Anda di halaman 1dari 15

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Nasikh Mansukh

Nasikh memiliki dua pengertian yakni secara etimologi (bahasa) dan juga
secara terminoligi (istilah). Berikut makna kata Nasikh secara bahasa yang
dipandang paling relevan :

1. “Ar-Raf’ulal-izalah” yang berarti penghapusan.

2. “An-Naqlu” yang berarti penyalinan ataupun penulikan.

3. “Al-Ibthal” yang berarti penghilangan atas sesuatu.

4. “At-Taghyir wal Ibtal Wal Iqamah ash-Shai’ Maqamahu” yang artinya


ialah mengganti atau menukar. Makna diatas mempunyai dasar
Kalamullah pada ayat 106 Q.S Al-Baqarah :

Artinya : “Ayat mana saja yang Kami nasikhkan, atau Kami jadikan
(manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya
atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa
sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” (Q.S. Al – Baqarah
: 106). 1

5. “At-Tahwil wal Baqa ‘ihi fi Nafsihi / At-Tabdil” yang artinya


“memalingkan, meyalin atau memindahkan”. Namun tiada kalamullah
yang mencontohkan ataupun mendasari makna ini.

1 Kementrian Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Terjemahan New Cordova


(Bandung : Sygma, 2012), 101.

1
Selanjutnya makna kata Nasikh secara istilah yang dijelaskan oleh ahli
Fiqih (Fuqaha) yaitu bahwa Nasikh adalah “rof’u as syaari’ hukman syar’iyyan bi
dalilin syar’iyyin mutaraakhin ‘anhu” yang berarti “pengangkatan (penghapusan)
oleh as Syaari’ (Allah Swt) terhadap hukum syara’ (yang lampau) dengan dalil
syara’ yang terbaru.” Yang dimaksud dengan pengangkatan hukum syara’ adalah
penghapusan kontinuitas pengamalan hukum tersebut dengan mengamalkan
hukum yang ditetapkan terakhir.

Sama halnya dengan Nasikh, kata Mansukh juga memiliki pengertian


secara etimologi (bahasa) dan juga terminologi (istilah). Maka secara etimologi
Mansukh artinya “suatu hal yang diganti”. Sedang secara istilah/terminologi,
Mansukh diartikan sebagai “hukum syara’ yang menempati posisi awal, yang
belum diubah dan belum diganti dengan hukum syara’ yang datang kemudian”.

Dari pengertian-pengertian diatas, selanjutnya kita perlu memahami kata


Nasakh. Yang dimaksud Nasakh adalah suatu perbuatan pembatalan atau
penghapusan pada hukum syara’ dari hukum lama menuju hukum baru yang
bersumber dalil syara’ yang datang kemudian. Maka dalam menasakhkan
diperlukan dua unsur penting yaitu Nasikh dan Manshuk. Dimana Nasikh
merupakan hukum/dalil syara’ yang sifatnya menghapus suatu hukum atau
merupakan subjek penghapus, sedangkan Mansukh merupakan hukum/dalil syara’
yang nantinya dihapus atau diganti atau juga merupakan objek penghapusannya.2

B. Jenis – Jenis Nasakh

Umumnya para ulama membagi Nasakh menjadi empat bagian, yaitu :

1. Nasakh ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an.

Para ulama bersepakat bahwa sebuah ayat bisa saja di-Nasakh (Mansûkh)
oleh ayat yang lain dan itu terjadi dalam Al-Quran. Contohnya, ayat

2 Anita Rahmalia & Ridho Pramadya Putra. (2022). Nasikh wa Al-Mansukh. (Surakarta :
Universitas Islam Negeri Raden Mas Said). Jurnal Kajian Al – Qur’an dan Al – Hadis, Vol.2 No.1,
29.

2
tentang iddah wanita yang ditinggal mati suaminya selama setahun di-
Nasakh oleh ayat yang menjelaskan bahwa iddah nya selama empat bulan
sepuluh hari.

