Anda di halaman 1dari 7

RESUME AL-QUR’AN KELOMPOK 8

NAMA : RIZKY RAMADHAN


KELAS :PMI-B SEMESTER I
MATA KULIAH ; AL-QUR’AN

RESUME
1. PENGERTIAN NASAKH DAN MANSUKH
Pengertian Naskh secara etimologi (bahasa). Naskh adalah ism fa’il (bentuk subyek)
dari kata kerja nasakha dan maṣdar-nya adalah naskh Terdapat beberapa arti kata naskh,
diantaranya adalah al-izalah artinya “menghapus” Dalam al-Qur`an disebutkan:1
Artinya: “Allah (menghapus) menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu,
dan Allah menguatkan ayat-ayat- Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
(QS.
al-Ḥajj : 52)
Diartikan juga at-tabdil artinya “menukar”. Sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Naḥl
ayat 101:
Artinya: "Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai
penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata:
“Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja”. bahkan kebanyakan mereka
tiada Mengetahui."
Selain itu, naskhu juga dapat berarti al-taḥwīl artinya “mengubah”, selain itu juga dapat
diartikan al-naql artinya “memindahkan”.
1 Mam Muhammad Abd Al-‘Azhim Al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulumi al-Qur’an
(Beirut : Dar al
Fikri, tth.), jilid II, hlm. 175.3
Pengertian Naskh secara terminologi (istilah). Secara terminologi Nasikh adalah
mengangkat (menghapuskan) dalil hukum syar‘i dengan dalil hukum syar’i yang lain. Nasikh
adalah dalil syara’ yang menghapus suatu hukum, dan
Mansūkh ialah hukum syara’ yang telah dihapus. Sebagaimana hadis Nabi: Artinya:
"Dahulu aku melarang kalian berziarah kubur, sekarang berziarahlah." (HR. atTirmidzi)
Hukum syara’ larangan ziarah kubur kini telah Mansukh (telah dihapus) dengan kebolehan
berziarah kubur, berdasarkan hadis ini. Anda belum mahir membaca Qur'an? Ingin Segera
Bisa? Klik disini Sekarang!
➢ Macam-macam Nasikh. Karena sumber atau dalil-dalil syara’ ada dua yaitu al-Qur`an
dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. maka ada empat jenis Nasikh, yaitu:
a. Naskh sunnah dengan sunnah. Suatu hukum yang dasarnya sunnah kemudian di-Naskh
dengan dalil syara’ dari sunnah juga. Contohnya: larangan ziarah kubur yang di-Naskh
menjadi boleh, seperti pada hadis di atas.
b. Naskh sunnah dengan al-Qur`an. Suatu hukum yang telah ditetapkan dengan dalil
sunnah kemudian di-Naskh atau dihapus dengan dalil al-Qur`an, seperti ayat tentang
ṣalat yang semula menghadap Baitul Maqdis diganti dengan menghadap ke Kiblat
setelah turun QS. al-Baqarah ayat 144:
Artinya: "Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka
sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke
arah Masjidil Haram.
c. Naskh al-Qur`an dengan al-Qur`an. Ada beberapa pendapat ulama tentang Naskh al
Qur`an dengan al-Qur`an ada yang mengatakan tidak ada Nāsikh dan Mansūkh dalam
ayat-ayat al-Qur`an karena tidak ada yang batil dari al-Qur`an, diantaranya adalah Abu
Muslim al-Isfahani, berdasarkan firman Allah Swt: Artinya: "yang tidak datang kepadanya
(al-Qur`an) kebatilan baik dari depan maupun
dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji."
(QS. Fuṣṣilat : 42 )
Pendapat kedua mengatakan bahwa ada Nasikh Mansukh dalam ayat-ayat al-Qur`an
tetapi bukan menghapus atau membatalkan hukum, yang berarti hanya merubah atau
mengganti dan keduanya masih berlaku. Contoh QS. al-Anfal ayat 65 yang menjelaskan
satu orang muslim harus bisa menghadapi 10 orang kafir, di-naskh dengan ayat 66 yang
menjelaskan bahwa satu orang muslim harus dapat menghadapi dua orang kafir. Ayat 66
