyata menunjukkan adanya ayat Al-Quran yang
nasikh dan mansukh, bukan hanya nasikh saja! Ayat yang Alloh jadikan pengganti
adalah naasikh, ayat yangdigantikan adalah ayat mansukh. Dan ini sangat jelas,
sebagaimana kita lihat. Adapun sebagian dari contoh-contoh ayat mansukh akan kami
sampaikan di bawah insya Alloh. Lebih luas dapat dilihat dalam kitab-kitab ushul
fiqih.
Dalil Akal.
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata: Naskh
boleh terjadi menurut akal dan nyata terjadi menurut syariat. Adapun bolehnya
terjadi menurut akal, karena segala perkara di tangan Allah, segala hukum
(keputusan) miliknya, karena Dia adalah Ar-Rabb (Sang Penguasa) Al-Maalik (Sang
Pemilik).
Maka Dia berhak mensyariatkan bagi hamba-hambanya apa yang dituntut
oleh hikmahNya dan rahmatNya. Apakah akal menolak jika Sang Pemilik
6

memerintahkan kepada apa yang Dia miliki dengan apa yang Dia kehendaki?
Kemudian bahwa kandungan hikmah Allah dan rahmatNya terhadap hambahambaNya adalah Dia mensyariatkan untuk mereka apa-apa yang Allah mengetahui
bahwa padanya terdapat mashlahat-mashlahat agama dan dunia mereka. Sedangkan
mashlahat-mashlahat berbeda-beda sesuai dengan keadaan dan zaman. Terkadang
suatu hukum lebih mashlahat bagi para hamba pada satu waktu atau satu keadaan.
Dan terkadang hukum lainnya pada waktu dan keadaan yang lain lebih mashlahat.
Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. [Ushul Fiqih, hal: 45, karya
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin]
B. Pendapat Para Ulama Tentang Hukum Nasakh
1. Dalil Ijma.
Banyak ulama telah menyatakan adanya ijma tentang adanya naskh
dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
Al-Baji rahimahullah berkata: Seluruh umat Islam berpendapat bolehnya/
mungkinnya naskh syariat menurut akal dan syara. 6
Al-Kamal Ibnul Humam rahimahullah berkata: Pengikut syariat-syariat
telah sepakat atas bolehnya (naskh, secara akal) dan terjadinya (secara
syariat). 7
Syaikh

Muhammad

Al-Amin

Asy-Syinqithi

rahimahullah

berkata:

Ketahuilah bahwa tiga bentuk ini (yaitu naskh Al-Quran dengan Al-Quran;
6 Ihkamul Fushul, hal: 391, dinukil dari 421
7 At-Tahrir bi Syarhit Taisir 3/181, dinukil dari Aroul Mutazilah AlUshuliyyah, hal: 421, karya Syaikh Dr. Ali bin Said bin Shalih AdhDhuweihi

naskh Sunnah Mutawatir dengan Sunnah Mutawatir; dan naskh Sunnah Ahad
dengan Ahad) tidak ada perselisihan padanya di antara ulama yang dipercaya,
sebagaimana banyak ulama telah menukilkan adanya ijma padanya. Maka
penyelisihan orang yang menyelisihi dalam hal ini tidak dihitung dan tidak
ada dalil untuknya.
Dr. Ali berkata: Mereka (para ulama) mengatakan: Sesungguhnya para
sahabat Radhiyallahu anhum dan seluruh Salaf telah ijma (sepakat) bahwa
syariat Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam menghapus seluruh syariat
yang telah lalu. Sebagaimana mereka juga telah ijma bahwa naskh telah
terjadi pada banyak hukum-hukum syariat Islam. Dan terjadinya hal itu
cukup sebagai dalil untuk menetapkan bolehnya/mungkinnya (naskh menurut
akal-red). 8
Syaikh Tsanaulloh Az-Zahidi berkata: Ahli fiqih dan ushul telah sepakat atas
kebolehan/kemungkinan adanya naskh menurut akal, dan atas terjadinya
menurut syara. Kecuali apa yang dinukilkan dari Abu Muslim Muhammad
bin Bahr Al-Ashfahani seorang Mutazilah yang mati tahun 322 H. 9
C. Macam-Macam Naskh

Macam-macam naskh, dilihat dari nash yang mansukh (dihapus) ada tiga
bagian: [12]Nash Yang Mansukh Hukumnya, Namun Lafazhnya Tetap.Inilah jenis
nash mansukh yang paling banyak. Yaitu hukum syari dihapuskan, tidak
diamalkan, namun lafazhnya tetap. Hikmah naskh jenis ini adalah: tetapnya pahala

8[Araul Mutazilah Al-Ushuliyyah, hal: 425, Syeikh Dr. Ali bin Said bin
Shalih Adh-Dhuweihi]
9 Taisirul Ushul, hal: 216

membaca ayat tersebut dan mengingatkan umat tentang hikmah naskh, terlebih
dalam hukum yang diringankan dan dimudahkan.
Contohnya firman Allah Azza wa Jalla.





























Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mumin itu untuk berperang.
Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar)
diantaramu, maka mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang
kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. [Al Anfal :65]
Ayat ini menunjukkan kewajiban bersabarnya 20 umat Islam berperang
menghadapi 200 orang-orang kafir. Dan bersabarnya 100 umat Islam berperang
menghadapi 1000 orang-orang kafir.
Kemudian hukum ini dihapus dengan firman Allah selanjutnya.










Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui
padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar,
niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika diantaramu ada seribu

orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang. Dan Allah
beserta orang-orang yang sabar. [Al Anfal :66]
Abdullah bin Abbas berkata, Ketika turun (firman Allah): Jika ada dua puluh
orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang
musuh (Al-Anfal: 65), hal itu berat atas umat Islam, yaitu ketika diwajibkan atas
mereka, bahwa satu orang tidak boleh lari menghadapi 10 (musuh). Kemudian
datanglah keringanan,
Allah berfirman: Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia
telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu
seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang.
(Al-Anfal: 66)
Ketika Allah telah meringankan dari mereka jumlah (musuh yang wajib
dihadapi-red),

kesabaranpun

berkurang

seukuran

apa

yang Allah

telah

meringankan dari mereka. [HR. Bukhari, no: 4653]


Inilah contoh hukum yang mansukh di dalam Al-Quran. Penjelasan
mansukhnya hukum dalam ayat 65 surat Al-Anfal di atas, selain dari Ibnu Abbas,
juga diriwayatkan dari Mujahid, Atho, Ikrimah, Al-Hasan Al-Bashri, Zaid bin
Aslam, Atho Al-Khurosani, Adh-Dhohhak, dan lainnya. [13] Orang yang
menolak adanya mansukh dalam Al-Quran telah menyelisihi penafsiran mereka.
1. Nash Yang Mansukh Lafazhnya, Namun Hukumnya Tetap.
Al-Aamidi rahimahullah menyatakan bahwa ulama telah bersepakat atas
terjadinya naskh (penghapusan) tulisan/lafazh, tanpa naskh hukumnya, berbeda
dengan anggapan kelompok yang menyendiri dari kalangan Mutazilah. [14]
Hikmah naskh jenis ini adalah: agar kadar ketaatan umat kepada Allah
menjadi nampak, yaitu di dalam bersegera melakukan ketaatan dari sumber yang
10

zhanni rojih (persangkaan kuat), yaitu sebagian dari As-Sunnah, bukan dari
sumber yang seluruhnya yaqin, yaitu Al-Quran. Sebagaimana Nabi Ibrahim
Alaihissallam bersegera akan melaksanakan penyembelihan terhadap anaknya,
Nabi Ismail, dengan sumber mimpi, sedangkan mimpi adalah tingkatan terendah
jalan wahyu kepada para nabi. Wallahu alam. [15]
Selain itu, di antara hikmahnya adalah apa yang dikatakan oleh Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata: Hikmah
naskh lafazh tanpa (naskh) hukumnya adalah untuk menguji umat terhadap
amalan yang tidak mereka dapati di dalam Al-Quran, dan mewujudkan keimanan
mereka dengan apa yang Allah turunkan. Berbeda dengan orang-orang Yahudi
yang berusaha menutupi nash rajm di dalam Taurat. 10
Contoh jenis naskh ini adalah ayat rajm [17]
Umar bin Al-Khathab berkata, Sesungguhnya aku khawatir, zaman
akan panjang terhadap manusia sehingga seseorang akan berkata: Kita
tidak mendapati rajm di dalam kitab Allah, sehingga mereka menjadi sesat
dengan sebab meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan oleh
Allah. Ingatlah, sesungguhnya rajm adalah haq atas orang yang berzina dan
dia telah menikah, jika bukti telah tegak, atau ada kehamilan, atau ada
pengakuan. Sufyan berkata: Demikianalh yang aku ingat. Ingatlah,
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah melakukan rajm, dan kita
telah melakukan rajm setelah beliau. [HR. Bukhari, no: 6829; Muslim, no:
1691; dan lainnya]
Adapun lafazh ayat rajm, disebutkan oleh sebagian riwayat dengan
bunyi:
10 Ushul Fiqh, hal: 48, karya Syeikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin

11

Laki-laki yang tua (maksudnya : yang sudah menikah) dan wanita


yang tua (maksudnya : yang sudah menikah) jika berzina, maka rajamlah
keduanya sungguh-sungguh, sebagai hukuman yang mengandung pelajaran
dari Allah, dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana. [Lihat Fathul Bari,
12/169, Darul Hadits, Kairo, cet: 1, th: 1419 H / 1998 M, syarh hadits no:
6829]
3. Nash Yang Mansukh Hukumnya Dan Lafazhnya.
Contoh: ayat yang menyatakan 10 kali penyusuan mengharamkan pernikahan.
Aisyah berkata:
Dahulu di dalam apa yang telah diturunkan di antara Al-Quran
adalah: Sepuluh kali penyusuan yang diketahui, mengharamkan, kemudian
itu dinaskh (dihapuskan) dengan: Lima kali penyusuan yang diketahui.
Kemudian Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam wafat dan itu termasuk
yang dibaca di antara Al-Quran. [HR. Muslim, no: 1452]
Makna perkataan Aisyah dan itu termasuk yang dibaca di antara AlQuran adalah yaitu : Dibaca hukumnya, namun lafazhnya tidak, Atau :
Orang yang belum kesampaian naskh bacaannya, masih tetap membacanya. 11
Macam-macam naskh dilihat dari nash yang naasikh (menghapus) secara
ringkas- ada empat bagian:
1. Al-Quran Dimansukh Dengan Al-Quran.
Jenis naskh ini disepakati adanya oleh para ulama, adapun orang yang
beranggapan tidak ada ayat mansukh di dalam Al-Quran, maka perkataannya

11 Syarh Al-Waraqat Fii Ushulil Fiqh, hal: 170, karya Syaikh Abdullah bin
Shalih Al-Fauzan

12

tidak dianggap.

12

Contohnya adalah ayat 65, yang mansukh oleh ayat 66 dari

surat Al-Anfal, sebagaimana telah kami sampaikan di atas. Contoh lain:


firman Allah Azza wa Jalla.









Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan
pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah
(kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu.Yang demikian itu adalah
lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan
disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. [Al Mujadilah :12]
Ayat ini menunjukkan kewajiban shadaqah bagi yang mampu sebelum
berbisik-bisik dengan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Kemudian
ayat ini dimansukh ayat berikutnya yang menghapuskan kewajiban tersebut.
Lihat hal ini dalam Tafsir Ibnu Katsir. Allah Azza wa Jalla firmanNya:










Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan
sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul Maka jika kamu tiada
memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah
12 Mudzakirah Ala Ushul Fiqh, hal: 148, karya Syeikh Muhammad AlAmin Syinqithi

13

shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [Al Mujadilah:13]
2. Al-Quran Dimansukh Dengan As-Sunnah.
Pada jenis ini ada dua bagian:
a. Al-Quran dimansukh dengan Sunnah (hadits) Mutawatir.
Pada bagian ini ulama berselisih. Diriwayatkan dari Imam Ahmad
rahimahullah bahwa beliau menyatakan: Al-Quran tidak dinaskh
(dihapus) kecuali oleh Al-Quran yang datang setelahnya. Namun
Syaikh

Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi

rahimahullah

berkata:

(Berdasarkan) penelitian, boleh dan terjadi naskh Al-Quran dengan


Sunnah Mutawatir, contohnya: dihapusnya ayat 5 kali penyusuan dengan
Sunnah Mutawatir, dihapusnya surat Al-Khulu dan Al-Hafd dengan
Sunnah Mutawatir. Dan banyak contoh lainnya.13
b. Al-Quran dimansukh dengan Sunnah (hadits) Ahad.
Pada bagian ini ulama juga berselisih. Yang rajih wallohu alamhal ini ada dan terjadi. Contohnya:
Firman Allah Azza wa Jalla.