2. Nasakh ayat al-Quran dengan as-Sunnah.

Nasakh ini diperselisihkan oleh para ulama. Sehingga Nasakh ini memiliki
dua macam, yaitu :

a. Nasakh Al-Qur’an dengan hadist ahad. Junhur berpendapat, Al-Qur’an


tidak boleh di-Nasakh oleh hadist ahad. Sebab, Al-Qur’an adalah
mutawatir dan menunjukkan keyakinan, sedang hadist ahad itu shanni,
bersifat dugaan. Di samping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang
ma’lum (jelas diketahui) dengan yang mazhnun (diduga).
b. Nasakh Al-Qur’an dengan hadist mutawatir. Nasakh semacam ini
dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat sebab
masing-masing keduanya adalah wahyu. Sesuai firman Allah di bawah ini
:

Artinya : “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa


nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).” (An-Najm : 4-5). 3

Al-Quran telah menetapkan bahwa As-Sunnah


merupakan hujjah (disamping Al-Quran sendiri). Jika As-Sunnah dianggap me-
Nasakh Al-Quran maka berakibat pembatalan bagi as-Sunnah itu sendiri
dikarenakan Nasakh adalah al-raf'u (pengangkatan/penghapusan), sehingga jika
Al-Quran (yang merupakan al-ashlu atau pokok) terangkat atau terhapus maka
terangkat pula As-Sunnah (yang nota-bene merupakan al-far'u atau cabang).
Oleh karena As-Sunnah berfungsi sebagai bayân (penjelas) terhadap Al-Quran
dan bukan malah menghapus atau membatalkan (Nasakh) ayat-ayatnya.

3 Kementrian Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Terjemahan New Cordova


(Bandung : Sygma, 2012), 346.
3
3. As-Sunnah dengan Al-Quran

As-Sunnah dengan Al-Quran ini diperselisihkan pula oleh para ulama.


Jumhur ulama dari kalangan fuqaha dan teolog berpendapat, Nasakh semacam
ini benar-benar terjadi. Contoh:

 Kiblat yang tadinya mengarah ke Bait Muqaddas ditetapkan dengan As-


Sunnah kemudian di-Nasakh mengarah ke Bait al-Quran.
 Puasa asyura yang semula wajib berdasarkan as-Sunnah di-Nasakh oleh
kewajiban puasa Ramadhan yang ditetapkan melalui ayat Al-Quran.
Imam Syafi'i dalam salah satu dari dua riwayat dari Beliau, serta sejumlah
sahabat Beliau menolak pula Nasakh ini. Beliau beralasan bahwa antara Al-
Quran dan As-Sunnah, sejatinya, saling mendukung. Keserasian dan
kesecocokan antara keduanya merupakan keniscayaan. As-Sunnah, sekali lagi,
adalah bayân sehingga tidak logis kiranya jika ia dihapus atau dibatalkan oleh
Al-Quran. Hal ini dikarenakan dapat menyebabkan kepercayaan orang terhadap
As-Sunnah akan goyah, yang pada gilirannya menafikan upaya-upaya ketaatan
kepada diri Rasulullah saw yang nota-bene merupakan perintah Allah swt.
4. Nasakh As-Sunnah dengan As-Sunnah.

Jenis ini dirinci menjadi empat bagian:

a) Nasakh As-Sunah yang mutawâtir dengan yang mutawâtir.


b) Nasakh As-Sunnah yang âhâd dengan yang mutawâtir.
c) Nasakh As-Sunnah yang âhâd dengan yang âhâd.
d) Nasakh As-Sunnah yang mutawâtir dengan yang âhâd. 4
Ketiga pertama diatas diamini oleh jumhur ulama sedang yang keempat
dipermasalahkan oleh mereka. Lagi-lagi alasannya karena As-Sunnah
yang mutawâtir itu qath'iy al-tsubût sehingga kedudukannya lebih kuat dibanding
As-Sunnah yang âhâd yang zhanniy al-tsubût. Dan pembatalan terhadap yang
kuat tak mungkin dilakukan kecuali oleh yang kuat pula. Sekali lagi, mazhab
Zhahiri membolehkan Nasakh As-Sunnah yang mutawâtir dengan yang âhâd,
jika As-

4
4 Syaikh Manna’ Al-Qaththan. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an Cet.XII. (Jakarta : Pustaka
Al- Kautsar,2016). 291.

