Anda di halaman 1dari 7

NASIKH DAN MANSUKH

By. Doelkholik/23/09/2023

Naskh secara bahasa artinya: menghilangkan; menghapuskan; memindahkan;


menulis. Adapun secara istilah, maka ada dua macam:
Pertama :
Naskh menurut istilah para ulama ushul fiqih Muta-akhirin. Mereka memiliki ta’rif
yang berbeda-beda. Al-Baidhowi rahimahullah (wafat th 685 H) mendefinisikan
dengan : “Naskh adalah penjelasan berhentinya hukum syari’at dengan jalan syar’i
yang datang setelahnya”. Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 620 H) menyebutkan
definisi naskh dengan menyatakan: “Menghilangkan hukum yang ada dengan
perkataan (dalil) yang dahulu, dengan perkataan yang datang setelahnya”. Di antara
ta’rif yang ringkas dan mencakup adalah yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-‘Utsaimin, yaitu: “menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya dengan
dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah”.
Kedua :
Naskh menurut istilah Salafush Sholih Mutaqoddimin. Istilah naskh yang ada pada
mereka lebih luas daripada definisi para ulama ushul Mutaakhirin. Hudzaifah
Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Yang memberi fatwa kepada manusia hanyalah tiga
orang: Orang yang mengetahui yang mansukh dari Al-Qur’an; atau amir (pemimpin)
yang harus (berfatwa); atau orang dungu yang memaksakan diri”.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata mengomentari perkataan di atas: “Yang
dimaksudkan oleh beliau (Hudzaifah) dan yang dimaksudkan oleh kebanyakan Salaf dengan
(istilah) naasikh dan mansukh terkadang adalah: menghapuskan hukum sekaligus, dan ini
merupakan istilah muta-akhirin, dan terkadang adalah: menghapus penunjukkan dalil ‘am,
mutlaq, zhahir, dan lainnya, kemungkinan dengan takhshish (pengkhususan), taqyiid
(penentuan), atau membawa yang muthlaq kepada muqayyad (yang ditentukan), dan tafsir
(penjelasan) serta tanbiih (mengingatkan). Sehingga mereka (Salaf) menamakan istitsna’
(pengecualian), syarath, dan sifat dengan naskh, karena hal itu menghapus penunjukkan
zhahir dan menjelaskan yang dimaksudkan.
Maka naskh, menurut mereka (Salaf) dan bahasa mereka adalah: menjelaskan yang
dimaksudkan dengan bukan lafazh itu, tetapi dengan perkara yang di luarnya. Barangsiapa
memperhatikan perkataan mereka, akan melihat padanya dari hal itu apa-apa yang tidak dapat
dihitung, dan dengan sebab itu akan hilang darinya kesulitan-kesulitan yang diakibatkan
karena membawa perkataan mereka pada istilah baru yang akhir”.
Nasikh artinya : yang menghapuskan, yaitu dalil Al-Kitab atau As-Sunnah yang
menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya. Pada hakekatnya naasikh (yang
menghapuskan) adalah Allah Azza wa Jalla.
Mansukh artinya : yang dihapuskan, yaitu hukum dalil syar’i atau lafazhnya yang
dihapuskan. Penunjukkan Adanya Naskh Dalam Syariat Perlu diketahui bahwa adanya naskh
dalam syari’at atau adanya ayat Al-Qur’an yang mansukh (dihapus hukumnya/lafazhnya)
oleh ayat lain ditunjukkan oleh dalil naql (ayat/hadits), dalil akal, dan ijma’.
A. Dalil Naql
Firman Allah Azza wa Jalla.
‫َم ا َننَس ْخ ِم ْن َء اَيٍة‬
Apa saja ayat yang kami nasakhkan (hapuskan)… [Al Baqarah/2:106]
Makna kata “ayat” di dalam firman Allah ini adalah ayat Al-Qur’an, sebagaimana penafsiran
Salafush Sholih yang kami ketahui. Seperti riwayat dari Ibnu Abbas, Mujahid, sahabat-
sahabat Ibnu Mas’ud, Abul ‘Aliyah, Muhammad bin Ka’b Al-Qurodhi, Adh-Dhahhak,
‘Atho’, As-Suddi, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir, dan Ibnu Katsir. Adapun manafsirkan kata
“ayat” pada firman Allah di atas dengan “mu’jizat”, sebagaimana dalam Tafsir Qur’an Al-
Furqan, karya A.Hassan rahimahullah, maka kami khawatir itu merupakan tafsir bid’ah.
Walaupun secara bahasa dibenarkan, namun bertentangan dengan ijma’ ahli tafsir
sebagaimana di atas. Wallohu a’lam. Firman Allah Azza wa Jalla.
‫َو ِإَذ ا َبَّد ْلَنآ َء اَيًة َّم َك اَن َء اَيٍة‬
Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain. [An Nahl/16:101]