me-naskh ayat sebelumnya akan tetapi bukan menghapus kandungan ayat 65. Kedua ayat
ini masih berlaku menyesuaikan dengan kondisi dan situasi. Demikian menurut beberapa
ulama.
➢ Bentuk-bentuk Naskh dalam al-Qur`an. Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya,
mayoritas ulama membagi Naskh menjadi tiga macam yaitu:
1 Penghapusan terhadap hukum (ḥukm) dan bacaan (tilāwah) secara bersamaan.
Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan diamalkan lagi.
Misal, sebuah riwayat Bukhari dan Muslim dari Aisyah: Artinya: “Dahulu termasuk
yang diturunkan (ayat al-Qur`an) adalah sepuluh kali susuan yang diketahui,
kemudian di-nasakh dengan lima susuan yang diketahui. Setelah Rasulullah Saw.
wafat, hukum yang terakhir tetap dibaca sebagai bagian alQur`an”
2 Penghapusan terhadap hukumnya saja sedangkan bacaanya tetap ada. Misalnya,
ayat tentang mendahulukan sedekah pada QS. Mujadilah : 12
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan
pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaknya kamu mengeluarkan sedekah
(kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih
baik bagimu dan lebih bersih, jika kamu tiada memperoleh (yang akan
disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha
Penyayang“ Ayat ini di-Naskh oleh ayat selanjutnya (ayat 13):
Artinya: “Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan
sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul? maka jika kamu tiada
memperbuatnya dan Allah telah memberi tobat kepadamu, maka dirikanlah salat,
45
tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan Allah Maha
Mengetahui apa yang anda kerjakan.”
3 Penghapusan terhadap bacaan saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku. Contoh
kategori ini adalah ayat rajam. Mula-mula ayat rajam ini termasuk ayat al-Qur`an.
Ayat ini dinyatakan mansukh bacaanya, sementara hukumnya tetap berlaku itu
adalah: Artinya: “Jika seorang pria tua dan wanita tua berzina, maka rajamlah
keduanya”. Cerita tentang orang tua yang berzina dan kemudian di-Naskh di atas
diriwayatkan oleh Ubay ibn Ka’ab bin Abu Umamah bin Sahl.
➢ Ciri-ciri naṣh yang tidak dapat di-Naskh. Tidak semua naṣ (dalil) dalam al-Qur`an
maupun hadis dapat di-naskh, diantara yang tidak dapat di-naskh antara lain yaitu:
a. Naṣh yang berisi hukum-hukum yang tidak berubah oleh perubahan keadaan manusia,
baik atau buruk, atau dalam situasi apapun. Misalnya kepercayaan kepada Allah Swt,
Rasul, kitab suci, hari akhirat, dan yang menyangkut pada pokok-pokok akidah dan
ibadah lainnya, termasuk juga pada pokok-pokok keutamaan, seperti menghormati
orang tua, jujur, adil dan lain-lain. Demikian pula dengan naṣ yang berisi pokokpokok
keburukan atau dosa, seperti syirik, membunuh orang tanpa dasar, durhaka kepada
orang tua, dan lain-lain.
b. Naṣh yang mencakup hukum-hukum dalam bentuk yang dikuatkan atau ditentukan
berlaku selamanya. Seperti tidak diterimanya persaksian penuduh zina (kasus li’an)
untuk selamanya (Q.S. an-Nur : 4). "Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita
yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka
deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima
kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik."
c. Naṣh yang menunjukkan kejadian atau berita yang telah terjadi pada masa lampau.
Seperti kisah kaum ‘Ad, kaum Ṡamūd, dan lain-lain. Me-naskh-kan yang demikian
berarti mendustakan berita tersebut.
