Disusun oleh:
SEMARANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al Qur’an adalah Kalamullah yang merupakan mukjizat bagi Nabi Muhammad saw. al
Qur’an merupakan petunjuk bagi umat manusia untuk mencapai kebahagiaannya di dunia
dan di akhirat. Dalam Al Qur’an terkandung banyak hikmah dan pelajaran. Al Qur’an
memuat ayat yang mengandung hal – hal yang berhubungan dengan keimanan, ilmu
pengetahuan, cerita masa lalu, seruan kepada umat manusia untuk beriman dan bertakwa,
memuat tentang ibadah, muamalah, dan lain – lain.
Al Quran diturunkan secara berangsur – angsur. Dalam penjelasan Al Quran ada yang
dikemukakan secara terperinci, ada pula yang hanya garis besarnya saja, ada yang khusus
dan ada pula yang umum. Ada ayat – ayat yang sepintas, lalu menunjukkan adanya gejala
kontradiksi yang menurut Quraish Shihab, para ulama berbeda pendapat tentang
bagaimana menghadapi ayat – ayat tersebut. Sehingga timbul pembahasan tentang nasikh
mansukh.1
Nasikh mansukh merupakan salah satu teori yang senantiasa banyak diperbincangkan,
baik oleh kalangan ahli hukum Islam tradisional maupun kontemporer. Tidak hanya
diperbincangkan, kedudukannya juga dianggap begitu penting dalam memahami dan
menafsirkan hukum – hukum dalam Al Qur’an. Perbincangan berbagai persoalan seputar
nasikh mansukh tersebut mencakup beberapa hal seperti asbabun nuzul, makna, jenis, dan
fungsinya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian nasikh dan mansukh?
2. Bagaimana pembagian nasikh dan mansukh dalam Al Qur’an?
3. Apa saja rukun – rukun nasikh dan mansukh?
4. Apa saja syarat dan bentuk – bentuk nasikh dan mansukh?
5. Apa saja hikmah adanya nasikh dan mansukh?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian nasikh dan mansukh.
1
M. Quraish Shihab. Membumikan Alquran, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 1994), hlm. 143.
1
2. Untuk mengetahui pembagian nasikh dan mansukh dalam Al Qur’an.
3. Untuk mengetahui rukun – rukun nasikh dan mansukh.
4. Untuk mengetahui syarat dan bentuk – bentuk nasikh dan mansukh.
5. Untuk mengetahui hikmah adanya nasikh dan mansukh.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2
Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqanu Fi ‘Ulumi Al-Qur’an, Daru Al-Syuruq (Kairo: Daru al-Syuruq, 1966), hlm. 66.
3
Secara terminologi, pengertian nasikh adalah ketentuan hukum yang datang
kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa
pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan yang berlaku adalah yang
ditetapkan belakangan. Sedangkan menurut Manna al-Qattan, nasikh adalah mengangkat
(menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum (khitab) syara’ yang lain, tetapi
penghapusan ini tidak termasuk al-bara’ah al-ashliyah, yang bersifat asli, kecuali
disebabkan mati atau gila ataupun penghapusan dengan ijma’ atau qiyas.3
Secara etimologi mansukh adalah sesuatu yang dihapus atau dihilangkan atau
dipindah atau disalin. Sedangkan, secara terminologi para ulama ialah hukum syara’ yang
diambil dari dalil syara’ yang sama, yang belum diubah dengan dibatalkan dan diganti
dengan hukum syara’ baru yang dating kemudian.
Perbedaan nasikh dan mansukh antara lain:
1. Nasikh adalah hukum yang membatalkan, sedangkan mansukh adalah hukum
yang dibatalkan.
2. Nasikh dapat bermakna pembatalan terhadap sesuatu yang telah terjadi
sebelumnya, sementara mansukh dapat bermakna sesuatu yang telah terjadi
dibatalkan karena adanya yang dibatalkan (nasikh).
B. Pembagian Nasikh dan Mansukh dalam Al Qur’an
Apabila ditinjau dari segi siapa yang mempunyai otoritas untuk melakukan nasakh,
ada empat macam, yaitu:
1. Nasakh Al Qur’an dengan Al Qur’an
Persoalan lain yang muncul dikalangan pendukung nasakh adalah siapakah
yang berwenang melakukan nasakh? Secara umum, pendukung nasakh sepakat
bahwa Al Qur’an hanya dapat dinasakh oleh wahyu yang mutawatir. Menurut
para ulamayang menerima adanya nasikh dan mansukh dalam Al Qur’an ini,
mereka mengatakan bahwa adanya nasikh dan mansukh dalam Al Qur’an dapat
diterima akal karena Allah Maha Kuasa, sehingga hukum yang ringan pada
mulanya memang perlu ditetapkan, dan kemudian perlu diganti dengan hukum
yang tidak ringan, setelah orang –orang Islam menghadapi keadaan normal dan
mampu menghadapi hukum yang tidak ringan lagi. Hal tersebut termasuk
3
Manna’ al Qaththan, Mabahis Fi Ulum Al Qur’an: Manna’ Al Qaththan (Muassasah al Risalah, 1944), hlm. 245
4
kebijakan Allah Yang Maha Kuasa. Diantara contoh yang sering muncul adalah
ayat 180 surah Al Baqarah yang mengandung kewajiban wasiat, menurut ulama
dinasakh oleh ayat waris yaitu surah An Nisa ayat 11.