Demikian juga ayat ini juga nyata menunjukkan adanya ayat Al-Qur’an yang nasikh
dan mansukh, bukan hanya nasikh saja! Ayat yang Alloh jadikan pengganti adalah naasikh,
ayat yangdigantikan adalah ayat mansukh. Dan ini sangat jelas, sebagaimana kita lihat.
Adapun sebagian dari contoh-contoh ayat mansukh akan kami sampaikan di bawah insya
Alloh. Lebih luas dapat dilihat dalam kitab-kitab ushul fiqih.
B. Dalil Akal.
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Naskh boleh terjadi
menurut akal dan nyata terjadi menurut syari’at. Adapun bolehnya terjadi menurut akal,
karena segala perkara di tangan Allah, segala hukum (keputusan) miliknya, karena Dia
adalah Ar-Rabb (Sang Penguasa) Al-Maalik (Sang Pemilik). Maka Dia berhak
mensyari’atkan bagi hamba-hambanya apa yang dituntut oleh hikmahNya dan
rahmatNya. Apakah akal menolak jika Sang Pemilik memerintahkan kepada apa yang Dia
miliki dengan apa yang Dia kehendaki? Kemudian bahwa kandungan hikmah Allah dan
rahmatNya terhadap hamba-hambaNya adalah Dia mensyari’atkan untuk mereka apa-apa
yang Allah mengetahui bahwa padanya terdapat mashlahat-mashlahat agama dan dunia
mereka. Sedangkan mashlahat-mashlahat berbeda-beda sesuai dengan keadaan dan
zaman. Terkadang suatu hukum lebih mashlahat bagi para hamba pada satu waktu atau
satu keadaan. Dan terkadang hukum lainnya pada waktu dan keadaan yang lain lebih
mashlahat. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
C. Dalil Ijma’.
Banyak ulama telah menyatakan adanya ijma’ tentang adanya naskh dalam Al-Qur’an
dan As-Sunnah. Al-Baji rahimahullah berkata: “Seluruh umat Islam berpendapat
bolehnya/ mungkinnya naskh syari’at menurut akal dan syara”. Al-Kamal Ibnul Humam
rahimahullah berkata: “Pengikut syari’at-syari’at telah sepakat atas bolehnya (naskh,
secara akal) dan terjadinya (secara syari’at)” Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi
rahimahullah berkata: “Ketahuilah bahwa tiga bentuk ini (yaitu naskh Al-Qur’an dengan
Al-Qur’an; naskh Sunnah Mutawatir dengan Sunnah Mutawatir; dan naskh Sunnah Ahad
dengan Ahad) tidak ada perselisihan padanya di antara ulama yang dipercaya,
sebagaimana banyak ulama telah menukilkan adanya ijma’ padanya. Maka penyelisihan
orang yang menyelisihi dalam hal ini tidak dihitung dan tidak ada dalil untuknya”.

Dr. Ali berkata: “Mereka (para ulama) mengatakan: Sesungguhnya para sahabat
Radhiyallahu ‘anhum dan seluruh Salaf telah ijma’ (sepakat) bahwa syari’at Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghapus seluruh syari’at yang telah lalu. Sebagaimana
mereka juga telah ijma’ bahwa naskh telah terjadi pada banyak hukum-hukum syari’at Islam.
Dan terjadinya hal itu cukup sebagai dalil untuk menetapkan bolehnya/mungkinnya (naskh
menurut akal-red)”. Syaikh Tsanaulloh Az-Zahidi berkata: “Ahli fiqih dan ushul telah
sepakat atas kebolehan/kemungkinan adanya naskh menurut akal, dan atas terjadinya
menurut syara’. Kecuali apa yang dinukilkan dari Abu Muslim Muhammad bin Bahr Al-
Ashfahani seorang Mu’tazilah yang mati tahun 322 H”

Macam-Macam Naskh
Pertama : Macam-macam naskh, dilihat dari nash yang mansukh (dihapus) ada tiga bagian:
1) 1.Nash Yang Mansukh Hukumnya, Namun Lafazhnya Tetap.
Inilah jenis nash mansukh yang paling banyak. Yaitu hukum syar’i dihapuskan, tidak
diamalkan, namun lafazhnya tetap. Hikmah naskh jenis ini adalah: tetapnya pahala
membaca ayat tersebut dan mengingatkan umat tentang hikmah naskh, terlebih dalam
hukum yang diringankan dan dimudahkan.
Contohnya firman Allah Azza wa Jalla.

