Anda di halaman 1dari 8

NASIKH MANSUKH

ARTIKEL

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Al-Qur’an dan Hadits
Dosen Pengampu :
Muh. Habibulloh, M.Pd.I.

Disusun oleh : Kelompok 3 - MKS 1D


1. IIN SUGANDA DEWI (126406213179)
2. FATMA RACHMA WATI (126406213180)
3. EMA LUTFIANA (126406213181)
4. MUHAMMAD FATHIYYA ELEAZAR (126406213182)

MANAJEMEN KEUANGAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UIN SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG
2021
A. Pengertian Nasikh Mansukh
Kata Nasikh dan Mansukh merupakan bentuk ubahan dari kata ‘Naskh’, yang
mana kata tersebut merupakan berbentuk masdar, dari kata kerja lampau (fi’il madi)
nasakha. Dari sisi bahasa, Nasakh sendiri memiliki banyak makna, diantaranya:
1. Menghilangkan (Al-Izalah)
2. Menggantikan (At-Tabdil)
3. Peralihan (At-Tahwil)
4. Pemindahan (Al-Naql)

Secara terminologi, Naskh merupakan ketentuan hukum yang datang


kemudian, guna membatalkan atau mencabut, atau menyatakan berakhirnya masa
pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan yang berlaku adalah yang
ditetapkan belakangan. Sedangakang Mansukh merupakan sesuatu yang dihapus,
dihilangkan, dipindah, disalin, atau dinukil.

B. Pendapat-Pendapat Mengenai Nasikh dalam Al-Qur’an


Dalam masalah Nasikh, terdapat empat golongan, diantaranya
1. Orang Yahudi
Mereka tidak mengakui adanya Nasikh, karena menurutnya, Nasikh
mengandung konsep al-bada’, yaitu muncul setelah bersembunyi. Yang
dimaksud di sini adalah Nasikh adakalanya tanpa hikmah, dan hal ini mustahil
bagi Allah. Dan adakalanya karena sesuatu hikmah yang sebelumnya tidak
nampak. Dengan demikian, terdapat suatu kejelasan yang didahului oleh
ketidakjelasan. Dan ini pun mustahil bagi-Nya.
Cara berdalil mereka ini tidak dapat dibenarkan, sebab masing-masing
hikmah dari Nasikh dan Mansukh telah diketahui Allah sebelumnya. Jadi
pengetahuan-Nya tentang hikmah tersebut bukanlah hal yang baru muncul. Ia
membawa hamba-hamba-Nya dari satu hukum ke hukum yang lain adalah
karena sesuatu maslahat yang telah diketahui-Nya jauh sebelum itu, sesuai
dengan hikmah dan kekuasaan-Nya yang absolut terhadap segala milik-Nya.
2. Orang Syi’ah Rafidah
Mereka sangat berlebih-lebihan dalam menetapkan Nasikh, bahkan
memperluas lingkupnya. Mereka memandang konsep al-bada’ sebagai suatu
hal yang mungkin terjadi bagi Allah. Dengan demikian, maka posisi mereka
kontadiktif dengan orang Yahudi. Untuk mendukung pendapatnya itu, mereka
mengajukan argumentasi dengan ucapan-ucapan yang mereka nisbahkan
kepada Ali Radiyallahu Anhu secara dusta dan palsu. Juga dengan firman Allah
pada Q.S. Ar-Rad ayat 139 dengan pengertian bahwa allah siap untuk
menghapuskan dan menetapkan.
Paham demikian merupakan kesesatan yang dalam dan penyelewengan
terhadap Al-Qur’an. Sebab makna ayat tersebut adalah: Allah menghapuskan
segala sesuatu yang dipandang perlu dihapuskan dan menetapkan
penggantinya jika penetapannya mengandung maslahat. Disamping itu
penghapusan dan penetapan terjadi dalam banyak hal, misalnya menghapuskan
keburukan dengan kebaikan.
3. Abu Muslim Al-Asfahani
Menurutnya, secara logika Nasikh dapat saja terjadi, tetapi tidak
mungkin terjadi menurut syara’. Dikatakan pula bahwa beliau menolak
sepenuhnya terjadi Nasikh dalam Al-Qur’an. Pendapat Abu Muslim ini tidak
dapat diterima, karena makna ayat tersebut ialah bahwa Al-Qur’an tidak
didahului oleh kitab-kitab yang membatalkannya dan tidak datang pula
sesudahnya sesuatu yang membatalkannya.
4. Jumhur Ulama
Mereka berpendapat, Nasikh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan
telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’ berdasarkan dalil-dalil sebagai
berikut,
a. Perbuatan-perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Allah
boleh saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada
waktu yang lain. Karena hanya Allah yang lebih mengetahui kepentingan
hamba-hamba-Nya.
b. Nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah menunjukkan kebolehan Nasikh dan
terjadinya, antara lain:
1) Firman Allah dalam Q.S. An-Nahl ayat 101 yang artinya “Dan apabila
Kami mengganti suatu ayat di temapt ayang yang lain.....” dan pada
Q.S. Al-Baqarah ayat 106 yang artinya “Apa saja yang Kami
Nasakhkan, atau Kami lupakannya, Kami datangkan yang lebih baik
atau yang sebanding dengannya”.
2) Dalam sebuah hadist shahih dari Ibnu Abbas, Umar Radiyallahu Anhu
berkata, “Yang paling paham dan paling menguasai Al-Qur’an di antara
kami adalah Ubay. Namun demikian, kami pun meninggalkan sebagian
perkataanya, karean ia mengatakan ‘Aku tidak akan meninggalkan
sedikit pun segala apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah Saw.’,
padahal Allah telah berfirman, ‘Apa saja ayat yang Kami Nasakhkan,
atau Kami melupakannya.....’”