5
Sunnah yang âhâd itu terbukti memberikan keyakinan yang qath'i (qath'iy al-
dalâlah).

C. Ruang Lingkup Nasakh dalam Al – Qur’an

Menurut Akmal (2018) pada artikelnya menyatakan bahwa “Terlepas dari


kontroversi tentang diterima atau tidak nasikh dan mansukh, masalah yang
terpenting untuk dibicarakan dalam nasikh dan mansukh adalah kawasan
penggunaan nasikh dan mansukh dalam upaya interperetasi hukum. Jika upaya
untuk mengeluarkan hukum sudah ditempuh sesuai dengan ilmu ushul Fiqih dan
ternyata kontradiksi antara dua ketentuan hukum belum dapat teratasi, pada posisi
inilah dimungkinkan adanya nasikh–mansukh, atau dilihat dari segi historis
menyangkut kedua ketentuan hukum yang kontradiksi”.5 Ulama sepakat untuk
menetapkan ayat yang dikategorikan kontradiksi dengan syarat yang ketat.

Akmal (2018) berpendapat bahwa terdapat beberapa syarat agar hal-hal


tersebut dapat disebut sebagai nasakh 6, antara lain sebagai berikut :

1. Manna Khalil al-Qattan (2009) menyatakan “ Hukum yang mansukh adalah


hukum syara’ ”.7 Hal ini juga senada dengan Imam al Sabuni yang mengutip
pendapat jumhur ulama yang membatasi bahwa nasikh mansukh hanya
berkaitan tentang perintah dan larangan. Dalam kitab al-Burhan fi Ulum Al-
Qur’an disebutkan :

Artinya:
“Jumhur berpendapat bahwasanya tidak terdapat naskh kecuali pada perintah
dan larangan”.

5 Akmal. (2018). Jurnal al-Mubarak. Naskh dalam Al-Qur’an (Al-Nasikh wa al-Mansukh), 3(1), 26.
6 Ibid., 26-27.
7 Al-Qattan & Manna' Khalil. Mabahis fi ulumu al- Quran. Cet. II; Mansyurat al-'Asr al-Hadis. Mabahis fi
Uumul Qur'an, diterjemahkan oleh Mudzakir AS. Studi Ilmu-ilmu Qur'an . (Cet.XII ; Bogor: Pustaka
Litera AntarNusa, 2009), 327.

6
Bahkan perintah dan larangan itu dalam bentuk khabar (kalimat berita)
yang memiliki pesan talab (perintah) disebut naskh. Sedangkan kalimat
berbentuk khabar yang tidak bermakna thalab, nasikh tidak terjadi.

2. Dalil yang me-nasikh adalah khitab syar'i yang datang kemudian; dari khitab
yang hukumnya di-mansukh.
3. Khitab yang mansukh hukumnya tidak terikat atau dibatasi dengan waktu
tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan
berakhirnya waktu tersebut. Dan yang demikian tidak dinamakan naskh. 8
4. Nasikh tidak terdapat dalam akhlak dan adab yang diperintahkan dalam Islam.
5. Nasikh juga tidak terjadi pada Aqidah, seperti: Zat Allah,Sifat Allah, Kitab-
kitab Allah, dan khabar yang jelas dan nyata, seperti janji Allah bagi orang
yang bertakwa.
6. Kategori ayat yang tidak tersentuh nasikh mansukh yaitu ayat mengenai janji
ancaman. Termasuk yang tidak tersentuh nasikh mansukh ayat yang berisi
cerita tentang berbagai umat. 9
7. Sebagian ahli ilmu tidak membenarkan naskh dengan hadits ahad; meskipun
itu diriwayatkan oleh perawi yang adil, pendapat mufassir yang awam dan
ijtihad para mujtahid tanpa adanya nukilan yang benar dan tanpa ada
pertentangan pasti. Namun sebaliknya sebagian yang lain lebih
memudahkan/menganggap enteng dengan menerrima atau mencukupkan
pada pendapat mufassir atau mujtahid. 10
Dan yang dianggap benar menurut
kitab al-Itqan adalah kebalikan dari dua pendapat tersebut.

Mardan (2009), seorang guru besar UIN Alauddin Makassar yang


meninjau azas, pengertian, kedudukan, dan kawasan nasikh–mansukh dan
mengemukakan secara lebih luas dan mendetail pensyaratan nasikh–mansukh,
yaitu:

a. Ketentuan hukum yang dicabut, dalam formulasinya tidak berisi keterangan


bahwa ketentuan tersebut berlaku sepanjang waktu atau selamanya.

8 Ibid.
9 Marsuki & Kamaluddin. Ulum al-Quran. (Cet. II; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994),
141. 10 Ibid., 231.