‫َيآَأُّيَها الَّنِبُّي َح ِّر ِض اْلُم ْؤ ِمِنيَن َع َلى اْلِقَت اِل ِإن َيُك ن ِّم نُك ْم ِع ْش ُروَن َص اِبُروَن َيْغ ِلُب وا‬
‫ِم اَئَتْيِن َو ِإن َّيُك ن ِّم ْنُك ْم ِم اَئٌة َيْغ ِلُبوا َأْلًفا ِّم َن اَّلِذ يَن َك َفُروا ِبَأَّنُهْم َقْو ٌم َال َيْفَقُهوَن‬
Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu’min itu untuk berperang. Jika ada dua puluh
orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang
musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, maka mereka dapat
mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum
yang tidak mengerti. [Al Anfal/8 :65]

Ayat ini menunjukkan kewajiban bersabarnya 20 umat Islam berperang menghadapi 200
orang-orang kafir. Dan bersabarnya 100 umat Islam berperang menghadapi 1000 orang-orang
kafir.
Kemudian hukum ini dihapus dengan firman Allah selanjutnya.

‫اْلَئاَن َخ َّفَف ُهللا َع نُك ْم َو َع ِلَم َأَّن ِفيُك ْم َض ْع ًفا َفِإن َيُك ن ِّم نُك م ِّم اَئٌة َص اِبَر ٌة َيْغ ِلُب وا ِم اَئَتْيِن‬
‫َو ِإن َيُك ْن ِّم ْنُك ْم َأْلٌف َيْغ ِلُبوا َأْلَفْيِن ِبِإْذ ِن ِهللا َو ُهللا َم َع الَّصاِبِريَن‬
Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada
kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ratus orang; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya
mereka dapat mengalahkan dua ribu orang. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar. [Al
Anfal/8 :66]

Abdullah bin Abbas berkata:

‫َلَّم ا َن َز َلْت ( ِإْن َيُك ْن ِم ْنُك ْم ِع ْش ُروَن َص اِبُروَن َيْغ ِلُب وا ِم اَئَتْيِن ) َش َّق َذ ِل َك َع َلى‬
‫ُف َفَق اَل ( اآْل َن‬a‫اْلُم ْس ِلِم يَن ِح يَن ُفِرَض َع َلْيِهْم َأْن اَل َيِفَّر َو اِح ٌد ِم ْن َع َش َر ٍة َفَج اَء الَّتْخ ِفي‬
‫َخ َّفَف ُهَّللا َع ْنُك ْم َو َع ِلَم َأَّن ِفيُك ْم ُضْع ًفا َفِإْن َيُك ْن ِم ْنُك ْم ِم اَئٌة َص اِبَر ٌة َيْغ ِلُبوا ِم اَئَتْيِن ) َق اَل‬
‫َفَلَّم ا َخ َّفَف ُهَّللا َع ْنُهْم ِم َن اْلِع َّد ِة َنَقَص ِم َن الَّصْبِر ِبَقْد ِر َم ا ُخ ِّفَف َع ْنُهْم‬
Ketika turun (firman Allah): “Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya
mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh” (Al-Anfal/8: 65), hal itu berat atas umat
Islam, yaitu ketika diwajibkan atas mereka, bahwa satu orang tidak boleh lari menghadapi
10 (musuh). Kemudian datanglah keringanan, Allah berfirman: “Sekarang Allah telah
meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika
ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus
orang.” (Al-Anfal/8 66) Ketika Allah telah meringankan dari mereka jumlah (musuh yang
wajib dihadapi-red), kesabaranpun berkurang seukuran apa yang Allah telah meringankan
dari mereka”. [HR. Bukhari, no: 4653]
Inilah contoh hukum yang mansukh di dalam Al-Qur’an. Penjelasan mansukhnya hukum
dalam ayat 65 surat Al-Anfal di atas, selain dari Ibnu Abbas, juga diriwayatkan dari Mujahid,
Atho’, ‘Ikrimah, Al-Hasan Al-Bashri, Zaid bin Aslam, ‘Atho Al-Khurosani, Adh-Dhohhak,
dan lainnya. Orang yang menolak adanya mansukh dalam Al-Qur’an telah menyelisihi
penafsiran mereka.
2) Nash Yang Mansukh Lafazhnya, Namun Hukumnya Tetap.
Al-Aamidi rahimahullah menyatakan bahwa ulama telah bersepakat atas terjadinya naskh
(penghapusan) tulisan/lafazh, tanpa naskh hukumnya, berbeda dengan anggapan
kelompok yang menyendiri dari kalangan Mu’tazilah.
Hikmah naskh jenis ini adalah: agar kadar ketaatan umat kepada Allah menjadi nampak,
yaitu di dalam bersegera melakukan ketaatan dari sumber yang zhanni rojih (persangkaan
kuat), yaitu sebagian dari As-Sunnah, bukan dari sumber yang seluruhnya yaqin, yaitu
Al-Qur’an. Sebagaimana Nabi Ibrahim Alaihissallam bersegera akan melaksanakan
penyembelihan terhadap anaknya, Nabi Isma’il, dengan sumber mimpi, sedangkan mimpi
adalah tingkatan terendah jalan wahyu kepada para nabi. Wallahu a’lam.