2. PENDAPAT ULAMA MENGENAI NASAKH DAN MANSUKH
Pendapat Ulama tentang Nasikh-Mansukh dan Dalil-Dalilnya Secara umum ada tiga
pendapat mengenai Nasakh ini, yaitu :1 Bahwa Nasakh secara akal bisa terjadi dan secara
Sam`i/Syar`i telah terjadi.
Pendapat ini merupakan ijma` kaum Muslimin, sebab kemunculan Abu Muslim Al
Ashfahani beserta yang sepaham dengan beliau. Mereka mengemukakan dalil-dalil kebolehan
Nasakh tersebut, baik secara `Aqli maupun secara Sam`i/ Syar`i yaitu: Dalil Aqli Menurut
akal,
Nasakh itu tidak dilarang atau akal tidak menganggap mustahil terjadinya Nasakh itu.
Sebab, Nasakh itu didasarkan atas kebijaksanaan Allah swt yang mengetahui
kemaslahatan hamba-Nya pada sewaktu-waktu. Sehingga Allah menyuruh suatu perbuatan
pada waktu tersebut. Tetapi Allah mengetahui pula mudharat yang mengancam seseorang
pada
waktu yang lain. Sehingga melarang sesuatu perbuatan pada waktu yang lain tadi. Hal ini
diperkuat dengan praktek-praktek, sebagai berikut:
1. Dokter mula-mula menyuruh minum obat bagi pasien, tetapi setelah sembuh disuruh
berhenti minum obatnya tadi.
2. Guru mengajar, mula-mula memberikan penjelasan yang mudah, kemudian diubah dengan
diganti pelajaran yang lebih tinggi.
3. DPR/DPRD juga sering membuat keputusan/peraturan tertentu, yang setelah berjalan
beberapa waktu, lalu diubah dengan diganti keputusan/peraturan yang lain.
4. Kalau saja masalah itu tidak boleh menurut akal dan syara`, tentunya tidak boleh juga
syara`
membuat peraturan yang terbatas waktunya, karena peraturan yang terbatas waktunya itu,
secara tidak langsung sudah membutuhkan Nasakh. Padahal kenyataannya, banyak peraturan
peraturan yang demikian itu.
2 Bahwa nasakh tidak mungkin terjadi secara akal maupun Sam`i/ Syar`i.
Pendapat ini adalah dari seluruh kaum Nasrani masa sekarang ini, mereka menyerang
Islam dengan dalih "Nasakh" ini. Mereka beranggapan Nasakh ini adalah Bada`.
Mereka beralasan terkadang tanpa hikmah dan kadang pula ada hikmahnya. Tetapi baru
diketahui setelah sebelumnya tidak diketahui. Alasan mereka tidaklah benar, sebab hikmah
6nasikh (yang menghapus) atau hikmah yang di-mansukh (yang dihapus) tentu sangat
diketahui
oleh Allah swt.
Oleh karenanya, ketika Allah swt mengalihkan hambanya dari satu ketentuan hukum
kepada ketentuan hukum yang lain sudah pasti terdapat kemaslahatan didalamnya.
Sebenarnya
kaum Yahudi mengakui bahwa syari`ah Nabi Musa a.s itu me-nasakh kepada hukum-hukum
syari`ah sebelumnya dan memang dalam nash-nash Taurat terdapat beberapa Nasakh, seperti
diharamkannya sebagian besar hayawan atas Bani Israil setelah sebelumnya diperbolehkan
memakannya. Allah swt. Berfirman Ali Imran ayat 93.
3 Nasakh itu menurut akal mungkin terjadi tetapi menurut syara` dilarang
Pendapat ini merupakan pendirian golongan Inaniyah, dan Abu Muslim al-Ashfahani.
Mereka mengakui terjadinya Nasakh menurut logika. Tetapi mereka mengatakan dilarang
secara syara`. Abu Muslim serta yang sependapat dengannya berdalil dengan al-Qur`an yaitu:
surat al-Fusshilat ayat 42:
"yang tidak datang kepadanya (al-Qur`an) kebatilan baik dari depan maupun dari
belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji"
Mereka menafsirkan ayat ini, bahwa hukum-hukum al-Qur`an itu tidak batal atau tidak
dihapus
selamanya. Padahal menurut al-Qurthuby, maksud dari ayat diatas adalah hukum-hukum al
Qur`an itu, tidak akan ada kitab selainnya yang akan menghapuskan atau membatalkan
hukum
hukumnya, baik kitab sebelum al-Qur`an maupun setelahnya.

