Anda di halaman 1dari 12

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah Swt.


atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusun bisa dapat
menyelesaikan tugas penulisan makalah kelompok ini dengan baik dan tanpa ada
kendala apapun.

Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada Dosen Mata kuliah
Ulumul Quran , atas bimbingan dan panduannya beserta teman teman
seperjuangan selama pembuatan makalah yang berjudul “Nasikh dan Mansukh”.

Kami selaku penyusun sangat berharap semoga makalah ini dapat


bermanfaat dan menambah pengetahuan dan pengetahuan bagi pembaca.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan


dalam penyusunan makalah karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman
kami.oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca untuk demi kesempurnaan makalah ini.

27 Oktober 2023

Kelompok 5

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

An-Nasikh wal-Mansukh karya Abul-Faraj Abdurrahman bin Ali atau


yang lebih dikenal dengan nama Ibnul-Jauzi 19. Cara mengetahui nasakh wal
mansukh dengan perkataan dari Rasulullah perkataan Sahabat dari sejarah dan
ijma ulama. Nabi Muhammad Details Feb 13 2015 Lineage Record of Origin of
the Holy Last Messenger. Penelitian ini menjelaskan bahwa teori nasikh mansukh.
Mansukh anh yaitu orang yang dibebani hukum. Dan hampir semua ulama
menamakannya dengan ilmu nasikh dan mansukh.

Oleh karena aqidah semua ajaran samawi itu satu dan tidak mengalami
perubahan karena di tegakkan oleh tauhid uluhiyah rububiyah maka seruan atau
dakwah para Rosul kepada. Dan hampir semua ulama menamakannya dengan
ilmu nasikh dan mansukh. Pendapat ini merupakan ijma kaum Muslimin sebab
kemunculan Abu Muslim Al-Ashfahani beserta yang sepaham dengan beliau. Tak
ada pertentangan satu dengan lainnya. Ini berarti terjadi nasikh-mansukh dalam
hokum kiblat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari nasikh dan mansukh?
2. Apa saja macam macam nasikh dan mansukh?
3. Bagaimana pandangan ulama terhadap nasikh dan mansukh?
4. Apa saja manfaat dari mempelajari nasikh dan mansukh?
C. TUJUAN
1. Agar mengetahui arti dari nasikh dan mansukh.
2. Agar mengetahui apa saja macam macam nasikh dan mansukh.
3. Agar memahami bagaimana pandangan ulama terhadap nasikh
dan mansukh.

2
4. Agar mengetahui apa saja manfaat dari mempelajari nasikh dan
mansukh.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Nasikh dan Mansukh

Kata Nasikh dan Mansukh merupakan bentuk perubahan dari kata Nasakh,
Masdar dari kata kerja nasakh. Kata nasakh sendiri mempunyai banyak makna. Ia
bisa berarti menghilangkan (al-izalah), sebagai terdapat dalam dalam surah Al-
Hajj ayat 52:
Artinya: “dan kami tidak mengutus seorang rasul dan tidak (pula) seorang nabi
sebelum engkau (Muhammad), melainkan apabila ia mempunyai suatu keinginan,
setan pun memasukkan godaan-godaan ke dalam keinginannya itu. Tetapi Allah
menghilangkan apa yang dimasukkan setan itu. Dan Allah akan menguatkan ayat-
ayatnya. Dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana‛.

1. Menggantikan (al-tabdil), sebagai terdapat dalam surah an-nahl ayat 101:

Artinya: “Dan apabila kami mengganti ayat yang satu dengan ayat yang lain”.

2. Pengalihan (al-tahwil), sebagai yang berlaku dalam ilmu faraid (pembagian


harta warisan).

3. Mengutip atau memindahkan (al-naql), seperti kalimat nasakhtu al-kitab, berarti


saya mengutip isi buku, dalam ayat al quran surah al-Jasiyah ayat 29:

“Inilah Kitab (catatan) Kami yang menuturkan kepadamu dengan sebenar-


benarnya. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu
kerjakan."

Dari definisi yang telah disebutkan, disini jelas bahwa nash mempunyai
makna yang banyak, akan tetapi diantara makna-makna tersebut yang paling
mendekatikebenaran adalah bermakna al izalah yaitu menghilangkan.

3
Sedangkan pengertian menurut istilah adalah: “mengangkat atau menghapuskan
sesuatu dan menetapkan yang lain pada tempatnya”.