7
b. Ketentuan hukum yang terdapat pada ayat tersebut tidak terkait pada hal yang
telah disepakati secara universal tentang kebaikannya atau keburukannya,
seperti keadilan adalah hal yang baik sedangkan ketidakadilan adalah hal
yang buruk.
c. Ketentuan hukum yang mencabut atau nasikh, ditetapkan kemudian, karena.
menurutnya pada hakikatnya nasikh adalah mengakhiri pernberlakuan
ketentuan hukum yang telah ada sebelumnya.
d. Dalam penelusuran atau penelitian gejala kontradiksi tidak dapat diatasi.11

D. Syarat – Syarat Nasakh

Syarat-syarat yang menyebabkan proses Naskh, yaitu :

1) Hendaklah hukum yang terkandung dalam Nasikh dan Mansukh bertentangan


sehingga tidak mungkin untuk diambil upaya jama’ (kompromi). Kalau
keduanya masih mungkin mengalami proses jama’, maka salah satu
diantaranya tidak bisa me-Nasakh yang lainnya. Kasus seperti ini bisa terjadi
karena dua kemungkinan:

a. Hukum yang terkandung pada dalil pertama ternyata tercakup pada dalil
yang kedua, karena mananya yang lebih umum. Begitu juga dalil yang
kedua masih tercakup pengertiannya pada dalil pertama karena
maknanya yang lebih khusus sebab memang dalil khas (bersifat lebih
khusus) tidak bisa me-Nasakh dalil ‘am (bersifat lebih umum) akan tetapi
harus dijelaskan bahwa sesuatu yang dikhususkan tidak bisa masuk
dalam kategori dalil umum.

b. Masing-masing dari hukum memiliki kondisi sendiri yang tidak bisa


dipengaruhi oleh kondisi hukum yang lain.

2) Hendaklah hukum dalil yang mansukh sudah berlaku sebelum digantikan


dengan hukum Nasikh. Hal ini bisa terjadi jika diketahui melalui kronologi
sejarah, yakni diberitakan bahwa hukum yang pertama telah ada terlebih

11 Mardan. Al-Qur'an; Sebuah Pengantar Memahami al-Qur'an Secara Utuh. Cet. XI; (Jakarta:
Pustaka Mapan, 2009), 126.

8
dahulu sebelum hukum yang datang terakhir. Sebab, meskipun ada dua
hukum yang bersifat bertentangan dan tidak mungkin untuk diamalkan secara
bersamaan. Namun, apabila tidak ada keterangan untuk menyebutkan kalau
salah satu dari hukum itu berlaku lebih dahulu maka dalam kasus seperti ini
tidak boleh ada proses nasakh.

3) Hukum yang di nasakh hendaknya hukum yang ditetapkan melalui nash


syar’i. Kalau hukumnya hanya sebatas ditetapkan oleh tradisi atau kebiasaan,
maka hukum baru yang membatalkan tidak bisa dibilang sebagai Nasikh,
akan tetapi dianggap sebagai awal mula dalam pensyariatkan hukum baru.
Pendapat ini seperti yang dikemukakan oleh para ulama ahli tafsir yang telah
mengatakan kalau praktek thalak pada masa jahiliyah tidak dibatasi dengan
jumlah bilangan yang pasti telah di-Naskih. Menurut mereka praktek ini harus
dengan firman Allah Ta'ala.

4) Hukum dalil yang berfungsi sebagai nasikh harus berasal dari nash syar’i,
Sebagaimana hukum pada dalil yang Mansukh. Kalau hukum dalam dalil
Nasikh ternyata bukan ditetapkan melalui nash yang di nukil secara syar'i
maka tidak boleh menjadi Nasikh bagi dalil yang dinukil (melalui nash
syar’i). Oleh karena itu, jika ada sebuah hukum yang ditetapkan melalui nash
syar’i, Maka tidak boleh di-Nasakh hanya dengan keputusan ijma’ atau qiyas.

5) Proses penetapan dalil nasikh hendaknya minimal setara dengan proses


penetapan dalil mansukh.12

E. Hikmah dalam mempelajari Nasakh

Terdapat dua hikmah dalam mempelajari Nasakh, yaitu :


1) Bagi yang memberikan makna penangguhan.
Fungsi Nasakh adalah penahapan dalam tashri’ menuju tingkat sempurna
sesuai dengan perkembangan dakwah dan pemberian kemudahan atau
keringanan.13

12 Ibnu Jauzi, An-Nasikh Wal Mansukh (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), 315.
13 Syaikh Manna Al-Qaththan, “Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta Timur : Pustaka Al-
Kautsar, 2015), 269.