13 Mudzakiroh Ushul Fiqih, hal: 150

14





Katakanlah:Aku tidak mendapati dalam wahyu yang telah
diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang
mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor atau
binatang disembelih atas nama selain Allah. [Al Anam :145]
Ayat ini menunjukkan bahwa makanan yang diharamkan -di saat
ayat ini diturunkan- hanyalah empat jenis di atas. Ini berarti, di saat itu,
daging keledai jinak boleh dimakan, berdasarkan ayat ini. Kemudian
kebolehan ini dihapuskan hukumnya oleh hadits-hadits shahih yang datang
kemudian yang mengharamkan daging keledai jinak. Karena ayat di atas
termasuk surat Al-Anam, yang merupakan surat Makiyyah, yang turun
sebelum hijroh, dengan kesepakatan ulama. Adapun pengharaman daging
keledai jinak dengan Sunnah terjadi setelah itu di Khoibar.
Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam didatangi oleh seseorang yang datang, lalu mengatakan: Keledaikeledai telah dimakan. Kemudian datang lagi kepada beliau seseorang
yang datang, lalu mengatakan: Keledai-keledai telah dimakan. Kemudian
datang lagi kepada beliau seseorang yang datang, lalu mengatakan:
Keledai-keledai telah dimakan. Kemudian beliau memerintahkan seorang
penyeru, lalu dia menyeru di kalangan orang banyak: Sesungguhnya Alloh
dan RasulNya melarang kamu dari daging keledai jinak, sesungguhnya ia

15

kotor/najis. Maka periuk-periuk dibalikkan, sedangkan periuk-periuk itu


mendidih (berisi) daging (keledai jinak). [21]14
Antara ayat di atas dengan hadits yang mengharamkan daging
keledai jinak tidak bertentangan, karena waktu keduanya berbeda. Di saat
ayat di atas turun, daging keledai jinak halal, karena yang diharamkan
hanyalah empat jenis makanan. Kemudian setelah itu datang pengharaman
daging keledai jinak. 15
c. As-Sunnah Dimansukh Dengan Al-Quran.
Contoh jenis ini adalah: syariat shalat menghadap Baitul Maqdis,
yang ini berdasarkan Sunnah, dihapuskannya dengan firman Allah Azza wa
Jalla.

14 Al-Ihkaam 3/154, karya Al-Amidi ; dinukil dari Syarh Al-Waraqat Fii


Ushulil Fiqh, hal: 170, karya Syeikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan
15 [Mudzakiroh, hal: 153-155]

16

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit,


maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu
berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. [Al Baqarah :144]

d. As-Sunnah Dimansukh Dengan As-Sunnah.


Contoh: Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.
Dahulu aku melarang kamu dari berziarah kubur, maka
sekarang hendaklah kamu berziarah (kubur). (bukhari-muslim)16
Dengan penjelasan di atas jelaslah bahwa di dalam Al-Quran
ada nasikh (ayat yang menghapus hukum yang sudah ada sebelumnya)
dan mansukh (ayat yang dihapus) hukumnya atau lafazhnya.

BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan

16 [21]. HR. Bukhari, no: 5528; Muslim, no: 1940 (35)

17

Naskh adalah hal yang diperbolehkan keberadaannya dalam agama Islam.


Hal ini sesuai dengan dalil yang telah datang dari Alquran dan sunnah Rasulullah
SAW.
1. Demi menjaga kemashlahatan hamba-Nya, Allah telah menghapus sebagian
hukum dalam syariat Islam. Bila ternyata hukum penggantinya itu lebih
ringan, maka itu adalah kemudahan yang diberikan oleh Allah di dunia ini
secara langsung, namun apabila ternyata penggantinya lebih berat, maka tidak
lain hal ini akan melipat gandakan pahala pelaksananya sebagai balasan atas
ketaatannya pada aturan Allah Taala.
2. Bahwa Allah Taala adalah raja segala raja yang hanya Dia-lah yang berkuasa
membuat peraturan bagi hamba-hamba-Nya. Maka dari itu hendaknya kita
selalu tunduk pada aturan-aturan yang datang dari-Nya, yang berupa perintah
maupun larangan.
1. Saran
Untuk kesempuranaan penulisan makalah ini saran dan masukan
sangat di perlukan. Terimakasih. Thanks to Our Happy and give
critical to my writings.

18

Anda mungkin juga menyukai