Tetapi sebagian ulama lain berpendapat bahwa tidak ada nasikh mansukh
dalam ayat – ayat Al Qur’an. Menurut para ulama ini Al Qur’an menasakh kitab –
kitab suci terdahulu, tetapi semua ayat Al Qur’an yang ada sekarang tidak ada lagi
yang mansukh. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah SWT. dalam QS.
Fussilat: 42.
5
Diantara contoh – contoh yang muncul adalah ayat 2 surat An-Nur:
6
c) Nasakh ahad dengan mutawatir.
d) Nasakh mutawatir dengan ahad.
Tiga bentuk pertama dibolehkan, sedangkan bentuk keempat terjadi silang
pendapat. Namun, jumhur ulama tidak membolehkan karena hukum yang
dinasakh lebih tinggi tingkatannya.
4. Nasakh As-Sunah dengan Al Qur’an
Ulama yang mendukung adanya nasakh sepakat bahwa hukum yang
ditetapkan oleh as-sunah boleh dinasakh dengan hukum yang didasarkan pada
ketentuan Al Qur’an. Diantara contoh yang dikemukakan adalah puasa pada hari
Asyura tidak diwajibkan lagi. Contoh lainnya lagi yaitu ketika di Makkah, Nabi
Muhammad saw. sembahyang menghadap kakbah. Setelah hijrah ke Madinah,
Nabi Muhammad saw. dikala sembahyang menghadap ke Baitul Maqdis selama
16 bulan atau 17 bulan, lalu Allah menurunkan ayat agar Nabi Muhammad saw.
diwaktu sembahyang menghadap kakbah, seperti tersebut pada Al Baqarah ayat
144.
َ ُّ ق َ د ْ ن ََرآى ت َق َ ل
َ ب َو ْج ِه َك ف ِ ي ِِال سَ َم ا ء ۖ ف َ ل َ ن ه َو ل ِ ي َ ن َ َك ق ِ بْ ل َ ة ت َْر
ض ا هَ ا ۚ ف َ َو ِل
ث َم ا كه نْ ت ه ْم ف َ َو ل ُّ وا هو هج و هَ كه ْم َو ْج َه َك شَطْ َر َم س ِْج ِد ِْال الْ َح َر ا ِم ۚ َو َح يْ ه
ُّ َاب ل َ ي َ عْ ل َ هم و َن أ َن َ ه ه الْ َح
ِۗ ق ِم ْنآ َر ب ِ ِه ْم َ شَطْ َر ه هۗ َو إ ِ َن ال َ ِذ ي َن و ت هوا هِأ الْ ِك ت
َو َم ا ّللاَ ه ب ِ غ َا ف ِ ل عَ ِّم ا ي َ عْ َم ل ه و َن
Artinya: “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit. Maka
sungguh kami akan memalingkan kamuke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah
mukamu kea rah Masjidil Haram, dan dimana saja kamu berada. Palingkanlah
mukamu ke arahnya dan sesungguhnya orang – orang (Yahudi dan Nasrani) yang
diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke
Masjidil Haram ituadalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali – kali tidak
lengah dari apa yang mereka kerjakan.”
C. Rukun – Rukun Nasikh dan Mansukh
Adapun rukun nasikh dan mansukh dibagi menjadi 4, yaitu: 4
4
Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta Teras, 2009), hlm. 262.
7
1. Adanya mansukh (ayat yang dihapuskan) dengan syarat bahwa hukum yang
dihapus itu adalah berupa hukum syara’ yang bersifat ‘mali, tidak terikat atau
tidak dibatasi dengan waktu tertentu. Sebab, bila terikat dengan waktu, maka
hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Maka yang demikian
itu tidak dinamakan nasikh. Disamping itu, mansukh (ayat yang dihapus) tidak
bersifat tetap secara nasikh dan ayat yang mansukh itu lebih dulu diturunkan
daripada ayat yang dinasikh.
2. Adanya mansukh bih (ayat yang digunakan untuk menghapus), dengan syarat
datangnya dari syari’ (Allah) atau dan Rasulullah saw. sendiri yang bertugas
menyampaikan wahyu dari Allah. Sebab penghapusan sesuatu hukum tidak dapat
dilakukan dengan menggunakan ijma’ (konsensus) ataupun qiyas (analogi).
3. Adanya nasikh (yang berhak menghapus), yaitu Allah. Kadang – kadang
ketentuan hukum yang dihapus ituberupa Al Qur’an dan kadang juga berupa
sunah.
4. Adanya mansukh anhu (arah hukum yang dihapus ialah orang – orang yang sudah
akil baligh atau mukalaf), karena yang menjadi sasaran hukum menghapus atau
dan dihapus adalah mereka.