3. HUKUM, PEMBAGIAN DAN URGENSI NASAKH DAN MANSUKH


Hukum
Perlu diketahui bahwa adanya naskh dalam syari’at atau adanya ayat Al-Qur’an yang
mansukh
(dihapus hukumnya/lafazhnya) oleh ayat lain ditunjukkan oleh dalil naql (ayat/hadits), dalil
akal, dan ijma’.
1. Dalil Naql
Firman Allah SWT: "Apa saja ayat yang kami nasakhkan (hapuskan)..." (QS Al Baqarah:
106).
Makna kata “ayat” di dalam firman Allah ini adalah ayat Al-Qur’an, sebagaimana
penafsiran Salafush Shalih yang kami ketahui. Seperti riwayat dari Ibnu Abbas, Mujahid,
sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud, Abul ‘Aliyah, Muhammad bin Ka’b Al-Qurodhi, Adh-
Dhahhak,
‘Atho’, As-Suddi, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir, dan Ibnu Katsir.
Adapun manafsirkan kata “ayat” pada firman Allah di atas dengan “mukjizat”,
sebagaimana dalam Tafsir Qur’an Al-Furqan, karya A Hassan, maka kami khawatir itu
merupakan tafsir bid’ah. Walaupun secara bahasa dibenarkan, namun bertentangan dengan
ijma’ ahli tafsir sebagaimana di atas.
Firman Allah: "Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain." (QS
An Nahl: 101).
Demikian juga ayat ini juga nyata menunjukkan adanya ayat Al-Qur’an yang nasikh
dan mansukh, bukan hanya nasikh saja! Ayat yang Allah jadikan pengganti adalah nasikh,
ayat
yang digantikan adalah ayat mansukh. Dan ini sangat jelas, sebagaimana kita lihat. Adapun
sebagian dari contoh-contoh ayat mansukh akan kami sampaikan di bawah insya Allah. Lebih
luas dapat dilihat dalam kitab-kitab ushul fiqih.
2. Dalil Aql
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata, “Naskh boleh terjadi menurut akal dan
nyata terjadi menurut syari’at. Adapun bolehnya terjadi menurut akal, karena segala perkara
di
tangan Allah, segala hukum (keputusan) milik-Nya, karena Dia adalah Ar-Rabb (Sang
Penguasa) Al-Malik (Sang Pemilik). Maka Dia berhak mensyari’atkan bagi hamba-hamba-
Nya
apa yang dituntut oleh hikmah-Nya dan rahmat-Nya. Apakah akal menolak jika Sang Pemilik
memerintahkan kepada apa yang Dia miliki dengan apa yang Dia kehendaki?"
83. Dalil Ijma’
Banyak ulama telah menyatakan adanya ijma’ tentang adanya naskh dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Al-Baji berkata, “Seluruh umat Islam berpendapat bolehnya/ mungkinnya naskh
syari’at menurut akal dan syara’.” Al-Kamal Ibnul Humam berkata, “Pengikut syari’at-
syari’at
telah sepakat atas bolehnya (naskh, secara akal) dan terjadinya (secara syari’at).”