Dalam kalimat lainnya ialah mengangkat (menghilangkan) hukum syara’ yang


lain. Disebutkan kata hukum disini menunjukkan prinsip bahwa segala sesuatu
hukum asalnya adalah boleh tidak termasuk yang dinasakh.

Kata Nasakh (yang menghapus) maksudnya adalah Allah yang menghapus


hukum itu. Seperti firmannya dalam surah al baqarah:106 yaitu:

”Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding
dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu?

Mansukh adalah hukum yang diangkat atau yang dihapus. Maka ayat
mawarith (warisan) atau hukum yang terkandung di dalamnya misalnya adalah
penghapusan (nasikh) hukum wasiat kepada orang tua atau kerabat sebagaimana
akan dijelaskan. Dalam termenologi hukum Islam (fiqih) hukum yang dibatalkan
namanya mansukh, sedangkan hukum yang datang kemudian (menghapus)
disebut nasikh. Perlu diketahui di sini bahwa yang dibatalkan adalah hukum syara’
bukan hukum akal dan pembatalan itu karena adanya tuntutan kemaslahatan.

B. Macam – Macam Nasikh dan Mansukh

PERTAMA : Macam-macam naskh, dilihat dari nash yang mansukh (dihapus)


ada tiga bagian ;

1. Naskh yang mansukh hukumnya, tetapi lafadzhnya tetap.


Ini jenis nash mansukh yang paling banyak. Yaitu hukum syar’i
dihapuskan, tidak diamalkan, namun lafazhnya tetap. Hikmah naskh jenis
ini adalah: tetapnya pahala membaca ayat tersebut dan mengingatkan umat
tentang hikmah naskh, terlebih dalam hukum yang diringankan dan
dimudahkan. Salah satu contohnya adalah dalam surah Al-Anfal ayat 65
“Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu’min itu untuk berperang. Jika

4
ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang
sabar) diantaramu, maka mereka dapat mengalahkan seribu daripada
orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak
mengerti.
Ayat ini menunjukkan kewajiban bersabarnya 20 umat Islam
berperang menghadapi 200 orang-orang kafir. Dan bersabarnya 100 umat
Islam berperang menghadapi 1000 orang-orang kafir. Kemudian hukum
ini dihapus dengan firman Allah selanjutnya pada surah al anfal ayat 66 ;
“Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui
padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang
yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika
diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ribu orang. Dan Allah beserta orang-orang yang
sabar”.
Pada hadist Riwayat Bukhori Abu bin Abbas lalu berkata bahwa ;
“Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka
dapat mengalahkan dua ratus orang musuh” (Al-Anfal/8: 65), hal itu
berat atas umat Islam, yaitu ketika diwajibkan atas mereka, bahwa satu
orang tidak boleh lari menghadapi 10 (musuh). Kemudian datanglah
keringanan, Allah berfirman: “Sekarang Allah telah meringankan
kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan.
Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka
dapat mengalahkan dua ratus orang.” Ketika Allah telah meringankan
dari mereka jumlah (musuh yang wajib dihadapi-red), kesabaranpun
berkurang seukuran apa yang Allah telah meringankan dari mereka”. Ini
adalah contoh hukum yang mansukh di dalam Al-Qur’an.
2. Naskh yang mansukh lafazhnya, tetapi hukumnya tetap.
Dinyatakan oleh Al-Aamidi rahimahullah bahwa ulama telah
bersepakat atas terjadinya naskh (penghapusan) tulisan/lafazh, tanpa naskh
hukumnya, berbeda dengan anggapan kelompok yang menyendiri dari
kalangan Mu’tazilah.