Selain itu, di antara hikmahnya adalah apa yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata: “Hikmah naskh lafazh tanpa (naskh)
hukumnya adalah untuk menguji umat terhadap amalan yang tidak mereka dapati di dalam
Al-Qur’an, dan mewujudkan keimanan mereka dengan apa yang Allah turunkan. Berbeda
dengan orang-orang Yahudi yang berusaha menutupi nash rajm di dalam Taurat”.

Contoh jenis naskh ini adalah ayat rajm Umar bin Al-Khathab berkata:

‫َلَقْد َخ ِش يُت َأْن َيُط وَل ِبالَّن اِس َز َم اٌن َح َّتى َيُق وَل َقاِئ ٌل اَل َنِج ُد الَّرْج َم ِفي ِكَت اِب ِهَّللا‬
‫َفَيِض ُّلوا ِبَتْر ِك َفِريَض ٍة َأْنَز َلَها ُهَّللا َأاَل َو ِإَّن الَّرْج َم َح ٌّق َع َلى َم ْن َز َنى َو َق ْد َأْح َص َن ِإَذ ا‬
‫َقاَم ِت اْلَبِّيَنُة َأْو َك اَن اْلَح َبُل َأِو ااِل ْع ِتَر اُف َقاَل ُس ْفَياُن َك َذ ا َح ِفْظُت َأاَل َو َقْد َرَج َم َر ُس وُل‬
‫ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َو َرَج ْم َنا َبْع َد ُه‬
Sesungguhnya aku khawatir, zaman akan panjang terhadap manusia sehingga seseorang
akan berkata: “Kita tidak mendapati rajm di dalam kitab Allah”, sehingga mereka menjadi
sesat dengan sebab meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah. Ingatlah,
sesungguhnya rajm adalah haq atas orang yang berzina dan dia telah menikah, jika bukti
telah tegak, atau ada kehamilan, atau ada pengakuan”. Sufyan berkata: “Demikianalh yang
aku ingat”. “Ingatlah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan rajm, dan
kita telah melakukan rajm setelah beliau”. [HR. Bukhari, no: 6829; Muslim, no: 1691; dan
lainnya]

Adapun lafazh ayat rajm, disebutkan oleh sebagian riwayat dengan bunyi:

‫الَّش ْيُخ َو الَّش ْيَخ ُة ِإَذ ا َز َنَيا َفاْر ُج ُم وُهَم ا اْلَبَّتَة َنَك اًال ِم َن ِهللا َو ُهللا َع ِزْيٌز َح ِكْيٌم‬
Laki-laki yang tua (maksudnya : yang sudah menikah) dan wanita yang tua (maksudnya :
yang sudah menikah) jika berzina, maka rajamlah keduanya sungguh-sungguh, sebagai
hukuman yang mengandung pelajaran dari Allah, dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.

3) Nash Yang Mansukh Hukumnya Dan Lafazhnya.