Pembagian Nasakh
Sebagian ulama lain ada yang membagi lagi An Naskh menjadi tiga pembagian yaitu:2
a. Naskh al Ma’muur bihi qabla al imtitsal, yaitu me-naskh perkara yang
diperintahkan sebelum dilaksanakan. Bentuk naskh ini merupakan naskh pada
hakikatnya.Contohnya yaitu perintah terhadap nabi Ibrahim untuk menyembelih
anaknya.
b. Naskh tajawwuzan, yaitu naskh dalam bentuk majaz. Contohnya perkara yang
diwajibkan kepada umat sebelum kita seperti qishash kemudian disyari’atkan diyat
sebagai penggantinya, dan perkara yang bersifat global kemudian di naskh seperti
menghadap kebait al muqaddas di naskh dengan menghadap ka’bah, dan seperti
naskh puasa ‘asyuradengan puasa ramadhan.
c. Naskh Maa Umira li sababin, yaitu naskh perkara yang telah diperintahkan
karenasuatu sebab kemudian sebab itu hilang. Contohnya seperti ketika umat islam
lemah dan sedikit diperintahkan untuk sabar dan tidak melakukan jihad kewajiban
itu di naskah dengan berperang. Apabila dilihat dari segi keluasan jangkauan naskh
terhadap hukum yang dikandung dalam suatu ayat, maka naskh terbagi pada dua
macam: Naskh kulli, yaitu nasakh yang mencakup seluruh hukum yang terkandung
dalam suatu ayat, misalkan; penghapus aniddah wafat selama satu tahun yang
diganti empat bulan sepuluh hari. Dan Naskh juz’i,yaitu menghapus hukum umum
9yang berlaku bagi semua individu dengan hukum yanghanya berlaku bagi individu,
atau menghapus hukum yang bersifat muthlak dengan yangbersifat muqayyad.
➢ Urgensi Pembahasan Naskh
Al-Zarqa’ni menuturkan bahwa pembahasan naskh mempunyai urgensi tertentu yang di
antaranya adalah:3
a. Pembahasan tentang naskh merupakan pembahasan yang panjang dan lebar, serta
banyak cabang dan khilafiyahnya.
b. Pembahasan tentang naskh mencakup masalah-masalah yang pelik yang menjadi akar
perdebatan di kalangan para ulama.
c. Musuh-musuh Islam yang terdiri dari kaum ateis, par misionaris dan orientalis telah
menjadikan naskh sebagai pedang yang beracun untuk menikam shari>‘at Islam dan
mencela kesucian al-Qur’an. Argumen-argumen mereka telah menyihir sebagian
intelektual muslim, sehingga mereka mengingkari keberadaan naskh.
d. Mengetahui al-nasikh dan al-mansu>kh dapat membuka tabir sejarah pensyariatan
hukum Islam, dan manusia akan mengetahui hikmah Allah SWT dalam mendidik
makhluk- Nya dan dalam menguji manusia.Dimana semua ini menunjukkan secara
jelas bahwa Muhammad SAW adalah seorang nabi yang ummi yang tidak mungkin
menjadi otak intelektual al-Qur’an.
e. Mengetahui nasikh dan mansukh merupakan unsur utama dalam memahami Islam dan
menunjukkan kepada hukum yang benar, khususnya ketika ditemukan dalil-dalil yang
bertentangan yang hanya bisa diselesaikan dengan metode nasikh dan mansukh.
PERTANYAAN DAN JAWABAN

1. Apa landasan dilakukannya nasakh pada ayat alquran? (pertanyaan dari pahami)

JAWABAN

Nasakh” adalah pembatalan terhadap pelaksanaan hukum. Nasakh terbagi menjadi berbagai
macam-macam bagian. Di antaranya, nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an, nasakh al-Sunnah
dengan al-Qur’an, nasakh al-Sunnah dengan al-Qur’an, dan nasakh al-sunnah dengan al-
Sunnah.

Dalam pembagian terhadap nasakh, para ulama berbeda pendapat tentang adanya nasakh
dalam al-Qur’an. Ada‘ulama yang menyetujui nasakh dalam al-Qur’an dan adapula ‘ulama
yang tidak sepakat adanya nasakh dalam al-Qur’an.

Teori nasakh adalah teori yang membahas mengenai pengetahuan nasakh. Hal ini menjadi
bahan penelitian bagi kalangan ‘ulama-‘ulama fiqh. Sehingga kajian teori nasakh tetap eksis
dan sangat dibutuhkan sampai saat ini.