5
Hikmah naskh jenis ini adalah: agar kadar ketaatan umat kepada
Allah menjadi nampak, yaitu di dalam bersegera melakukan ketaatan dari
sumber yang zhanni rojih (persangkaan kuat), yaitu sebagian dari As-
Sunnah, bukan dari sumber yang seluruhnya yaqin, yaitu Al-Qur’an.
Sebagaimana Nabi Ibrahim Alaihissallam bersegera akan melaksanakan
penyembelihan terhadap anaknya, Nabi Isma’il, dengan sumber mimpi,
sedangkan mimpi adalah tingkatan terendah jalan wahyu kepada para nabi.
Adapun contoh jenis naskh ini adalah ayat rajm yang dikatakan
oleh Umar bin Khattab ia berkata ; “Sesungguhnya aku khawatir, zaman
akan panjang terhadap manusia sehingga seseorang akan berkata: “Kita
tidak mendapati rajm di dalam kitab Allah”, sehingga mereka menjadi
sesat dengan sebab meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan
oleh Allah. Ingatlah, sesungguhnya rajm adalah haq atas orang yang
berzina dan dia telah menikah, jika bukti telah tegak, atau ada kehamilan,
atau ada pengakuan”. Sufyan berkata: “Demikianalh yang aku ingat”.
“Ingatlah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan rajm,
dan kita telah melakukan rajm setelah beliau”. [HR. Bukhari, no: 6829;
Muslim, no: 1691; dan lainnya]
Lalu adapun riwayat yang mengatakan bahwa ; “Laki-laki yang tua
(maksudnya : yang sudah menikah) dan wanita yang tua (maksudnya :
yang sudah menikah) jika berzina, maka rajamlah keduanya sungguh-
sungguh, sebagai hukuman yang mengandung pelajaran dari Allah, dan
Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana”. Ini adalah contoh hukum yang
mansukh di dalam riwayat hadist.
3. Nash Yang Mansukh Hukumnya Dan Lafazhnya.
Adapun contohnya yaitu: ayat yang menyatakan 10 kali penyusuan
mengharamkan pernikahan. Seperti yang dikatakan oleh Aisyah RA ia
berkata: Dahulu di dalam apa yang telah diturunkan di antara Al-Qur’an
adalah: “Sepuluh kali penyusuan yang diketahui, mengharamkan”,
kemudian itu dinaskh (dihapuskan) dengan: “Lima kali penyusuan yang
diketahui”. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan

6
itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an. Terdapayt dalam HR.
Muslim, no: 1452

Makna dari perkataan ‘Aisyah yaitu “dan itu termasuk yang dibaca
di antara Al-Qur’an” adalah:
• Yaitu : Dibaca hukumnya, namun lafazhnya tidak.
• Atau : Orang yang belum kesampaian naskh bacaannya, masih
tetap membacanya.

KEDUA : Macam-macam naskh dilihat dari nash yang naasikh (menghapus)


–secara ringkas. Karena sumber atau dalil-dalil syara’ ada dua yaitu al-Qur`an
dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. maka ada empat jenis Nasikh yaitu:

1. Naskh sunnah dengan sunnah.


Suatu hukum yang dasarnya sunnah kemudian di-Naskh dengan
dalil syara’ dari sunnah juga. Contohnya: larangan ziarah kubur yang di-
Naskh menjadi boleh, seperti pada hadis di atas.

2. Naskh sunnah dengan al-Qur`an.


Suatu hukum yang telah ditetapkan dengan dalil sunnah kemudian
di-Naskh atau dihapus dengan dalil al-Qur`an, seperti ayat tentang ṣalat
yang semula menghadap Baitul Maqdis diganti dengan menghadap ke
Kiblat setelah turun yang terdapat di alquran surah al-Baqarah ayat 144
yaitu : Artinya: "Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke
langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu
sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram”

3. Naskh al-Qur`an dengan al-Qur`an.


Ada beberapa pendapat ulama tentang Naskh al-Qur`an dengan al-
Qur`an ada yang mengatakan tidak ada Nāsikh dan Mansūkh dalam ayat-
ayat al-Qur`an karena tidak ada yang batil dari al-Qur`an, diantaranya
adalah Abu Muslim al-Isfahani, berdasarkan firman Allah Swt. pada ayat
alquran surah Fushilat ayat 65 yang artinya : "yang tidak datang