Contoh : ayat yang menyatakan 10 kali penyusuan mengharamkan pernikahan. Aisyah
berkata:

‫َك اَن ِفيَم ا ُأْنِزَل ِم َن اْلُقْر آِن َع ْش ُر َرَض َع اٍت َم ْع ُلوَم اٍت ُيَح ِّر ْم َن ُثَّم ُنِس ْخ َن ِبَخ ْم ٍس‬
‫َم ْع ُلوَم اٍت َفُتُو ِّفَي َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َو ُهَّن ِفيَم ا ُيْقَر ُأ ِم َن اْلُقْر آِن‬
Dahulu di dalam apa yang telah diturunkan di antara Al-Qur’an adalah: “Sepuluh kali
penyusuan yang diketahui, mengharamkan”, kemudian itu dinaskh (dihapuskan) dengan:
“Lima kali penyusuan yang diketahui”. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
wafat dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an. [HR. Muslim, no: 1452]

Makna perkataan ‘Aisyah “dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an” adalah:
• Yaitu : Dibaca hukumnya, namun lafazhnya tidak.
• Atau : Orang yang belum kesampaian naskh bacaannya, masih tetap membacanya. [22]

Kedua : Macam-macam naskh dilihat dari nash yang naasikh (menghapus) –secara ringkas-
ada empat bagian:

1. Al-Qur’an Dimansukh Dengan Al-Qur’an.


Jenis naskh ini disepakati adanya oleh para ulama’, adapun orang yang beranggapan tidak
ada ayat mansukh di dalam Al-Qur’an, maka perkataannya tidak dianggap. Contohnya
adalah ayat 65, yang mansukh oleh ayat 66 dari surat Al-Anfal, sebagaimana telah kami
sampaikan di atas. Contoh lain: firman Allah Azza wa Jalla.

‫َياَأُّيَها اَّلِذ يَن َء اَم ُنوا ِإَذ ا َناَج ْيُتُم الَّرُسوَل َفَقِّد ُم وا َبْيَن َيَد ْي َنْج َو اُك ْم َص َد َقًة َذ ِلَك َخ ْيُُر َّلُك ْم‬
‫َو َأْطَهُر َفِإن َّلْم َتِج ُد وا َفِإَّن َهللا َغ ُفوُُر َّر ِح يٌم‬
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan
Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan
itu.Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada
memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. [Al Mujadilah/58 :12]

Ayat ini menunjukkan kewajiban shadaqah bagi yang mampu sebelum berbisik-bisik dengan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian ayat ini dimansukh ayat berikutnya yang
menghapuskan kewajiban tersebut. Lihat hal ini dalam Tafsir Ibnu Katsir. Allah Azza wa
Jalla firmanNya:

‫َء َأْش َفْقُتْم َأن ُتَقِّد ُم وا َبْيَن َيَد ْي َنْج َو اُك ْم َص َد َقاٍت َفِإْذ َلْم َتْفَع ُلوا َو َتاَب ُهللا َع َلْيُك ْم َفَأِقيُم وا‬
‫الَّصَالَة َوَء اُتوا الَّز َك اَة َو َأِط يُعوا َهللا َو َر ُسوَلُه َو ُهللا َخ ِبيٌر ِبَم ا َتْع َم ُلوَن‬
Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum
pembicaraan dengan Rasul Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi
taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan
Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [Al Mujadilah/58:13]

Baca Juga Ayat-Ayat Al-Qur’an Yang Zhahirnya Terkesan Bertentangan


2. Al-Qur’an Dimansukh Dengan As-Sunnah.
Pada jenis ini ada dua bagian:
a. Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Mutawatir.
Pada bagian ini ulama berselisih. Diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah
bahwa beliau menyatakan: “Al-Qur’an tidak dinaskh (dihapus) kecuali oleh Al-
Qur’an yang datang setelahnya…”. Namun Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-
Syinqithi rahimahullah berkata: “(Berdasarkan) penelitian, boleh dan terjadi naskh Al-
Qur’an dengan Sunnah Mutawatir, contohnya: dihapusnya ayat 5 kali penyusuan
dengan Sunnah Mutawatir, dihapusnya surat Al-Khulu’ dan Al-Hafd dengan Sunnah
Mutawatir. Dan banyak contoh lainnya”.
b. Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Ahad.
Pada bagian ini ulama juga berselisih. Yang rajih –wallohu a’lam- hal ini ada dan
terjadi. Contohnya: Firman Allah Azza wa Jalla.