D. Syarat dan Bentuk Nasikh dan Mansukh
Adapun syarat – syarat nasikh dan mansukh adalah:
1. Hukum yang mansukh adalah hukum syara’.
2. Dalil yang menghapus hukum tersebut adalah khitab syar’i.
3. Khittab yang mansukh hukumnya tidak terikat (dibatasi), dengan waktu tertentu.
Sebab jika tidak demikian, maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu,
dan yang demikian tidak dinamakan nasikh. 5
Adapun bentuk – bentuk nasikh dan mansukh, dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu:
1. Nasikh tilawah/khat dan hukumnya.
Salah satu macam nasikh yang dikemukakan oleh ulama pendukung nasikh
adalah nasikh tilawah (bacaan) atau khat (tulisan) maupun hukumnya dan diganti
dengan ketentuan hukum lain. Contoh yang sering dikemukakan adalah
5
A J Firman, Studi Al Qur’an (Teori dan Aplikasinya dalam Penafsiran Ayat Pendidikan), (Diandra
Kreatif, 2018), hlm. 119.
8
عنآعائشةأنهاقالتآكانآفيماأنزلآمنالقرآن عشررضعات معلومات يحرمن ثم نسخن بخمس معلومات
)(رواه مسلم
Artinya: “Dari Aisyah RA. Ia berkata adalah dahulu turun ayat Al Qur’an
“Sepuluh kali susuan yang tertentu mengharamkan (ibu susunya untuk dinikahi),
kemudian Kami hapuskan lima (kali susuan) yang tertentu saja.”
2. Nasikh hukum sedang tilawahnya tetap
Misalnya QS. Al-Mujadilah ayat 12:
ي ن َ ْج َو ا كه ْم َ أ َي ُّ َه ا ال َ ِذ ي َن آ َم ن ه وا إ ِ ذ َا ن َا َج يْ ت همه
ْ َ الر سه و َل ف َ ق َ دِ هم وا ب َ يْ َن ي َ د
يَا
ّ ص د َق َ ة ۚ ذ َ لِ َك َخ يْر ل َ كه ْم َو أ َطْ َه هر ۚ ف َ إ ِ ْن ل َ ْم ت َِج د هوا ف َ إ ِ َن
للاَآ غَ ف ه ور َر ِح يم َ
Artinya: “Hai orang – orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan
khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang
miskin) sebelum pembicaraan itu, yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih
bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan), maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ayat ini di-nasikh hukumnya pada ayat selanjutnya, yaitu ayat 13.
6
Achmad Abu Bakar, La Ode Ismail Ahmad, Ulumul Qur’an: Pisau Analisis Dalam Menafsirkan Al-
Qur’an (Yogyakarta: Semesta Aksara, 2019), hlm. 111.
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengertian nasikh adalah mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil
hukum (khitab) syara’ yang lain, tetapi penghapusan ini tidak termasuk al-
bara’ah al-ashliyah, yang bersifat asli, kecuali disebabkan mati atau gila ataupun
penghapusan dengan ijma’ atau qiyas. Sedangkan, mansukh adalah sesuatu yang
dihapus atau dihilangkan atau dipindah atau disalin.
2. Ditinjau dari segi siapa yang mempunyai otoritas untuk melakukan nasakh, ada
empat macam, yaitu nasakh Al Qur’an dengan Al Qur’an, nasakh Al Qur’an
dengan sunnah, nasakh As-Sunah dengan As-Sunah, nasakh As-Sunah dengan Al
Qur’an.
3. Rukun nasikh dan mansukh dibagi menjadi 4, yaitu adanya mansukh (ayat yang
dihapuskan) dengan syarat bahwa hukum yang dihapus itu adalah berupa hukum
syara’ yang bersifat ‘mali, adanya mansukh bih, adanya nasikh (yang berhak
menghapus), yaitu Allah, adanya mansukh anhu.
4. Syarat – syarat nasikh dan mansukh adalah hukum yang mansukh adalah hukum
syara’, dalil yang menghapus hukum tersebut adalah khitab syar’I, khittab yang
mansukh hukumnya tidak terikat (dibatasi), dengan waktu tertentu. Selain itu,
bentuk – bentuk nasikh dan mansukh, yaitu nasikh tilawah/khat dan hukumnya,
nasikh hukum sedang tilawahnya tetap, nasikh tilawah sedang hukumnya tetap.
5. Hikmah nasikh dan mansukh adalah memelihara kemaslahatan umat Islam,
sebagai bentuk ujian, menjaga agar hukum islam relevan dengan perkembangan
zaman, dan memberi keringanan bagi umat Islam.
11
DAFTAR PUSTAKA
As-Suyuthi, Jalaluddin. 1966. Daru Al-Syuruq Al-Itqanu Fi ‘Ulumi Al-Qur’an. Kairo: Daru
al-Syuruq.
Bakar, Achmad Abu, La Ode Ismail Ahmad. 2019. Ulumul Qur’an: Pisau Analisis Dalam
Menafsirkan Al-Qur’an. Yogyakarta: Semesta Aksara.
Firman, A J. 2018. Studi Al Qur’an (Teori dan Aplikasinya dalam Penafsiran Ayat
Pendidikan). Diandra Kreatif.
Usman. 2009. Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Yogyakarta Teras