2. Apa alasan yang kuat sebelumnya larangan ziarah kubur di naskh (atau di hapus) bukannya
berziarah dengan niat mendoakan yang sudah meninggal dapat pahala?
Dan apa alasan yang kuat juga setelah di naskh lalu menjadi boleh berziarah? (pertanyaan
dari Hajriani)

JAWABAN

Rasulullah awalnya mengharamkan ziarah kubur karena saat itu para sahabat masih belum
terbiasa untuk berziarah kubur tanpa melakukan kemusyrikan. Mengingat sebelum memeluk
Islam, orang-orang Arab sudah terbiasa menyembah kuburan, meminta dan berdoa serta
memberikan berbagai persembahan kepada ruh yang ada di dalam kubur. 
Sehingga, menurutnya, saat itu Rasulullah SAW melihat sebaiknya ziarah kubur dilarang
terlebih dahulu.

Dan alasan yang kuat juga setelah di nasakh lalu boleh menjadi berziarah?

Karena Rasulullah SAW sudah membolehkan ziarah kubur, melainkan saat itu beliau
memandang para sahabat sudah memiliki kedalaman iman serta aqidah yang dianggap telah
kokoh dan mantap. Sehingga, tidak ada resiko jatuh kepada jenis-jenis kesyirikan dalam
kubur.
Setidaknya ada dua tujuan utama kenapa kita berziarah kubur, selain karena memang ada
perintah langsung dari Rasulullah SAW. Yang pertama melembutkan hati dan mengingatkan
kematian, dan yang kedua bertujuan untuk mendoakannya orang yang sudah meninggal.
3. Mengapa perlu adanya nasakh dan mansukh, apa manfaatnya? (pertanyaan dari Mariam)
JAWABAN

Mengapa perlu adanya nasakh dan mansukh?


Ya karena Adanya nasikh mansukh, memberikan sebuah tarbiyah (baca: pelajaran), bahwa
Allah ketika memberikan sebuah ketetapan hukum secara bertahap, hukum bisa berubah
tergantung kondisi masyarakat. Penasikhan tersebut berkaitan dengan hukum agama, tidak
berkaitan dengan ketauhidan. Seperti penasikhan khamr tidak secara langsung, bahwa
masyarakat arab mempunyai tradisi meminum khamr, yg jelas untuk merubah sebuah tradisi
yang sudah mengakar harus secara bertahap. Di al quran di jelaskan bahwa al quran tidak
semerta-merta mengharamkan khamr, akan tetapi al quran menjelaskan manfaat dan
madharat khamr. Setelah itu Allah melarang minum ketika hendak melakukan shalat, baru
setelah itu Allah mengaharamkannya.

Manfaat mempelajari Nasakh dan Mansukh :


1. Mememlihara kepentingan hamba dan kemaslahatan hamba.
2. Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak
3. Perkembangan tasyri menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan
perkembangan kondisi umat manusia.
4. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika nasakh itu beralih ke hal
yang lebih berat maka didalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang
lebih ringan maka ia mengundang kemudahan dan keringanan.
5. Menunjukkan bahwa syariat islam yang diajarkan Rasulullah adalah syariat yang paling
sempurna, Yang telah mengahpus syariat-syariat dari agama sebelumnya. Karena syariat
islam telah mencakup ajaran-ajaran sebelumnya.
6. Untuk menguji umat islam dengan perubahan hukum, apakah dengan perubahan ini
mereka masih taat atau sebaliknya.
7. Agar pengetahuan tentang hukum tidak menjadi kacau dan kabur. Sebagaimana perkataan
Ali r.a kepada seorang hakim. Yang artinya: Diriwayatkan, Ali pada suatu hari melewati
seorang hakim lalu bertanya: Apakah kamu mengetahui Nasakh dan Mansukh? “Tidak”
jawab hakim itu, Maka kata Ali “ celakalah kamu, dan kamu mencelakakan orang lain.

Anda mungkin juga menyukai