‫ُقل آل َأِج ُد ِفي َم آ ُأوِح َي ِإَلَّي ُمَح َّر ًم ا َع َلى َطاِعٍم َيْطَعُم ُه ِإَّال َأن َّيُك وَن َم ْيَتًة َأْو َد ًم ا‬
‫َم ْس ُفوًحا َأْو َلْح َم ِخ نِز يٍر َفِإَّنُه ِرْج ٌس َأْو ِفْس ًقا ُأِهَّل ِلَغْيِر ِهللا ِبِه‬
Katakanlah:”Aku tidak mendapati dalam wahyu yang telah diwahyukan kepadaku, sesuatu
yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai,
atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor – atau
binatang disembelih atas nama selain Allah. [Al An’am/6 :145]

Ayat ini menunjukkan bahwa makanan yang diharamkan -di saat ayat ini diturunkan-
hanyalah empat jenis di atas. Ini berarti, di saat itu, daging keledai jinak boleh dimakan,
berdasarkan ayat ini. Kemudian kebolehan ini dihapuskan hukumnya oleh hadits-hadits
shahih yang datang kemudian yang mengharamkan daging keledai jinak. Karena ayat di atas
termasuk surat Al-An’am, yang merupakan surat Makiyyah, yang turun sebelum hijroh,
dengan kesepakatan ulama. Adapun pengharaman daging keledai jinak dengan Sunnah terjadi
setelah itu di Khoibar.

‫َع ْن َأَنِس ْبِن َم اِلٍك َرِض ي ُهَّللا َع ْنُه َأَّن َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َج اَءُه َج اٍء َفَقاَل‬
‫ُأِكَلِت اْلُح ُم ُر ُثَّم َج اَءُه َج اٍء َفَقاَل ُأِكَلِت اْلُح ُم ُر ُثَّم َج اَءُه َج اٍء َفَق اَل ُأْفِنَيِت اْلُح ُم ُر َف َأَم َر‬
‫ُم َناِد ًي ا َفَن اَد ى ِفي الَّن اِس ِإَّن َهَّللا َو َر ُس وَلُه َيْنَهَي اِنُك ْم َع ْن ُلُح وِم اْلُح ُم ِر اَأْلْهِلَّي ِة َفِإَّنَه ا‬
‫ِرْج ٌس َفُأْك ِفَئِت اْلُقُد وُر َو ِإَّنَها َلَتُفوُر ِبالَّلْح ِم‬
Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi oleh
seseorang yang datang, lalu mengatakan: “Keledai-keledai telah dimakan”. Kemudian
datang lagi kepada beliau seseorang yang datang, lalu mengatakan: “Keledai-keledai telah
dimakan”. Kemudian datang lagi kepada beliau seseorang yang datang, lalu mengatakan:
“Keledai-keledai telah dimakan”. Kemudian beliau memerintahkan seorang penyeru, lalu
dia menyeru di kalangan orang banyak: “Sesungguhnya Alloh dan RasulNya melarang kamu
dari daging keledai jinak, sesungguhnya ia kotor/najis”. Maka periuk-periuk dibalikkan,
sedangkan periuk-periuk itu mendidih (berisi) daging (keledai jinak).

Antara ayat di atas dengan hadits yang mengharamkan daging keledai jinak tidak
bertentangan, karena waktu keduanya berbeda. Di saat ayat di atas turun, daging keledai jinak
halal, karena yang diharamkan hanyalah empat jenis makanan. Kemudian setelah itu datang
pengharaman daging keledai jinak. [Mudzakiroh, hal: 153-155]
3. As-Sunnah Dimansukh Dengan Al-Qur’an.
Contoh jenis ini adalah: syari’at shalat menghadap Baitul Maqdis, yang ini berdasarkan
Sunnah, dihapuskannya dengan firman Allah Azza wa Jalla.

‫َقْد َنَر ى َتَقُّلَب َو ْج ِهَك ِفي الَّس َم آِء َفَلُنَو ِّلَيَّنَك ِقْبَلًة َتْر َض اَها َفَو ِّل َو ْج َهَك َش ْطَر اْلَم ْس ِج ِد‬
‫اْلَح َر اِم َو َح ْيُث َم ا ُك نُتْم َفَو ُّلوا ُو ُجوَهُك ْم َش ْطَر ُه‬
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil
Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. [Al
Baqarah/2 :144]

4. As-Sunnah Dimansukh Dengan As-Sunnah.


Contoh: Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

‫َنَهْيُتُك ْم َع ْن ِزَياَر ِة اْلُقُبوِر َفُز وُروَها‬


Dahulu aku melarang kamu dari berziarah kubur, maka sekarang hendaklah kamu berziarah
(kubur). [HR. Muslim, no: 977]

Dengan penjelasan di atas jelaslah bahwa di dalam Al-Qur’an ada nasikh (ayat yang
menghapus hukum yang sudah ada sebelumnya) dan mansukh (ayat yang dihapus) hukumnya
atau lafazhnya.

Anda mungkin juga menyukai