9
2) Hikmah Nasikh secara umum
(1) Untuk menunjukkan bahwa syariat islam adalah syariat yang paling
sempurna.
(2) Selalu menjaga kemaslahatan umat manusia.
(3) Untuk menjaga agar perkembangan hukum Islam selalu relevan dengan
semua situasi dan kondisi umat yang mengamalkan dan mengaktualkan.
(4) Untuk menguji kualitas keimanan umat manusia
(5) Untuk menambah kebaikan bagi umat manusia
(6) Untuk memberi despensasi dan keringanan bagi umat manusia
(7) Untuk mengarahkan manusia mengetahui hukum-hukum yang berkaitan
denga halal dan haram.

F. Contoh Nasakh

Berikut ialah beberapa contoh Nasakh yang dapat kita temui sehari-hari/secara
umum, yaitu :

1. Larangan konsumsi alkohol (khamr dan judi)

Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah:


‘Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia,
tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya’ dan mereka bertanya
kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ‘Yang lebih dari
keperluan.’ Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu
supaya kamu berfikir.” (Q.S. Al – Baqarah : 219). 14

14 Kementrian Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Terjemahan New Cordova


(Bandung : Sygma, 2012), 110.

10
2. Perubahan arah (kiblat) yang harus dihadapi ketika shalat shalat (awalnya
Muslim menghadap ke Yerusalem, tetapi diubah menjadi menghadap ke
Ka’bah di Mekah).

Artinya : “Sungguh kami (sering) melihat mukamu mengadah ke langit, maka


sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana sajja kamu
berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang – orang
(Yahudi dan Nasrani) yang diberi al-Kitab (Taurat dan Injil) memang
mengetahui bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Rabb-
nya, dan Allag sekali-kali tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan.”
(Q.S. Al-Baqarah
: 144). 15
3. Hukum ziarah kubur. Di dalam hadis Nabi saw. Disebutkan bahwa "Pernah
aku melarang kalian melakukan ziarah kubur, sekarang lakukanlah " (Lihat
Jami' al-Sahih oleh Imam Muslim).
4. Masa iddah seorang isteri selama satu tahun.

Artinya : “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan
meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya (yaitu) diberi

15 Ibid, 106.
11
nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya).
Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak akan ada dosa bagimu
(wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang
ma’ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(Q.S. Al – Baqarah : 240)16

5. Sebuah riwayat al-Bukhari dan Muslim hadis dari ‘Aisyah ra. Tentang dua
anak yang berlainan ibu sudah dianggap bersaudara apabila salah seorang di
antara keduanya menyusu kepada ibu salah seorang.

G. Problematika Nasikh Mansukh

Eksistensi Naskh Mansūkh dalam Al-Qur’ān merupakan sebuah persoalan


yang tiada henti-hentinya mengundang untuk didiskusikan. Pertanyaannya adalah
bisakah suatu ayat di-Naskh oleh ayat yang lainnya yang dianggap kontradiksi
(ta’ārudl). Kontroversi ini melahirkan kelompok yang pro adanya Naskh Mansūkh
dalam Al-Qur’ān dan kelompok yang kontra.

1) Hujjah Kelompok yang Pro Naskh Mansūkh

Ulama yang mendukung eksistensi Naskh-Mansūkh menyatakan bahwa


Naskh (penghapusan) sebagian ayat Al-Qur’ān oleh ayat yang lainnya adalah
boleh dan telah terjadi. Alasan mereka adalah:

a. Firman Allah :

Artinya : “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan
(manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya
atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa

16
Ibid, 114.

12
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” (Q.S. Al-Baqarah
: 106).17
b. Firman Allah :