C. Macam-macam Nasikh Mansukh


Dari sisi otoritas mana yang lebih berhak menghapus sebuah naskh, para ulama
membagi Nasikh menjadi empat bagian, yaitu:
1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Dasar dari penetapan hukumnya adalah dalil ayat Al-Qur’an yang
kemudian dinasakh dengan dalil ayat Al-Qur’an pula. Para ulama telah
bersepakat dan mengakui dengan adanya nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
yang telah terjadi menurut mereka. Contohnya ayat ‘iddah satu tahun di
nasakhkan dengan ayat ‘iddah empat bulan sepuluh hari.
2. Nasakh Al-Qur’an dengan sunah
Menurut Manna’ Al-Qatthan terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Nasakh Al-Qur’an dengan hadis ahad
Jumhur berpendapat, Al-Qur’an tidak boleh di nasakhkan hadis ahad,
karena Al-Qur’an adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedangkan
hadits ahad zanni bersifat dugaan, disamping tidak sah, menghapus suatu
yang ma’lum (jelas diketahui) dengan yang maznun (diduga).
b. Nasakh Al-Qur’an dengan hadis mutawatir
Pada nasakh ini diperbolehkan oleh Imam Malik, Abu Hanifah, dan
Ahmad dalam satu riwayat. Sebab masing-masing keduanya adalah
wahyu.
3. Nasakh sunah dengan sunah
Dalam hal ini Manna Khalil Al-Qattan mang kata berikan ke dalam empat,
bentuk yaitu:
a. Nasakh mutawatir dengan mutawatir.
b. Nasakh ahad dengan ahad.
c. Ahad dengan mutawatir.
d. Nasakh mutawatir dengan ahad.
4. Nasakh Sunah dengan Al-Qur’an
Hukum yang telah ditetapkan dengan dariku sunnah kemudian di nasakh
dengan dalil Al-Qur’an.

Menurut Al-Zarkashi, terdapat tiga macam nasakh, khususnya dari segi tilawah
(bacaan) dan hukumnya, yaitu:
1. Nasakh dari segi bacaan dan hukum
Yaitu bacaan dan ayatnya tidak termasuk hukum pacarannya telah
terhapus dan diganti dengan hukum yang baru. Misalnya penghapusan ayat ke
haram and kawin dengan saudara satu susun karena sama-sama menetek
kepada seorang ibu dengan sepuluh kali susuan dengan lima kali susunan saja.
2. Nasakh hukumnya tanpa menasakh bacaannya
Yaitu bacaannya dan tulisannya tetap ada dan boleh dibaca sedangkan isi
hukum sudah dihapus atau tidak boleh diamalkan. Misalnya pada surat al-
Baqarah ayat 240 tentang istri-istri yang dicerai suaminya harus ber’iddah
selama satu tahun dan masih berhak mendapatkan nafkah serta tempat tinggal
selama ‘iddah. Kemudian ketentuan hukum ayah tersebut dihapus oleh ayat
234 surat al-Baqarah koma sehingga keharusan ‘iddah satu tahun tidak lagi
berlaku.
3. Nasakh bacaan ayat tanpa menasakh hukumnya
Yaitu tulisan ayatnya sudah dihapus sedangkan hukum masih tetap
berlaku.