7
kepadanya (al-Qur`an) kebatilan baik dari depan maupun dari
belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha
Terpuji."
Pendapat kedua mengatakan bahwa ada Nasikh Mansukh dalam
ayat-ayat al-Qur`an tetapi bukan menghapus atau membatalkan hukum,
yang berarti hanya merubah atau mengganti dan keduanya masih berlaku.
Contoh QS. al-Anfal ayat 65 yang menjelaskan satu orang muslim harus
bisa menghadapi 10 orang kafir, di-naskh dengan ayat 66 yang
menjelaskan bahwa satu orang muslim harus dapat menghadapi dua orang
kafir. Ayat 66 me-naskh ayat sebelumnya akan tetapi bukan menghapus
kandungan ayat 65. Kedua ayat ini masih berlaku menyesuaikan dengan
kondisi dan situasi. Demikian menurut beberapa ulama.
4. Bentuk-bentuk Naskh dalam al-Qur`an.
mayoritas ulama membagi Naskh menjadi tiga macam dan ini
dilihat dari segi membaca hukumnya yaitu:
a. Penghapusan terhadap hukum (ḥukm) dan bacaan (tilāwah)
secara bersamaan.
b. Penghapusan terhadap hukumnya saja sedangkan bacaanya
tetap ada.
c. Penghapusan terhadap bacaan saja, sedangkan hukumnya tetap
berlaku.

C. Pandangan Ulama Tentang Nasikh dan Mansukh

Secara umum pandangan ulama tentang hal ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu :

a. Bahwa Nasakh secara akal bisa terjadi dan secara Sam`i/Syar`i


telah terjadi.

Hal ini adalah hasil ijma’ dari kaum muslimin, munculny Abu Muslim Al-
Ashfahani beserta yang sepaham dengan beliau mengemukakan dalil dalil
kebolehan nasakh tersebut menjadi penyebabnya, baik secara ‘Aqli maupun

8
secara Sam’i/ Syar’i yaitu Dalil Aqli Menurut akal, Nasakh itu tidak dilarang atau
akal tidak menganggap mustahil terjadinya Nasakh itu.

Nasakh itu didasarkan atas kebijaksanaan Allah swt yang mengetahui


kemaslahatan hamba-Nya pada sewaktu-waktu. Sehingga Allah menyuruh suatu
perbuatan pada waktu tersebut. Tetapi Allah mengetahui pula mudharat yang
mengancam seseorang pada waktu yang lain. Sehingga melarang sesuatu
perbuatan pada waktu yang lain tadi

Kalau saja masalah itu tidak boleh menurut akal dan syara`, tentunya tidak
boleh juga syara` membuat peraturan yang terbatas waktunya, karena peraturan
yang terbatas waktunya itu, secara tidak langsung sudah membutuhkan Nasakh.
Padahal kenyataannya, banyak peraturan-peraturan yang demikian itu. Ini berarti
secara rasional "Nasakh"boleh terjadi. Dalil Sam`i/ Syar`i Al-Zarqany memetakan
dalil Sam`i / Syar`i ini menjadi dua kategori :

1. Kategori pertama, sebagai argumen terhadap orang Yahudi


dan Nasrani, dimana mereka mengingkari adanya Nasakh
terhadap syari`at mereka. Contoh argumen tersebut adalah ;
Pada saat Nabi Nuh keluar dari perahunya, Allah swt berfirman
kepada beliau: "Sesungguhnnya Aku jadikan setiap hayawan
melata yang hidup itu sebagai makanan untukmu dan anak
cucumu dan aku lepaskannya seperti rumput-rumput. Kecuali
darah, jangan kamu makan". Hal ini menunjukkan bahwa
dalam syari`ahnya Nabi Nuh diperbolehkan mengkonsumsi
segala hayawan yang ada, akan tetapi pada masa berikutnya
yaitu pada masa syari'ahnya Nabi Musa, banyak sekali
hayawan-hayawan yang diharamkan untuk dikonsumsi oleh
umatnya.

2. Kategori kedua, sebagai argumen untuk menanggapi bantahan


orang Islam sendiri yang menolak akan adanya Nasakh, seperti
Abu Muslim Al-Ashfahany. Contoh yang menguatkan argumen
tersebut adalah ; pada surah An-Nahl ayat 101 di sebutkan

9
bahwa “Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat
yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih
mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata:
"Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan
saja". Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui". (QS.
An-nahl 101)

b. Bahwa nasakh tidak mungkin terjadi secara akal maupun Sam`i/


Syar`i.

Kaum Nasrani berpendapat bahwa kaum Nasrani masa sekarang ini,


mereka menyerang Islam dengan dalih "Nasakh" ini. Mereka beranggapan Nasakh
ini adalah Bada`. yang beralasankan terkadang bisa jadi tanpa hikmah dan kadang
pula bisa jadi ada hikmahnya. Tetapi baru diketahui setelah sebelumnya tidak
diketahui. Alasan mereka tidaklah benar, sebab hikmah nasikh (yang menghapus)
atau hikmah yang di-mansukh (yang dihapus) tentu sangat diketahui oleh Allah
swt.