Artinya : “Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain
sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang
diturunkan-Nya, mereka berkata : ‘Sesungguhnya kamu adalah orang
yang mengada – adakan saja’. Bahkan kebanyakan mereka tiada
mengetahui” (Q.S. An-Nahl : 101). 18
c. Karena adanya kontradiksi antara satu ayat dengan ayat lainnya, jika
dilihat dari segi makna yang tersurat, seperti ayat tentang wasiyyat
dengan ayat tentang mawaris.
Allah sejak azali telah mengetahui soal Naskh dan Mansūkh sebelum
ketiga soal itu disyari’atkan bagi hamba-hamba-Nya, bahkan sebelum
manusia, langit, dan bumi diciptakan-Nya. Allah Maha Mengetahui bahwa
pen-Naskh- an hukum yang pertama (ketentuan hukum yang di-Naskh) adalah
untuk kepentingan suatu hikmah atau suatu kemaslahatan hingga waktu
tertentu. Kemudian hukum yang kedua pun (yang me-Naskh hukum yang
pertama) ditetapkan untuk kepentingan suatu hikmah atau kemaslahatan yang
lain. Ketentuan baru yang me-Naskh ketentuan lama tidak lain hanyalah
penampilan sesuatu bagi manusia, bukan penampilan sesuatu bagi Allah.

2) Hujjah Kelompok yang Kontra Naskh Mansūkh

Tidak sependapat tentang adanya Naskh dalam Al-Qur’ān sebagian


ulama yang lain berpendapat bahwa tidak ada Naskh (penghapusan) ayat
dengan ayat lainnya dalam Al-Qur’ān. Ulama yang menyatakan demikian
diantaranya

17
Ibid, 101.
18
Ibid, 131.

13
adalah Abu Muslim al-Asfahaniy yang kemudian diikuti oleh ulama
mutaakhirin. Diantara argumentasi ulama-ulama yang menyatakan tidak ada
Naskh dalam al-Qur’ān adalah:

a. Jika dalam Al-Qur’ān terdapat ayat yang telah Mansūkh (dihapus), maka
sebagian ayat Al-Qur’ān ada yang dibatalkan. Dengan demikian, maka
sebagian isi Al-Qur’ān ada yang batal. padahal Allah telah menegaskan

dalam firman-Nya :

“Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’ān) kebatilan baik dari depan


maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha
Bijaksana lagi Maha Terpuji” (QS. Fushshilat : 42). 19

b. Tidak adanya kesepakatan para ulama berapa jumlah ayat yang telah di-
Naskh. Demikian pula para sahabat, tampaknya hanya Ali saja yang
berwanti-wanti tentang Naskh.
c. Tidak ada penegasan Nabi tentang ada atau tidaknya Naskh. Sekiranya
telah terjadi Naskh dalam al-Qur’ān, tentunya Nabi sebagai pemegang
otoritas utama dari Al-Qur’ān menjelaskannya dengan tegas.
d. Tidak jelasnya hikmah adanya Naskh.20

19
Ibid, 265.
20
Rofiq Nurhadi, Syamsul Hadi, Suhandono & Thoyib I.M. Pro-Kontra Naskh dan Mansukh
dalam Al-Qur’an. (Cakrawala, Vol. X, No. 1, Juni 2015), 64.

14
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dengan mengacu pada rumusan masalah dalam makalah ini dan penyajian
data yang terkumpul maka penulis menyusun beberapa kesimpulan sebagai
berikut:

1. Nasikh memiliki dua pengertian yakni secara etimologi (bahasa) dan juga
secara terminoligi (istilah).
2. Al-Quran telah menetapkan bahwa As-Sunnah merupakan hujjah (disamping
Al-Quran sendiri).
3. Terlepas dari kontroversi tentang diterima atau tidak nasikh dan mansukh,
masalah yang terpenting untuk dibicarakan dalam nasikh dan mansukh adalah
kawasan penggunaan nasikh dan mansukh dalam upaya interperetasi hukum.
4. Hendaklah hukum dalil yang mansukh sudah berlaku sebelum digantikan dengan
hukum Nasikh.
5. Terdapat dua hikmah dalam mempelajari Nasakh, yaitu : bagi yang memberikan
makna penangguhan dan Hikmah Nasikh secara umum.
6. Contoh Naskh yang dapat ditemui dalam kehidupan sehari – hari ialah
larangan khamr/alkohol, hikmah ziarah, masa idah dan persusuan dua
saudara.
7. Allah Maha Mengetahui bahwa pen-Naskh-an hukum yang pertama
(ketentuan hukum yang di-Naskh) adalah untuk kepentingan suatu hikmah
atau suatu kemaslahatan hingga waktu tertentu.

15

Anda mungkin juga menyukai