Disisi lain, terdapat pembagian Nasakh dari segi Nasakh dengan pengganti dan
tanpa pengganti. Adanya nasakh ini menunjukkan shari’at Islam merupakan yang
paling sempurna yang menasakh shari’at sebelumnya.
1. Nasakh tanpa pengganti
Terkadang ada nasakh terhadap suatu hukum tetapi tidak ditentukan
hukum lain sebagai penggantinya, selain ketentuan hukumnya sudah berubah.
Misalnya penghapusan keharusan bersedekah sebelum menghadap Rasulullah
pada QS. Al-Mujadalah:12 kemudian di nasakhkan pada QS. Al-Mujadalah:13.
2. Nasakh dengan pengganti yang seimbang
Nasakh selain menghapuskan suatu ketentuan juga menentukan hukum
baru sebagai pengganti. Misalnya nasakh dari sholat menghadap ke Bayt al-
Muqaddas beralih menghadap ke Bayt al-Haram (ka’bah).
3. Nasakh dengan pengganti yang lebih berat
Misalnya pada penghapusan hukuman panahan di rumah (terhadap wanita
zina) pada QS. An-nisa:15 kemudian di nasakhkan ke QS. An-nur:2.
4. Nasakh dengan pengganti yang lebih ringan
Misalnya pada QS. Al-Baqarah:183 kemudian dinasakhkan pada QS. Al-
Baqarah:187.

D. Manfaat Mempelajari Nasikh Mansukh


Ilmu nasikh dan mansukh dalam penggalian ajaran dan hukum Islam dalam
Al-Qur’an sangat penting untuk mengetahui proses taysri’ (penetapan dan
penerapan hukum) Islam sejalan dengan dinamika kebutuhan masyarakatnya yang
selalu berubah, sejauh mana elastisitas ajaran dan hukumannya serta sejauh mana
perubahan hukum itu berlaku. Di antara hikmah dari kajian ini adalah:
1. Dapat menjaga kemashlahatan hamba, dimana Allah SWT. Tidak mungkin
berbuat membiarkan berlakunya sesuatu yang bathil tanpa mengubahnya
dengan yang lebih baik.
2. Dapat mengembangkan persyari’atan hokum sampai tingkat yang sempurna,
sesuai dengan perkembangan kondisi umat manusia.
3. Dapat dijadikan standar untuk menguji kualitas keimanan seorang mukallaf,
dengan cara adanya hukum yang dihapus dan diganti, kemudian apakah dia
mengikutinya atau tidak.

Kajian keislaman khususnya yang bersifat prinsipil seperti Nasakh, adalah


untuk mencari kebaikan dan kemudahan bagi umat, sebab jika hukum itu beralih
kepada hal yang lebih berat maka di adalamnya terdapat tambahan pahala,
sedangkan jika beralih kepada hal yang lebih ringan maka di dalamnya terkandung
kemudahan. Dalam konteks dakwah, kajian ini bisa dijadikan sebagai strategi
bahwa pendekatan terhadap objek dakwah itu tidak mungkin sama karena bisa jadi
pemahamannya tentang ajaran Islam juga berbeda-beda, maka pemberlakuan
hokum Islam pada satu masyarakat belum tentu bisa diterapkan pada masyarakat
lain. Kajian ini juga menjadi bukti bahwa Islam memang merupakan agama yang
rahmatan lil ‘alamin. Karena Islam dengan berbagai hukumnya tidak pernah
mengandung SARA dan diskriminasi.

E. Rukun dan Syarat Nasikh


1. Rukun Nasikh
a. Adat Nasikh, yaitu pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan
hukum yang telah ada.
b. Nasikh, Yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada.
Pada Hakikatnya, Nasikh itu berasal dari Allah, karena Dia-lah yang
membuat hukum dan Allah puka yang menghapusnya.
c. Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
d. Mansukh ‘anh, yaitu orang yang dibebani hukum.

2. Syarat-Syarat Nasikh
a. Hukum yang dibatalkan (di mansukh) adalah harus berupa hukum syara’
(bukan hukum akal, dan bukan hukum produk manusia), yakni titah Allah
dan Rasul-Nya yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik wajib,
haram, makruh, maupun mubah. Dalil yang menggganti (nasikh) juga
harus berupa dalil syara’ (Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas).
b. Adanya dalil baru yang mengganti (nasikh) harus setelah ada tenggang
waktu dari dalil hukum yang pertama (mansukh)
c. Antara dua dalil nasikh dan mansukh atau antara dalil 1 dan 2 tersebut
harus ada pertentangan yang nyata (kontradiktif)
d. Dalil yang mengganti (nasikh) harus bersifat mutawattir. Karena dalil yang
ketetapan hukumnya telah terbukti secara pasti, maka tidak dapat di nasikh
kecuali oleh hukum yang terbukti secara pasti pula.

Anda mungkin juga menyukai