Pada saat Allah swt mengalihkan hambanya dari satu ketentuan hukum
kepada ketentuan hukum yang lain sudah pasti terdapat kemaslahatan didalamnya.
Pada dasarnya kaum Yahudi mengakui bahwa syari`ah Nabi Musa a.s itu me-
nasakh kepada hukum-hukum syari`ah sebelumnya dan memang dalam nash-nash
Taurat terdapat beberapa Nasakh, seperti diharamkannya sebagian besar hayawan
atas Bani Israil setelah sebelumnya diperbolehkan memakannya.

Seperti yang disebutkan dalam surah Ali Imran ayat 93 ; "semua makanan
adalah halal bagi Bani Israil (Ya`qub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat
diturunkan. Katakanlah (jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan
sebelum turun Taurat) maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah dia jika kamu orang-
orang yang benar"

Dalam kitab Taurat pun juga dituturkan, bahwa Nabi Adam a.s
memperbolehkan kawin antara saudara kandung yang kemudian diharamkan pada
masa Nabi Musa a.s. juga dalam Taurat disebutkan bahwa Nabi Musa mulanya

10
menyuruh membunuh orang-orang yang menyembah sapi kecil (al-`ijlu), tetapi
kemudian melarang hal tersebut.

c. Nasakh itu menurut akal mungkin terjadi tetapi menurut syara`


dilarang

Golongan Inaniyah berpendiri pendapat ini. Dengan mengakui terjadinya


Nasakh menurut logika. Namun dikatakan bahwa dilarang secara syara’. Abu
muslim serta yang berpendapat sama dengannya berdalil dengan alquran yaitu
pada surah Fusshilat ayat 42 dikatakan bahwa : "yang tidak datang kepadanya
(al-Qur`an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang
diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji" Mereka
menafsirkan ayat ini, bahwa hukum-hukum al-Qur`an itu tidak batal atau tidak
dihapus selamanya.

Padahal menurut al-Qurthuby, maksud dari ayat diatas adalah hukum-


hukum al-Qur`an itu, tidak akan ada kitab selainnya yang akan menghapuskan
atau membatalkan hukum-hukumnya, baik kitab sebelum al-Qur`an maupun
setelahnya.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Secara bahasa nasakh adalah menghapus, sedangkan mansukh adalah yang


dihapus. Dengan demikian ada dua hal yang terkait yakni Nasikh dan Mansukh.
Sedangkan menurut istilah yang dimksud dengan Nasaikh adalah meñghapuskan
suatu ketentuan hukum syara' dengan dalil syara' yang datangnya kemudian.

Artinya bahwa suatu mansukh bukan berasal dari hukum akal pikiran
ataupun hukum yang diciptakan manusia. Nasikh (dalil yang menghapuskan atau
membatalkan) musti memiliki selang waktu dari mansukh (dalil hukum yang
lama)

11
Ilmu Nasikh wa Mansukh merupakan bagian penting dalam ilmu Alquran
yang wajib diketahui oleh mujtahid, karenanya akan berakibat fatal apabila salah
dalam memahaminya pada konteks kekinian, karena itu mengatahui Nasikh wa
Mansukh dalam Alquran dijadikan syarat yang harus dipenuhi mujtahid dalam
menentukan hukum.

DAFTAR ISI

Referensi : https://almanhaj.or.id/3087-nasikh-dan-mansukh.html

Sumber : al-Sayyuthi, al-Itqan fi „Ulum al-Qur‟an, h. 22

Lihat: Mudzakirah ‘Ala Ushul Fiqh, hal: 148, karya Syeikh


Muhammad Al-Amin Syinqithi

Araul Mu’tazilah Al-Ushuliyyah, hal: 425, Syeikh Dr. Ali bin Sa’id bin
Shalih Adh-Dhuweihi

Sumber : https://www.bacaanmadani.com/2018/01/pengertian-nasikh-
dan-mansukh-macam.html

Jauzi, Ibn. NāsikhMansūkh, penerjemah. Wawan djuned Soffandi.


Jakarta: Media Grafika, 1992.

12

Anda mungkin juga menyukai